TIMELINE |
---|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2020
TENTANG
BEA METERAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Pengaturan Bea Meterai dilaksanakan berdasarkan asas:
|
(2) | Pengaturan Bea Meterai bertujuan untuk:
|
BAB II
OBJEK, TARIF, DAN SAAT TERUTANG BEA METERAI
Bagian Kesatu
Objek Bea Meterai
Pasal 3
(1) | Bea Meterai dikenakan atas:
|
||||||||||||||||
(2) | Dokumen yang bersifat perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
|
Pasal 4
Bea Meterai dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Bagian Kedua
Tarif Bea Meterai
Pasal 5
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap sebesar Rp 10.000,00 (sepuluh ribu rupiah).
Pasal 6
(1) | Besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. |
(2) | Besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai dengan kondisi perekonomian nasional dan tingkat pendapatan masyarakat. |
(3) | Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dalam rangka melaksanakan program pemerintah dan mendukung pelaksanaan kebijakan moneter dan/atau sektor keuangan. |
(4) | Perubahan besarnya batas nilai nominal Dokumen yang dikenai Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya tarif Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atau Dokumen dan besaran tarif tetap yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
Pasal 7
Bea Meterai tidak dikenakan atas Dokumen yang berupa:
a. | Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
|
b. | segala bentuk ijazah; |
c. | tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud; |
d. | tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
e. | kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
f. | tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi; |
g. | Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah; |
h. | surat gadai; |
i. | tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan |
j. | Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter. |
Bagian Ketiga
Saat Terutang Bea Meterai
Pasal 8
(1) | Bea Meterai terutang pada saat:
|
||||||||||
(2) | Menteri dapat menentukan saat lain terutangnya Bea Meterai. | ||||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan saat lain terutangnya Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB III
PIHAK YANG TERUTANG DAN PEMUNGUT BEA METERAI
Bagian Kesatu
Pihak Yang Terutang Bea Meterai
Pasal 9
(1) | Dokumen yang dibuat sepihak, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima Dokumen. |
(2) | Dokumen yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, Bea Meterai terutang oleh masing-masing pihak atas Dokumen yang diterimanya. |
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Dokumen berupa surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerbitkan surat berharga. |
(4) | Dokumen yang digunakan sebagai alat bukti di pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, Bea Meterai terutang oleh pihak yang mengajukan Dokumen. |
(5) | Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dibuat di luar negeri dan digunakan di Indonesia, Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima manfaat atas Dokumen. |
(6) | Ketentuan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) tidak menghalangi pihak atau para pihak untuk bersepakat atau menentukan mengenai pihak yang membayar Bea Meterai. |
Bagian Kedua
Pemungut Bea Meterai
Pasal 10
(1) | Pemungutan Bea Meterai yang terutang atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat dilakukan oleh pemungut Bea Meterai. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan pemungut Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 11
(1) | Pemungut Bea Meterai wajib:
|
(2) | Pemungut Bea Meterai yang tidak melaksanakan kewajiban pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
(3) | Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor, ditambah sanksi administratif sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dipungut dan/atau tidak atau kurang disetor. |
(4) | Pemungut Bea Meterai yang:
|
(5) | Ketentuan mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB IV
PEMBAYARAN BEA METERAI YANG TERUTANG
Pasal 12
(1) | Pembayaran Bea Meterai yang terutang pada Dokumen dilakukan dengan menggunakan:
|
(2) | Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
|
(3) | Setiap Orang wajib memperoleh izin untuk membuat Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Bea Meterai yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
(5) | Pengadaan, pengelolaan, dan penjualan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
BAB V
METERAI TEMPEL, METERAI ELEKTRONIK,
DAN METERAI DALAM BENTUK LAIN
Pasal 13
(1) | Meterai tempel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a memiliki ciri umum dan ciri khusus. |
(2) | Ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Setiap Meterai tempel selain memiliki ciri umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga memiliki ciri khusus sebagai unsur pengaman yang terdapat pada desain, bahan, dan teknik cetak. |
(4) | Ciri khusus pada Meterai tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat bersifat terbuka, semi tertutup, dan tertutup. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penentuan ciri umum dan ciri khusus pada Meterai tempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) serta pemberlakuannya diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 14
(1) | Meterai elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b memiliki kode unik dan keterangan tertentu. |
(2) | Ketentuan mengenai kode unik dan keterangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 15
(1) | Meterai dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c merupakan Meterai yang dibuat dengan menggunakan mesin teraan Meterai digital, sistem komputerisasi, teknologi percetakan, dan sistem atau teknologi lainnya. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 16
(1) | Pemerintah berwenang menentukan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara untuk menentukan keabsahan Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB VI
PEMETERAIAN KEMUDIAN
Pasal 17
(1) | Pemeteraian Kemudian dilakukan untuk:
|
(2) | Pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pihak Yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. |
Pasal 18
(1) | Bea Meterai yang wajib dibayar melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ditentukan sebesar:
|
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sebesar 100% (seratus persen) dari Bea Meterai yang terutang. |
Pasal 19
(1) | Pihak Yang Terutang yang tidak atau kurang membayar Bea Meterai yang terutang, diterbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
(2) | Jumlah kekurangan Bea Meterai dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar ditambah sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2). |
Pasal 20
Ketentuan mengenai tata cara pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
LARANGAN BAGI PEJABAT YANG BERWENANG
Pasal 21
(1) | Pejabat yang berwenang dalam menjalankan tugas atau jabatannya, dilarang:
|
(2) | Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB VIII
FASILITAS PEMBEBASAN DARI PENGENAAN BEA METERAI
Pasal 22
(1) | Bea Meterai yang terutang dapat diberikan fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan Bea Meterai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
Pasal 23
Bea Meterai yang terutang menjadi kedaluwarsa setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak saat terutang.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 24
Setiap Orang yang:
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 25
Setiap Orang yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual, atau memasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia:
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 26
Setiap Orang yang:
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 27
Terhadap hal-hal yang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
Pasal 29
Tata cara pembayaran Bea Meterai yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini, yang dibayar dengan menggunakan Meterai tempel yang telah dicetak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai beserta peraturan pelaksanaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b, diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 30
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 31
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2021.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2020 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY |
Disahkan di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2020 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 240
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2020
TENTANG
BEA METERAI
I. |
UMUM Bea Meterai adalah pajak atas Dokumen. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat dinamis, terjadi banyak perubahan bentuk Dokumen atau modifikasi dari bentuk sebelumnya. Teknologi informasi telah mendorong berkurangnya penggunaan kertas (paperless). Dalam hal kegiatan usaha, paperless menjadi opsi untuk meningkatkan efisiensi. Sejalan dengan itu, transaksi elektronik pun semakin berkembang sehingga kontrak dapat dilakukan secara elektronik melalui jaringan internet. Oleh karena itu, diperlukan perluasan definisi Dokumen yang tidak hanya berupa kertas. Ekstensifikasi Bea Meterai atas Dokumen elektronik sangat mendesak dilakukan agar potensinya dapat dimaksimalkan dan memberikan peningkatan penerimaan bagi pemerintah. Terkait substansi pengaturan Undang-Undang tentang Bea Meterai, terdapat beberapa hal yang perlu disesuaikan dan diatur lebih tegas. Undang-Undang ini mengatur bahwa Dokumen yang menjadi objek Bea Meterai terdiri atas Dokumen kertas dan selain kertas, termasuk Dokumen elektronik tertentu dengan landasan hukum undang-undang di bidang informasi dan transaksi elektronik. Undang-Undang ini mempertegas saat terutang dan Pihak Yang Terutang untuk setiap objek, serta memperkenalkan konsep pemungut Bea Meterai untuk Dokumen tertentu. Hal lain yang cukup penting adalah ditambahkannya ketentuan mengenai fasilitas Bea Meterai, antara lain terkait bencana alam, pelaksanaan program pemerintah, dan pelaksanaan perjanjian internasional. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kesederhanaan” adalah pengaturan Bea Meterai harus dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada masyarakat dalam memenuhi hak dan kewajibannya. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas efisiensi” adalah pengaturan Bea Meterai harus berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah pengaturan Bea Meterai menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban setiap pihak yang terlibat. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah pengaturan Bea Meterai harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah pengaturan Bea Meterai bermanfaat bagi kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat, khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Sehubungan dengan perkembangan hukum, bisnis, dan teknologi, pengaturan mengenai Bea Meterai perlu diselaraskan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, antara lain peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. Pasal 3Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “kejadian yang bersifat perdata” adalah kejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum perdata mengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa. Huruf b Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas Dokumen yang digunakan sebagai alat pembuktian di pengadilan, yaitu:
Dokumen tersebut terlebih dahulu harus dilakukan Pemeteraian Kemudian pada saat akan dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan. Ketentuan ini menegaskan bahwa jenis Dokumen dapat berubah menjadi jenis Dokumen alat bukti di pengadilan karena digunakan untuk maksud yang berbeda dengan maksud saat Dokumen tersebut dibuat. Dokumen yang merupakan objek Bea Meterai yang telah dibayar Bea Meterainya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, saat digunakan sebagai Dokumen alat bukti di pengadilan, tidak wajib lagi dilakukan Pemeteraian Kemudian. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan “surat lainnya yang sejenis” adalah surat yang sejenis dengan surat pernyataan, antara lain surat kuasa, surat hibah, dan surat wasiat. Huruf b Pada prinsipnya, Bea Meterai sebagai pajak atas Dokumen hanya dikenakan 1 (satu) kali untuk setiap Dokumen. Hal ini mengandung arti bahwa grosse, salinan, dan kutipan akta notaris dikenai Bea Meterai yang sama dengan aslinya. Huruf c Yang dimaksud dengan “salinan akta” adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa “diberikan sebagai SALINAN yang sama bunyinya”. Huruf d Yang dimaksud dengan “surat berharga” antara lain saham, obligasi, cek, bilyet giro, aksep, wesel, sukuk, surat utang, warrant, option, deposito, dan sejenisnya, termasuk surat kolektif saham atau sekumpulan surat berharga lainnya. Sebagai contoh, penerbitan 100 (seratus) lembar saham yang dituangkan dalam 1 (satu) surat kolektif saham, maka Bea Meterai hanya terutang atas surat kolektif sahamnya saja. Huruf e Yang dimaksud dengan “Dokumen transaksi surat berharga” antara lain bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di dalam bursa efek berupa trade confirmation atau bukti atas transaksi pengalihan surat berharga lainnya dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk Dokumen berupa akta notaris, kuitansi, atau Dokumen lainnya, yang digunakan sebagai bukti atas transaksi pengalihan surat berharga yang dilakukan di luar bursa efek. Huruf f Yang dimaksud dengan “kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang” adalah sesuai dengan pengertian sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang lelang. Huruf g Jumlah uang ataupun nilai nominal ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun nilai nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau nilai nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat Dokumen itu dibuat sehingga dapat diketahui apakah Dokumen tersebut dikenai atau tidak dikenai Bea Meterai. Huruf h Cukup jelas. Pasal 4Cukup jelas. Pasal 5Cukup jelas. Pasal 6Ayat (1) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (2) Kondisi perekonomian nasional dan pendapatan masyarakat antara lain dapat ditunjukkan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, inflasi, investasi, penerimaan negara, dan/atau daya beli masyarakat. Ayat (3) Sebagai contoh pengenaan tarif tetap yang berbeda, misalnya atas Dokumen surat berharga dapat dikenai Bea Meterai dengan tarif tetap yang berbeda dari tarif yang berlaku berdasarkan kebutuhan pelaksanaan kebijakan sektor keuangan dalam rangka inklusi keuangan atau pendalaman pasar keuangan. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia” adalah komisi yang membidangi keuangan dan perbankan. Pasal 7Huruf a Dalam rangka menunjang kegiatan lalu lintas orang dan barang, maka atas Dokumen-dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang tidak dikenai Bea Meterai. Angka 1 Cukup jelas. Angka 2 Konosemen adalah surat muatan kapal atau surat keterangan (pengantar) barang yang diangkut dengan kapal. Angka 3 Cukup jelas. Angka 4 Cukup jelas. Angka 5 Cukup jelas. Angka 6 Yang dimaksud dengan “surat lainnya” adalah surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 5. Namun, karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat dimaksud, maka surat yang demikian ini tidak dikenai Bea Meterai. Misalnya, surat titipan barang, ceel gudang, dan manifes penumpang. Huruf b Termasuk dalam pengertian ijazah adalah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti suatu pendidikan, pelatihan, kursus, penataran, dan yang sejenisnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Dokumen yang menyebutkan simpanan uang mencakup Dokumen yang berisi pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam simpanan nasabah di rekening di bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang dan/atau berisi pemberitahuan saldo atas simpanan tersebut. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Yang dimaksud dengan “Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter” antara lain Dokumen penerbitan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Sertifikat Diskonto Bank Indonesia (SDBI), repurchase agreement (Repo) dan reverse repurchase agreement surat berharga, Dokumen swap termasuk swap lindung nilai, Dokumen transaksi USD Repo, Dokumen pembelian wesel ekspor berjangka, serta Dokumen penempatan berjangka. Pasal 8Ayat (1) Huruf a Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen yang dibubuhi Tanda Tangan dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan Tanda Tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli, Bea Meterai terutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. Huruf b Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen dibuat oleh pihak yang menerbitkan Dokumen. Dokumen dalam ketentuan ini tidak melibatkan atau membutuhkan Tanda Tangan sehingga saat terutang atas jenis Dokumen dalam ketentuan ini terjadi pada saat Dokumen selesai dibuat. Penentuan selesai dibuatnya suatu Dokumen biasanya diketahui dari tanggal Dokumen, tetapi dapat juga diketahui dari tanda lainnya yang dapat menunjukkan saat Dokumen selesai dibuat. Sebagai contoh adalah trade confirmation pembelian surat berharga saham di bursa efek yang berupa Dokumen elektronik, Bea Meterai terutang pada saat trade confirmation dibuat secara sistem oleh perusahaan. Huruf c Saat terutang Bea Meterai atas Dokumen sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini adalah pada saat Dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Saat terutang untuk Dokumen dalam ketentuan ini terkait dengan manfaat atas Dokumen yang baru terjadi saat diserahkan kepada pihak untuk siapa Dokumen dibuat. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan “saat digunakan di Indonesia” adalah saat Dokumen dimaksud dimanfaatkan atau difungsikan sebagai pelengkap atau penyerta untuk suatu urusan dalam yurisdiksi Indonesia. Ayat (2) Apabila dalam pelaksanaan di lapangan terdapat kesulitan mengenai penetapan saat terutangnya Bea Meterai, maka Menteri dapat menetapkan saat lain selain yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 9Cukup jelas. Pasal 10Cukup jelas. Pasal 11Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh pengenaan sanksi administratif Bea Meterai:
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 12Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Pembayaran Bea Meterai juga dapat dilakukan dengan menggunakan surat setoran pajak dalam hal mekanisme pembayaran Bea Meterai dengan menggunakan Meterai dianggap tidak efisien atau bahkan tidak dimungkinkan. Misalnya, untuk Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di pengadilan dalam jumlah besar, yang pembayarannya melalui Pemeteraian Kemudian sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pemberian alternatif dalam pembayaran Bea Meterai ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dalam pembayaran Bea Meterai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 13Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “bersifat terbuka” (overt) adalah ciri Meterai tempel yang dapat diketahui tanpa menggunakan alat bantu. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 14Cukup jelas. Pasal 15Cukup jelas. Pasal 16Cukup jelas. Pasal 17Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pada prinsipnya, pihak yang wajib membayar Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian adalah Pihak Yang Terutang. Namun dalam pelaksanaannya, pembayaran Bea Meterai melalui Pemeteraian Kemudian dapat dilakukan oleh pemegang Dokumen baik sebagai Pihak Yang Terutang maupun bukan Pihak Yang Terutang. Pasal 18Cukup jelas. Pasal 19Cukup jelas. Pasal 20Cukup jelas. Pasal 21Ayat (1) Pasal ini dimaksudkan agar pejabat yang berwenang masing-masing dalam menjalankan tugas atau jabatannya turut meyakinkan bahwa Bea Meterai yang terutang atas Dokumen telah dibayar sebagaimana mestinya. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 22Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “tanah dan/atau bangunan yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang semata-mata bersifat keagamaan dan/atau sosial yang tidak bersifat komersial” adalah seluruh atau sebagian dari tanah dan/atau bangunan yang hanya digunakan untuk melaksanakan kegiatan ibadah (peribadatan) keagamaan atau kegiatan sosial seperti panti asuhan atau panti jompo yang tidak bersifat komersial atau tidak mencari keuntungan. Huruf c Yang dimaksud dengan “kebijakan lembaga yang berwenang di bidang jasa keuangan” antara lain dalam rangka:
Huruf d Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional” adalah perjanjian internasional antara Indonesia dengan 1 (satu) atau lebih negara, atau dengan lembaga/organisasi internasional, yang tunduk pada hukum internasional. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 23Ditinjau dari segi kepastian hukum, kedaluwarsa 5 (lima) tahun yang dihitung sejak saat terutang Bea Meterai, berlaku untuk semua Dokumen. Pasal 24Cukup jelas. Pasal 25Cukup jelas. Pasal 26Cukup jelas. Pasal 27Cukup jelas. Pasal 28Cukup jelas. Pasal 29Yang dimaksud dengan “peraturan pelaksanaannya” adalah peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang mengatur mengenai bentuk, ukuran, dan warna Meterai tempel yang terakhir berlaku. Pasal 30Cukup jelas. Pasal 31Cukup jelas. Pasal 32Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6571