TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2021
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
BAB II
PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA DI BIDANG
PAJAK PENGHASILAN
Pasal 3
(1) | Atas penghasilan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Tarif pemotongan sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diturunkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(3) | Tarif pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diturunkan menjadi sebesar 10% (sepuluh persen) atau sesuai dengan tarif berdasarkan persetujuan penghindaran pajak berganda. |
(4) | Penghasilan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diberikan penurunan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan penghasilan Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap. |
(5) | Bunga Obligasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk:
|
(6) | Pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh:
|
(7) | Ketentuan mengenai Bunga Obligasi atas Obligasi yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(8) | Tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mulai berlaku setelah 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. |
BAB III
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PENGHASILAN
UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA MENGENAI PENGHITUNGAN
PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN
PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
Pasal 4
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6361) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A
|
BAB IV
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA
Pasal 5
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5271) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, serta di antara angka 1 dan angka 2 Pasal 1 disisipkan 5 (lima) angka yakni angka 1a, angka 1b, angka 1c, angka 1d, dan angka 1e, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 5A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A Pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal IA ayat (2) huruf d Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai meliputi pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal kepada badan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (6), dan ayat (7) Pasal 17 diubah, serta penjelasan ayat (5) Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 19 diubah, serta ayat (2) Pasal 19 dihapus, sehingga Pasal 19 berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah, ayat (2) dan ayat (3) Pasal 20 dihapus, serta ditambahkan 1 (satu) ayat dalam Pasal 20 yakni ayat (4), sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
BAB V
PENYESUAIAN PENGATURAN DI BIDANG KETENTUAN UMUM
DAN TATA CARA PERPAJAKAN UNTUK KEMUDAHAN BERUSAHA
Pasal 6
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan angka 1 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Pasal 7 diubah, di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 7 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), serta penjelasan ayat (3) Pasal 7 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (8) Pasal 8 diubah, serta ayat (7) Pasal 8 dihapus, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
|
||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 12 diubah, di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 12 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (4a), dan penjelasan ayat (1) Pasal 12 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan ayat (1) Pasal 14 diubah, serta ayat (2) dan ayat (3) Pasal 14 dihapus, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan ayat (1) Pasal 16 diubah dan ayat (2) Pasal 16 dihapus, sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 24 diubah, serta penjelasan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 24 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
15. | Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A
|
||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan ayat (1), ayat (6), dan ayat (7) huruf d Pasal 60 diubah, ayat (7) huruf c dan huruf e Pasal 60 dihapus, dan penjelasan ayat (2) Pasal 60 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan pasal demi pasal, sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan ayat (2) Pasal 62 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 62 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2a), sehingga Pasal 62 berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
|
||||||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 63 dan Pasal 64 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 63A dan Pasal 63B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63A
|
Pasal 63B
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan atau ketetapan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam bentuk elektronik dan ditandatangani secara elektronik. |
(2) | Keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkekuatan hukum sama dengan keputusan atau ketetapan yang tertulis. |
(3) | Dalam hal keputusan atau ketetapan dibuat dalam bentuk elektronik, tidak dibuat keputusan atau ketetapan dalam bentuk tertulis. |
(4) | Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman secara elektronik atas keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) sampai dengan 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi.
Pasal 8
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sampai dengan 30 (tiga puluh) hari setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 9
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1. | terhadap:
|
||||
2. | terhadap:
|
||||
3. | terhadap sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melalui Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||
4. | terhadap imbalan bunga yang diberikan berdasarkan ketetapan, keputusan, atau putusan yang diterbitkan sejak tanggal 2 November 2020 dan penghitungan imbalan bunganya dimulai sebelum tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut dihitung menggunakan tarif bunga sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penghitungan tarif bunga sebagai dasar penghitungan sanksi administratif berupa bunga dan pemberian imbalan bunga yang berlaku untuk bulan November 2020; | ||||
5. | terhadap pembayaran kembali Pajak Masukan yang telah dikembalikan atau telah dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang belum dilakukan sampai dengan tanggal 2 November 2020, atas Pajak Masukannya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan | ||||
6. | terhadap imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan dan belum dilakukan pembayaran kembali oleh Wajib Pajak sampai dengan tanggal 2 November 2020, imbalan bunga tersebut ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4985), masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 19
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 2021
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG
KEMUDAHAN BERUSAHA
I. |
UMUM Dalam rangka mendukung cipta kerja yang memerlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja). Undang-Undang Cipta Kerja antara lain telah mengubah 3 (tiga) Undang-Undang di bidang perpajakan, yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut antara lain terdapat amanah dalam ketentuan Pasal 111 yang mengatur mengenai pengenaan tarif Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (1b) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa bunga yang diterima oleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia. Dalam ketentuan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Cipta Kerja, juga terdapat pengaturan untuk melakukan penyesuaian peraturan pelaksanaan dari undang-undang yang dilakukan perubahan dengan Undang-Undang Cipta Kerja, yaitu dalam hal ini Undang-Undang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam rangka pelaksanaan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Cipta Kerja tersebut di atas perlu melakukan penyesuaian beberapa peraturan sebagai berikut:
Pada prinsipnya, Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum pengaturan perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha serta mendukung percepatan implementasi kebijakan strategis di bidang perpajakan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi perlakuan perpajakan untuk mendukung kemudahan berusaha di bidang Pajak Penghasilan, bidang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dengan pokok-pokok materi antara lain sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Cukup jelas. Pasal 3Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)Huruf a Yang dimaksud dengan "Obligasi dengan kupon" adalah yang dikenal dengan istilah interest bearing debt securities. Yang dimaksud dengan "bunga berjalan" adalah yang dikenal dengan istilah accrued interest. Huruf cYang dimaksud dengan "Obligasi tanpa bunga" adalah yang dikenal dengan istilah non-interest bearing debt securities. Cukup jelas. Ayat (7)Pemberlakuan secara mutatis mutandis dimaksudkan bahwa ketentuan perpajakan yang berlaku umum berlaku pula untuk transaksi berbasis syariah. Imbal hasil tersebut dapat berupa ujrah/fee, margin, bagi hasil, atau penghasilan sejenis lainnya sesuai dengan pendekatan transaksi syariah yang digunakan. Ayat (8)Cukup jelas. Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2Pasal 2A Ayat (1) Yang dimaksud dengan diterima atau diperoleh dividen atau penghasilan lain:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Cukup jelas. Ayat (8)Cukup jelas. Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2Pasal 5A Cukup jelas. Angka 3 Pasal 16 Dihapus. Angka 4Pasal 17 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.
Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat pembuatan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Termasuk dalam pengertian faktur penjualan, yaitu dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan. Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Huruf c Cukup jelas. Huruf dYang dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi. Huruf eYang dimaksud dengan "penggabungan usaha, peleburan usaha, pemecahan usaha, dan pengambilalihan usaha" adalah penggabungan usaha, peleburan usaha, pemisahan usaha, dan pengambilalihan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Yang dimaksud dengan "pemekaran usaha" adalah pemisahan 1 (satu) badan usaha menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8)Cukup jelas. Ayat (9)Cukup jelas. Ayat (10)Cukup jelas. Angka 5 Pasal 17A Ayat (1) Penyerahan Barang Kena Pajak Berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak yang dilakukan secara konsinyasi, yaitu penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara:
Ayat (2) Cukup jelas. Angka 6 Pasal 19 Ayat (1) Secara prinsip, Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Namun demikian karena suatu hal, dapat terjadi keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Atas keterlambatan pembuatan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka waktu pembuatan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2) Dihapus. Ayat (3) Pada dasarnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Namun demikian karena suatu hal, dapat terjadi keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Ayat (4) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang dibuat lebih dari 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Angka 7 Pasal 19A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Faktur Pajak yang mencantumkan identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak berupa nama, alamat, dan nomor induk kependudukan bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak termasuk Faktur Pajak yang tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Angka 8 Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3)Dihapus. Ayat (4)Cukup jelas. Angka 1 Pasal 1 Cukup jelas. Angka 2Pasal 7 Ayat (1) Prinsip dari sistem self assessment dalam pemungutan pajak adalah memberikan kesempatan kepada Wajib Pajak untuk secara sukarela menghitung, membayar dan melaporkan pajak terutang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian, meskipun terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya.
Dalam rangka penerapan sistem self assessment secara konsisten, meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk memberikan kepastian hukum, yang dimaksud dengan mulai dilakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada ayat ini adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (2a) Cukup jelas. Ayat (3) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak yang diatur pada ayat ini dapat dilakukan:
Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak disampaikan setelah Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan namun surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidikan dihentikan sepanjang pengungkapan ketidakbenaran tersebut telah dinyatakan sesuai dengan keadaan sebenarnya melalui keterangan ahli. Yang dimaksud dengan “sesuai dengan keadaan yang sebenarnya” adalah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan Wajib Pajak jumlahnya sama atau lebih besar daripada temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Apabila pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak ditindaklanjuti dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan kepada Wajib Pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai tidak ditindaklanjutinya Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Angka 3 Pasal 8 Ayat (1) Pada prinsipnya Wajib Pajak memiliki hak untuk membetulkan Surat Pemberitahuan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan. Namun demikian, dalam hal Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak tetap diberi kesempatan untuk mengungkapkan dengan kesadaran sendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak. Ayat (2) Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar dan Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administratif harus dilampirkan apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan mengakibatkan pajak yang kurang dibayar menjadi lebih besar. Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak. Ayat (3) Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan dalam laporan tersendiri, pemeriksa pajak harus menyelesaikan pemeriksaannya untuk membuktikan kebenaran laporan tersendiri tersebut. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Dihapus. Ayat (8)Cukup jelas. Angka 4 Pasal 10A Cukup jelas. Angka 5 Pasal 12 Ayat (1) Tindak pidana di bidang perpajakan merupakan perbuatan yang diancam sanksi pidana berdasarkan undang-undang yang terkait dengan perpajakan, antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4) Putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap merupakan putusan terakhir terhadap upaya hukum yang dilakukan atas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Oleh karena itu, jumlah pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak dikembalikan, yaitu sesuai dengan putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan. Ayat (4a) Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Angka 6 Pasal 14 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Ayat (3)Dihapus. Angka 7 Pasal 15 Ayat (1) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak dengan jenis pajak dan Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang akan diterbitkan, kecuali surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya merupakan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dalam rangka pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (2) Cukup jelas. Angka 8 Pasal 16 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dihapus. Angka 9 Pasal 20 Cukup jelas. Angka 10 Pasal 24 Ayat (1) Berdasarkan sistem self assessment, kewajiban perpajakan Wajib Pajak ditentukan oleh terpenuhinya persyaratan subjektif dan objektif. Dengan demikian, surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak tersebut diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat diterbitkan apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak. Ayat (2) Penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak dapat juga dilakukan apabila setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Angka 11 Pasal 29 Dihapus. Angka 12 Pasal 43 Dihapus. Angka 13 Pasal 44 Dihapus. Angka 14 Pasal 45 Dihapus. Angka 15 Pasal 45A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh penerapan ketentuan ayat ini: Contoh 1: Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Yang dimaksud dengan “tanggal diterbitkannya Putusan Banding” adalah tanggal Putusan Banding tersebut diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. Cukup jelas. Ayat (9)Cukup jelas. Angka 16 Pasal 60 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tujuan Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah mendapatkan bukti permulaan tentang dugaan terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan. Untuk mendapatkan bukti permulaan tersebut, Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas. Huruf dCukup jelas. Huruf eYang dimaksud dengan “pihak ketiga”, yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, atau pemasok. Huruf fCukup jelas. Huruf gCukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Angka 17 Pasal 62
Cukup jelas. Ayat (2)Dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 38 atau Pasal 39 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan. Sedangkan dalam hal tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan terkait dengan Pasal 39A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jumlah kerugian pada pendapatan negara yang harus dilunasi sebesar jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Angka 18 Pasal 63A Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Dalam rangka memberikan kemudahan, Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya secara elektronik melalui sistem elektronik yang dapat diintegrasikan dengan sistem elektronik yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 63B Cukup jelas. Pasal 7Cukup jelas. Pasal 8Cukup jelas. Pasal 9Cukup jelas. Pasal 10Cukup jelas. Pasal 11Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6621