Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.07/2015

  • 25 Mei 2015
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    DIGANTI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 102/PMK.07/2015

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 115/PMK.07/2013 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN
DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan pemungutan dan penyetoran pajak rokok, perlu dilakukan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 115/PMK.07/2013 TENTANG TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK ROKOK.



Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.07/2013 tentang Tata Cara Pemungutan dan Penyetoran Pajak Rokok diubah sebagai berikut:


1. Ketentuan angka 24, angka 26, dan angka 27 diubah, dan angka 33 Pasal 1 dihapus, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah Pusat.
  2. Rokok adalah hasil tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
  3. Cukai Rokok adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap rokok.
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SPPR adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak Rokok untuk melaporkan penghitungan dan/atau dasar pembayaran Pajak Rokok.
  5. Permohonan Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut dengan CK-1 adalah dokumen cukai yang digunakan Wajib Pajak Rokok untuk mengajukan permohonan pemesanan pita cukai hasil tembakau.
  6. Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki ijin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai.
  7. Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai yang selanjutnya disingkat NPPBKC adalah izin untuk menjalankan kegiatan sebagai pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, atau pengusaha tempat penjualan eceran di bidang cukai.
  8. Pemungutan Pajak adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak, penentuan besarnya Pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan Pajak kepada Wajib Pajak Rokok serta pengawasan penyetorannya.
  9. Surat Setoran Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat SSBP adalah dokumen yang digunakan untuk melakukan pembayaran Pajak Rokok ke rekening kas negara.
  10. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan pajak dalam rangka impor dan ekspor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan Negara bukan pajak.
  11. Pos Persepsi adalah Kantor Pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan Negara.
  12. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor yang tertera pada bukti penerimaan negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara.
  13. Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank.
  14. Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos.
  15. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
  16. Rekening Kas Umum Daerah Provinsi yang selanjutnya disebut RKUD Provinsi adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
  17. Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  18. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.
  19. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yarig disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  20. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA, adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
  21. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari Pengguna Anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
  22. Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/Kuasa PA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas penerimaan Pajak Rokok.
  23. Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
  24. Surat Ketetapan Penyetoran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-PR adalah dokumen sebagai dasar penyetoran Pajak Rokok yang memuat rincian jumlah pajak rokok per provinsi dalam periode tertentu.
  25. Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah suatu dokumen yang dibuat/diterbitkan oleh pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan penyetoran Pajak Rokok atau pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
  26. Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dalam rangka penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi berdasarkan SKP-PR atau pembayaran pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
  27. Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Rekening Kas Umum Negara berdasarkan SPM.
  28. Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi BUN.
  29. Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
  30. Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
  31. Surat Keterangan Telah Dibukukan yang selanjutnya disingkat SKTB adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh KPPN atas penerimaan Pajak Rokok yang telah dibukukan KPPN.
  32. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Rokok yang selanjutnya disingkat SKP-KP2R adalah surat keputusan sebagai dasar untuk menerbitkan SPM Pengembalian Penerimaan.
  33. Dihapus.
   
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 5 diubah, sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Wajib Pajak Rokok melakukan pembayaran Pajak Rokok bersamaan dengan pembayaran Cukai Rokok ke kas negara.
(2) Pembayaran Pajak Rokok dilakukan melalui Bank/Pos Persepsi dengan menggunakan formulir SSBP.
(3) Pembayaran Pajak Rokok menggunakan kode Bagian Anggaran 999.99 dengan akun Penerimaan Non Anggaran.
(4) Wajib Pajak Rokok membuat SSBP sebanyak 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 untuk Wajib Pajak Rokok;
  2. Lembar ke-2 untuk KPPN;
  3. Lembar ke-3 untuk Kantor Bea dan Cukai; dan
  4. Lembar ke-4 untuk Bank/Pas Persepsi.
(5) Dalam hal Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayarkan, pelayanan atas CK-1 tidak dilaksanakan.
(6) Format SSBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(7) Tata cara pembayaran Pajak Rokok oleh Wajib Pajak Rokok ke Bank/Pos Persepsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai tata cara penyetoran penerimaan negara.
   
3. Ketentuan Pasal 16 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menetapkan keputusan proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing Provinsi sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk masing-masing provinsi.
(2) Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun paling lambat bulan November.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan rasio jumlah penduduk provinsi terhadap jumlah penduduk nasional dan target penerimaan cukai rokok pada Undang-Undang mengenai APBN.
(4) Rasio jumlah penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan data jumlah penduduk yang digunakan untuk penghitungan Dana Alokasi Umum untuk tahun anggaran berikutnya.
(5) Berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur menetapkan alokasi bagi hasil Pajak Rokok masing-masing kabupaten/kota sebagai dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
(6) Alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan November tahun anggaran sebelumnya.
   
4. Ketentuan Pasal 17 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Berdasarkan data realisasi penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan Keputusan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan mengenai proporsi dan estimasi penerimaan Pajak Rokok untuk masing-masing provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), KPA menerbitkan SKP-PR.
(2) SKP-PR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
  2. Lembar ke-2 untuk PPK; dan
  3. Lembar ke-3 untuk pertinggal.
   
5. Ketentuan Pasal 18 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Penyetoran Pajak Rokok ke masing-masing RKUD Provinsi, dilakukan sesuai dengan realisasi penerimaan Pajak Rokok dan proporsi untuk masing-masing Provinsi.
(2) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok ke RKUD Provinsi dilaksanakan secara triwulanan pada bulan pertama triwulan berikutnya.
(3) Penyetoran penerimaan Pajak Rokok bulan Oktober dan November dilakukan pada bulan Desember.
(4) Penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi untuk penerimaan sampai dengan bulan Desember tahun berkenaan yang masih terdapat di RKUN, dilaksanakan bersamaan dengan penyetoran Triwulan I tahun anggaran berikutnya.
   
6. Ketentuan Pasal 19 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

(1) Dalam hal terdapat selisih antara penerimaan dengan penyetoran Pajak Rokok ke RKUD Provinsi akan diperhitungkan pada penyetoran Pajak Rokok tahun berikutnya.
(2) Perhitungan selisih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
   
7. Ketentuan Pasal 21 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Berdasarkan SPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (6) dan SKP-PR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a, KPPN Jakarta II menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) KPA memberitahukan penyetoran Pajak Rokok kepada Gubernur pada paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah SP2D penyetoran Pajak Rokok diterbitkan.
   
8. Di antara BAB III dan BAB IV disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IIIA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IIIA
PENYALURAN BAGI HASIL PAJAK ROKOK

   
9. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 21A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21A

(1) Gubernur menetapkan jumlah bagi hasil Pajak Rokok Kabupaten/Kota, setelah Pajak Rokok diterima di RKUD Provinsi.
(2) Berdasarkan ketetapan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur menyalurkan bagi hasil Pajak Rokok kepada Kabupaten/Kota paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah diterimanya Pajak Rokok di RKUD Provinsi.
(3) Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.
(4) Dalam hal realisasi penerimaan Pajak Rokok lebih besar atau lebih kecil dari yang telah dianggarkan, penyaluran bagi hasil tetap dilaksanakan sesuai realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.
(5) Dalam hal penyaluran bagi hasil Pajak Rokok belum dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan, penyalurantetap dilakukan sesuai realisasi penerimaan Pajak Rokok pada RKUD Provinsi.
(6) Tata cara penyaluran bagi hasil Pajak Rokok kepada Kabupaten/Kota di wilayah provinsi bersangkutan diatur lebih lanjut oleh Gubernur.
   
10. Ketentuan ayat (4) dan ayat (9) Pasal 24 diubah, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

(1) Berdasarkan surat permintaan yang disampaikan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (6), Kepala KPPN menerbitkan SKTB dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan:
  1. 2 (dua) untuk Kantor Bea dan Cukai;
  2. 1 (satu) untuk KPPN Jakarta II; dan
  3. 1 (satu) sebagai pertinggal.
(2) Format SKTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Kepala Kantor Bea dan Cukai menyampaikan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dengan dilampiri:
  1. dokumen permohonan dari Wajib Pajak Rokok;
  2. tanda bukti kelebihan pembayaran Pajak Rokok; dan
  3. SKTB.
(4) Berdasarkan surat rekomendasi pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok, KPA menerbitkan SKP-KP2R dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 untuk KPPN Jakarta II;
  2. Lembar ke-2 untuk PPK; dan
  3. Lembar ke-3 sebagai pertinggal.
(5) Berdasarkan SKP-KP2R, PPK menerbitkan SPP atas pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
(6) SPP disampaikan kepada PPSPM dilampiri SKP-KP2R.
(7) Berdasarkan SPP, PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Rokok.
(8) Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan SPM dalam rangkap 3 (tiga) dengan peruntukan sebagai berikut:
  1. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk KPPN Jakarta II; dan
  2. Lembar ke-3 sebagai pertinggal.
(9) SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diterbitkan dengan menggunakan Bagian Anggaran 999.99 kode akun kontrapos akun Penerimaan Non Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3).
(10) PPSPM menyampaikan SPM-PP sebagaimana dimaksud pada ayat (8) kepada KPPN Jakarta II dilampiri dengan lembar ke-1 SKP-KP2R.
   
11. Judul BAB V diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB V
PELAPORAN, REKONSILIASI, DAN PEMANTAUAN

   
12. Diantara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 25A dan Pasal 25B, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25A

(1) Gubernur menyampaikan laporan realisasi penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dari Provinsi ke Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A ayat (2) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah pelaksanaan penyaluran bagi hasil.
(3) Format laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran VIIA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 25B

(1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemantauan atas penetapan alokasi dan penyaluran Pajak Rokok oleh Gubernur.
(2) Gubernur melakukan pemantauan atas penggunaan Pajak Rokok untuk pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang di Provinsi dan Kabupaten/Kota di wilayahnya.
   
13. Pasal 29 dihapus.
   
14. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A

(1) Penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.
(2) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat oleh Provinsi/Kabupaten/Kota dilakukan dengan berpedoman pada petunjuk teknis yang ditetapkan Menteri Kesehatan.
(3) Penggunaan Pajak Rokok untuk mendanai penegakan hukum oleh aparat yang berwenang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal sampai dengan akhir tahun anggaran terdapat sisa penggunaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka sisa penggunaan Pajak Rokok tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang pada tahun anggaran berikutnya.


Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 25 Mei 2015
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 26 Mei 2015

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


YASONNA H. LAOLY




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 791