TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
(1) | Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(2) | Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(3) | Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. |
Pasal 3
(1) | Bentuk kerja sama operasi merupakan bagian dari bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam pengertian Badan dalam Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(2) | Bentuk kerja sama operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak atas nama bentuk kerja sama operasi. |
Pasal 4
(1) | Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal:
|
(3) | Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB III
BARANG KENA PAJAK DAN JASA KENA PAJAK
Pasal 5
(1) | Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemakaian sendiri untuk:
|
(3) | Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, kecuali pemakaian sendiri yang digunakan untuk melakukan penyerahan yang:
|
(4) | Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam rangka pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 6
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha yang dimanfaatkan di dalam atau di luar Daerah Pabean.
Pasal 7
(1) | Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. |
(2) | Ketentuan mengenai kriteria dan/atau rincian barang dan jasa yang termasuk dalam jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 8
(1) | Penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan dengan penerbitan Faktur Pajak oleh pemilik barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal pemilik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menerbitkan Faktur Pajak, pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang dilakukan sendiri oleh pemenang lelang melalui Surat Setoran Pajak. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak melalui juru lelang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 9
(1) | Dasar Pengenaan Pajak meliputi jumlah:
|
(2) | Dalam hal:
|
(3) | Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, adalah tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut. |
(4) | Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain:
|
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 10
(1) | Kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling sedikit memuat:
|
(2) | Dalam hal nilai kontrak atau perjanjian tertulis sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dalam kontrak atau perjanjian tertulis wajib disebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(3) | Dalam hal kontrak atau perjanjian tertulis tidak menyebutkan nilai kontrak atau perjanjian tertulis tersebut termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, nilai kontrak yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak. |
Pasal 11
(1) | Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 (sepuluh per seratus sepuluh) dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. | ||||||||||||
(2) | Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, penghitungan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menggunakan rumus sebagai berikut:
|
||||||||||||
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan sebagian atau seluruh kewajiban pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, Penggantian, atau nilai lain sesuai hasil pemeriksaan. | ||||||||||||
(4) | Besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan. | ||||||||||||
(5) | Dalam hal Pengusaha yang wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya, besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). |
Pasal 12
(1) | Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah:
|
(2) | Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak atau keadaan kahar, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut. |
Pasal 13
(1) | Dalam hal:
|
(2) | Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 14
Dalam hal transaksi atas:
dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, penghitungan besarnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang, harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang ditetapkan Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.
BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 15
(1) | Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak harus dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. |
(2) | Dalam hal impor Barang Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau berdasarkan permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 16
(1) | Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal dapat dikreditkan. |
(2) | Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut. |
(3) | Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berlaku untuk seluruh kegiatan usaha. |
BAB VII
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
Pasal 17
(1) | Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terjadi pada saat:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada saat pembayaran. | ||||||||||
(3) | Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
|
||||||||||
(4) | Impor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. | ||||||||||
(5) | Penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi pada saat:
|
||||||||||
(6) | Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e terjadi pada saat:
|
||||||||||
(7) | Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terjadi pada tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian, dalam hal saat terjadinya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diketahui. | ||||||||||
(8) | Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean. | ||||||||||
(9) | Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g terjadi pada saat Penggantian atas Barang Kena Pajak Tidak Berwujud yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan. | ||||||||||
(10) | Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h terjadi pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan. |
Pasal 18
(1) | Pengusaha Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah pada lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha, dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memilih satu tempat atau lebih sebagai tempat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyelenggarakan administrasi penjualan secara terpusat pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha. |
BAB VIII
FAKTUR PAJAK
Pasal 19
(1) | Faktur Pajak wajib diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pada saat penyerahan atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 17 ayat (3), ayat (5), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10). |
(2) | Ketentuan mengenai kewajiban penerbitan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5ayat (3). |
(3) | Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat tidak diperlakukan sebagai Faktur Pajak. |
(4) | Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak. |
(5) | Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. |
Pasal 20
(1) | Pedagang eceran yang membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual, tidak diterbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
|
(3) | Termasuk dalam pengertian Pedagang eceran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan cara sebagai berikut:
|
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
Ketentuan mengenai penerbitan Faktur Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 berlaku sejak tanggal 1 April 2010.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
(1) | Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
(2) | Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
Pasal 23
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Januari 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2012
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR
DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN
KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS
BARANG MEWAH
I. |
UMUM Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdapat perubahan materi sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana diatur dalarn Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan penegasan dan penjelasan lebih lanjut serta untuk mengatur hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, antara lain mengenai tanggung jawab renteng pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, pemakaian sendiri, saat penerbitan Faktur Pajak, rincian barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, pengertian barang modal yang terkait dengan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi, dan pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Sesuai dengan ketentuan Pasal 16F Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng terhadap pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, pengaturan tanggung jawab secara renteng belum diatur secara jelas sehingga perlu diatur norma umum dan persyaratan mengenai tanggung jawab renteng dalam Peraturan Pemerintah ini. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi bagi Pengusaha Kena Pajak, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa atas pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif yang terutang Pajak Pertambahan Nilai tidak perlu dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan penerbitan Faktur Pajak. Sebaliknya, untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan konsumtif, Pengusaha Kena Pajak wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Jenis barang dan jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 4A Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai masih bersifat umum, sehingga perlu diatur lebih lanjut mengenai kriteria dan/atau rincian jenis barang dan jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. Hal ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum dalam menentukan jenis barang dan jasa yang bukan merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal. Dalam rangka memberikan kepastian hukum dan memperhatikan aspek keadilan, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa barang modal mencakup seluruh harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan berlaku untuk semua jenis kegiatan usaha. Saat terutangnya pajak merupakan hal yang penting untuk menentukan waktu bagi Pengusaha Kena Pajak untuk menerbitkan Faktur Pajak. Saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sangat bervariasi sehingga perlu penjelasan dan penegasan untuk menghindari terjadinya multitafsir dan ketidakpastian hukum. Penegasan dimaksud dibuat selaras dengan praktik bisnis yang lazim dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum. Untuk memberikan keseimbangan dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak penjual dan Pengusaha Kena Pajak pembeli, sudah selayaknya Pengusaha Kena Pajak pembeli tidak diperkenankan untuk mengkreditkan Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya diterbitkan setelah melebihi jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat terutangnya pajak. Ketentuan ini dimaksudkan agar Pengusaha Kena Pajak pembeli ikut mengawasi Pengusaha Kena Pajak penjual untuk menerbitkan Faktur Pajak secara tepat waktu. Pengusaha Kena Pajak yang bukan pedagang eceran tetapi melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak secara eceran akan mengalami kesulitan dalam menerbitkan Faktur Pajak apabila diperlakukan sama dengan Pengusaha Kena Pajak pada umumnya yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tidak secara eceran. Untuk itu, perlu diberikan penegasan dan penjelasan bahwa Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan dengan karakteristik secara eceran termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran. Termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan jasa secara eceran. Substansi pengaturan atas pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut untuk impor Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari bea masuk sudah tidak diatur lagi dalam Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya fasilitas tersebut akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur khusus tentang fasilitas Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Namun demikian, dalam rangka memberikan kepastian hukum, pemberian fasilitas tersebut yang selama ini diatur dalam peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 masih tetap berlaku sampai dengan Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang pemberian fasilitas dimaksud diterbitkan. Untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak dalam menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai maka ketentuan penerbitan Faktur Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah ini berlaku sejak tanggal 1 April 2010, yaitu sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak mempunyai akibat hukum yang luas antara lain berkaitan dengan pembuatan Faktur Pajak, penerapan tarif 0% (nol persen), pengkreditan Pajak Masukan, dan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terlaksana secara efektif dan lancar, sudah sewajarnya apabila pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Contoh bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang wajib untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak:
PT X dan PT Y membuat perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek). Untuk melaksanakan proyek tersebut, PT X dan PT Y membentuk joint operation. Namun demikian, dalam pelaksanaannya semua transaksi dan dokumentasi terkait dengan perjanjian kerja sama dengan pelanggan (pemilik proyek) tersebut secara nyata hanya dilakukan atas nama PT X. Karena joint operation secara nyata tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak lain, maka dalam hal ini joint operation tidak wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Ayat (1) Tanggung renteng melekat pada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak" adalah pemakaian Barang Kena Pajak untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak untuk tujuan produktif" adalah pemakaian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya atau untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pengusaha yang bersangkutan, yang meliputi kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
Ayat (3) Transaksi pemakaian sendiri untuk tujuan produktif terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Dalam rangka memberikan kemudahan administrasi kepada Pengusaha Kena Pajak, pemakaian sendiri untuk tujuan produktif tidak dilakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudahan administrasi tersebut diberikan karena Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Namun demikian, atas pemakaian sendiri untuk tujuan produktif sebagaimana dimaksud pada contoh huruf b tetap dipungut Pajak Pertambahan Nilai, karena digunakan untuk penyerahan jasa angkutan umum yang merupakan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dipakai sendiri tidak termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dibebaskan, Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Sesuai dengan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan bahwa penyerahan jasa yang terutang pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Contoh 1: A Corp. yang berdomisili di Jepang mengirimkan lagu kepada PT B di Indonesia untuk dibuatkan penulisan not balok atas lagu tersebut. Penulisan not balok yang telah selesai dikirim kembali ke Jepang. Atas jasa penulisan not balok yang dilakukan oleh PT B tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Contoh 2: Z Corp. yang berdomisili di Korea Selatan berencana memasarkan produknya di Indonesia. Oleh karena itu, Z Corp. menyewa PT DEF di Indonesia untuk melakukan survei pasar di Indonesia. Jasa survei yang dilakukan oleh PT DEF tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. Cukup jelas. Pasal 8Cukup jelas. Pasal 9Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dihasilkannya.
Ayat (3) Contoh 1:
PT C mengimpor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp200.000.000,00. Atas impor tersebut dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebesar 30%. Dasar Pengenaan Pajak atas impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut adalah sebesar Rp200.000.000,00, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (sebesar 10%) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (sebesar 30%) yang dikenakan atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian jumlah yang dibayar oleh PT C adalah sebagai berikut:
Ayat (4)
Kelanjutan dari contoh 2 sebagaimana dimaksud pada Penjelasan ayat (3), PT C menjual Barang Kena Pajak tersebut kepada PT D dengan keuntungan yang diharapkan sebesar Rp40.000.000,00. Dasar Pengenaan Pajak atas penjualan tersebut termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dibayar atas impor Barang Kena Pajak tersebut. Dengan demikian, jumlah yang dibayar oleh PT D adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh:
Ayat (3) Sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp130.000.000,00. Sehingga penghitungan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "t" adalah besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Ayat (3) Berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui:
Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan "piutang" adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "keadaan kahar" atau force majeure adalah suatu kejadian yang terjadi di luar kemampuan manusia dan tidak dapat dihindarkan sehingga suatu kegiatan tidak dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Termasuk dalam pengertian pembeli barang dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam hal transaksi penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Huruf cTermasuk dalam pengertian penerima jasa dalam ketentuan ini adalah Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dalam hal transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. Huruf dCukup jelas. Huruf eCukup jelas. Cukup jelas. Pasal 15Ayat (1) Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan. Ayat (2) Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di lebih dari satu tempat kegiatan usaha dapat memilih salah satu tempat sebagai tempat pengkreditan atas impor Barang Kena Pajak dengan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Ketentuan mengenai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun untuk barang modal mengacu pada ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pajak Penghasilan yang pembebanannya sebagai biaya dalam penghitungan Pajak Penghasilan harus melalui penyusutan. Pajak Masukan atas impor dan/atau perolehan barang modal tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Ayat (3) Ketentuan mengenai pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan dan/atau impor barang modal bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum berproduksi berlaku untuk seluruh kegiatan usaha yang meliputi kegiatan industri atau manufaktur, kegiatan usaha perdagangan, kegiatan usaha jasa, dan kegiatan usaha lainnya. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Huruf a Saat penyerahan barang bergerak merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak.
Dalam kegiatan usaha, saat pengakuan piutang atau penghasilan atau saat penerbitan faktur penjualan dapat terjadi tidak bersamaan dengan saat penyerahan barang secara fisik sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kemudahan administrasi terkait dengan saat penerbitan Faktur Pajak, saat penerbitan faktur penjualan ditetapkan sebagai saat penyerahan barang yang menjadi dasar saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Termasuk dalam pengertian faktur penjualan adalah dokumen lain yang berfungsi sama dengan faktur penjualan. Huruf b Penyerahan Barang Kena Pajak untuk Barang Kena Pajak tidak bergerak terjadi pada saat surat atau akta perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan. Saat tersebut menjadi dasar penentuan saat terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "persediaan" adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi. Huruf e Yang dimaksud dengan "penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemecahan usaha, dan peleburan usaha" adalah penggabungan usaha, pengambilalihan usaha, pemisahan usaha, dan peleburan usaha sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Penyerahan Jasa Kena Pajak terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. Saat penyerahan Jasa Kena Pajak ini merupakan dasar penentuan saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai dan sekaligus sebagai dasar pembuatan Faktur Pajak. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7)Cukup jelas. Ayat (8)Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 19Ayat (1) Secara prinsip Faktur Pajak harus dibuat pada saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenakan sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, perlu adanya pembatasan jangka waktu penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian, saat pembuatan Faktur Pajak ditentukan sesuai dengan prinsip bisnis yang sehat dan harus memenuhi prinsip akuntansi yang berlaku umum serta diterapkan secara konsisten. Contoh saat pembuatan Faktur Pajak:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pada dasarnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, namun demikian karena suatu hal dapat terjadi keterlambatan penerbitan Faktur Pajak. Atas keterlambatan penerbitan Faktur Pajak dikenai sanksi sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf d juncto Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tanpa adanya ketentuan mengenai batas waktu keterlambatan. Untuk menjamin kepastian terlaksananya pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, perlu adanya pembatasan jangka waktu penerbitan Faktur Pajak. Di samping itu, ketentuan ini dimaksudkan juga untuk menyelaraskan pengakuan penghasilan di dalam menghitung peredaran usaha yang digunakan di dalam menghitung Pajak Penghasilan dengan peredaran usaha yang digunakan untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (4) Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dengan demikian, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melebihi batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah. Ayat (5) Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli Barang Kena Pajak dan/atau penerima Jasa Kena Pajak dengan menegaskan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan lebih dari 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan bukti pungutan pajak yang sah, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak tidak dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan. Pasal 20Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, yang pada umumnya dilakukan kepada/untuk konsumen akhir, pada dasarnya merupakan kegiatan penyerahan secara eceran. Oleh karena itu, Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak secara eceran kepada konsumen akhir yang dibuat tanpa mencantumkan identitas pembeli serta nama dan tanda tangan Pengusaha Kena Pajak penjual tidak akan dikenakan sanksi atau diterbitkan Surat Tagihan Pajak, karena termasuk dalam pengertian Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf e angka 2 Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Ayat (3) Contoh tempat penyerahan jasa secara langsung kepada konsumen akhir yaitu gerai dan kios. Pasal 21Cukup jelas. Pasal 22Cukup jelas. Pasal 23Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5271