Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    DIGANTI

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 237/PMK.010/2020

TENTANG

PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI
PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :    


  1. bahwa untuk meningkatkan penanaman modal dan mempercepat pelaksanaan berusaha di Kawasan Ekonomi Khusus yang dapat menunjang pengembangan ekonomi nasional dan pengembangan ekonomi di wilayah tertentu untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja, telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a serta memberikan perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai di Kawasan Ekonomi Khusus, perlu menyusun Peraturan Menteri Keuangan mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ketentuan Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, dan ketentuan Pasal 5 ayat (6), Pasal 18, Pasal 19 ayat (2), Pasal 20 ayat (5), Pasal 22 ayat (4), Pasal 23 ayat (2), Pasal 25 ayat (7), Pasal 26 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), dan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;

Mengingat :


  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
  5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  7. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  8. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2010 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5183);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Indonesia Tahun 2020 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6472);
  11. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga National Single Window (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1825);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);

 


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
  2. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi   perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  3. Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK.
  4. Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK.
  5. Administrator KEK adalah bagian dari Dewan Kawasan yang dibentuk untuk setiap KEK guna membantu Dewan Kawasan dalam penyelenggaraan KEK.
  6. Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yang berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha KEK.
  7. Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha orang perseorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK.
  8. Pembangunan adalah pendirian kawasan, perusahaan, atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
  9. Pengembangan adalah pengembangan kawasan, perusahaan, atau pabrik yang telah ada, meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi barang dan/atau jasa.
  10. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
  11. Kegiatan Utama adalah bidang usaha beserta rantai produksinya yang menjadi fokus kegiatan KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional.
  12. Kegiatan Lainnya adalah bidang usaha di luar Kegiatan Utama di KEK.
  13. Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran penanaman modal, atau Izin Usaha bagi Badan Usaha dan Perizinan Berusaha bagi Pelaku Usaha pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan atau fasilitas Pajak Penghasilan.
  14. Penanaman Modal adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada.
  15. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.    
  16. Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun  yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun dan/atau dirakit lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
  17. Aktiva Tak Berwujud adalah aktiva tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
  18. Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
  19. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau cukai.
  20. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
  21. Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau komitmen.
  22. Izin Usaha adalah pendaftaran yang diberikan kepada Badan Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan dan/atau komitmen.
  23. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disebut OSS adalah Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik.
  24. Barang Modal adalah harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, termasuk pengeluaran berkaitan dengan perolehan barang modal yang dikapitalisasi ke dalam harga perolehan barang modal tersebut.
  25. Bahan Baku Usaha Habis Pakai adalah barang yang waktu penggunaannya relatif singkat serta akan hilang keberadaan dan/atau fungsinya jika sudah dipergunakan, yang digunakan dalam proses produksi yang menghasilkan barang dan/atau jasa.
  26. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal.
  27. Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
  28. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
  29. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
  30. Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PPKEK adalah pemberitahuan pabean untuk kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
  31. Pemberitahuan Jasa Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat PJKEK adalah pemberitahuan yang digunakan dalam pemanfaatan jasa ke dan dari KEK.
  32. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  33. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
  34. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.


BAB II
FASILITAS DAN KEMUDAHAN PERPAJAKAN,
KEPABEANAN, DAN/ATAU CUKAI

Bagian Kesatu
Jenis Fasilitas dan Syarat Umum Penerima Fasilitas

Pasal 2

(1) Terhadap Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK diberikan fasilitas berupa:
  1. Pajak Penghasilan;
  2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  3. bea masuk dan PDRI; dam/atau
  4. cukai.
(2) Bidang usaha yang memperoleh fasilitas di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama KEK; dan
  2. bidang usaha yang merupakan Kegiatan Lainnya di luar Kegiatan Utama KEK.
(3) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha KEK;
  2. memiliki penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun dan/atau mengelola KEK dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya, atau Dewan Kawasan KPBPB, atau dari Administrator KEK berdasarkan pelimpahan kewenangan;
  3. mempunyai batas yang jelas sesuai dengan tahapan pembangunan KEK; dan
  4. memiliki Izin Usaha.
(4) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus memenuhi syarat umum sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri, baik pusat maupun cabang, yang melakukan kegiatan usaha di KEK; dan
  2. memiliki Perizinan Berusaha.


Pasal 3

(1) Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK dalam kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang wajib melalui SINSW yang terhubung dengan sistem DJBC.
(2) Untuk mendapatkan fasilitas penangguhan bea masuk, Badan Usaha atau Pelaku Usaha wajib mendayagunakan sistem persediaan berbasis teknologi informasi (IT Inventory).
(3) SINSW di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan prinsip-prinsip:
  1. dokumen tunggal (single document);
  2. melalui sistem elektronik;
  3. integrasi dengan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT inventory);
  4. standardisasi dan pertukaran data; dan
  5. integrasi dengan sistem perpajakan.
(4) Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK yang telah menyelesaikan masa Pembangunan atau Pengembangan, harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada Saat Mulai  Berproduksi Komersial.


Bagian Kedua
Pajak Penghasilan

Paragraf 1
Jenis-jenis Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 4

(1) Fasilitas Pajak Penghasilan di KEK meliputi:
  1. fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; atau
  2. fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.
(2) Badan Usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha di KEK, dapat diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(3) Pelaku Usaha di KEK yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Utama dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b.
(4) Pelaku Usaha di KEK yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Lainnya dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(5) Terhadap Penanaman Modal pada Kegiatan Utama yang dilakukan oleh Pelaku Usaha di KEK dan telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(6) Terhadap Penanaman Modal pada Kegiatan Utama yang dilakukan oleh Pelaku Usaha dan telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tidak dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.


Paragraf 2
Bentuk Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan

Pasal 5

(1) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.
(2) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a diberikan untuk nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah).


Pasal 6

(1) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan kepada Badan Usaha:
  1. atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari pengalihan tanah dan/atau bangunan di KEK;
  2. atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK; dan
  3. atas penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari Kegiatan Usaha Utama di KEK selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,
selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun pajak.
(2) Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan Penanaman Modal pada Kegiatan Utama di KEK dengan jangka waktu sebagai berikut:
  1. 10 (sepuluh) tahun pajak untuk Penanaman Modal dengan nilai rencana Penanaman Modal paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) sampai dengan kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah);
  2. 15 (lima belas) tahun pajak untuk Penanaman Modal dengan nilai rencana Penanaman Modal paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar Rupiah) sampai dengan kurang dari Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah); atau
  3. 20 (dua puluh) tahun pajak untuk Penanaman Modal dengan nilai rencana Penanaman Modal paling sedikit Rp 1.000.000.000.000,00 (satu triliun Rupiah).
(3) Setelah jangka waktu pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berakhir, Badan Usaha atau Pelaku Usaha diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan badan terutang selama 2 (dua) tahun pajak berikutnya.
(4) Terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan Usaha dari Kegiatan Usaha Utama berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan selama jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
  2. diterbitkan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; atau
  3. tidak diterbitkan surat keterangan bebas pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c.
(5) Terhadap penghasilan yang diterima atau diperoleh Pelaku Usaha dari Kegiatan Usaha Utama berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan selama jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
  2. tidak diterbitkan surat keterangan bebas pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan.
(6) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dari luar Kegiatan Usaha Utama, tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(7) Tata cara penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di bidang Pajak Penghasilan.


Paragraf 3
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal
di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu

Pasal 7

Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, meliputi:

a. pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah nilai Penanaman Modal berupa aktiva tetap berwujud, termasuk tanah, yang digunakan untuk Kegiatan Usaha Utama, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) pertahun;
b. penyusutan yang dipercepat atas Aktiva Tetap Berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas Aktiva Tak Berwujud yang diperoleh dalam rangka Penanaman Modal, dengan masa manfaat dan tarif penyusutan serta tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
1. untuk penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud:
a) bukan bangunan Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus;
b) bukan bangunan Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen);
c) bukan bangunan Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen);
d) bukan bangunan Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif penyusutan berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen);
e) bangunan permanen, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen); dan
f) bangunan tidak permanen, masa manfaat menjadi 5 (lima) tahun dengan tarif penyusutan berdasarkan metode garis lurus sebesar 20% (dua puluh persen);
2. untuk amortisasi yang dipercepat atas Aktiva Tak Berwujud:
a) Kelompok I, masa manfaat menjadi 2 (dua) tahun dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 50% (lima puluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 100% (seratus persen) yang dibebankan sekaligus;
b) Kelompok II, masa manfaat menjadi 4 (empat) tahun dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 50% (lima puluh persen);
c) Kelompok III, masa manfaat menjadi 8 (delapan) tahun dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 12,5% (dua belas koma lima persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 25% (dua puluh lima persen); dan
d) Kelompok IV, masa manfaat menjadi 10 (sepuluh) tahun dengan tarif amortisasi berdasarkan metode garis lurus sebesar 10% (sepuluh persen) atau tarif amortisasi berdasarkan metode saldo menurun sebesar 20% (dua puluh persen);
c. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku; dan
d. kompensasi kerugian selama 10 (sepuluh) tabun.

    


Paragraf 4
Kriteria untuk Memperoleh Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 8

(1) Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Badan Usaha harus memenuhi kriteria:
a. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);
b. berstatus sebagai badan hukum Indonesia;
c. memiliki Penanaman Modal yang belum pemah diterbitkan:
  1. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
  2. keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
  3. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus; atau
  4. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu; dan
d. memiliki komitmen untuk merealisasikan penanaman modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(2) Untuk dapat memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);
  2. berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan
  3. memiliki Penanaman Modal yang belum pernah diterbitkan:
    1. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
    2. keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    3. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
    4. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
    5. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan
    6. pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha melakukan Penanaman Modal pada KEK yang berlokasi di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha juga harus memenuhi komitmen untuk merealisasikan rencana Penanaman Modal dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan.
(4) Untuk dapat memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang menjalankan bidang usaha pada:
    1. Kegiatan Utama di KEK dengannilai Penanaman Modal paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) dan memilih untuk diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b;
    2. Kegiatan Utama di KEK dengan nilai Penanaman Modal kurang dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah); atau
    3. Kegiatan Lainnya di KEK;
  2. berstatus sebagai badan hukum Indonesia; dan
  3. Penanaman Modal yang diajukan untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan belum pernah diterbitkan:
    1. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1);
    2. keputusan mengenai pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
    3. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai perlakuan perpajakan, kepabeanan, dan cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus;
    4. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai fasilitas Pajak Penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
    5. keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan bagi perusahaan industri di kawasan industri dan perusahaan kawasan industri; dan
    6. pemberitahuan mengenai pemberian fasilitas perpajakan untuk penanaman modal yang diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pemberian fasilitas pengurangan penghasilan netto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
(5) Dalam hal Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri, selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (4), Badan Usaha atau Pelaku Usaha harus melampirkan surat keterangan fiskal seluruh pemegang saham yang tercatat dalam akta pendirian atau akta perubahan terakhir.
(6) Dalam hal terjadi perubahan pemegang saham, surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dimiliki oleh pemegang saham yang tercatat dalam akta perubahan terakhir.
(7) Surat keterangan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Paragraf 5
Prosedur Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 9

(1) Penentuan kesesuaian dalam pemenuhan kriteria untuk:
  1. Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
  2. Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4),
dilakukan secara daring melalui sistem OSS.
(2) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Badan Usaha:
  1. bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); atau
  2. bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, jika Badan Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).
(3) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan pemberitahuan kepada Pelaku Usaha:
  1. bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4);
  2. bahwa Penanaman Modal memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, jika Pelaku Usaha memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) tetapi tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2); atau
  3. bahwa Penanaman Modal tidak memenuhi kriteria untuk memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan huruf b, jika Pelaku Usaha tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (4).
(4) Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a, atau ayat (3) huruf b, dapat melanjutkan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan badan secara daring melalui sistem OSS.
(5) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
  1. salinan digital rincian aktiva tetap dalam rencana nilai Penanaman Modal;
  2. salinan digital atau dokumen elektronik surat keterangan fiskal para pemegang saham Badan Usaha atau Pelaku Usaha; dan
  3. salinan digital penetapan sebagai Badan Usaha untuk membangun dan/atau mengelola KEK dari kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan kewenangannya, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, atau dari Administrator KEK berdasarkan pelimpahan kewenangan bagi Badan Usaha.
(6) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang telah diterima secara lengkap, disampaikan oleh sistem OSS kepada Menteri sebagai usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dan sistem OSS mengirimkan pemberitahuan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha bahwa permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sedang dalam proses.
(7) Pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(8) Permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan:
  1. bersamaan dengan pendaftaran untuk mendapatkan nomor induk berusaha bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha baru; atau
  2. paling lambat 1 (satu) tahun setelah Izin Usaha atau Perizinan Berusaha di KEK diterbitkan oleh Lembaga OSS.


Pasal 10

(1) Dalam hal sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) tidak tersedia, penentuan kesesuaian pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) dapat dilakukan secara luring.
(2) Pengajuan permohonan secara luring disampaikan kepada Menteri melalui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dengan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).
(3) Tata cara penentuan pemenuhan kriteria dan pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.


Paragraf 6
Prosedur Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 11

 

(1) Pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK diputuskan oleh Menteri.
(2) Penetapan keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) atau pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan secara luring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
(3) Keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk dan atas nama Menteri.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) atau Pasal 10 diterima secara lengkap dan benar.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
  1. nomor dan tanggal keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK;
  2. identitas Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang meliputi:
    1. nama Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
    2. Nomor Pokok Wajib Pajak Badan Usaha atau Pelaku Usaha; dan
    3. alamat Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  3. persentase besaran dan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di KEK;
  4. ketentuan mengenai pembebasan dari pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan;
  5. rincian Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang meliputi:
    1. nomor induk berusaha dan tanggal diterbitkannya nomor induk berusaha;
    2. tanggal izin prinsip, izin Penanaman Modal, pendaftaran Penanaman Modal, Izin Usaha, atau Perizinan Berusaha;
    3. lokasi usaha;
    4. rencana nilai Penanaman Modal dan rincian;
    5. bidang usaha;
    6. Kegiatan Usaha Utama;
    7. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI);
    8. jenis produksi; dan
    9. cakupan produk;
  6. saat mulai berlakunya dan berakhirnya fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di KEK;
  7. ketentuan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  8. kondisi tertentu lainnya yang harus dipenuhi antara lain pemenuhan pembukuan terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dengan Penanaman Modal yang telah mendapatkan fasilitas atau yang tidak mendapatkan fasilitas; dan
  9. ketentuan pencabutan, pengenaan sanksi administratif, dan/atau penyesuaian fasilitas.
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
  1. nomor dan tanggal keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan;
  2. identitas Pelaku Usaha meliputi:
    1. nama Pelaku Usaha;
    2. Nomor Pokok Wajib Pajak Pelaku Usaha; dan
    3. alamat Pelaku Usaha;
  3. rincian fasilitas Pajak Penghasilan yang diberikan;
  4. rincian Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan meliputi:
    1. nomor induk berusaha dan tanggal diterbitkannya nomor induk berusaha;
    2. tanggal izin prinsip, izin Penanaman Modal, pendaftaran Penanaman Modal, atau Perizinan Berusaha;
    3. lokasi usaha atau proyek yang diajukan fasilitas;
    4. perincian rencana nilai Penanaman Modal;
    5. bidang usaha;
    6. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI); dan
    7. cakupan produk;
  5. saat mulai berlaku dan berakhirnya fasilitas Pajak Penghasilan;
  6. ketentuan larangan:
    1. Aktiva Tetap Berwujud yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva berwujud lainnya; dan
    2. Aktiva Tak Berwujud yang memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud lainnya;
  7. ketentuan kewajiban:
    1. kewajiban pelaporan realisasi Penanaman Modal dan realisasi produksi; dan
    2. kewajiban memberitahukan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum melakukan penggantian Aktiva Tetap Berwujud yang memperoleh fasilitas; dan
  8. ketentuan pencabutan fasilitas Pajak Penghasilan yang telah diberikan dan pengenaan sanksi administratif.
(7) Pelaksanaan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK yang dilaksanakan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan per triwulan.
(8) Pemberian keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal.


Paragraf 7
Pemanfaatan Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 12

(1) Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a mulai berlaku sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(2) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mulai berlaku:
  1. sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial untuk fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a;
  2. sejak bulan diterbitkannya keputusan mengenai persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b;
  3. sejak bulan diterbitkannya keputusan mengenai persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c dan berakhir pada saat Pelaku Usaha tidak lagi memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4); atau
  4. sejak tahun pajak diterbitkannya keputusan mengenai persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d sampai dengan tahun pajak berakhirnya masa pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
(3) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. kelompok Aktiva Tetap Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 1 dan kelompok Aktiva Tak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 2, sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan;
  2. dasar penyusutan dan amortisasi dipercepat yakni:
    1. harga perolehan Aktiva Tetap Berwujud bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan garis lurus; atau
    2. nilai sisa buku Aktiva Tetap Berwujud bagi Wajib Pajak yang menggunakan metode penyusutan saldo menurun;
  3. tarif penyusutan yang dipercepat atas Aktiva Tetap Berwujud adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 1 dan tarif amortisasi yang dipercepat atas Aktiva Tak Berwujud yakni sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 2;
  4. masa manfaat dipercepat aktiva adalah setengah dari sisa masa manfaat aktiva sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dengan ketentuan bagian bulan dihitung sebagai 1 (satu) bulan penuh; dan
  5. penghitungan penyusutan atas Aktiva Tetap Berwujud dan amortisasi atas Aktiva Tak Berwujud untuk bulan sebelum berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dilakukan sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(4) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dalam hal Pelaku Usaha selain menghasilkan produk yang diberikan fasilitas juga menghasilkan produk yang tidak diberikan fasilitas, besaran dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c yakni sebesar persentase total nilai penjualan produk yang mendapat fasilitas terhadap total nilai penjualan seluruh produk pada tahun pajak sebelum dividen dibagikan; dan
  2. kepada Pelaku Usaha yang melakukan perluasan usaha, besarnya dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf c sebanding dengan persentase nilai realisasi aktiva perluasan usaha terhadap total nilai buku fiskal aktiva yang diperoleh sebelum perluasan usaha yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan ditambah dengan nilai realisasi aktiva perluasan usaha pada waktu selesainya perluasan usaha.
(5) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d, diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dalam hal Pelaku Usaha melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, penghitungan besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d sesuai dengan penghitungan berdasarkan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas.
  2. dalam hal Pelaku Usaha tidak melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas dan yang tidak mendapatkan fasilitas, besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf d dihitung dengan formula yang tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 13

(1) Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Menteri berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
(2) Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha disampaikan setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(3) Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
  1. realisasi Penanaman Modal di KEK;
  2. surat keterangan fiskal Badan Usaha; dan
  3. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan transaksi penjualan atau persewaan pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan.
(4) Permohonan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS dengan mengunggah dokumen yang meliputi:
  1. realisasi aktiva tetap beserta gambar tata letak;
  2. surat keterangan fiskal Pelaku Usaha; dan
  3. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan:
    1. transaksi penjualan ke pasaran pertama kali antara lain berupa faktur pajak atau bukti tagihan; atau
    2. pertama kali hasil produksi digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut antara lain berupa laporan pemakaian sendiri.
(5) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak surat pemberitahuan pemeriksaan disampaikan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, atau pegawai dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
(6) Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
  1. penentuan mengenai Saat Mulai Berproduksi Komersial dan pengujian atas pemenuhan ketentuan mengenai saat pengajuan permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8);
  2. pengujian:
    1. kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
    2. realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d;
    3. kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk pengurangan fasilitas Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha;
    4. kesesuaian kriteria sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; dan/atau
    5. realisasi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
  3. pengujian kesesuaian antara rencana realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama; dan
  4. penghitungan:
    1. nilai Penanaman Modal, termasuk nilai tanah/dan atau bangunan yang diperoleh dan diperuntukkan untuk dijual kembali, sebagaimana dimaksud. dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Badan Usaha;
    2. nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a bagi Pelaku Usaha; atau
    3. nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.
(7) Jumlah nilai Penanaman Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 2 menjadi dasar penentuan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(8) Jumlah nilai aktiva tetap berwujud yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d angka 3 menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
(9) Dalam rangka pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
  1. mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pemeriksaan; dan
  2. dapat meminta keterangan dan/atau melibatkan tenaga ahli, kementerian pembina sektor dan/atau Badan Koordinasi Penanaman Modal.


Paragraf 8
Keputusan Pemanfaatan Fasilitas Pengurangan
Pajak Penghasilan Badan

Pasal 14

Hasil Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) terdiri atas temuan:

  1. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal di KEK pada Saat Mulai Berproduksi Komersial paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) bagi Badan Usaha;
  2. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal di KEK pada Saat Mulai Berproduksi Komersial kurang dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) bagi Badan Usaha;
  3. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal pada Saat Mulai Berproduksi Komersial dalam batas minimal nilai rencana Penanaman Modal yang menjadi dasar pemberian jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a;
  4. jumlah nilai realisasi penanaman modal baru pada Saat Mulai Berproduksi Komersial bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a:
    1. kurang dari batas minimal nilai rencana Penanaman Modal baru yang menjadi dasar pemberian jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); dan
    2. lebih dari atau sama dengan Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah);
  5. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal pada Saat Mulai Berproduksi Komersial kurang dari Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a;
  6. kesesuaian antara realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama;
  7. ketidaksesuaian antara realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama;
  8. Pelaku Usaha memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
  9. Pelaku Usaha tidak memenuhi komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
  10. Pelaku Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4);
  11. Pelaku Usaha tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4);
  12. Badan Usaha atau Pelaku Usaha belum mulai berproduksi komersial;
  13. Badan Usaha atau Pelaku Usaha telah berproduksi komersial pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b; dan/atau
  14. Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, atau kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang dilakukan pemeriksaan menyatakan menolak untuk dilakukan  pemeriksaan.


Pasal 15

(1) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dan huruf f terpenuhi bagi Badan Usaha, atau Pasal 14 huruf c, huruf f, dan huruf h terpenuhi bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Menteri menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang memuat:
  1. tanggal Saat Mulai Berproduksi Komersial;
  2. kesesuaian antara realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama; dan
  3. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal di KEK pada Saat Mulai Berproduksi Komersial bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dan huruf f terpenuhi bagi Badan Usaha, Menteri menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang memuat:
  1. tanggal Saat Mulai Berproduksi Komersial;
  2. kesesuaian antara realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama;
  3. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal di KEK pada Saat Mulai Berproduksi Komersial bagi Badan Usaha; dan
  4. ketentuan kewajiban merealisasikan Penanaman Modal paling sedikit Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(3) Badan Usaha yang memperoleh keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(4) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, huruf f, dan huruf h terpenuhi bagi Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, Menteri menetapkan keputusan penyesuaian jangka waktu dan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Pelaku Usaha yang memuat:
  1. penyesuaian jangka waktu pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
  2. tanggal Saat Mulai Berproduksi Komersial;
  3. jumlah nilai realisasi Penanaman Modal pada Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
  4. kesesuaian antara realisasi dengan rencana Kegiatan Usaha Utama.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j terpenuhi, Menteri menetapkan keputusan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b yang memuat:
  1. tanggal Saat Mulai Berproduksi Komersial;
  2. pemenuhan ketentuan melakukan kegiatan usaha di KEK; dan
  3. jumlah nilai Aktiva Tetap Berwujud yang menjadi dasar penghitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a.
(6) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf 1 terpenuhi, Menteri menerbitkan surat yang menyatakan bahwa Badan Usaha atau Pelaku Usaha belum berproduksi komersial dan Badan Usaha atau Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali permohonan penetapan Saat Mulai Berproduksi Komersial.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf n terpenuhi, Menteri menerbitkan surat yang menyatakan bahwa permohonan Badan Usaha atau Pelaku Usaha tidak dapat diproses atau tidak dapat dipertimbangkan.
(8) Penetapan keputusan pemanfaatan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), keputusan penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), serta penerbitan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri.


Paragraf 9
Kewajiban Badan Usaha dan Pelaku Usaha
yang Telah Memperoleh Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 16

(1) Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a harus:
  1. menyelenggarakan pembukuan secara terpisah atas penghasilan yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
  2. melaksanakan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak kepada pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat biaya bersama bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanan biaya bersama dialokasikan secara proporsional.
(3) Badan Usaha yang memperoleh keputusan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Wajib merealisasikan rencana penanaman modal paling sedikit Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar Rupiah) dalam waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial.


Pasal 17

(1) Badan Usaha yang telah memperoleh keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), wajib menyampaikan laporan berupa realisasi Penanaman Modal sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK berakhir kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal setiap 1 (satu) tahun pajak.
(2) Pelaku Usaha yang telah memperoleh keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), wajib menyampaikan laporan berupa:
  1. laporan realisasi nilai Penanaman Modal sejak diterima keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan di KEK sampai dengan Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
  2. laporan realisasi produksi sejak tahun pajak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan jangka waktu pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK berakhir,
setiap 1 (satu) tahun pajak kepada Direktur Jenderal Pajak dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), disampaikan dengan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan.
(5) Dalam hal Badan Usaha atau Pelaku Usaha:
  1. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); atau
  2. menyampaikan laporan namun tidak memenuhi contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B,
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat teguran kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
(6) Dalam hal setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha, wakil dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kuasa dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha, Badan Usaha atau Pelaku Usaha menyampaikan laporan namun tidak memenuhi contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, Badan Usaha atau Pelaku Usaha dapat diusulkan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.

 

 

Paragraf 10
Larangan Bagi Badan Usaha dan Pelaku Usaha
yang Telah Memperoleh Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 18

Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, dilarang:

  1. mengimpor, membeli, atau memperoleh barang modal bekas, dalam rangka realisasi Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, kecuali barang modal bekas dimaksud merupakan relokasi secara keseluruhan sebagai 1 (satu) paket Penanaman Modal baru dari negara lain dan tidak diproduksi di dalam negeri;
  2. menggunakan barang modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selain untuk tujuan pemberian fasilitas selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
  3. memindahtangankan barang modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, kecuali pemindahtanganan tersebut dilakukan untuk tujuan peningkatan efisiensi dan tidak menyebabkan jumlah nilai realisasi Penanaman Modal kurang dari batas minimal nilai Penanaman Modal yang menjadi penentuan jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dalam keputusan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) atau keputusan penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); dan/atau
  4. melakukan relokasi Penanaman Modal ke luar KEK atau ke luar negeri sejak tahun pajak dimulainya pemanfaatan fasilitas sampai dengan 5 (lima) tahun pajak sejak berakhirnya jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana tercantum dalam surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5).


Pasal 19

(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, dilarang menggunakan Aktiva Tetap Berwujud yang mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan Aktiva Tetap Berwujud yang baru, sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
  1. jangka waktu 6 (enam) tahun sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial; atau
  2. masa manfaat Aktiva Tetap Berwujud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 1.
(2) Aktiva Tak Berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 2 dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas atau dialihkan, kecuali diganti dengan Aktiva Tak Berwujud yang baru, sebelum berakhirnya masa manfaat Aktiva Tak Berwujud dimaksud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b angka 2.
(3) Dalam hal penggantian Aktiva Tetap Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. terjadi sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. nilai Aktiva Tetap Berwujud yang dijadikan dasar penyusutan adalah nilai perolehan Aktiva Tetap Berwujud yang baru; dan
  2. metode penyusutan yang digunakan yaitu metode sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan; atau
b. terjadi setelah Saat Mulai Berproduksi Komersial, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. nilai Aktiva Tetap Berwujud yang menjadi dasar fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b, yaitu nilai yang lebih rendah antara nilai Aktiva Tetap Berwujud yang diganti dengan Aktiva Tetap Berwujud pengganti;
2. dalam hal nilai Aktiva Tetap Berwujud pengganti:
a) lebih rendah dari nilai Aktiva Tetap Berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat dimanfaatkan sampai  berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai Aktiva Tetap Berwujud pengganti; atau
b) lebih tinggi dari Nilai Aktiva Tetap Berwujud yang diganti, fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat dimanfaatkan sampai berakhirnya jangka waktu pemanfaatan tersisa dengan nilai Aktiva Tetap Berwujud yang diganti;
3. nilai Aktiva Tetap Berwujud yang dijadikan dasar penyusutan adalah nilai perolehan Aktiva Tetap Berwujud yang baru;
4. metode penyusutan yang digunakan yaitu metode sesuai dengan ketentuan mengenai penyusutan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan; dan
5. sebelum Pelaku Usaha melakukan penggantian Aktiva Tetap Berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha harus menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
(4) Tata cara penghitungan terkait penggantian aktiva tetap berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Aktiva Tetap Berwujud pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b.

 


Paragraf 11
Pencabutan Fasilitas Pajak Penghasilan

Pasal 20

(1) Keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang diperoleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dicabut, dalam hal:
  1. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e terpenuhi;
  2. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g terpenuhi bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a;
  3. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf i terpenuhi;
  4. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf k terpenuhi;
  5. hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf m terpenuhi;
  6. tidak lagi memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai bidang usaha yang merupakan rantai produksi Kegiatan Utama di KEK bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a;
  7. tidak lagi melakukan kegiatan usaha di KEK;
  8. tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan;
  9. tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 setelah diberikan 2 (dua) kali teguran tertulis oleh Direktur Jenderal Pajak; dan/atau
  10. melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19.
(2) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri.


Pasal 21

(1) Terhadap Pelaku Usaha yang dilakukan pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, namun masih bertempat kedudukan di KEK, diberikan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b.
(2) Terhadap Penanaman Modal Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah dilakukan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j, fasilitas Pajak Penghasilan yang telah dimanfaatkan Badan Usaha atau Pelaku Usaha wajib dibayar kembali dan Badan Usaha atau Pelaku Usaha dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pajak Penghasilan yang wajib dibayarkan kembali beserta sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dihitung sejak tahun pajak saat ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf e, huruf f, dan huruf i dilakukan.
(4) Terhadap Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah dilakukan pencabutan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat lagi diberikan fasilitas Pajak Penghasilan di KEK.


Bagian Ketiga
Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Paragraf 1
Objek Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai

Pasal 22

Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas:

  1. impor Barang Kena Pajak tertentu ke KEK oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  2. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di KEK oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu ke KEK oleh pengusaha dari TLDDP, Kawasan Bebas, atau TPB kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  4. penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak tertentu ke KEK oleh pengusaha dari TLDDP, Kawasan Bebas, atau TPB kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha;
  5. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu antar Badan Usaha, antar Pelaku Usaha, atau antar Badan Usaha dengan Pelaku Usaha di KEK yang sama atau KEK lainnya; dan
  6. penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak, antar Badan Usaha, antar Pelaku Usaha, atau antar Badan Usaha dengan Pelaku Usaha di KEK yang sama atau KEK lainnya, tidak termasuk jasa persewaan tanah dan/atau bangunan untuk jangka waktu dibawah 5 (lima) tahun di KEK.


Pasal 23

(1) Barang Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf e meliputi;
  1. barang modal, termasuk tanah dan/atau bangunan, peralatan dan mesin serta suku cadangnya, untuk Pembangunan/konstruksi yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha serta Pembangunan/Pengembangan KEK sesuai dengan bidang usahanya;
  2. bahan baku, bahan pembantu, dan barang lain yang diolah, dirakit dan/atau dipasang pada barang lain untuk kegiatan manufaktur, logistik, dan/atau penelitian dan pengembangan; dan/atau
  3. barang yang diperuntukkan bagi kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan yang digunakan bidang usaha industri manufaktur dan logistik.
(2) Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d diberikan pada masa Pembangunan/Pengembangan KEK sesuai dengan bidang usahanya berupa:
  1. jasa maklon;
  2. jasa perbaikan dan perawatan;
  3. jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor;
  4. jasa konstruksi yang meliputi perencanaan, perancangan, pelaksanaan pembangunan, dan pengawasan pembangunan di KEK, termasuk konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi;
  5. jasa teknologi dan informasi;
  6. jasa penelitian dan pengembangan (research and development);
  7. jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
  8. jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran (engineering services), jasa konsultansi pemasaran (marketing services), jasa akuntansi atau pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
  9. jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor;
  10. jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data; dan
  11. jasa lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam hal KEK berasal dari sebagian atau keseluruhan wilayah Kawasan Bebas, berlaku ketentuan sebagai berikut;
  1. penyerahan Jasa Kena Pajak dari dan ke Kawasan Bebas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
  2. dikecualikan dari pengaturan sebagaimana dimaksud pada huruf a, atas penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri dan jasa telekomunikasi selain yang menggunakan jaringan tetap (fixed line) dari dan ke Kawasan Bebas dipungut PPN.


Paragraf 2
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha

Pasal 24

(1) Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pelaku Usaha kepada pembeli dan/atau penerima jasa yang berkedudukan di TLDDP dikenai Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pihak yang mendapat fasilitas dan kemudahan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.


Pasal 25

Badan Usaha atau Pelaku Usaha wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.



Pasal 26

(1) Pelaku Usaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan ke TLDDP, wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terkait langsung dengan penyerahan yang pada saat impor, pemanfaatan, atau penyerahannya tidak dipungut.
(2) Dikecualikan dari kewajiban melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terkait langsung dengan penyerahan Barang Kena Pajak ke TLDDP atas impor barang modal berupa mesin dan/atau peralatan yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dalam masa Pembangunan dan/atau Pengembangan KEK yang pada saat impornya tidak dipungut dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. telah digunakan di KEK oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang bersangkutan paling singkat selama 2 (dua) tahun; dan
  2. setelah jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor.


Pasal 27

(1) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berasal dari luar Daerah Pabean, Pelaku Usaha wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pada saat impor atau pemanfaatannya tidak dipungut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan Harga Jual dan/atau Penggantian pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari KEK ke TLDDP.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
  1. impor Barang Kena Pajak, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak, Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; atau
  2. pemanfaatan Jasa Kena Pajak, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411212 (Pajak Pertambahan Nilai Impor) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN Impor yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Pajak Pertambahan Nilai yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperhitungkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai disetor dimuka dalam Masa Pajak yang sama.


Pasal 28

(1) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) berasal dari TLDDP, Kawasan Bebas, dan/atau TPB, Pelaku Usaha wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pada saat perolehannya tidak dipungut.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan Harga Jual dan/atau Penggantian pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari KEK ke TLDDP.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak atau pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran barang dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Pajak Pertambahan Nilai yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperhitungkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai disetor dimuka dalam Masa Pajak yang sama.


Paragraf 3
Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha

Pasal 29

Pemasukan barang dan/atau jasa terkait impor Barang Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a sampai dengan huruf f, hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha di KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4).



Paragraf 4
Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dari TLDDP

Pasal 30

(1) Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 harus membuat:
  1. dokumen kepabeanan berupa PPKEK atas setiap perolehan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c; dan
  2. PJKEK atas setiap perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d, dari TLDDP.
(2) Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang memperoleh Jasa Kena Pajak yang melekat pada barang dari TLDDP, antara lain jasa konstruksi, maklon, serta perawatan dan perbaikan harus membuat PPKEK yang memuat nilai Jasa Kena Pajak atas pemasukan barang yang terkait dengan Jasa Kena Pajak tersebut.
(3) PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilampiri dengan salinan kontrak perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. memuat keterangan mengenai rekening bank yang digunakan untuk pembayaran; dan
  3. disampaikan kepada Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Administrator KEK yang berwenang.
(4) PPKEK dan/atau PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak, Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dan huruf d untuk membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tercantum dalam PPKEK dan/atau PJKEK yang telah dibuatkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
  1. Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK;
  2. bukan merupakan Barang Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); atau
  3. bukan merupakan Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), 
Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dan huruf d.
(6) Termasuk Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a apabila pemasukan Barang Kena Pajak tidak terdata pada gate-in SINSW yang terintegrasi antara DJP dan DJBC dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diperkirakan tidak dapat terpenuhi, Badan Usaha dan Pelaku Usaha wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut terlewati.
(8) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) hanya dapat diajukan satu kali dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memberikan alasan yang jelas penyebab tidak terpenuhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7);
  2. memuat rencana tanggal kedatangan barang yang paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7); dan
  3. disampaikan melalui SINSW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(9) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(10) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9), diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 122 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(11) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dapat dikreditkan.
(12) Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang tidak melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau tidak membatalkan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak dapat membuat PPKEK untuk transaksi berikutnya.

  


Paragraf 5
Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dari Tempat
Penimbunan Berikat dan KEK Lainnya

Pasal 31

(1) Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, harus membuat PJKEK atas setiap perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dan huruf f dari TPB atau KEK.
(2) Pengusaha TPB dan Pelaku Usaha sebagai penjual harus membuat dokumen kepabeanan atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak dari TPB ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dan/atau dari KEK ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e.
(3) PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilampiri dengan salinan kontrak perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. memuat keterangan mengenai rekening bank yang digunakan untuk pembayaran; dan
  3. disampaikan kepada Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Administrator KEK yang berwenang.
(4) Dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat keterangan mengenai dokumen pemesanan barang (purchase order) oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha kepada Pengusaha TPB atau Pelaku Usaha di KEK lainnya.
(5) PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi dasar bagi Pengusaha TPB dan Pelaku Usaha sebagai Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak, Barang Kena Pajak tidak berwujud, dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c sampai dengan huruf f untuk membuat Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(6) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tercantum dalam dokumen kepabeanan dan/atau PJKEK yang telah dibuatkan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
  1. Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK;
  2. bukan merupakan Barang Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); atau
  3. bukan merupakan Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2),
Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dan huruf e.
(7) Termasuk Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a apabila pemasukan Barang Kena Pajak tidak terdata pada gate-in sistem INSW yang terintegrasi antara DJP dan DJBC dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diperkirakan tidak dapat terpenuhi, Badan Usaha dan Pelaku Usaha wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut terlewati.
(9) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) hanya dapat diajukan satu kali dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memberikan alasan yang jelas penyebab tidak terpenuhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8);
  2. memuat rencana tanggal kedatangan barang yang paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8); dan
  3. disampaikan melalui SINSW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(10) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(11) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10), diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 122 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(12) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tidak dapat dikreditkan.

    


Paragraf 6
Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha dari Kawasan Bebas

Pasal 32

(1) Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, harus membuat PJKEK atas setiap pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d, dari Kawasan Bebas.
(2) Pengusaha di Kawasan Bebas harus membuat dokumen kepabeanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang kepabeanan atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c.
(3) PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilampiri dengan salinan kontrak perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak;
  2. memuat keterangan mengenai rekening bank yang digunakan untuk pembayaran; dan
  3. disampaikan kepada Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Administrator KEK yang berwenang.
(4) Dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat keterangan mengenai dokumen pemesanan barang (purchase order) oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha kepada Pengusaha di Kawasan Bebas.
(5) PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud untuk tidak memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke KEK sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Bebas.
(6) Dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memuat keterangan mengenai dokumen pemesanan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menjadi dasar bagi Pengusaha di Kawasan Bebas yang menyerahkan Barang Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c untuk tidak memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Bebas.
(7) Dalam hal Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang tercantum dalam Dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kondisi sebagai berikut:
  1. Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK;
  2. bukan merupakan Barang Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); atau
  3. bukan merupakan Jasa Kena Pajak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2),
Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c dan huruf d.
(8) Termasuk Barang Kena Pajak tidak dimasukkan ke KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a apabila pemasukan Barang Kena Pajak tidak terdata pada gate-in sistem INSW yang terintegrasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau Dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(9) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperkirakan tidak dapat terpenuhi, Badan Usaha dan Pelaku Usaha wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut terlewati.
(10) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) hanya dapat diajukan satu kali dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memberikan alasan yang jelas penyebab tidak terpenuhinya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9);
  2. memuat rencana tanggal kedatangan barang yang paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9); dan
  3. disampaikan melalui SINSW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(11) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak.
(12) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (11), diisi dengan mencantumkan keterangan berupa Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 122 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(13)  Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat dikreditkan.


Paragraf 7
Dokumen PJKEK

Pasal 33

(1) PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) dibuat menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(2) PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b, Pasal 31 ayat (1), dan Pasal 32 ayat (1) dapat dilakukan pembetulan dan/atau pembatalan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha.
(3) Pembetulan PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2)harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan atas kesalahan dalam pengisian atau penulisan sehingga PJKEK tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar;
  2. dilampiri dengan salinan perubahan kontrak perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal terdapat perubahan kontrak; dan
  3. disampaikan kepada Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Administrator KEK yang berwenang.
(4) Pembatalan PJKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Jasa Kena Pajak;
  2. dilampiri dengan salinan pembatalan kontrak perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak; dan
  3. disampaikan kepada Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dengan tembusan kepada Administrator KEK yang berwenang.


Paragraf 8
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak yang Menyerahkan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
Kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha

Pasal 34

(1) Pengusaha Kena Pajak yang berkedudukan di TLDDP, TPB, dan KEK lainnya yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c sampai dengan huruf f, wajib membuat Faktur Pajak.
(2) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak di TLDDP memuat keterangan kode transaksi 07 sepanjang Pengusaha Kena Pajak di TLDDP tersebut menerima PPKEK dan/atau PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagai pembeli dan/atau penerima jasa.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak di TPB dan/atau KEK lainnya memuat keterangan kode transaksi 07 sepanjang Pengusaha Kena Pajak tersebut menerima:
  1. dokumen pemesanan barang (purchase order) dan mencantumkannya dalam dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2); dan/atau
  2. PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1),
dari Badan Usaha atau Pelaku Usaha sebagai pembeli dan/atau penerima jasa.
(4) Dokumen kepabeanan dan/atau PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) serta Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2), dapat digunakan sebagai dasar pembuatan beberapa Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak menerima dokumen kepabeanan, PJKEK, dan/atau dokumen pemesanan barang (purchase order) atau tidak mencantumkan keterangan mengenai dokumen pemesanan barang (purchase order) dalam dokumen kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pengusaha Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha.
(6) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan cap atau keterangan "PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TIDAK DIPUNGUT SESUAI DENGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 12 TAHUN 2020".
(7) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibetulkan berdasarkan pembetulan atau pembatalan dokumen kepabeanan dan PJKEK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Paragraf 9
Pengeluaran Barang Kena Pajak
yang Bukan Penyerahan oleh Pelaku Usaha

Pasal 35

(1) Pelaku Usaha yang melakukan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak ke TLDDP, wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terkait dengan Barang Kena Pajak yang dikeluarkan yang pada saat impor, pemanfaatan, atau penyerahannya tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.
(2) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang wajib dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan Harga Jual, Penggantian, atau Nilai Impor pada saat pemasukan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak ke KEK.
(3) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilunasi paling lambat pada saat pengeluaran Barang Kena Pajak dari KEK.
(4) Saat pengeluaran barang dari KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal persetujuan pengeluaran barang dalam dokumen kepabeanan.
(5) Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam hal Barang Kena Pajak:
  1. berasal dari TLDDP, KEK, TPB, atau Kawasan Bebas, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Surat Setoran Pajak; atau
  2. berasal dari luar Daerah Pabean, dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak (SSPCP), dan/atau bukti pungutan pajak yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(6) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, diisi dengan mencantumkan keterangan berupa:
  1. dalam hal barang berasal dari luar Daerah Pabean, Kode Akun Pajak 411212 (Pajak Pertambahan Nilai impor) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas); atau
  2. dalam hal barang berasal dari TLDDP, Kode Akun Pajak 411211 (Pajak Pertambahan Nilai dalam negeri) dan Kode Jenis Setoran 121 (pembayaran PPN yang semula mendapatkan fasilitas).
(7) Pajak Pertambahan Nilai yang dilunasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperhitungkan sebagai Pajak Pertambahan Nilai disetor dimuka dalam Masa Pajak yang sama.

 


Bagian Keempat
Fasilitas dan Perlakuan Bea Masuk,
PDRI, dan/atau Cukai

Paragraf 1
Kawasan Pabean

Pasal 36

(1) Lokasi yang ditetapkan sebagai KEK harus memiliki batas yang jelas sesuai tahapannya, yang dapat berupa batas alam atau batas buatan.
(2) Untuk kepentingan pengawasan, sebagian atau seluruh KEK dapat ditetapkan sebagai Kawasan Pabean.
(3) Pada batas Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus ditetapkan pintu masuk atau pintu keluar barang untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang masih terkandung kewajiban perpajakan dan kepabeanan.
(4) Penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
(5) Rekomendasi penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan berdasarkan usulan dari Administrator KEK setelah menerima permohonan dari Badan Usaha oleh:
  1. Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri; atau
  2. Kepala Bidang yang menangani kepabeanan, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
(6) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. terdapat kegiatan lalu lintas barang ekspor dan/atau barang impor; dan
  2. kawasan memiliki batas-batas yang jelas dan terdapat pintu masuk atau pintu keluar yang ditentukan untuk kegiatan lalu lintas barang.
(7) Badan Usaha yang mengelola KEK ditetapkan sebagai pengelola Kawasan Pabean.
(8) Pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan PPKEK atau dokumen kepabeanan lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(9) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko.
(10) Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, pengawasannya menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Pajak.


Paragraf 2
Masa Pembangunan dan Pengembangan

Pasal 37

(1) Atas pemasukan Barang Modal untuk pembangunan atau pengembangan KEK oleh Badan Usaha diberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan.
(2) Atas pemasukan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, Badan Usaha diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI;
  2. Pelaku Usaha di KEK lain, TPB dan Kawasan Bebas yang barangnya berasal dari:
    1. luar Daerah Pabean, Badan Usaha diberikan fasilitas berupa pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; atau
    2. TLDDP, Badan Usaha diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut; dan/atau
  3. perusahaan di TLDDP, Badan Usaha diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(3) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan pemasukan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan  huruf e.
(4) Jumlah dan jenis Barang Modal asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ditetapkan oleh Administrator KEK.
(5) Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan kepada Badan Usaha untuk jangka waktu pengimporan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Dalam hal Dewan Nasional memberikan perpanjangan jangka waktu pembangunan, jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang sesuai dengan perpanjangan jangka waktu pembangunan.
(7) Badan Usaha yang telah memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tetapi belum merealisasikan seluruh importasinya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, dapat diberikan 1 (satu) kali perpanjangan jangka waktu pengimporan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pengimporan.
(8) Dalam hal terdapat perubahan atas keputusan pembebasan bea masuk, perubahan hanya dapat dilakukan jika:
  1. dokumen PPKEK atas Barang Modal yang mendapat fasilitas pembebasan belum mendapatkan nomor pendaftaran, dan
  2. masih dalam jangka waktu pembebasan.
(9) Dalam hal pemasukan Barang Modal tidak digunakan untuk pembangunan atau pengembangan KEK, Badan Usaha wajib membayar bea masuk dan PDRI dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, serta dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan.
(10)  Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.

  


Pasal 38

(1) Atas pemasukan Barang Modal untuk pembangunan atau pengembangan industri oleh Pelaku Usaha diberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan.
(2) Atas pemasukan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, Pelaku Usaha diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI;
  2. Pelaku Usaha di KEK lain, TPB, dan Kawasan Bebas yang barangnya berasal dari:
    1. luar Daerah Pabean, Pelaku Usaha diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; atau
    2. TLDDP, Pelaku Usaha dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; dan/atau
  3. perusahaan di TLDDP, Pelaku Usaha dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(3) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan pemasukan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf e.
(4) Jumlah dan jenis Barang Modal asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, ditetapkan oleh Administrator KEK.
(5) Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diberikan kepada Pelaku Usaha untuk jangka waktu pengimporan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak dimulainya pembangunan atau pengembangan industri.
(6) Pelaku usaha yang telah memperoleh penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetapi belum merealisasikan seluruh importasinya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun, dapat diberikan 1 (satu) kali perpanjangan jangka waktu pengimporan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu pengimporan.
(7) Dalam hal terdapat perubahan atas keputusan pembebasan bea masuk, perubahan hanya dapat dilakukan jika:
  1. dokumen PPKEK atas Barang Modal yang mendapat fasilitas pembebasan belum mendapatkan nomor pendaftaran, dan
  2. masih dalam jangka waktu pembebasan.
(8) Dalam hal pemasukan Barang Modal tidak digunakan untuk pembangunan atau pengembangan industri, Pelaku Usaha wajib membayar bea masuk dan PDRI dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang, serta dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau perpajakan.
(9) Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan


Paragraf 3
Masa Produksi

Pasal 39

(1) Di masa produksi, Pelaku Usaha di KEK diberikan fasilitas perpajakan, penangguhan bea masuk, dan/atau pembebasan cukai atas pemasukan barang berdasarkan kategori Pelaku Usaha.
(2) Administrator KEK melakukan pengelompokan kategori Pelaku Usaha KEK berdasarkan rencana kegiatan usaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha, meliputi:
  1. Pelaku Usaha Pengolahan;
  2. Pelaku Usaha Pusat Logistik; dan/atau
  3. Pelaku Usaha Jasa.


Pasal 40

(1) Pelaku Usaha Pengolahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf a, merupakan Pelaku Usaha di KEK yang melakukan kegiatan mengolah barang dan bahan dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya.
(2) Pelaku Usaha Pengolahan dapat melakukan kegiatan penggabungan barang hasil produksi yang bersangkutan sebagai produk utama dengan barang jadi maupun setengah jadi.
(3) Barang untuk kegiatan pengolahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
  1. bahan baku dan bahan penolong;
  2. mesin dan peralatan;
  3. pengemas dan alat bantu pengemas, barang contoh, barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan;
  4. barang jadi maupun setengah jadi untuk digabungkan dengan hasil produksi;
  5. barang yang dimasukkan kembali dari kegiatan pengeluaran sementara;
  6. hasil produksi yang dimasukkan kembali; dan/atau
  7. hasil produksi Pelaku Usaha di KEK lain, TPB, dan/atau Kawasan Bebas.
(4) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
  1. bukan merupakan barang untuk dikonsumsi di lokasi Pelaku Usaha Pengolahan; dan
  2. berkaitan dengan kegiatan produksi.


Pasal 41

(1) Pemasukan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3), ke Pelaku Usaha Pengolahan, berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha pada KEK lain;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. TLDDP.
(2) Pemasukan Barang dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan fasilitas berupa:
  1. penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; dan
  2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.
(3) Pemasukan Barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dari Pelaku Usaha di KEK lain, TPB, dan Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, yang barangnya berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, diberikan:
    1. fasilitas penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; dan
    2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai; dan/atau
  2. TLDDP, diberikan pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.
(4) Pemasukan Barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dari TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, diberikan fasilitas berupa pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.
(5) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf e.
(6) Dalam hal ditemukan adanya pemasukan barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dilakukan dengan tidak menggunakan dokumen PPKEK, atas pemasukan barang tersebut tidak diberikan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(7) Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a angka 1, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.


Pasal 42

(1) Barang dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan, dapat dikeluarkan ke:
  1. luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha pada KEK lainnya;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. TLDDP.
(2) Barang yang dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan ke lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
  1. bahan baku dan/atau sisa bahan baku;
  2. bahan penolong dan/atau sisa bahan penolong;
  3. pengemas dan alat bantu pengemas;
  4. hasil produksi yang telah jadi maupun setengah jadi;
  5. barang contoh;
  6. Barang Modal;
  7. peralatan perkantoran;
  8. barang untuk keperluan dan/atau hasil penelitian dan pengembangan perusahaan;
  9. sisa dari proses produksi; dan/atau
  10. sisa pengemas dan limbah (waste).
(3) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan ke luar Daerah Pabean, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan dan perpajakan di bidang ekspor.
(4) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan ke Pelaku Usaha pada KEK lain, TPB, dan Kawasan Bebas, diberikan fasilitas dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. bea masuk, PDRI, dan/atau cukai mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan pengeluaran barang; dan/atau
  2. fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan pengeluaran barang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2).
(5) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP dan barangnya berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, Pelaku Usaha Pengolahan wajib melunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI; atau
  2. TLDDP, Pelaku Usaha Pengolahan wajib melunasi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
(6) Dalam hal atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (5):
  1. merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 23 ayat (1); atau
  2. bukan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, wajib melunasi Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang terkait langsung dengan penyerahan yang pada saat impor, pemanfaatan, atau penyerahannya tidak dipungut.
(7) Dalam hal pengeluaran barang dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditujukan kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, Pelaku Usaha Pengolahan dikecualikan dari kewajiban melunasi bea masuk, cukai dan/atau PDRI.
(8)  Dalam hal barang yang dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP berupa sisa pengemas dan limbah (waste) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf j, pengeluaran dilakukan tanpa pemberitahunan pabean dan dikecualikan dari kewajiban membayar bea masuk, cukai dan/atau PDRI.


Pasal 43

(1) Dasar yang digunakan dalam menghitung besarnya bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, atas pengeluaran barang hasil produksi dari lokasi Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP, yakni sebagai berikut:
  1. bea masuk dihitung berdasarkan:
    1. harga jual pada saat pengeluaran barang hasil produksi dari KEK ke TLDDP;
    2. klasifikasi barang menggunakan klasifikasi pada saat barang hasil produksi dikeluarkan dari KEK; dan
    3. pembebanan pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan;
  2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
  3. PDRI dihitung berdasarkan harga jual dan tarif pada saat pengeluaran barang dari KEK.
(2) Dalam hal barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki nilai kandungan lokal paling sedikit 40% (empat puluh persen) yang dibuktikan dengan surat kandungan lokal dari Administrator KEK, atas pengeluaran hasil produksi dari Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen).
(3) Penghitungan bea masuk, cukai, dan PDRI dapat dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pengeluaran hasil produksi dari Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Pelaku Usaha Pengolahan memiliki konversi pemakaian bahan baku dan/atau bahan penolong yang jelas, terukur dan konsisten; dan
  2. pada saat pemasukan ke Pelaku Usaha Pengolahan sudah terjadi transaksi jual beli.
(4) Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk, cukai, dan PDRI atas pengeluaran barang hasil produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yakni sebagai berikut:
  1. bea masuk dihitung berdasarkan:
    1. nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke KEK; dan
    2. pembebanan pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan;
  2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
  3. PDRI dihitung berdasarkan:
    1. Nilai Impor yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke KEK; dan
    2. tarif pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan.
(5) Dalam hal pembebanan tarif untuk bahan baku lebih tinggi dari pembebanan tarif bea masuk untuk barang hasil produksi, dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk dengan menggunakan pembebanan tarif bea masuk barang hasil produksi yang berlaku pada saat barang dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan.
(6) Konversi pemakaian bahan baku dan/atau bahan penolong sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dilakukan pengujian secara periodik oleh Kepala Kantor Pabean yang mengawasi.
(7) Barang hasil produksi dalam kondisi rusak yang bahan bakunya seluruhnya atau sebagian berasal dari impor, dapat dikeluarkan ke TLDDP dengan melunasi bea masuk, cukai, dan PDRI dengan dasar perhitungan sebagai berikut:
  1. bea masuk dihitung berdasarkan:
    1. harga jual pada saat pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP;
    2. klasifikasi barang yang berlaku pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan; dan
    3. pembebanan pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan;
  2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
  3. PDRI dihitung berdasarkan harga jual.
(8) Hasil produksi dalam kondisi rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan hasil produksi yang mengalami kerusakan ataupun penurunan kualitas/standar mutu yang secara teknis tidak dapat diperbaiki untuk menyamai kualitas/standar mutu yang diharapkan.
(9) Pengeluaran bahan baku dan/atau sisa bahan baku yang dalam kondisi baik, asal luar Daerah Pabean dengan tujuan dipindahtangankan ke perusahaan industri di TLDDP dilakukan dengan membayar bea masuk dan/atau cukai, dan PDRI.
(10) Dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk dan/atau cukai, dan PDRI atas pengeluaran bahan baku dan/atau sisa bahan baku, dengan tujuan dipindahtangankan ke perusahaan industri di TLDDP, sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yakni sebagai berikut:
a. bahan baku dan/atau sisa bahan baku tidak dalam kondisi rusak:
1. bea masuk dihitung berdasarkan:
a) nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat bahan baku dan/atau sisa bahan baku dimasukkan ke Pelaku Usaha Pengolahan; dan
b) pembebanan pada saat PPKEK didaftarkan;
2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
3. PDRI dihitung berdasarkan nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Pelaku Usaha Pengolahan; dan
b. bahan baku dan/atau sisa bahan baku dalam kondisi rusak:
1. bea masuk dihitung berdasarkan:
a) harga jual pada saat pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pengolahan ke TLDDP;
b) klasifikasi yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Pelaku Usaha Pengolahan; dan
c) pembebanan pada saat PPKEK didaftarkan;
2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
3. PDRI dihitung berdasarkan harga jual.
(11) Penghitungan bea masuk, cukai, dan PDRI menggunakan Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pembayaran.

    

Pasal 44

(1) Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf b merupakan Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan menimbun barang logistik asal luar Daerah Pabean dan/atau dari TLDDP dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali, dan dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana.
(2) Kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud pada pada ayat (1) dapat berupa:
  1. pengemasan atau pengemasan kembali;
  2. penyortiran;
  3. standardisasi (quality control);
  4. penggabungan (kitting);
  5. pengepakan;
  6. penyetelan;
  7. konsolidasi barang tujuan ekspor;
  8. penyediaan barang tujuan ekspor;
  9. pemasangan kembali dan/atau perbaikan;
  10. maintenance pada industri yang bersifat strategis, termasuk pengecatan;
  11. pembauran (blending);
  12. pemberian label berbahasa Indonesia;
  13. pelekatan pita cukai atau pembubuhan tanda pelunasan cukai lainnya atas Barang Kena Cukai;
  14. lelang barang modal;
  15. pameran barang;
  16. pemeriksaan dari lembaga atau instansi teknis terkait dalam rangka pemenuhan ketentuan pembatasan impor dan/atau ekspor;
  17. pemeriksaan untuk penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA) oleh instansi teknis terkait dalam rangka impor dan/atau ekspor; dan/atau
  18. kegiatan sederhana lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(3) Pelaku Usaha Pusat Logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan kegiatan penimbunan barang sesuai dengan jenis kegiatan usahanya.
(4) Barang asal luar Daerah Pabean yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik ditujukan untuk:
  1. mendukung kegiatan industri di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas;
  2. mendukung kegiatan industri di TLDDP;
  3. diekspor;
  4. mendukung kegiatan industri yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, keringanan bea masuk, dan/atau pengembalian bea masuk berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
  5. mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang di dalam negeri untuk program pemerintah; dan/atau
  6. mendukung kegiatan Industri Kecil Menengah (IKM) di KEK dan TLDDP.
(5) Barang untuk mendukung kegiatan distribusi dan ketersediaan barang-barang tertentu di dalam negeri untuk program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, yaitu:
  1. barang keperluan industri yang tidak bisa diimpor langsung oleh perusahaan industri karena adanya ketentuan pembatasan impor, seperti bahan peledak untuk industri pertambangan;
  2. barang yang secara nyata mempengaruhi biaya produksi bagi industri di dalam negeri, meskipun peredaran barang tersebut tidak semata-mata untuk perusahaan industri, yaitu:
    1. bahan bakar minyak, listrik, atau gas;
    2. barang untuk keperluan proyek pembangunan infrastruktur; dan
    3. barang untuk keperluan industri pertambangan minyak dan gas;
  3. barang yang importasinya mempengaruhi kegiatan ekonomi digital; dan/atau
  4. barang yang importasinya dapat mempengaruhi kelangsungan industri dalam negeri, mempengaruhi hajat hidup orang banyak, berperan penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional, dan/atau mempengaruhi stabilitas ekonomi dan keamanan nasional.
(6) Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik diberikan waktu untuk ditimbun paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal pemasukan ke Pelaku Usaha Pusat Logistik.
(7) Jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang dalam hal barang yang ditimbun di Pelaku Usaha Pusat Logistik merupakan barang untuk keperluan:
  1. operasional minyak dan/atau gas bumi;
  2. pertambangan;
  3. industri tertentu; atau
  4. industri lainnya dengan izin Kepala Kantor Pabean.
(8) Dalam hal barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik melewati jangka waktu timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), barang tersebut harus:
  1. diekspor kembali dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ekspor;
  2. dikeluarkan ke Pelaku Usaha Pengolahan di KEK, TPB, dan/atau Kawasan Bebas; atau
  3. dikeluarkan ke TLDDP dengan dilunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI serta memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP.
(9) Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik tidak melakukan penyelesaian barang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak jangka waktu 3 (tiga) tahun dan/atau jangka waktu perpanjangan terlewati, izin Pelaku Usaha Pusat Logistik dibekukan sampai dengan dilakukan penyelesaian atas barang dimaksud.
(10) Barang yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik, dapat dimiliki oleh:
  1. Badan Usaha KEK atau Pelaku Usaha di KEK;
  2. pemasok di luar Daerah Pabean; atau
  3. importir atau eksportir di dalam Daerah Pabean.
(11) Pelaku Usaha Logistik wajib melakukan penyimpanan dan penatausahaan barang secara tertib, yang dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan dan pengeluaran sediaan barang secara sistematis, serta posisisnya apabila dilakukan pencacahan (stock opname).
(12) Dalam hal Pelaku Usaha Pusat Logistik menimbun barang yang dimiliki oleh pemasok di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (10) huruf b, penentuan status Pelaku Usaha sebagai Bentuk Usaha Tetap (BUT) mengikuti ketentuan sesuai dengan:
  1. persetujuan penghindaran pajak berganda, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok (supplier) memiliki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia; dan/atau
  2. ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, dalam hal negara/yurisdiksi pemasok tidak memilki persetujuan penghindaran pajak berganda dengan Indonesia.

    


Pasal 45

(1) Pemasukan barang ke lokasi Pelaku Usaha Pusat Logistik, berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha pada KEK Lain;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. TLDDP.
(2) Pemasukan barang logistik ke Pelaku Usaha Pusat Logistik dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
  1. diberikan fasilitas penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; dan/atau
  2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai.
(3) Pemasukan barang logistik ke Pelaku Usaha Pusat Logistik dari Pelaku Usaha pada KEK lain, TPB, dan Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, yang barangnya berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, diberikan:
    1. fasilitas penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; dan
    2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai; dan/atau
  2. TLDDP, dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(4) Pemasukan barang logistik ke lokasi Pelaku Usaha Logistik dari TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(5) Pemasukan barang dari TLDDP untuk ditimbun di lokasi Pelaku Usaha Pusat Logistik, dapat dilakukan hanya terhadap:
  1. barang untuk mendukung barang asal luar Daerah Pabean yang ditimbun oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik;
  2. barang yang secara lazim dibutuhkan untuk mendukung kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2);
  3. barang yang berasal dari perusahaan Industri Kecil Menengah (IKM);
  4. barang untuk tujuan ekspor dalam rangka konsolidasi ekspor atau penyediaan barang ekspor; dan/atau
  5. barang untuk tujuan khusus di TLDDP.
(6) Tujuan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e, yaitu untuk keperluan:
  1. operasional perminyakan dan/atau gas bumi;
  2. operasional pertambangan;
  3. kegiatan industri tertentu;
  4. dipamerkan;
  5. mendukung kegiatan industri kecil dan menengah; dan/atau
  6. tujuan lainnya menurut kelaziman atau situasi bisnis, berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(7) Terhadap barang yang ditimbun di lokasi Pelaku Usaha Pusat Logistik wajib dilakukan pembongkaran (stripping) dari peti kemas, kecuali:
  1. barang cair, gas, atau sejenisnya; dan/atau
  2. barang lain berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan profil risiko perusahaan.
(8) Pemasukan barang ke Pelaku Usaha Pusat Logistik dari TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e yang ditujukan untuk ekspor dalam rangka konsolidasi ekspor atau penyediaan barang ekspor, dianggap telah teijadi ekspor.
(9) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan pemasukan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf e.
(10) Penangguhan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a angka 1, termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.

    


Pasal 46

(1) Barang logistik yang ditimbun di lokasi Pelaku Usaha Pusat Logistik, dapat dikeluarkan ke:
  1. luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha pada KEK lainnya;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. TLDDP.
(2) Atas pengeluaran barang logistik dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan dan perpajakan di bidang ekspor.
(3) Atas pengeluaran barang logistik dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke Pelaku Usaha di KEK Lain, TPB, Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. bea masuk, PDRI, dan/atau cukai mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan pengeluaran barang; dan/atau
  2. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah mengikuti fasilitas yang berlaku di tempat tujuan pengeluaran barang sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2).
(4) Atas pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan merupakan penyerahan Barang Kena Pajak, yang barangnya berasal dari:
a. luar Daerah Pabean dan dimiliki oleh:
1. Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK, atau importir atau eksportir di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (10) huruf a dan huruf c, Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK atau importir atau eksportir di dalam Daerah Pabean wajib:
a) melunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, dan/atau
b) memungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan/atau
2. pemasok di luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (10) huruf b, Pembeli di TLDDP wajib melunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI;
b. TLDDP, dan dimiliki oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK, maka Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK wajib:
  1. melunasi Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang yang pada saat penyerahannya tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dan
  2. memungut Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
(5) Atas pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, yang bukan penyerahan Barang Kena Pajak, yang barangnya berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean, pemilik barang wajib melunasi bea masuk, cukai, dan/atau PDRI; dan/atau
  2. TLDDP, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
(6) Dalam hal pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, ditujukan kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, Pelaku Usaha Logistik dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (5) huruf a.
(7) Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dan ayat 5 huruf (a), termasuk bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.


Pasal 47

(1) Dasar yang digunakan dalam menghitung besarnya bea masuk, cukai, dan/atau PDRI atas pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dari Pelaku Usaha Pusat Logistik, yakni sebagai berikut:
  1. bea masuk dihitung berdasarkan harga jual, klasifikasi, dan pembebanan yang berlaku pada saat barang impor dikeluarkan dari KEK;
  2. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan
  3. PDRI dihitung berdasarkan:
    1. tarif pada saat PPKEK didaftarkan; dan
    2. nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dikeluarkan dari KEK.
(2) Dalam hal pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dilakukan oleh Pelaku Usaha Pusat Logistik yang melakukan kegiatan e-commerce, bea masuk dan/atau PDRI dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. bea masuk dihitung berdasarkan nilai pabean dan tarif pembebanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor barang kiriman;
  2. tidak berlaku pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor barang kiriman;
  3. PDRI dihitung berdasarkan:
    1. tarif pada saat pemberitahuan pabean KEK didaftarkan; dan
    2. nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pusat Logistik; dan
  4. klasifikasi pada saat barang dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pusat Logistik.
(3) Dalam hal barang yang dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pusat Logistik ke TLDDP berupa sisa pengemas dan limbah (waste) sisa hasil kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2), pengeluaran barang dapat dilakukan tanpa menggunakan pemberitahuan pabean KEK dan Pelaku Usaha Pusat Logistik dikecualikan dari kewajiban membayar bea masuk, cukai dan/atau PDRI.
(4) Dalam hal hasil kegiatan sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) menghasilkan sisa barang campuran yang mengandung kandungan barang impor dan barang asal TLDDP, dan atas barang campuran tersebut akan dikeluarkan ke TLDDP, atas barang dimaksud dikenakan bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. bea masuk dan PDRI dihitung berdasarkan persentase nilai kandungan barang impor yang terkandung pada sisa barang campuran;
  2. bea masuk dihitung berdasarkan harga jual, klasifikasi, dan pembebanan yang berlaku pada saat barang impor dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pusat Logistik;
  3. cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai; dan/atau
  4. PDRI dihitung berdasarkan:
    1. tarif pada saat pemberitahuan pabean impor didaftarkan; dan
    2. nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pusat Logistik.
(5) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), diperoleh dari penjumlahan nilai pabean atau harga jual pada saat barang dikeluarkan dari KEK serta ditambah bea masuk dan/atau cukai.
(6) Penghitungan bea masuk, cukai, dan PDRI menggunakan Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pembayaran.


Pasal 48

(1) Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh negara asal barang di luar negeri dapat diberlakukan pada saat pemasukan ke KEK.
(2) Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberlakukan pada saat pemasukan barang ke Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik, dan atas barang dimaksud diberlakukan tarif bea masuk sesuai dengan skema preferential tariff dimaksud pada saat dikeluarkan dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP.
(3) Pengeluaran barang dari Pelaku Usaha Pengolahan dan/atau Pelaku Usaha Logistik ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan secara parsial dengan menggunakan pemotongan kuota.
(4) Besaran preferential tariff, ketentuan asal barang, dan prosedur penggunaan skema preferential tariff atas pemasukan barang ke KEK menggunakan skema sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai skema preferential tariff dimaksud sepanjang belum diatur pada Peraturan Menteri ini.
(5) Tata cara pengenaan skema preferential tariff untuk kawasan ekonomi khusus tercantum dalam Lampiran Huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(6) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengujian atas validitas penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA).


Pasal 49

(1) Pelaku Usaha Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) huruf c, merupakan Pelaku Usaha yang melakukan pemasukan Barang untuk melakukan kegiatan produksi jasa.
(2) Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Barang Modal berupa mesin dan peralatan yang digunakan untuk kegiatan produksi jasa.
(3) Mesin dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus memiliki masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan semata-mata digunakan sendiri untuk kegiatan produksi jasa dan/atau operasional Pelaku Usaha Jasa.


Pasal 50

(1) Pemasukan Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) ke lokasi Pelaku Usaha Jasa, berasal dari:
  1. luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha pada KEK Lain;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. TLDDP.
(2) Pemasukan Barang ke lokasi Pelaku Usaha Jasa dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan fasilitas berupa:
  1. penangguhan bea masuk; dan/atau
  2. tidak dipungut PDRI.
(3) Pemasukan Barang ke lokasi Pelaku Usaha Jasa dari Pelaku Usaha pada KEK lain, TPB, dan Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, yang barangnya berasal dari luar Daerah Pabean, diberikan fasilitas berupa:
  1. penangguhan bea masuk; dan/atau
  2. tidak dipungut PDRI.
(4) Pemasukan Barang ke lokasi Pelaku Usaha Jasa dari TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dapat diberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, huruf c, dan huruf e.
(6) Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.


Paragraf 4
Perpindahan Barang Antar Pelaku Usaha dalam satu KEK

Pasal 51

(1) Perpindahan Barang antar Pelaku Usaha dalam satu KEK diberikan fasilitas berupa:
  1. penangguhan bea masuk dan tidak dipungut PDRI; dan
  2. pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong dalam pembuatan barang hasil akhir yang bukan merupakan barang kena cukai;
(2) Pemberian fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan perpindahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c.
(3) Perpindahan barang antar Pelaku Usaha di KEK dilakukan dengan surat jalan yang tercetak dari aplikasi perpindahan barang antar Pelaku Usaha di KEK pada SINSW.
(4) Dalam hal pengeluaran barang oleh Pelaku Usaha di KEK tidak terjadi penyerahan Barang kepada Pelaku Usaha lainnya di KEK, tanggung jawab bea masuk, cukai, dan/atau PDRI yang melekat pada barang yang telah dikeluarkan sementara tersebut, menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha di KEK penerima barang terhitung sejak barang diterima oleh Pelaku Usaha penerima barang sampai dengan barang tersebut diterima kembali oleh Pelaku Usaha di KEK pengirim barang.
(5) Pelaku Usaha di KEK yang mengirimkan barang dan Pelaku Usaha di KEK yang menerima barang membuat laporan perpindahan barang ke Kantor Pabean secara berkala.


Paragraf 5
Pengeluaran Sementara dan Subkontrak

Pasal 52

(1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dapat mengeluarkan sementara Barang Modal berupa mesin dan peralatan, serta barang dan/atau bahan baku ke:
  1. perusahaan di luar Daerah Pabean;
  2. Pelaku Usaha di KEK lainnya;
  3. TPB;
  4. Kawasan Bebas; dan/atau
  5. perusahaan industri di TLDDP.
(2) Pengeluaran sementara barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu tertentu dan harus diberitahukan ke Kantor Pabean, dalam rangka:
  1. subkontrak;
  2. perbaikan/reparasi;
  3. peminjaman barang modal untuk keperluan produksi;
  4. pengetesan atau pengembangan kualitas produksi;
  5. penggunaan kemasan yang dipakai berulang (returnable package);
  6. dipamerkan; dan/atau
  7. tujuan lain dengan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean.
(3) Pengeluaran sementara barang dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.
(4) Dalam hal pengeluaran sementara dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ditujukan ke Pelaku Usaha pada KEK Lain, TPB, dan Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, tanggung jawab bea masuk, cukai, dan/atau PDRI yang melekat pada barang yang dikeluarkan tersebut, menjadi tanggung jawab Pelaku Usaha pada KEK Lain, pengusaha di TPB, atau pengusaha di Kawasan Bebas sebagai penerima barang, terhitung sejak barang sampai di tujuan sampai dengan barang diterima kembali oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK.
(5) Dalam hal barang yang dikeluarkan sementara berasal dari luar Daerah Pabean, pengeluaran sementara dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ke perusahaan di TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilakukan dengan menyerahkan jaminan sebesar bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, yang terutang.
(6) Dalam hal barang yang dikeluarkan sementara dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ke perusahaan di TLDDP tidak dimasukkan kembali ke Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dalam jangka waktu yang telah diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pengeluaran barang tersebut telah terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan:
  1. jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dicairkan;
  2. Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sanksi administrasi di bidang kepabeanan; dan
  3. Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK wajib memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25.
(7) Dalam rangka pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Pelaku Usaha Pengolahan di KEK dapat meminjamkan barang modal berupa mesin produksi dan cetakan (moulding) kepada penerima subkontrak; dan/atau
  2. penerima pekerjaan subkontrak dapat menambahkan barang untuk kepentingan pengerjaan subkontrak; dan/atau
  3. Pemberian pekerjaan subkontrak dapat dilakukan pada seluruh kegiatan produksi jika terdapat kelebihan kapasitas produksi; dan/atau
  4. Pengeluaran sementara dalam rangka subkontrak dari Pelaku Usaha Pengolahan yang ditujukan ke Pelaku Usaha Pengolahan pada KEK Lain, pengusaha di TPB, atau pengusaha di Kawasan Bebas, kegiatan ekspor dapat langsung dilakukan oleh Pelaku Usaha Pengolahan pemberi subkontrak dari lokasi penerima subkontrak.
(8) Pengeluaran sementara dalam rangka subkontrak dari Pelaku Usaha Pengolahan ke perusahaan di TLDDP, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan berdasarkan perjanjian subkontrak;
  2. batas waktu sesuai batas waktu dalam perjanjian subkontrak; dan
  3. pemeriksaan awal dan pemeriksaan akhir harus dilakukan oleh Pelaku Usaha Pengolahan pemberi subkontrak.
(9) Pengeluaran barang sementara dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dilakukan dengan menggunakan dokumen PPKEK.
(10) Penambahan barang pada saat pengerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d, wajib diberitahukan dengan dokumen PPKEK dan dapat diperhitungkan sebagai tingkat   kandungan dalam negeri.
(11) Pelaku Usaha Pengolahan atau Pelaku Usaha Pusat Logistik di KEK dapat menerima pekerjaan dari Pelaku Usaha di KEK lain, pengusaha di TPB, pengusaha di Kawasan Bebas, dan/atau perusahaan di TLDDP berupa:
  1. subkontrak;
  2. perbaikan/reparasi; dan/atau
  3. pekerjaan lain,
dengan memberitahukan ke Kepala Kantor Pabean.

 

Paragraf 6
Pemindahtanganan Barang Modal Berupa Mesin dan
Peralatan

Pasal 53

(1) Mesin dan/atau peralatan yang dimasukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran bea masuk, dapat dikeluarkan dengan tujuan:
  1. diekspor kembali ke luar Daerah Pabean;
  2. dipindahtangankan ke Pelaku Usaha di KEK lainnya;
  3. dipindahtangankan ke pengusaha di TPB;
  4. dipindahtangankan ke pengusaha di Kawasan Bebas; dan/atau
  5. dipindahtangankan ke TLDDP.
(2) Pengeluaran mesin dan/atau peralatan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan kepabeanan dan perpajakan di bidang ekspor.
(3) Mesin dan/atau peralatan dapat dipindahtangankan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK lain, pengusaha di TPB, atau pengusaha di Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, dengan diberikan fasilitas sesuai dengan fasilitas yang berlaku ditempat tujuan dengan ketentuan:
  1. setelah 2 (dua) tahun sejak diimpor dan telah dipergunakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang bersangkutan, dengan memberitahukan Kepala Kantor Pabean; atau
  2. sebelum 2 (dua) tahun sejak diimpor dan/atau belum dipergunakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK.
(4) Mesin dan/atau peralatan yang telah dipergunakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha yang bersangkutan paling sedikit selama 2 (dua) tahun, dapat dipindahtangankan ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, sebelum jangka waktu 4 (empat) tahun terhitung sejak diimpor atau sejak dimasukkan dari Pelaku Usaha pada KEK lain, TPB, atau Kawasan Bebas, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. mesin dan/atau peralatan tidak dalam kondisi rusak:
1. membayar bea masuk yang dihitung berdasarkan:
a) nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat mesin dan/atau peralatan dimasukkan ke KEK; dan
b) pembebanan pada saat PPKEK pengeluaran didaftarkan; dan
2. PDRI dihitung berdasarkan nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke KEK;
b. mesin dan/atau peralatan dalam kondisi rusak:
1. bea masuk dihitung berdasarkan:
a) harga jual pada saat pengeluaran barang dari KEK;
b) klasifikasi yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke KEK; dan
c) pembebanan pada saat PPKEK pengeluaran didaftarkan; dan
2. membayar PDRI yang dihitung berdasarkan nilai pabean yang berlaku saat barang impor dikeluarkan dari KEK; dan/atau
c. atas penyerahan barang dari KEK ke TLDDP, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK wajib  memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 25.
(5) Mesin dan/atau peralatan yang telah dipergunakan di KEK paling sedikit selama 2 (dua) tahun, dapat dipindahtangankan ke TLDDP setelah jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan dari Pelaku Usaha lain, pengusaha TPB, atau pengusaha Kawasan Bebas, dengan ketentuan:
  1. mendapat pembebasan bea masuk, dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; dan
  2. atas penyerahan barang dari KEK ke TLDDP, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK wajib memenuhi kewajiban Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 25.
(6) Penghitungan bea masuk, cukai, dan/atau PDRI, menggunakan Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pembayaran.
(7) Dalam hal pengeluaran barang dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK ke TLDDP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dikecualikan dari kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Pasal 54

(1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dapat melakukan pemusnahan atas barang yang busuk, rusak, dan/atau barang kadaluarsa.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan di dalam maupun di luar KEK.
(3) Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai dan dibuatkan berita acara pemusnahan.
(4) Pemusnahan dapat dilakukan dengan cara perusakan atas barang yang karena sifat dan bentuknya tidak dapat dimusnahkan setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(5) Perusakan dilakukan dengan merusak kegunaan atau fungsi secara permanen dengan cara dipotong-potong atau dengan cara lain.


Paragraf 7
Pemberitahuan Pabean

Pasal 55

(1) Pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan PPKEK atau dokumen kepabeanan lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(2) Dalam hal barang yang dimasukkan dan/atau dikeluarkan ke dan dari KEK berupa barang kena cukai, pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai pemberitahuan mutasi barang kena cukai dan dinyatakan sebagai dokumen cukai, kecuali pemasukan dan/atau pengeluaran dari dan ke TLDDP.
(3) Kewajiban pembuatan PPKEK dalam hal:
  1. pemasukan barang dari luar Daerah Pabean dan dari TLDDP; dan/atau
  2. pengeluaran barang dari KEK,
  3. dilakukan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK.
(4) Pemasukan barang ke Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dari:
  1. TPB, dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari TPB ke TPB lain;
  2. Kawasan Bebas, dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TPB, Kawasan Bebas Lainnya, dan Kawasan Ekonomi Khusus; atau
  3. Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK lain, dilakukan dengan menggunakan dokumen PPKEK untuk pengeluaran barang dari KEK asal.
(5) Untuk pemasukan barang impor melalui perusahaan jasa titipan, pemberitahuan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh perusahaan pengurusan jasa kepabeanan.
(6) Dalam hal pemasukan barang ke KEK dengan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI kedapatan barang yang dimasukkan lebih dari keputusan mengenai pemberian fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas kelebihan tersebut dilakukan pemungutan bea masuk dan PDRI.
(7) Dalam hal ditemukan jumlah barang yang diimpor dengan fasilitas penangguhan bea masuk kedapatan tidak sesuai dengan yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK, dilakukan penelitian lebih lanjut oleh unit pengawasan.
(8) Dalam hal ditemukan jumlah barang yang diimpor dengan fasilitas penangguhan bea masuk yang ibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha wajib membayar bea masuk atas barang impor yang kurang pada saat dibongkar dan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Dalam hal ditemukan jumlah barang impor dengan fasilitas penangguhan bea masuk yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan dalam dokumen PPKEK dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) Badan Usaha dan Pelaku Usaha, dapat melakukan pembetulan dan/atau pembatalan PPKEK yang telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean.
(11) Persetujuan pembetulan dan/atau pembatalan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. untuk PPKEK pemasukan dari TLDDP, sebelum sebagian atau seluruh barang tercatat pada gate in pintu masuk KEK;
  2. untuk PPKEK pemasukan dari Luar Daerah Pabean, sebagian atau seluruh barang belum gate out dari:
    1. Kawasan Pabean; dan/atau
    2. kondisi lain dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean atau pejabat yang ditunjuk;
  3. untuk PPKEK pengeluaran, sebelum sebagian atau seluruh barang tercatat pada gate out pintu keluar KEK, dan/atau kondisi lain dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean atau pejabat yang ditunjuk;
  4. kesalahan tersebut bukan merupakan temuan Pejabat; atau
  5. belum mendapatkan penetapan Pejabat.
(12)  Pembetulan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (11) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan atas kesalahan dalam pengisian atau penulisan sehingga PPKEK tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas, dan benar; dan
  2. untuk pemasukan barang dari TLDDP, pembetulan PPKEK disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak di TLDDP yang menyerahkan Barang Kena Pajak.
(13)  Pembatalan PPKEK sebagaimana dimaksud pada ayat (10), untuk pemasukan barang dari TLDDP harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. dilakukan apabila terdapat pembatalan pemasukan Barang Kena Pajak berasal dari TLDDP; dan
  2. disampaikan kepada Pengusaha Kena Pajak di TLDDP yang menyerahkan Barang Kena Pajak.

    


Paragraf 8
Pelayanan Mandiri

Pasal 56

(1) Berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi KEK, KEK dapat diberikan fasilitas pelayanan kepabeanan mandiri.
(2) Beberapa kriteria yang dapat digunakan oleh Kepala Kantor Pabean untuk dapat melakukan pelayanan kepabeanan mandiri, diantaranya:
  1. sudah menggunakan sistem komputer yang terintegrasi dengan Indonesia National Single Window dalam proses pergerakan barang ke dan dari KEK, serta memiliki sistem penelusuran barang (traceability) dalam pengelolaan barang;
  2. Administrator KEK memiliki sistem pengawasan internal yang baik;
  3. Administrator KEK memiliki kesiapan sarana dan prasarana serta SDM yang mendukung pengawasan; dan/atau
  4. Pertimbangan lain yang dapat dipertanggungjawabkan, dengan mempertimbangkan faktor risiko.
(3) Pelayanan kepabeanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman, pelayanan pemasukan barang, pelayanan pembongkaran barang, pelayanan penimbunan barang, pelayanan pemuatan barang, pelayanan pengeluaran barang, dan/atau pelayanan lainnya.

 

Paragraf 9
Tanggung Jawab dan Kewajiban

Pasal 57

(1) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK bertanggung jawab atas bea masuk, cukai, dan/atau PDRI yang terutang atas barang impor yang mendapat fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai yang berada atau seharusnya berada di lokasi Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang bersangkutan.
(2) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK bertanggung jawab terhadap cukai dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas barang asal TLDDP yang mendapat fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai yang berada atau seharusnya berada di lokasi Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK.
(3) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika barang impor yang mendapat fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai:
  1. musnah tanpa sengaja;
  2. diekspor atau diekspor kembali;
  3. diimpor untuk dipakai dengan menyelesaikan kewajiban pabean, cukai, dan/atau perpajakan;
  4. dikeluarkan ke perusahaan yang mendapatkan fasilitas kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan; dan/atau
  5. dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai.
(4) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dapat mengajukan permintaan klarifikasi secara suka rela atas hasil pencacahan yang dilakukan sendiri, jika menemukan selisih kurang antara fisik barang yang seharusnya berada di lokasi Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK dengan saldo pada Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory).
(5) Jika hasil penelitian berdasarkan permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyatakan tidak terdapat unsur pelanggaran, Pejabat Bea Cukai menerbitkan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk dan PDRI atas barang yang hilang tanpa dikenakan denda administrasi.
(6) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dapat melakukan Pembayaran Inisiatif atas:
  1. jumlah (Voluntary Payment on Quantity); atau
  2. nilai transaksi (Voluntary Payment on Transaction Value),
dengan melakukan pembayaran kekurangan Bea Masuk, cukai, dan/atau PDRI sebelum penetapan pejabat bea dan cukai atau belum dilakukan penelitian ulang atau Audit Kepabeanan.

  


Pasal 58

Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK wajib:

  1. memasang tanda nama perusahaan sebagai Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK;
  2. menyediakan sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pertukaran data secara elektronik untuk Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang diawasi oleh Kantor Pabean yang menerapkan SINSW;
  3. mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT inventory) yang merupakan subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan keuangan dan dapat diakses untuk kepentingan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak;
  4. mendayagunakan Closed Circuit Television (CCTV) untuk pengawasan pemasukan dan pengeluaran barang yang dapat diakses secara langsung (realtime) dan daring (online) oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak serta memiliki data rekaman paling sedikit 7 (tujuh) hari sebelumnya;
  5. memiliki Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai (NPPBKC) dalam hal jenis barang yang ditimbun berupa Barang Kena Cukai (BKC);
  6. melakukan pencacahan (stock opname) terhadap barang- barang yang ditimbun di Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK bersama-sama dengan Pejabat Bea dan Cukai dari Kantor Pabean yang mengawasi, paling sedikit 1 (satu) kali pencacahan (stock opname) dalam kurun waktu 1 (satu) tahun;
  7. menyimpan dan menatausahakan barang yang ditimbun di dalam Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK secara tertib, sehingga dapat diketahui jenis, spesifikasi, jumlah pemasukan, dan pengeluaran sediaan barang secara sistematis secara elektronik, serta posisinya jika dilakukan pencacahan (stock opname);
  8. menyimpan dan memelihara dengan baik buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun;
  9. menyelenggarakan pembukuan berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia;
  10. mengajukan perubahan (update) data jika terdapat data yang berubah terkait perizinan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK;
  11. memberikan akses terhadap data dan dokumen seluruh kegiatan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK yang dibutuhkan dalam rangka pemeriksaan pabean oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
  12. menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK jika dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


Paragraf 10
Ketentuan Larangan dan Pembatasan

Pasal 59

(1) Ketentuan larangan impor dan ekspor ke dan dari KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai larangan impor dan ekspor.
(2) Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan, kecuali instansi teknis yang berwenang menerbitkan kebijakan pembatasan menyatakan secara khusus bahwa ketentuan pembatasan dimaksud berlaku di KEK.
(3) Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke TLDDP berlaku ketentuan pembatasan di bidang impor, kecuali sudah dipenuhi pada saat pemasukannya.
(4) Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke:
  1. Pelaku Usaha di KEK lain;
  2. TPB;
  3. Kawasan Bebas; dan/atau
  4. perusahaan penerima fasilitas pembebasan dan pengembalian di luar KEK,
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembatasan di bidang impor yang berlaku di tempat tujuan.


Paragraf 11
Monitoring, Evaluasi, Audit Perpajakan,
Audit Kepabeanan dan Cukai, dan Sanksi

Pasal 60

(1) Berdasarkan manajemen risiko, terhadap Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK dapat dilakukan:
  1. monitoring dan evaluasi kepabeanan dan/atau cukai;
  2. audit kepabeanan dan/atau cukai;
  3. audit perpajakan; dan/atau
  4. pemeriksaan sewaktu-waktu.
(2) Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan terhadap pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK.
(3) Kegiatan audit kepabeanan dan/atau cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan menguji tingkat kepatuhan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
(4) Kegiatan audit perpajakan dan pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan dengan menguji tingkat kepatuhan Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memanfaatkan informasi yang diperoleh dari Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory) Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha.
(6) Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama, melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha di KEK yang berada dalam pengawasannya sesuai dengan kewenangan masing-masing.


Pasal 61

Menteri melakukan evaluasi terhadap pemberian fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai di KEK dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian kawasan paling sedikit 5 (lima) tahun sekali.



Pasal 62

(1) Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai atas pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan/atau dari KEK, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan penelitian secara mendalam.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya:
  1. pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud segera ditindaklajuti dengan pengenaan sanksi administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai sanksi administrasi di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai; atau
  2. bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindak pidana perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai, bukti permulaan tersebut segera ditindaklajuti dengan penyidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai penyidikan di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai.
(3) Dalam hal Badan usaha dan/atau Pelaku Usaha KEK terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan orang tersebut merupakan warga negara asing, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat menyampaikan pemberitahuan kepada instansi yang berwenang menangani bidang keimigrasian untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang imigrasi.


Pasal 63

Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri dapat membekukan dan/atau mencabut fasilitas pembebasan bea masuk atau penangguhan bea masuk kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha jika Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha memenuhi kriteria pembekuan dan/atau pencabutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.


 

Bagian Kelima
Tambahan Fasilitas Perpajakan, Kepabeanan dan/atau Cukai
di KEK Pariwisata

Pasal 64

(1) Pembelian rumah tinggal atau hunian yang menjadi Kegiatan Utama pada KEK Pariwisata diberikan pembebasan Pajak Penghasilan atas Penjualan barang yang tergolong sangat mewah.
(2) Pembebasan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud ayat (1), dilakukan dengan penerbitan surat keterangan bebas.
(3) Tata cara penerbitan surat keterangan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 65

(1) Atas penyerahan properti/hunian di KEK pariwisata diberikan fasilitas pembebasan Pajak Penjualan Atas arang Mewah.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan properti/hunian di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membuat Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan cap atau keterangan yang menyatakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dibebaskan.


Pasal 66

(1) Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian barang bawaan oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dari toko retail di KEK pariwisata dapat dikembalikan.
(2) Pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 67

(1) Pelaku Usaha di KEK Pariwisata dapat diberikan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai atas pemasukan barang modal dan/atau bahan baku usaha bagi kegiatan:
  1. penyediaan akomodasi;
  2. pusat pertemuan dan konferensi;
  3. marina dan/atau dermaga khusus kapal wisata;
  4. bandara khusus wisata;
  5. jasa transportasi wisata;
  6. pengembangan resort dan hunian;
  7. jasa makanan dan minuman;
  8. pusat perbelanjaan;
  9. pusat hiburan dan rekreasi;
  10. pusat edukasi dan/atau pelatihan;
  11. pusat dan sarana olahraga;
  12. pusat kesehatan;
  13. pusat perawatan lanjut usia (retirement center); dan/atau
  14. kegiatan lain yang mendukung pariwisata yang ditetapkan oleh dewan nasional.
(2) Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
  1. pembebasan bea masuk atas pemasukan Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa; dan/atau
  2. penangguhan bea masuk untuk pemasukan barang yang akan dijual di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata.
(3) Pelaku Usaha di KEK Pariwisata dapat diberikan fasilitas pembebasan bea masuk atas pemasukan Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa dari luar Daerah Pabean, dengan ketentuan bahan baku yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk:
  1. sesuai dengan bidang usahanya;
  2. dimasukkan dalam jumlah yang wajar sesuai dengan kebutuhan usahanya; dan
  3. digunakan untuk kegiatan produksi jasa di KEK.
(4) Jenis Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa yang dapat diberikan pembebasan bea masuk, dicantumkan dalam daftar barang yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(5) Jenis dan jumlah Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa yang boleh diimpor, ditetapkan oleh Administrator KEK dengan menggunakan skema/kriteria yang ditetapkan oleh Dewan Nasional.
(6) Dalam hal Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa berupa Barang Kena Cukai, harus dilunasi cukainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang cukai pada saat pemasukkannya.
(7) Ketentuan larangan impor dan ekspor di KEK berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang larangan dan pembatasan impor dan ekspor.
(8) Pemasukan Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa dari luar Daerah Pabean ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan dan tata niaga di bidang impor kecuali ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Pemasukan barang dengan menggunakan dokumen ATA/CPD Carnet dapat dilakukan di KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

 

 

Pasal 68

(1) Pelaku Usaha di KEK Pariwisata yang berbentuk toko atau pusat perbelanjaan dapat menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang asal TLDDP untuk dijual ke wisatawan asing dan/atau domestik di lokasi KEK Pariwisata.
(2) Barang asal luar Daerah Pabean yang dijual di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan fasilitas penangguhan bea masuk dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. telah memenuhi perizinan sebagai Pelaku Usaha Logistik dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2);
  2. dalam satu lokasi toko atau pusat perbelanjaan memiliki ruang/tempat penimbunan barang dan ruang/tempat penjualan yang terpisah; dan
  3. barang yang dijual di toko atau pusat perbelanjaan harus diserahkan di ruang/tempat penjualan.
(3) Pemasukan barang asal Luar Daerah Pabean dengan diberikan fasilitas penangguhan bea masuk, harus ditimbun di ruang/tempat penimbunan barang di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dan sudah dipenuhi ketentuan pembatasannya saat pemasukannya.
(4) Pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean dari ruang/tempat penimbunan barang ke ruang/tempat penjualan di toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai pengeluaran barang dari Pelaku Usaha di KEK ke TLDDP dan pemenuhan kewajiban kepabeanannya dapat dilakukan secara berkala.
(5) Barang Kena Cukai asal luar Daerah Pabean yang ditujukan untuk dijual oleh toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, harus dilakukan pelunasan cukainya dilakukan pada saat pemasukan ke KEK.
(6) Pelaku Usaha Jasa dapat membeli Bahan Baku Usaha Habis Pakai untuk industri jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) huruf a dari toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata, dan atas pembelian tersebut diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan PDRI setelah memenuhi persyaratan kuota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (5),
(7) Pengeluaran Bahan Baku Usaha Habis Pakai, dari ruang/tempat penimbunan toko atau pusat perbelanjaan di KEK Pariwisata ke lokasi Pelaku Usaha Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan sesuai ketentuan perpindahan barang antar Pelaku Usaha KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51.


BAB III
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Badan Usaha atau Pelaku Usaha yang telah memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, tetap dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan sampai dengan berakhirnya jangka waktu pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud.



Pasal 70

Terhadap usulan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus yang telah disampaikan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, dapat diproses dengan Peraturan Menteri ini dengan ketentuan Badan Usaha atau Pelaku Usaha harus melengkapi persyaratan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5).



Pasal 71

(1) Terhadap Badan Usaha yang telah dibentuk sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 dapat diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
  2. pengajuan permohonan:
    1. disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini;
    2. dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dalam hal Badan Usaha telah mulai beroperasi komersial paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Menteri ini berlaku; dan
    3. memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5); dan
  3. dikecualikan dari ketentuan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dan huruf f terpenuhi bagi Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan kewajiban merealisasikan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d dan Pasal 16 ayat (3) harus dipenuhi paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diterbitkan.
(3) Terhadap Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah mulai berproduksi komersial sebelum Peraturan Menteri ini berlaku sampai dengan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Menteri ini berlaku, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diberikan berlaku sejak ditetapkannya keputusan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 24 April 2020 sampai dengan tanggal diterbitkannya keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan berupa:
1) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari pengalihan tanah dan/atau bangunan di KEK;
2) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK; dan
3) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari Kegiatan Usaha Utama di KEK selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2),
termasuk penghasilan yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
b. Pajak Penghasilan yang telah disetor sendiri atau dipotong dan/atau dipungut atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat diajukan pengembalian pembayaran pajak sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.


Pasal 72

(1) Terhadap Badan Usaha yang dibentuk setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus sampai dengan 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dapat diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ini, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
b. pengajuan permohonan:
1) paling lambat 1 (satu) tahun setelah Izin Usaha diterbitkan oleh Lembaga OSS;
2) dikecualikan dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dalam hal Badan Usaha telah mulai beroperasi komersial paling lama 60 (enam puluh) hari setelah berlakunya Peraturan Menteri ini; dan
3) memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5); dan
c. dikecualikan dari ketentuan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dan huruf f terpenuhi bagi Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ketentuan kewajiban merealisasikan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d dan Pasal 16 ayat (3) harus dipenuhi paling lama 4 (empat) tahun terhitung sejak surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) diterbitkan.
(3) Terhadap Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah mulai berproduksi komersial sebelum Peraturan Menteri ini berlaku sampai dengan paling lama 60 (enam puluh) hari sejak Peraturan Menteri ini berlaku, fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang diberikan berlaku sejak diterbitkannya keputusan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
a. penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak tanggal penerbitan Izin Usaha sampai dengan tanggal diterbitkannya keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan berupa:
1) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di KEK;
2) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari persewaan tanah dan/atau bangunan di KEK; dan
3) penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh Badan Usaha yang berasal dari Kegiatan Usaha Utama di KEK selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 2), 
termasuk penghasilan yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
b. Pajak Penghasilan yang telah disetor sendiri atau dipotong dan/atau dipungut atas penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dapat diajukan pengembalian pembayaran pajak sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang.


Pasal 73

Terhadap Pelaku Usaha dengan izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota atau Perizinan Berusaha yang diterbitkan Lembaga OSS sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus, pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 dapat diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ini sepanjang:

1. belum berproduksi komersial sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
2. izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi/Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten/Kota atau izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga OSS tersebut belum pernah diterbitkan:
a. keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
b. keputusan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
c. keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus;
d. pemberitahuan pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal atau perluasan usaha di bidang industri padat karya; atau
e. keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada kawasan industri;
3. Pelaku Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
a. Pasal 8 ayat (2) untuk permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau
b. Pasal 8 ayat (4) untuk permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b;
4. pengajuan permohonan, dilakukan:
a. paling lama 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini;
b. sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
c. memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5);
5. terhadap Pelaku Usaha yang telah berproduksi komersial sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus sampai dengan 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Menteri ini:
a. dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4 huruf b;
b. dikecualikan dari ketentuan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e;
c. untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan:
1) pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berlaku sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh Pelaku Usaha dari Kegiatan Usaha Utama sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan tanggal diterbitkannya keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan termasuk ke dalam penghasilan yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
3) Pajak Penghasilan yang telah disetor sendiri atau dipotong dan/atau dipungut dapat diajukan pengembalian pembayaran pajak sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
d. untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
1) pemanfaatan fasilitas dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan
2) dasar perhitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a ditetapkan melalui pemeriksaan lapangan berdasarkan, nilai realisasi aktiva tetap berwujud pada Saat Mulai Berproduksi Komersial.


Pasal 74

Terhadap Pelaku Usaha dengan Perizinan Berusaha yang diterbitkan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus sampai dengan 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 dapat diberikan berdasarkan Peraturan Menteri ini, sepanjang:

1. Perizinan Berusaha tersebut belum pernah diterbitkan:
  1. keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu;
  2. keputusan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan;
  3. pemberitahuan pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal atau perluasan usaha di bidang industri padat karya; atau
  4. keputusan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan pada kawasan industri;
2. Pelaku Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
  1. Pasal 8 ayat (2) untuk permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a; atau
  2. Pasal 8 ayat (4) untuk permohonan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b;
3. pengajuan permohonan, dilakukan:
  1. paling lama 1 (satu) tahun sejak Perizinan Berusaha diterbitkan oleh Lembaga OSS;
  2. sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial; dan
  3. memenuhi persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5);
4. terhadap Pelaku Usaha yang telah berproduksi komersial sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 tentang Fasilitas dan Ke.mudahan di Kawasan Ekonomi Khusus sampai dengan 60 (enam puluh) hari sejak berlakunya Peraturan Menteri ini:
II. dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 huruf b;
III. dikecualikan dari ketentuan pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf e;
IV. untuk fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan:
1) pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berlaku sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial;
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh Pelaku Usaha dari Kegiatan Usaha Utama sejak Saat Mulai Berproduksi Komersial sampai dengan tanggal diterbitkannya keputusan pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan termasuk ke dalam penghasilan yang diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
3) Pajak Penghasilan yang telah disetor sendiri atau dipotong dan/atau dipungut dapat diajukan pengembalian pembayaran pajak sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur tentang tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
V. untuk fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan:
1) pemanfaatan fasilitas dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan
2) dasar perhitungan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a ditetapkan melalui pemeriksaan lapangan berdasarkan nilai realisasi aktiva tetap berwujud pada Saat Mulai Berproduksi Komersial.


Pasal 75

(1) Perusahaan yang telah berada di lokasi KEK sebelum lokasi tersebut ditetapkan menjadi KEK, menjadi Pelaku Usaha di KEK dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. atas mesin, peralatan, serta barang dan bahan baku yang diimpor oleh pengusaha di TPB sebelum lokasi TPB ditetapkan menjadi KEK;
  2. atas barang dan bahan baku yang diimpor oleh pengusaha KITE Pembebasan; dan
  3. atas barang dan bahan baku yang diimpor oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang digunakan dalam kegiatan proses produksi,
diperlakukan sebagai barang yang mendapat fasilitas penangguhan bea masuk.
(2) Atas barang modal berupa mesin dan peralatan yang telah diimpor oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dengan mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk yang belum digunakan di lokasi KEK selama 4 (empat) tahun sejak diimpor beralih menjadi barang modal dengan fasilitas penangguhan bea masuk.
(3) Atas barang modal berupa mesin dan peralatan yang telah diimpor oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha dengan mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk yang telah digunakan di lokasi KEK lebih dari 4 (empat) tahun sejak diimpor diperlakukan sebagai barang yang berasal dari TLDDP.
(4) Atas barang modal berupa mesin dan peralatan yang telah diimpor dengan fasilitas kawasan bebas diperlakukan sebagai barang yang diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka pembangunan dan pengembangan sejak ditetapkan menjadi KEK.



Pasal 76

(1) Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2020 yang telah dibayar oleh Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau jasa Kena Pajak sejak tanggal 24 April 2020 sampai dengan Peraturan Menteri ini berlaku, dapat dikembalikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d dan huruf f, dapat dikembalikan sepanjang Badan Usaha/Pelaku Usaha membuat PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b dan Pasal 31 ayat (1) paling lama dua bulan sejak Peraturan Menteri ini berlaku.
(3) Dalam hal SINSW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) belum tersedia, kewajiban pembuatan dokumen kepabeanan dan PJKEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 31 ayat (1)  dan ayat (2), serta Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), diganti dengan pembuatan Rencana Perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak (Proforma), dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dibuat secara manual oleh Badan Usaha, Pelaku Usaha, Pengusaha di Kawasan Bebas, atau Pengusaha TPB; dan
  2. disampaikan oleh Badan Usaha atau Pelaku Usaha, kepada Pengusaha Kena Pajak di TLDDP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan.
(4) Bentuk Rencana Perolehan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak (Proforma) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 77

(1) Untuk mendukung kelancaran pelayanan kepabeanan serta untuk mengisi kekosongan hukum dalam masa peralihan, diatur ketentuan sebagai berikut:
  1. Pelaku Usaha yang sudah beroperasi komersial, sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan diberlakukannya SINSW dan penggunaan dokumen PPKEK, kegiatan pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan sistem dan dokumen TPB setelah ditetapkan sebagai kawasan pabean; dan/atau
  2. Pelaku Usaha yang masih dalam proses pembangunan, pemasukan barang dari luar daerah pabean diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang impor umum.
(2) Badan Usaha dan Pelaku Usaha yang sudah beroperasi di lokasi KEK wajib mendayagunakan IT Inventory dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak menggunakan fasilitas kepabeanan dan perpajakan.


BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 78

Direktur Jenderal Bea dan Cukai menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai:

  1. tata cara penetapan serta kriteria IT Inventory, dan
  2. tata cara penetapan Kawasan Pabean, dan tatacara pemasukan, pergerakan, dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.


Pasal 79

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.010/2016 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 997), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 80

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 30 Desember 2020

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 1685