TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129/PMK.05/2020
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. | tujuan dan asas; |
b. | persyaratan, penetapan, dan pencabutan; |
c. | standar dan tarif layanan; |
d. | pengelolaan keuangan; dan |
e. | tata kelola. |
BAB II
TUJUAN DAN ASAS
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 3
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan Praktik Bisnis yang Sehat.
Bagian Kedua
Asas
Pasal 4
(1) | BLU beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Negara/Lembaga untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. |
(2) | Kementerian Negara/Lembaga tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikannya kepada BLU dan menjalankan peran pengawasan terhadap kinerja BLU dan pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan. |
(3) | BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan Kementerian Negara/Lembaga dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari Kementerian Negara/Lembaga sebagai instansi induk. |
(4) | Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. |
(5) | Layanan BLU dapat diarahkan untuk menghasilkan manfaat yang mendukung stabilisasi ekonomi dan fiskal. |
(6) | Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(7) | BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. |
(8) | Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga. |
(9) | BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan Praktik Bisnis yang Sehat. |
(10) | Dalam rangka mewujudkan konsep bisnis yang sehat, BLU harus senantiasa meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang dapat berupa kewenangan merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan. |
BAB III
PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 5
Satker dapat diizinkan untuk mengelola keuangan dengan menerapkan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan:
a. | substantif; |
b. | teknis; dan |
c. | administratif. |
Pasal 6
(1) | Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terpenuhi apabila Satker menyelenggarakan pelayanan umum berupa:
|
||||||
(2) | Pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
Pasal 7
(1) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terpenuhi apabila Satker memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(2) | Kinerja pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuktikan dengan adanya rekomendasi dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 8
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terpenuhi apabila Satker dapat menyajikan seluruh dokumen persyaratan administratif sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mendapatkan persetujuan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||
(3) | Pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat oleh pemimpin Satker. | ||||||||||||
(4) | Pola tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan peraturan internal yang paling sedikit meliputi penetapan organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan transparansi. | ||||||||||||
(5) | Peraturan internal terkait organisasi dan tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||||||||||
(6) | Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. | ||||||||||||
(7) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan dokumen perencanaan lima tahunan yang disusun oleh Pemimpin BLU dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||||
(8) | Laporan keuangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. | ||||||||||||
(9) | Untuk Satker yang baru dibentuk, laporan keuangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa prognosa laporan keuangan tahun berjalan atau berikutnya. | ||||||||||||
(10) | Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||
(11) | Laporan audit terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan laporan auditor tahun terakhir sebelum Satker yang bersangkutan diusulkan untuk menerapkan PPK-BLU. | ||||||||||||
(12) | Pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dibuat oleh Satker yang telah maupun belum diaudit secara independen. |
Pasal 9
Persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Penetapan dan Pencabutan
Paragraf 1
Penetapan
Pasal 10
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga mengusulkan Satker yang memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif untuk ditetapkan sebagai Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan. |
(2) | Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengusulan kolektif. |
(3) | Pengusulan penetapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 11
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. | ||||
(2) | Penilaian oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 12
(1) | Dalam hal Satker memenuhi persyaratan substantif, Direktur Jenderal Perbendaharaan melanjutkan pengujian terhadap pemenuhan persyaratan teknis. |
(2) | Dalam hal Satker tidak memenuhi persyaratan substantif, Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menyampaikan surat penolakan usulan penetapan penerapan PPK-BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul. |
(3) | Dalam hal Satker memenuhi persyaratan teknis, Direktur Jenderal Perbendaharaan melanjutkan pengujian terhadap pemenuhan persyaratan administratif. |
(4) | Dalam hal Satker tidak memenuhi persyaratan teknis, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat penolakan usulan penetapan penerapan PPK-BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul. |
(5) | Dalam hal dokumen persyaratan administratif telah memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan dokumen persyaratan administratif kepada tim penilai untuk dilakukan penilaian. |
(6) | Dalam hal dokumen persyaratan administratif belum memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen persyaratan administratif. |
(7) | Penilaian usulan penetapan PPK-BLU tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 13
(1) | Penilaian terhadap dokumen persyaratan administratif yang dilakukan oleh tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. | ||||||
(2) | Hasil penilaian oleh tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rekomendasi:
|
||||||
(3) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat:
|
||||||
(4) | Tim penilai menyampaikan hasil rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 14
(1) | Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang telah memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, persyaratan administratif, serta rekomendasi tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan. |
(2) | Menteri Keuangan memberi keputusan penetapan terhadap usulan penetapan penerapan PPK-BLU paling lama 3 (tiga) bulan sejak dokumen persyaratan administratif terpenuhi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. |
(3) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat penetapan Satker untuk menerapkan PPK-BLU. |
(4) | Penetapan Satker untuk menerapkan PPK-BLU sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat berupa penetapan kolektif. |
Paragraf 2
Pencabutan
Pasal 15
Menteri Keuangan dapat mencabut penerapan PPK-BLU berdasarkan:
a. | hasil monitoring dan evaluasi serta penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik; dan/atau |
b. | usulan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 16
(1) | Penerapan PPK-BLU dapat dicabut, apabila berdasarkan:
|
||||||
(2) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila pelayanan umum yang diberikan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6. | ||||||
(3) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7. | ||||||
(4) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila tidak mencapai target sesuai dengan rencana pencapaian kinerja yang tercantum dalam dokumen persyaratan administratif yang disampaikan pada saat pengusulan penetapan penerapan PPK-BLU. | ||||||
(5) | Hasil penilaian kinerja dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik dikelompokkan dalam kriteria buruk dan/atau tidak mencapai ambang batas nilai yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. |
Pasal 17
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, BLU:
|
||||||||
(2) | BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan tenggang waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima untuk melakukan pemenuhan persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan/atau persyaratan administratif, mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pengelolaan keuangan BLU, dan/atau memperbaiki kinerja dan/atau tata kelola. | ||||||||
(3) | Apabila setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BLU tidak dapat memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan/atau persyaratan administratif, tidak mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pengelolaan keuangan BLU, dan/atau tidak menunjukkan peningkatan kinerja dan/atau tata kelola, Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat mengusulkan pencabutan penerapan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan melalui tim penilai. |
Pasal 18
(1) | Tim penilai melakukan penilaian terhadap usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). | ||||||
(2) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil monitoring dan evaluasi serta penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik. | ||||||
(3) | Berdasarkan hasil penilaian, tim penilai memberikan rekomendasi pencabutan status BLU yang paling sedikit memuat:
|
||||||
(4) | Tim penilai menyampaikan hasil rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 19
Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan pencabutan penerapan PPK-BLU serta rekomendasi tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan.
Pasal 20
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan pertimbangan atas usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan. |
Pasal 21
(1) | Menteri Keuangan menetapkan keputusan pencabutan penerapan PPK-BLU paling lama 3 (tiga) bulan sejak usulan pencabutan diterima dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Apabila jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, usulan pencabutan dianggap ditolak. |
Bagian Ketiga
Lain-lain
Pasal 22
(1) | Satker yang telah dicabut penerapan PPK-BLU-nya oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan huruf b diberikan masa transisi dalam rangka peralihan menjadi Satker yang tidak menerapkan PPK-BLU. | ||||||||
(2) | Hal-hal yang diselesaikan dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
|
||||||||
(3) | Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU Satker berkenaan ditetapkan. |
Pasal 23
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan penerapan PPK-BLU terhadap Satker yang telah dicabut penerapan PPK-BLU-nya oleh Menteri Keuangan.
Pasal 24
Menteri Keuangan dapat melakukan kebijakan moratorium penetapan penerapan PPK-BLU atau menolak usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang direkomendasikan oleh tim penilai berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi:
a. | kebijakan fiskal Pemerintah; dan/atau |
b. | optimalisasi pembinaan terhadap BLU. |
Pasal 25
(1) | Dalam hal Satker yang menerapkan PPK-BLU berubah status menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan, maka penerapan PPK-BLU dinyatakan berakhir. |
(2) | Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). |
Pasal 26
(1) | Dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen persyaratan administratif berupa pola tata kelola, rencana strategis dan bisnis, dan standar pelayanan minimum, Pemimpin BLU menyampaikan perubahan dokumen kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Perubahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) minggu setelah dokumen berkenaan ditetapkan oleh pejabat berwenang. |
(3) | BLU yang tidak menyampaikan perubahan dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengurangi penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik. |
Pasal 27
(1) | Dalam hal terdapat perubahan jenis pelayanan umum BLU, Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan penetapan kembali sebagai Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan, dengan mengikuti ketentuan mengenai pengajuan, penilaian dan penetapan usulan penerapan PPK-BLU, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. | ||||||||
(2) | Dalam hal terdapat perubahan nomenklatur BLU namun tidak berakibat pada perubahan jenis pelayanan umum, Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan perubahan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan penetapan menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi mengenai perubahan nomenklatur BLU. | ||||||||
(3) | Dalam hal perubahan nomenklatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perubahan kode unik bagian anggaran, kode unik unit eselon I, dan/atau kode unik Satker, Satker yang menerapkan PPK-BLU BLU melakukan proses likuidasi administrasi terhadap satker lama paling sedikit sebagai berikut:
|
Pasal 28
Pengusulan penetapan PPK-BLU dan penilaian usulan penetapan PPK-BLU dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian, penetapan, dan pencabutan penerapan PPK-BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB IV
STANDAR DAN TARIF LAYANAN
Bagian Kesatu
Standar Layanan
Pasal 30
(1) | BLU dalam memberikan layanan menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Standar pelayanan minimum dapat diusulkan oleh BLU. |
(3) | Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya, serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. |
(4) | Standar pelayanan minimum pada BLU tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Kedua
Tarif Layanan
Pasal 31
(1) | BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan dalam bentuk tarif. | ||||||
(2) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh BLU untuk menghasilkan barang/jasa layanan. | ||||||
(3) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. | ||||||
(4) | Penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
Pasal 32
Tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek:
a. | kontinuitas dan pengembangan layanan, yaitu tarif layanan dapat meningkatkan kemampuan BLU dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan biaya dalam penyediaan barang/jasa layanan dan mendorong kesinambungan serta pengembangan bisnis BLU; |
b. | daya beli masyarakat, yaitu tarif layanan memperhitungkan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli barang/jasa layanan yang dihasilkan oleh BLU, berdasarkan pendapatan masyarakat, perubahan harga barang/jasa layanan, dan nilai mata uang; |
c. | asas keadilan dan kepatutan, yaitu tarif layanan menjamin bahwa setiap orang/pelanggan memperoleh pelayanan yang sama sesuai dengan hak dan manfaat yang diterima, dan tarif layanan memperhitungkan situasi dan kondisi sosial masyarakat; dan |
d. | kompetisi yang sehat, yaitu tarif layanan mampu menjamin dan menjaga Praktik Bisnis yang Sehat tanpa menimbulkan gangguan pada industri dan bisnis sejenis yang lain. |
Pasal 33
(1) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 berupa besaran tarif dan/atau pola tarif. | ||||
(2) | Besaran tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan tarif layanan dalam bentuk:
|
||||
(3) | Pola tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan tarif layanan dalam bentuk formula. |
Pasal 34
(1) | Pemimpin BLU mengajukan usulan tarif layanan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan tarif layanan baru dan/atau usulan perubahan tarif layanan. |
(3) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk dokumen pengusulan yang disusun dan ditandatangani oleh Pemimpin BLU. |
(4) | Dokumen pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun menggunakan sistematika sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 35
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam penetapan tarif layanan yang dikenakan kepada masyarakat oleh BLU. | ||||||
(2) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lama 6 (enam) bulan setelah BLU ditetapkan. | ||||||
(3) | Dalam hal batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, Menteri/Pimpinan Lembaga menjelaskan alasan keterlambatan penyampaian usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan. | ||||||
(4) | Dalam hal usulan tarif layanan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan kepada Menteri Keuangan sampai dengan 12 (dua belas) bulan setelah BLU ditetapkan, Menteri Keuangan dapat mengevaluasi penetapan BLU. | ||||||
(5) | Kebijakan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Penyampaian usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan/pernyataan telah dilakukan pengujian/telaah oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(7) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan tarif layanan kolektif. |
Pasal 36
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan tarif layanan yang disampaikan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(2) | Untuk penilaian usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menunjuk tim penilai untuk memberikan pertimbangan/rekomendasi. |
(3) | Kewenangan untuk menunjuk tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(4) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat menggunakan indeks tarif yang diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 37
(1) | Berdasarkan pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Menteri Keuangan memberikan penetapan atau penolakan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(2) | Pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil kajian dan penilaian terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(3) | Penetapan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. |
(4) | Penetapan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat berupa penetapan tarif layanan kolektif. |
(5) | Penolakan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dituangkan dalam bentuk surat penolakan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 38
(1) | Tarif layanan kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dapat berupa:
|
||||
(2) | Tarif layanan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi berdasarkan zona. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan zona pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 39
(1) | Menteri Keuangan dapat mendelegasikan kewenangan penetapan tarif layanan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU. | ||||||||
(2) | Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU. | ||||||||
(4) | Usulan pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam dokumen usulan tarif layanan baru dan/atau usulan perubahan tarif layanan. | ||||||||
(5) | Pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif layanan. | ||||||||
(6) | Dalam rangka menetapkan tarif layanan yang didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33. |
Pasal 40
Dalam hal BLU belum mempunyai tarif layanan yang diatur oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, BLU menggunakan tarif layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Pasal 41
Pendapatan yang diterima oleh BLU sebagai pelaksanaan penetapan tarif layanan berdasarkan Peraturan Menteri ini, merupakan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU.
Pasal 42
(1) | BLU menyampaikan laporan atas pelaksanaan tarif layanan BLU termasuk yang didelegasikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan tahunan yang disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. |
Pasal 43
Pengusulan dan pelaporan tarif layanan BLU untuk pelaksanaan Peraturan Menteri ini, dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN BLU
Bagian Kesatu
Perencanaan dan Penganggaran
Paragraf 1
Rencana Strategis Bisnis
Pasal 44
(1) | BLU menyusun RSB 5 (lima) tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(2) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
||||||||||
(3) | Format RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||
(4) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||||
(5) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||
(6) | Pemimpin BLU menyampaikan RSB kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 2 (dua) bulan sejak berakhirnya periode RSB. | ||||||||||
(7) | Dalam hal terjadi perubahan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga yang berdampak pada RSB dan/atau kondisi yang menyebabkan perlunya penyesuaian target capaian dalam RSB, Pemimpin BLU melakukan revisi RSB dimaksud paling lama 2 (dua) bulan sejak perubahan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(8) | Revisi RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||||
(9) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, revisi RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||
(10) | Pemimpin BLU menyampaikan RSB kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya RSB yang telah direvisi. |
Paragraf 2
Rencana Bisnis dan Anggaran
Pasal 45
(1) | BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada RSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1). | ||||||||
(2) | RBA paling sedikit memuat program, kegiatan, indikator kinerja utama, target kinerja, anggaran penerimaan/pendapatan, anggaran pengeluaran/belanja, estimasi saldo awal kas dan estimasi saldo akhir kas BLU, ambang batas, serta prakiraan RBA tahun berikutnya. | ||||||||
(3) | Target kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan target yang terukur, dapat dicapai, relevan dengan tenggat waktu yang jelas berdasarkan kemampuan dan potensi BLU yang dijabarkan dalam aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan BLU disertai dengan indikator keberhasilan dan kebutuhan anggarannya. | ||||||||
(4) | RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
|
||||||||
(5) | Basis kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara target kinerja yang direncanakan dan biaya yang dibutuhkan termasuk pemenuhan pendanaannya, serta efisiensi dalam pencapaian kinerja. | ||||||||
(6) | Perhitungan akuntansi biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling sedikit menyajikan perhitungan biaya langsung dan biaya tidak langsung berdasarkan standar biaya yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||||
(7) | Dalam hal BLU belum menyusun standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), BLU menggunakan standar biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. | ||||||||
(8) | Kemampuan Pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri dari:
|
||||||||
(9) | Penyusunan target pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b mempertimbangkan:
|
Pasal 46
(1) | Rencana belanja BLU yang dicantumkan ke dalam RBA mencakup belanja yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), belanja yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU, termasuk penggunaan saldo awal kas BLU. |
(2) | Dalam hal belanja lebih besar dari pendapatannya, BLU memprioritaskan penggunaan saldo awal kas. |
Pasal 47
(1) | RBA menganut Pola Anggaran Fleksibel dengan suatu Persentase Ambang Batas tertentu. |
(2) | Pola Anggaran Fleksibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(3) | Persentase Ambang Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung tanpa memperhitungkan saldo awal kas. |
(4) | Penetapan Persentase Ambang Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan target dan realisasi pendapatan/belanja serta fluktuasi kegiatan operasional BLU. |
(5) | Persentase Ambang Batas belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam RKA-K/L dan DIPA Petikan BLU. |
(6) | Pencantuman ambang batas dalam RKA-K/L dan DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa keterangan atau catatan yang memberikan informasi besaran Persentase Ambang Batas. |
Pasal 48
(1) | RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) disertai Ikhtisar RBA. |
(2) | Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan untuk menggabungkan RBA ke dalam RKA-K/L. |
Pasal 49
(1) | BLU mencantumkan rencana penerimaan dan pengeluaran yang tercantum dalam RBA ke dalam pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Ikhtisar RBA termasuk belanja dan pengeluaran pembiayaan yang didanai dari saldo awal kas. |
(2) | Rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang dicantumkan dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan basis kas. |
(3) | Rencana pendapatan BLU yang dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pendapatan penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) huruf b. |
Pasal 50
(1) | Rencana belanja BLU yang dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) mencakup semua belanja BLU, termasuk belanja yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), belanja yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU, penerimaan pembiayaan, dan belanja yang didanai dari saldo awal kas. |
(2) | Rencana belanja BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA dalam 3 (tiga) jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. |
Pasal 51
(1) | Rencana pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) mencakup semua penerimaan pembiayaan BLU dan pengeluaran pembiayaan BLU. |
(2) | Rencana penerimaan pembiayaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi penerimaan yang bersumber dari Pinjaman jangka pendek, Pinjaman jangka panjang, dan/atau penerimaan kembali/penjualan investasi jangka panjang BLU. |
(3) | Rencana pengeluaran pembiayaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pengeluaran untuk pembayaran pokok Pinjaman, pengeluaran investasi jangka panjang dan/atau pemberian Pinjaman. |
(4) | Pengeluaran pembiayaan BLU yang dicantumkan dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) merupakan pengeluaran pembiayaan BLU yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan dan penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(5) | Pengeluaran pembiayaan BLU yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah tercantum dalam DIPA selain DIPA Petikan BLU, atau anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun lalu dan telah dipertanggungjawabkan dalam pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara sebelumnya, tidak dicantumkan dalam lkhtisar RBA. |
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyusunan RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 53
(1) | Pemimpin BLU menyampaikan RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Menteri/Pimpinan Lembaga c.q. pejabat eselon I yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pembina teknis paling lambat pada akhir Desember, 2 (dua) tahun sebelum tahun pelaksanaan RBA. | ||||||||
(2) | RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||
(3) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, RBA ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(4) | Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(5) | Analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(6) | Dalam melakukan analisis RBA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU. | ||||||||
(7) | Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(8) | Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU. | ||||||||
(9) | Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Pasal 54
(1) | RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) yang merupakan bagian dari RKA-K/L yang telah disetujui dan ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran. |
(2) | Pengajuan RBA dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal dalam ketentuan penyusunan RKA-K/L. |
Pasal 55
(1) | Pemimpin BLU melakukan penyesuaian atas RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) menjadi RBA Definitif setelah Peraturan Presiden mengenai Rincian Anggaran Belanja Pemerintah ditetapkan dengan memperhatikan arah indikator kinerja (Key Performance Indicator) BLU yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. | ||||||
(2) | Penetapan arah indikator kinerja (Key Performance Indicator) BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit meliputi:
|
||||||
(3) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas, serta disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(4) | Dalam hal BLU tidak memiliki Dewan Pengawas, RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga, serta disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(5) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||
(6) | Pemimpin BLU menyampaikan RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat minggu kedua bulan Januari tahun pelaksanaan RBA. | ||||||
(7) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar dalam melakukan aktivitas/kegiatan BLU. |
Pasal 56
(1) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dapat dilakukan revisi dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
(2) | Kewenangan pengesahan revisi RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sebagai berikut:
|
||||||||||
(3) | Pemimpin BLU menyampaikan revisi RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai revisi RBA yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 58
Penyampaian RSB/RSB revisi, RBA/RBA revisi, analisis RBA, dan RBA Definitif/RBA Definitif revisi dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Pasal 59
(1) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) digunakan juga sebagai acuan dalam menyusun DIPA Petikan BLU. | ||||
(2) | DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat saldo awal kas, pendapatan, belanja, pembiayaan, saldo akhir kas, besaran Persentase Ambang Batas, proyeksi arus kas (termasuk rencana penarikan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara), dan jumlah serta kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan, sebagaimana ditetapkan dalam RBA Definitif. | ||||
(3) | Saldo awal kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersumber dari surplus anggaran tahun sebelumnya dan saldo pembiayaan bersih BLU tahun sebelumnya. | ||||
(4) | Saldo awal kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak termasuk:
|
||||
(5) | Saldo pembiayaan bersih BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan BLU dengan pengeluaran pembiayaan BLU. | ||||
(6) | Surplus anggaran tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan saldo kas yang berasal dari selisih lebih antara penerimaan negara bukan pajak BLU dengan belanja BLU, di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
Pasal 60
DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) tidak mencantumkan:
a. | Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun sebelumnya; dan/atau |
b. | Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan yang telah tercantum dalam DIPA lain. |
Pasal 61
DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 62
(1) | DIPA Petikan BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
(2) | Berdasarkan DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kuasa Pengguna Anggaran mengajukan Surat Perintah Membayar kepada KPPN. |
(3) | Berdasarkan Surat Perintah Membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 63
(1) | Pendapatan yang diperoleh oleh BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) huruf b dapat dikelola dan digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran BLU sesuai dengan RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). |
(2) | Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan hukum lain harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya. |
Pasal 64
(1) | Untuk pertanggungjawaban pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang dapat digunakan langsung, BLU mengajukan surat perintah pengesahan pendapatan dan belanja BLU kepada KPPN paling kurang satu kali dalam satu triwulan. |
(2) | Berdasarkan surat perintah pengesahan pendapatan dan belanja BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan Surat Pengesahan Pendapatan dan Belanja BLU terhadap pendapatan dan/atau belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang dapat digunakan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan pertanggungjawaban penggunaan dana BLU diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 65
(1) | Dalam hal revisi RBA Definitif berakibat pada perubahan DIPA Petikan BLU, maka revisi RBA Definitif diikuti dengan revisi DIPA Petikan BLU. | ||||||||||||
(2) | Revisi DIPA Petikan BLU terdiri atas revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU dan selain penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||
(3) | Revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diakibatkan oleh:
|
||||||||||||
(4) | Perubahan atau pergeseran rincian anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b paling sedikit meliputi:
|
Pasal 66
(1) | BLU dapat melakukan belanja dalam ambang batas sebelum pengesahan revisi DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) huruf b. |
(2) | BLU dapat melakukan belanja melampaui ambang batas setelah pengesahan revisi DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) huruf c. |
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 68
Revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari selain penerimaan negara bukan pajak BLU mengikuti ketentuan mengenai tata cara revisi DIPA.
Bagian Ketiga
Pendapatan dan Belanja
Pasal 69
(1) | Pendapatan BLU, terdiri atas:
|
||||||||||
(2) | Hasil usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit meliputi pendapatan jasa lembaga keuangan, hasil penjualan aset tetap, dan pendapatan sewa. | ||||||||||
(3) | Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilaporkan sebagai penerimaan negara bukan pajak Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(4) | Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sampai dengan huruf d dilakukan pertanggungjawaban pendapatan BLU berupa pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. | ||||||||||
(5) | Pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperlukan untuk hibah yang diterima dalam bentuk barang, jasa, dan/atau surat berharga. | ||||||||||
(6) | Hibah tidak terikat dan/atau hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak memerlukan nomor register hibah. |
Pasal 70
(1) | Belanja BLU terdiri atas:
|
||||||
(2) | Belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan belanja pegawai yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), sedangkan belanja pegawai yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU dimasukkan ke dalam belanja barang BLU. | ||||||
(3) | Belanja barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari belanja barang yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan belanja barang yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||
(4) | Belanja barang yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari belanja Gaji dan tunjangan, belanja barang, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, dan belanja penyediaan barang dan jasa BLU lainnya yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU, termasuk belanja pengembangan sumber daya manusia. | ||||||
(5) | Belanja modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari belanja modal yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan belanja modal BLU. | ||||||
(6) | Belanja modal yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan belanja modal yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) yang terdiri dari belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal lainnya. | ||||||
(7) | Belanja modal BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan belanja modal yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang terdiri dari belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal lainnya. | ||||||
(8) | Belanja modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) termasuk pengeluaran untuk perolehan aset tidak berwujud dan pengembangan aplikasi/software yang memenuhi kriteria aset tak berwujud. |
Pasal 71
(1) | Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti Praktik Bisnis yang Sehat. |
(2) | Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA. |
(3) | Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan. |
Bagian Keempat
Pengelolaan Kas
Paragraf 1
Umum
Pasal 72
(1) | Pengelolaan kas pada BLU meliputi:
|
||||||
(2) | Pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Praktik Bisnis yang Sehat. | ||||||
(3) | Transaksi penerimaan dan pengeluaran kas di BLU semaksimal mungkin dilakukan melalui sistem perbankan dan/atau sistem pembayaran elektronik lain. | ||||||
(4) | BLU harus menganalisis biaya dan manfaat atas pengelolaan kas pada sistem perbankan dan/atau sistem pembayaran elektronik lainnya untuk mengurangi hilangnya potensi pendapatan dari kas. | ||||||
(5) | Untuk mendukung keandalan nilai kas dari pengelolaan kas pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU mengembangkan sistem dan menyusun rekonsiliasi bank sebagai kebutuhan manajerial dan pelaporan keuangan posisi kas pada tanggal pelaporan. |
Pasal 73
(1) | Kas yang dimiliki BLU harus digunakan secara optimal untuk penyelenggaraan pemberian layanan. |
(2) | Penggunaan kas BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dalam hal BLU memiliki mandat untuk mengelola dana dan/atau kas tersebut telah direncanakan untuk suatu pengeluaran tertentu di masa mendatang dan telah dicantumkan dalam RSB. |
Pasal 74
(1) | Untuk pengelolaan kas, BLU membuka rekening yang terdiri atas:
|
||||||
(2) | Rekening Operasional BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Operasional Pengeluaran BLU. | ||||||
(3) | Dalam hal terdapat alasan efektivitas dan efisiensi, BLU dapat membuka 1 (satu) jenis Rekening Operasional BLU tanpa membagi rekening berkenaan menjadi Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Operasional Pengeluaran BLU. | ||||||
(4) | Selain rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU dapat membuka rekening pengeluaran untuk belanja yang bersumber dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Bunga/nisbah/jasa giro dari rekening yang dikelola BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) tidak dikenakan pajak. | ||||||
(6) | Mekanisme pembukaan dan penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 2
Penerimaan Kas
Pasal 75
(1) | Sumber penerimaan BLU berasal dari:
|
||||||||||||
(2) | Sumber penerimaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 76
(1) | Penerimaan yang berasal dari pendapatan dari jasa layanan, hasil investasi, hibah, dan sumber penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f disetorkan langsung ke Rekening Operasional Penerimaan BLU. | ||||
(2) | Dalam hal BLU hanya menerapkan 1 (satu) jenis rekening operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3), penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan langsung ke Rekening Operasional BLU. | ||||
(3) | Penerimaan yang berasal dari Pinjaman dan anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf d dan huruf e khusus alokasi bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah bagi BLU tertentu disetorkan ke Rekening Dana Kelolaan BLU. | ||||
(4) | Dalam hal penerimaan BLU diterima oleh fungsi kasir, fungsi kasir menyetorkan penerimaan paling lambat setiap akhir hari kerja saat penerimaan diterima ke rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). | ||||
(5) | Penyetoran penerimaan dapat dilakukan pada hari berikutnya dalam hal penerimaan diterima:
|
||||
(6) | Pemimpin BLU menetapkan batas waktu (cut-off) penerimaan untuk disetorkan pada hari yang sama dengan memperhatikan waktu jam operasional bank berakhir dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran. |
Pasal 77
Dalam proses penerimaan kas, harus ada pemisahan secara jelas antara pihak yang menerima kas, pihak yang memberikan pelayanan, dan pihak yang melakukan pembukuan.
Paragraf 3
Pengeluaran Kas
Pasal 78
(1) | Pengeluaran kas BLU meliputi:
|
||||
(2) | Belanja untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. | ||||
(3) | Penyaluran dana layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||
(4) | Belanja terkait dengan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan pembayaran kegiatan layanan yang tidak diharapkan untuk diterima kembali yang dapat berupa hibah dan/atau beasiswa. | ||||
(5) | Penyaluran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan pendanaan yang dikeluarkan untuk membiayai suatu kegiatan atau proyek berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BLU dengan masyarakat/lembaga yang harus dikembalikan dengan persyaratan tertentu yang dapat berupa penyaluran dana bergulir. |
Pasal 79
Dalam proses pengeluaran kas, harus ada pemisahan secara jelas antara penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen, pihak yang menguji dan menyetujui permintaan pembayaran, dan pihak yang melakukan pembayaran.
Pasal 80
(1) | BLU melakukan pelimpahan kas secara berkala dari Rekening Operasional Penerimaan BLU ke Rekening Operasional Pengeluaran BLU dalam rangka belanja untuk kegiatan operasional dan penyaluran dana layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a dan huruf b berdasarkan perencanaan kebutuhan dana yang akurat atau berdasarkan dokumen pengeluaran kas yang telah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang. |
(2) | Perencanaan dana yang akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan kas yang diperlukan untuk segera dilakukan pengeluaran. |
(3) | Pelaksanaan belanja untuk kegiatan operasional yang sumber dananya dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | BLU dapat membentuk kas kecil dalam rangka belanja untuk kegiatan operasional dengan nilai transaksi yang tidak mungkin dan/atau tidak efisien dilakukan melalui mekanisme perbankan. |
Pasal 81
(1) | Penyaluran belanja terkait dengan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) huruf a dilakukan dengan transfer dana secara langsung dari Rekening Operasional Pengeluaran BLU/Rekening Operasional BLU kepada rekening pihak ketiga. |
(2) | Penyaluran pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) huruf b dilakukan dengan transfer dana secara langsung dari Rekening Operasional Pengeluaran BLU/Rekening Operasional BLU atau Rekening Dana Kelolaan BLU kepada rekening pihak ketiga. |
Paragraf 4
Optimalisasi Kas
Pasal 82
BLU mengupayakan saldo minimal pada Rekening Operasional Pengeluaran BLU dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 80 ayat (1).
Pasal 83
(1) | BLU harus mengoptimalkan kas pada Rekening Operasional Penerimaan BLU dan/atau Rekening Dana Kelolaan BLU dengan melakukan investasi jangka pendek. |
(2) | Termasuk dalam pengertian kas yang harus dioptimalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kas yang dimiliki sebagai akibat perbedaan waktu diterimanya kas dengan saat dikeluarkannya kas. |
(3) | Pemimpin BLU menetapkan batas maksimal saldo dalam Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Dana Kelolaan BLU di luar yang dioptimalkan sebagai kas penyangga dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. |
(4) | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) berlaku mutatis mutandis terhadap BLU yang menerapkan 1 (satu) jenis Rekening Operasional BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3). |
Pasal 84
(1) | Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) merupakan kegiatan manajemen kas aktif berupa penempatan kas pada instrumen keuangan dengan risiko rendah. |
(2) | Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penempatan kas pada Rekening Pengelolaan Kas BLU berbentuk deposito on call dan/atau deposito berjangka pada Bank Umum. |
Pasal 85
(1) | Untuk memastikan ketersediaan kas pada saat diperlukan, BLU harus mengelola portofolio investasi dengan memperhatikan bauran instrumen investasi. |
(2) | Bauran instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan kredibilitas bank, jatuh tempo, nominal, dan ketentuan penalti. |
Pasal 86
(1) | BLU menyusun kebijakan investasi jangka pendek yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||
(2) | Kebijakan investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 87
(1) | BLU menyusun rencana investasi jangka pendek tahunan yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||
(2) | Rencana investasi jangka pendek tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 88
Pengelolaan investasi jangka pendek diselenggarakan oleh Pemimpin BLU atau Pejabat Pengelola setingkat di bawah Pemimpin BLU yang mempunyai fungsi pengelolaan kas dan/atau investasi.
Pasal 89
Dalam mengelola investasi jangka pendek, pengelola investasi harus melakukan:
a. | analisis terhadap risiko dan kajian yang memadai serta terdokumentasi dalam menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan investasi; dan |
b. | penyusunan, pendokumentasian, dan pemeliharaan catatan dan/atau kertas kerja terkait pengelolaan investasi. |
Pasal 90
(1) | BLU menyajikan data dan informasi pelaksanaan investasi jangka pendek yang dapat diakses secara real time oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Penyajian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
(3) | Penyajian data dan informasi laporan pelaksanaan investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 91
(1) | Pemilihan/penunjukan Bank Umum untuk membuka Rekening Operasional BLU, Rekening Dana Kelolaan BLU, dan Rekening Pengelolaan Kas BLU dilakukan melalui Beauty Contest. | ||||||
(2) |
Beauty Contestsebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme:
|
||||||
(3) | Pelaksanaan Beauty Contest khusus untuk Rekening Pengelolaan Kas BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui Kementerian Keuangan. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Beauty Contest yang dilakukan melalui Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 92
Pemimpin BLU menyusun dan menetapkan standar operasional prosedur dalam rangka pengelolaan kas.
Bagian Kelima
Pengelolaan Piutang dan Utang
Paragraf 1
Pengelolaan Piutang
Pasal 93
(1) | Ruang lingkup pengaturan Piutang BLU dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pengelolaan Piutang BLU termasuk penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU yang bersumber dari pendapatan BLU. |
(2) | Penghapusan secara mutlak terhadap Piutang BLU dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penghapusan Piutang Negara. |
Pasal 94
(1) | Piutang BLU merupakan Piutang Negara. |
(2) | Piutang BLU terjadi sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU. |
Pasal 95
(1) | Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan Praktik Bisnis yang Sehat.Pemilihan/penunjukan Bank Umum untuk membuka Rekening Operasional BLU, Rekening Dana Kelolaan BLU, dan Rekening Pengelolaan Kas BLU dilakukan melalui Beauty Contest. | ||||||||
(2) | Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin BLU menetapkan pedoman pengelolaan Piutang BLU yang disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. | ||||||||
(3) | Pedoman pengelolaan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit mencakup:
|
||||||||
(4) | Dalam rangka pengelolaan piutang dan/atau penyaluran dana, BLU dapat menggunakan sistem layanan informasi keuangan yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 96
(1) | BLU harus melakukan penagihan secara maksimal terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2). |
(2) | Dalam hal Piutang BLU tidak terselesaikan setelah dilakukan penagihan secara maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU menyerahkan pengurusan penagihan tersebut kepada PUPN. |
(3) | Penyerahan pengurusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan Piutang Negara. |
Pasal 97
(1) | Pengurusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dilakukan oleh PUPN sampai lunas, selesai, atau optimal. |
(2) | Pengurusan Piutang BLU dinyatakan telah optimal, dalam hal telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN. |
Pasal 98
(1) | Terhadap Piutang BLU yang telah dinyatakan PSBDT oleh PUPN, Pemimpin BLU melakukan penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU dengan menerbitkan surat keputusan penghapusan. | ||||||
(2) | Format surat keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
(3) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menghapuskan Piutang BLU dari pembukuan BLU tanpa menghapuskan hak tagih negara. | ||||||
(4) | Penghapusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dilengkapi:
|
Pasal 99
(1) | Pemimpin BLU diberikan kewenangan penghapusan secara bersyarat sesuai jenjang kewenangannya. | ||||
(2) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU ditetapkan oleh:
|
||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat Dewan Pengawas, persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. | ||||
(4) | Penghapusan secara bersyarat, sepanjang menyangkut Piutang BLU untuk jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penghapusan Piutang Negara. |
Pasal 100
Dalam hal perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang BLU diatur bahwa Penanggung Utang wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, nilai Piutang BLU yang dapat dihapuskan secara bersyarat yakni per anggota Penanggung Utang.
Pasal 101
Dalam hal Piutang BLU dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan secara bersyarat merupakan nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Pejabat Keuangan.
Pasal 102
Pencatatan atas penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU dilakukan sesuai pedoman penatausahaan dan akuntansi BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) huruf b.
Pasal 103
(1) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dilaporkan kepada Dewan Pengawas dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. |
(2) | Dalam hal tidak terdapat Dewan Pengawas, penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dilaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. |
Pasal 104
Pemimpin BLU menyampaikan laporan penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Kekayaan Negara dan Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat keputusan penghapusan diterbitkan.
Pasal 105
Penghapusan Piutang BLU yang timbul dari tuntutan ganti kerugian negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Pengelolaan Utang
Pasal 106
(1) | Ruang lingkup pengelolaan Pinjaman dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pengelolaan Pinjaman jangka pendek. |
(2) | BLU dapat mengadakan Pinjaman jangka pendek atas namanya sendiri sesuai kebutuhan. |
(3) | Pinjaman jangka pendek dilakukan dalam rangka menutup selisih antara jumlah kas yang tersedia ditambah aliran kas masuk yang diharapkan dengan jumlah pengeluaran yang diproyeksikan dalam suatu tahun anggaran (mismatch). |
(4) | Pinjaman jangka pendek digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja operasional. |
(5) | Belanja operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pengeluaran yang dimaksudkan memberikan manfaat jangka pendek. |
Pasal 107
(1) | BLU dapat memiliki Pinjaman sehubungan dengan:
|
||||
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa badan usaha dalam negeri baik berupa lembaga keuangan perbankan maupun nonperbankan, badan usaha lainnya, atau BLU. | ||||
(3) | Aset Tetap BLU dilarang dijadikan jaminan atas Pinjaman jangka pendek. |
Pasal 108
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan Pinjaman jangka pendek meliputi:
a. | kegiatan yang akan dibiayai dari penerimaan negara bukan pajak BLU dan/atau anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) telah tercantum dalam RBA tahun anggaran berjalan, tetapi dana yang tersedia dari penerimaan negara bukan pajak BLU tidak/belum mencukupi untuk menutup kebutuhan/kekurangan dana untuk membiayai kegiatan dimaksud; |
b. | kegiatan yang akan dibiayai bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda; |
c. | saldo kas dan setara kas BLU tidak mencukupi atau tidak memadai untuk membiayai pengeluaran dimaksud; dan |
d. | jumlah Pinjaman jangka pendek yang masih ada ditambah dengan jumlah Pinjaman jangka pendek yang akan ditarik tidak melebihi 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber langsung dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
Pasal 109
(1) | BLU dapat diberikan pengecualian dari persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf d untuk kegiatan yang berdampak signifikan terhadap layanan BLU, setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||
(2) | Kegiatan yang berdampak signifikan terhadap layanan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Permohonan persetujuan terhadap pengecualian dari persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemimpin BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(4) | Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kajian dan memastikan kemampuan bayar BLU yang bersangkutan, dan selanjutnya menyampaikan permohonan persetujuan kepada Menteri Keuangan. | ||||||||
(5) | Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) paling sedikit dilampiri dengan rencana penggunaan Pinjaman jangka pendek dan rincian komitmen pendapatan yang akan diterima untuk menjamin pembayaran kembali Pinjaman jangka pendek. | ||||||||
(6) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mempertimbangkan urgensi perlunya melakukan Pinjaman jangka pendek dan kemampuan BLU untuk membayar kembali Pinjaman jangka pendek. | ||||||||
(7) | Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||||
(8) | Persetujuan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam surat persetujuan dengan disertai jumlah maksimal Pinjaman jangka pendek yang dapat dilakukan kepada Pemimpin BLU dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(9) | Penolakan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui surat penolakan kepada Pemimpin BLU dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 110
Kewenangan persetujuan atas Pinjaman jangka pendek diberikan oleh:
a. | Pemimpin BLU untuk peminjaman yang bernilai sampai dengan 10% (sepuluh persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
b. | Pemimpin BLU atas persetujuan Dewan Pengawas untuk peminjaman yang bernilai di atas 10% (sepuluh persen) sampai dengan 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
c. | Pemimpin BLU atas persetujuan Lembaga atau pejabat yang Menteri/Pimpinan ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga bagi BLU yang tidak memiliki Dewan Pengawas untuk peminjaman yang bernilai di atas 10% (sepuluh persen) sampai dengan 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
Pasal 111
(1) | Pelaksanaan Pinjaman jangka pendek antara BLU dengan pihak lain, dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman. | ||||||||||||||||
(2) | Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
|
Pasal 112
(1) | Pejabat Keuangan melaksanakan pembayaran pokok Pinjaman, bunga, dan biaya lainnya pada saat jatuh tempo sesuai Perjanjian Pinjaman. |
(2) | Kewajiban yang timbul sebagai akibat dari Perjanjian Pinjaman merupakan tanggung jawab BLU. |
(3) | Penatausahaan Pinjaman jangka pendek dilaksanakan oleh Pejabat Keuangan. |
Pasal 113
(1) | Pejabat Keuangan menyampaikan laporan bulanan kepada Pemimpin BLU mengenai realisasi penyerapan dan pembayaran kewajiban yang timbul akibat Pinjaman jangka pendek. |
(2) | Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemimpin BLU kepada Dewan Pengawas atau Pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga untuk BLU yang tidak memiliki Dewan Pengawas. |
(3) | Pemimpin BLU melakukan monitoring dan evaluasi bulanan atas pengelolaan Pinjaman jangka pendek. |
Pasal 114
BLU yang beralih statusnya menjadi badan hukum lain dengan kekayaan negara yang dipisahkan harus menyelesaikan sisa kewajiban yang timbul sebagai akibat dari Perjanjian Pinjaman.
Paragraf 3
Pemberian Pinjaman kepada BLU
Pasal 115
(1) | BLU dapat memberikan Pinjaman kepada BLU. | ||||
(2) | Pemberian Pinjaman kepada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
|
||||
(3) | Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk Pinjaman jangka pendek dengan peruntukan sebagaimana diatur dalam Pasal 106. | ||||
(4) | Sumber pemberian Pinjaman berasal dari surplus anggaran BLU. | ||||
(5) | Surplus anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan surplus kas BLU hasil pengesahan pendapatan dan belanja BLU. |
Pasal 116
BLU yang akan memberikan Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. | memiliki kecukupan likuiditas; dan |
b. | tidak terganggu keberlanjutan layanannya. |
Pasal 117
BLU yang mengajukan usulan Pinjaman harus memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan Pinjaman jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 109.
Pasal 118
(1) | Dalam rangka pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, BLU penerima Pinjaman mengajukan proposal usulan Pinjaman kepada BLU pemberi Pinjaman. | ||||||||||||||||||
(2) | Proposal usulan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
|
Pasal 119
(1) | BLU pemberi Pinjaman melakukan penilaian kelayakan usulan Pinjaman berdasarkan proposal usulan Pinjaman dengan paling sedikit mempertimbangkan:
|
||||||
(2) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU pemberi Pinjaman menyetujui atau menolak usulan Pinjaman yang diajukan oleh BLU. | ||||||
(3) | Kewenangan atas persetujuan pemberian Pinjaman jangka pendek diberikan oleh:
|
Pasal 120
(1) | Pelaksanaan Pinjaman antar-BLU dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman. | ||||||||||||||||||
(2) | Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||||||
(3) | BLU menyampaikan salinan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait paling lambat 15 (lima belas) hari setelah Perjanjian Pinjaman ditandatangani. |
Pasal 121
(1) | Untuk menjamin pembayaran kembali Piutang, pemberian Pinjaman oleh BLU kepada BLU dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang berbeda diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Rekening escrow sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk menampung dana tertentu yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat khusus sesuai dengan perjanjian dalam rangka Pinjaman antar-BLU. | ||||||
(3) | Pembentukan rekening escrow sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan yang berlaku. | ||||||
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan untuk pemberian Pinjaman oleh BLU kepada BLU lain dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang sama. |
Pasal 122
(1) | Perpindahan kas antar-BLU dalam rangka pemberian Pinjaman kepada BLU lain diperlakukan sebagai transaksi transitoris/nonanggaran. |
(2) | Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengesahan baik oleh BLU pemberi Pinjaman maupun BLU penerima Pinjaman ke KPPN mitra kerja masing-masing. |
(3) | Petunjuk teknis pengesahan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 123
(1) | Menteri Keuangan dapat menugaskan/memerintahkan BLU untuk memberikan Pinjaman kepada BLU lainnya. |
(2) | Prosedur pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 122. |
Bagian Keenam
Investasi
Pasal 124
(1) | Investasi jangka panjang dapat dilakukan oleh BLU setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(2) | Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penetapan BLU sebagai operator investasi Pemerintah. | ||||||||||
(3) | Dalam hal BLU bukan merupakan operator investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BLU dapat menempatkan dana kepada operator investasi pemerintah sebagai investor untuk melakukan investasi jangka panjang setelah mendapatkan Persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(4) | Dalam hal pelaksanaan investasi Pemerintah terdapat penurunan nilai investasi, pimpinan BLU yang ditetapkan sebagai operator investasi Pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian investasi dan/atau kerugian negara apabila dapat membuktikan:
|
||||||||||
(5) | Pelaksanaan investasi jangka panjang pada BLU mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang investasi Pemerintah. |
Bagian Ketujuh
Pengelolaan Barang
Paragraf 1
Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 125
(1) | Pengadaan barang/jasa pada BLU dikecualikan dari peraturan pengadaan barang dan jasa Pemerintah pada umumnya. | ||||||||
(2) | Pengadaan barang/jasa pada BLU diatur tersendiri dengan peraturan Pemimpin BLU. | ||||||||
(3) | Pengadaan barang/jasa pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari:
|
||||||||
(4) | Pengadaan barang/jasa pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil/tidak diskriminatif, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, ekonomis, dan Praktik Bisnis yang Sehat. | ||||||||
(5) | Pengaturan pengadaan barang/jasa dalam peraturan Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, persiapan pemilihan, pelaksanaan pemilihan, dan pelaksanaan kontrak. | ||||||||
(6) | Ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) memperhatikan ketentuan mengenai tata cara pembayaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. | ||||||||
(7) | Dalam hal BLU belum menetapkan peraturan Pemimpin BLU, pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada BLU berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. | ||||||||
(8) | Pedoman pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditinjau/disempurnakan sesuai kebutuhan. | ||||||||
(9) | Untuk pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari hibah terikat dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan pengadaan dari pemberi hibah atau mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku bagi BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang disetujui oleh pemberi hibah dimaksud. |
Pasal 126
Dalam proses pengadaan barang/jasa harus ada pemisahan yang jelas antara pemegang kewenangan penggunaan anggaran, penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen, dan penyelenggara pengadaan barang/jasa.
Paragraf 2
Pengelolaan Aset pada BLU
Pasal 127
(1) | BLU bertugas mengelola aset pada BLU. |
(2) | Hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. |
Pasal 128
Pengelolaan aset pada BLU meliputi:
a. | pelaksanaan pengelolaan Aset BLU; dan |
b. | pelaksanaan pengelolaan aset pihak lain. |
Pasal 129
Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU meliputi perencanaan dan penganggaran, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, pemusnahan, dan penghapusan.
Pasal 130
Pengelolaan aset pada BLU dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Pasal 131
Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 132
(1) | Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU dilaksanakan dengan prinsip-prinsip:
|
||||||||
(2) | Pelaksanaan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme KSO atau KSM. | ||||||||
(3) | Biaya yang timbul dalam rangka persiapan pelaksanaan KSO atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
Pasal 133
KSO dan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) bertujuan untuk:
a. | meningkatkan penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat; |
b. | mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset BLU; dan |
c. | meningkatkan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. |
Pasal 134
KSO dan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) berupa:
a. | KSO terhadap Aset BLU; |
b. | KSO terhadap aset pihak lain; dan |
c. | KSM pada BLU dan/atau pihak lain. |
Pasal 135
(1) | Pemimpin BLU melakukan KSO dan/atau KSM dalam rangka Tugas dan Fungsi pada BLU. |
(2) | KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan melibatkan pihak lain sebagai Mitra. |
(3) | KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam naskah perjanjian antara Pemimpin BLU dengan Mitra. |
(4) | Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang mengalihkan KSO dan/atau KSM kepada pihak lain kecuali atas persetujuan Pemimpin BLU dan disertai pembayaran kompensasi dalam hal terdapat keuntungan atas pengalihan KSO dan/atau KSM dimaksud. |
Pasal 136
Tarif yang dikenakan kepada masyarakat terhadap layanan yang dihasilkan dari KSO dan/atau KSM ditetapkan oleh Pemimpin BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan BLU.
Pasal 137
Mitra terdiri atas:
a. | Kementerian Negara/Lembaga/Satker; |
b. | pemerintah daerah; |
c. | badan usaha milik negara; |
d. | badan usaha milik daerah; |
e. | BLU; |
f. | BLU daerah; |
g. | perusahaan swasta; |
h. | yayasan; |
i. | koperasi; dan/atau |
j. | perorangan. |
Pasal 138
(1) | Pemimpin BLU menyusun rencana KSO dan/atau KSM yang paling sedikit menjelaskan secara ringkas tentang maksud dan tujuan, bentuk, dan hasil analisis dan evaluasi dari aspek teknis, aspek keuangan, dan aspek hukum. |
(2) | Rencana KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam RBA. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 139
(1) | KSO terhadap Aset BLU dilakukan terhadap objek KSO berupa:
|
||||||||||||||
(2) | Aset BLU selain tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk aset tak berwujud. | ||||||||||||||
(3) | Aset tak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
Pasal 140
KSO terhadap Aset BLU dilakukan dalam bentuk:
a. | KSO Tanah dan Bangunan; dan/atau |
b. | KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan. |
Pasal 141
KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a dilakukan dalam bentuk:
a. | Mitra mendayagunakan tanah dan/atau gedung dan bangunan milik BLU dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU selama jangka waktu tertentu yang disepakati dalam perjanjian; |
b. | Mitra mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atas tanah milik BLU, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada BLU, untuk kemudian digunakan oleh Mitra atau Mitra bersama BLU dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU selama jangka waktu tertentu yang disepakati dalam perjanjian; dan/atau |
c. | Mitra mendirikan gedung dan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atas tanah milik BLU, untuk kemudian digunakan oleh Mitra dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU, dan Mitra menyerahkan gedung dan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya kepada BLU sesuai jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian. |
Pasal 142
(1) | KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(2) | Jangka waktu KSO dapat melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. |
Pasal 143
(1) | Dalam pelaksanaan KSO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, selain mendapatkan kompensasi tetap, Pemimpin BLU dapat mengenakan imbal hasil kepada Mitra. | ||||||
(2) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhitungkan:
|
||||||
(3) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 144
KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b dan huruf c, dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 145
(1) | BLU mendapatkan imbalan dari hasil KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 berupa kompensasi tetap dan/atau imbal hasil. | ||||||
(2) | Besaran kompensasi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemimpin BLU dengan paling sedikit mempertimbangkan:
|
||||||
(3) | Nilai penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan dalam hal terdapat bangunan yang dihapuskan di atas tanah milik BLU yang menjadi objek KSO. | ||||||
(4) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mempertimbangkan pendapatan dan belanja KSO. |
Pasal 146
(1) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ditetapkan dengan memperhitungkan masa manfaat bangunan. |
(2) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. |
(3) | Jangka waktu KSO dapat melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. |
(4) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali perjanjian dan tidak dapat dilakukan perpanjangan. |
Pasal 147
(1) | Dalam hal KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 berakhir, Mitra dapat melanjutkan kerja sama dengan bentuk KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a. | ||||||
(2) | Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah:
|
Pasal 148
KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 149
KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | BLU mendapatkan imbalan berupa kompensasi tetap, imbal hasil, dan/atau manfaat ekonomi lainnya. |
b. | Setelah jangka waktu KSO berakhir, Mitra dapat mengajukan perpanjangan kerja sama. |
c. | Perpanjangan kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan Pemimpin BLU setelah dilakukan evaluasi dan penyesuaian klausul dalam perjanjian. |
d. | Dalam hal Mitra tidak mengajukan perpanjangan kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf b, Mitra tidak diperbolehkan menggunakan manfaat dari Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan milik BLU demi kepentingan sendiri, dan menjamin bebas dari segala tuntutan hukum dan hak-hak pihak ketiga. |
Pasal 150
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf b dilakukan terhadap objek KSO berupa peralatan dan mesin milik Mitra.
Pasal 151
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150, dilakukan dengan cara BLU mendayagunakan peralatan dan mesin milik Mitra, untuk selanjutnya digunakan dalam pemberian pelayanan umum BLU sesuai jangka waktu tertentu yang disepakati.
Pasal 152
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 153
BLU mendapatkan imbal hasil dari pelaksanaan KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150.
Pasal 154
Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ditetapkan dengan memperhitungkan masa manfaat peralatan dan mesin.
Pasal 155
BLU dapat melakukan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf c dalam bentuk:
a. | Pendayagunaan Aset BLU dan/atau Mitra dalam rangka menghasilkan layanan, dengan menggunakan/menyertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial yang dimiliki BLU. |
b. | Pendayagunaan Aset BLU dan/atau Mitra dalam rangka menghasilkan layanan, dengan menggunakan/menyertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial yang dimiliki Mitra. |
Pasal 156
KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | Dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU. |
b. | Jangka waktu KSM paling lama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian. |
c. | Jangka waktu KSM sebagaimana dimaksud pada huruf b, apabila telah berakhir dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi dan penyesuaian klausul dalam perjanjian. |
Pasal 157
BLU mendapatkan imbalan dari pelaksanaan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, sesuai dengan perjanjian.
Pasal 158
Pemilihan Mitra dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung terhadap calon Mitra yang mengajukan permohonan KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a.
Pasal 159
Pemilihan Mitra dilakukan melalui mekanisme tender terhadap calon Mitra pada:
a. | KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b; |
b. | KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c; |
c. | KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150; dan |
d. | KSM dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf b. |
Pasal 160
(1) | Pemilihan Mitra terhadap KSO Aset selain Tanah dan/atau Bangunan dapat dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung, perizinan, atau tender terhadap calon Mitra. |
(2) | Mekanisme pemilihan Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 161
(1) | Pemilihan Mitra dilakukan melalui mekanisme perizinan terhadap calon Mitra yang mengajukan permohonan KSM dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf a. |
(2) | Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 162
(1) | Pelaksanaan KSO atau KSM dituangkan dalam naskah perjanjian. |
(2) | Naskah perjanjian untuk KSO Tanah dan Bangunan dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun dibuat di hadapan notaris. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 163
BLU melakukan penatausahaan terhadap setiap transaksi dari pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU.
Pasal 164
(1) | Pendapatan atau bagian pendapatan yang diperoleh dari pelaksanaan pengelolaan aset dengan menggunakan mekanisme KSO atau KSM merupakan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. |
(2) | Pendapatan atau bagian pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Pasal 165
Peralatan dan mesin milik Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tidak dicatat sebagai Aset BLU.
Pasal 166
Tanah milik BLU yang akan didirikan bangunan di atasnya oleh Mitra pada KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b dan huruf c, pada saat penyerahan direklasifikasi menjadi Aset Lainnya BLU berupa aset kemitraan dengan pihak ketiga pada neraca BLU.
Pasal 167
Pemimpin BLU melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan aset pada BLU yang berada dalam penguasaannya.
Pasal 168
Pemimpin BLU menetapkan standar operasional prosedur yang diperlukan dalam pengelolaan aset pada BLU sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedelapan
Penyelesaian Kerugian
Pasal 169
Setiap kerugian negara pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara.
Bagian Kesembilan
Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan
Pasal 170
(1) | Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib. | ||||||
(2) | Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | BLU menyelenggarakan dan mengembangkan subsistem akuntansi secara mandiri untuk dapat menghasilkan pencatatan transaksional sesuai dengan karakteristik BLU. | ||||||
(4) | Subsistem akuntansi secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembangkan sesuai dengan Praktik Bisnis yang Sehat untuk dapat mencatat transaksi, kejadian keuangan, dan akuntansi berdasarkan dokumen sumbernya yang menjadi pengakuan hak dan kewajiban BLU secara transaksional. | ||||||
(5) | Penyelenggaraan dan pengembangan subsistem akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk:
|
Pasal 171
(1) | Dalam rangka menyusun laporan keuangan, BLU melakukan pengumpulan, pencatatan, serta pengikhtisaran data transaksi dan informasi kejadian keuangan, termasuk data yang berasal dari subsistem akuntansi transaksional. | ||||||||||||||
(2) | Laporan keuangan BLU merupakan bentuk pertanggungjawaban BLU yang terdiri atas:
|
||||||||||||||
(3) | Laporan keuangan unit usaha BLU dikonsolidasikan ke Laporan Keuangan BLU. | ||||||||||||||
(4) | Laporan keuangan BLU diaudit dan diberi opini oleh auditor ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(5) | Laporan keuangan BLU dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga. |
Bagian Kesepuluh
Akuntabilitas Kinerja
Pasal 172
(1) | Pimpinan BLU bertanggung jawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA. |
(2) | Pimpinan BLU mengikhtisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171. |
(3) | Tata cara penyusunan ikhtisar kinerja operasional dan pengintegrasiannya dengan laporan keuangan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaporan keuangan dan kinerja. |
(4) | Penyampaian ikhtisar laporan kinerja operasional yang terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Bagian Kesebelas
Surplus dan Defisit
Paragraf 1
Surplus
Pasal 173
(1) | Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. |
(2) | Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikutnya untuk disetujui penggunaannya. |
Paragraf 2
Defisit
Pasal 174
(1) | Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan melalui Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Menteri Keuangan dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran berikutnya. |
Paragraf 3
Penarikan dan Pengembalian Dana BLU
Pasal 175
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU. | ||||||
(2) | Dana yang dikelola oleh BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Surplus Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan surplus kas BLU hasil pengesahan pendapatan dan belanja BLU. | ||||||
(4) | Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
|
||||||
(5) | Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Paragraf 4
Penarikan Surplus Anggaran dan/atau
Dana Kelolaan Tanpa Pengembalian
Pasal 176
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU tanpa pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (5) huruf a dalam rangka pembinaan pengelolaan keuangan BLU dan/atau optimalisasi kas Pemerintah. |
(2) | Untuk penarikan dana yang dikelola BLU tanpa pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan. |
Pasal 177
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran pada BLU dengan mempertimbangkan:
a. | posisi likuiditas BLU; |
b. | keberlanjutan layanan BLU; |
c. | rencana pengembangan layanan tahun berjalan dan/atau 1 (satu) tahun berikutnya; dan/atau |
d. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Surplus Anggaran. |
Pasal 178
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Dana Kelolaan. | ||||||
(2) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Kekayaan Negara selaku pimpinan pembantu pengguna anggaran bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah. | ||||||
(3) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||||
(4) | Dalam hal penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara, hasil penilaian disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 179
(1) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dan Pasal 178, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan rekomendasi penarikan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU kepada Menteri Keuangan. | ||||
(2) | Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penarikan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU. | ||||
(3) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
Pasal 180
(1) | Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2), BLU menyetorkan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan ke Kas Negara melalui bank/pos persepsi dengan menggunakan sistem penerimaan negara. |
(2) | Penyetoran Surplus Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai transaksi nonanggaran. |
(3) | Penyetoran Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai penerimaan pembiayaan untuk bagian anggaran BUN. |
Pasal 181
(1) | Pemimpin BLU menyampaikan permintaan penerbitan SKTB kepada KPPN mitra kerja atas setoran Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyetoran. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan SKTB oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Paragraf 5
Penarikan Surplus Anggaran dan/atau
Dana Kelolaan dengan Pengembalian
Pasal 182
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU dengan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (5) huruf b dalam rangka pembinaan pengelolaan keuangan BLU, optimalisasi kas Pemerintah, dan/atau penyangga kas Pemerintah. |
(2) | Untuk penarikan dana yang dikelola BLU dengan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan. |
Pasal 183
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran pada BLU dengan mempertimbangkan:
a. | posisi likuiditas BLU; |
b. | keberlanjutan layanan BLU; |
c. | rencana pengembangan layanan tahun berjalan dan/atau 1 (satu) tahun berikutnya; dan/atau |
d. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Surplus Anggaran. |
Pasal 184
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Dana Kelolaan dengan mempertimbangkan:
a. | tujuan pengelolaan dana; |
b. | realisasi penyaluran/perguliran Dana Kelolaan; dan/atau |
c. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Dana Kelolaan. |
Pasal 185
(1) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dan Pasal 184, Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU. | ||||||
(2) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 186
Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan yang ditarik untuk dikembalikan dilakukan sebagai transaksi nonanggaran.
Pasal 187
Menteri Keuangan memerintahkan Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pengelolaan Kas Negara untuk melakukan pembukaan Rekening Pemerintah Lainnya di Bank Umum dalam rangka penyimpanan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU yang ditarik untuk dikembalikan.
Pasal 188
Tata cara penyetoran, penarikan, pengembalian, dan pembukaan rekening Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU yang ditarik untuk dikembalikan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Paragraf 6
Lain-lain
Pasal 189
(1) | Menteri Keuangan dapat memerintahkan penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan untuk pengelolaan Kas Negara, tanpa melalui mekanisme penilaian. |
(2) | Perintah penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (3) dan Pasal 185 ayat (2). |
(3) | Mekanisme penyetoran dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
Pasal 190
(1) | Untuk menjaga kondisi fiskal Pemerintah, Menteri Keuangan dapat memberikan penugasan kepada BLU untuk melakukan pembelian surat berharga negara dengan cara private placement. |
(2) | Dalam hal BLU memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melakukan pembelian surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU tidak memerlukan persetujuan investasi jangka panjang dari Menteri Keuangan. |
(3) | Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan BLU dalam memberikan layanan. |
Pasal 191
(1) | Menteri Keuangan dapat memerintahkan BLU untuk memindahkan saldo yang berasal dari Surplus Anggaran kepada BLU yang lain dalam hal:
|
||||
(2) | Kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 192
Ketentuan mengenai pejabat perbendaharaan, akuntansi, dan pelaporan transaksi penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VI
TATA KELOLA
Bagian Kesatu
Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian
Paragraf 1
Kelembagaan
Pasal 193
(1) | Dalam hal instansi Pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dan instansi Pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menetapkan status kelembagaan instansi Pemerintah yang menerapkan PPK-BLU yang mengakibatkan perubahan Satker struktural atau menjadi nonstruktural pada Kementerian Negara/Lembaga. |
Pasal 194
(1) | BLU bidang layanan pengelola dana harus memiliki unit atau Pegawai yang menjalankan fungsi manajemen risiko dan fungsi pengelolaan investasi. |
(2) | Fungsi manajemen risiko dan fungsi pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit atau Pegawai secara terpisah. |
Pasal 195
(1) | Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, BLU dapat melakukan pengembangan usaha dengan membentuk unit usaha. |
(2) | Unit usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari BLU yang bertugas melakukan pengembangan layanan dan mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung kegiatan BLU. |
(3) | Pelaksanaan kegiatan pada unit usaha harus memperhatikan analisis aspek teknis, aspek keuangan, dan aspek hukum untuk mendapatkan keuntungan. |
(4) | Analisis aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam RBA dengan paling sedikit memuat proyeksi pendapatan dan belanja unit usaha. |
(5) | Pemimpin BLU menunjuk seorang Pegawai untuk memimpin unit usaha. |
(6) | Pemimpin unit usaha dapat diberikan kewenangan mengelola Rekening Operasional BLU tersendiri untuk menampung pendapatan dan untuk keperluan pengeluaran sesuai Praktik Bisnis yang Sehat dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
(7) | Perekrutan karyawan pada unit usaha harus mendapat persetujuan dari Pemimpin BLU. |
(8) | Unit usaha dapat dikelola sendiri oleh BLU atau dikelola bersama dengan mitra. |
(9) | Dalam hal unit usaha dikelola sendiri oleh BLU, pendapatan yang diterima dan belanja yang dikeluarkan unit usaha merupakan pendapatan dan belanja BLU. |
(10) | Pemimpin unit usaha harus menyusun laporan keuangan untuk keperluan pengukuran kinerja manajerial yang dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BLU. |
(11) | Untuk keperluan perizinan berusaha dan/atau persyaratan sebagai penyedia barang/jasa, BLU dapat menggunakan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan BLU sebagai dasar hukum pembentukan badan usaha. |
Paragraf 2
Pejabat Pengelola
Pasal 196
(1) | Pejabat Pengelola BLU terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(2) | Sebutan Pemimpin, Pejabat Keuangan, dan Pejabat Teknis dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada instansi Pemerintah yang bersangkutan. | ||||||||||||||||
(3) | Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban:
|
||||||||||||||||
(4) | Pejabat Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:
|
||||||||||||||||
(5) | Pejabat Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban:
|
Pasal 197
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196, Pejabat Pengelola BLU harus:
a. | memiliki tata tertib kerja dan pedoman teknis pelaksanaan kerja yang bersifat mengikat bagi setiap Pejabat Pengelola dan Pegawai; |
b. | memiliki pedoman kode etik; |
c. | melaksanakan tugasnya dengan itikad baik untuk kepentingan BLU dan sesuai dengan maksud dan tujuan BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
d. | menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen yaitu tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; |
e. | memastikan pelaksanaan dan penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik dalam setiap kegiatan pengelolaan BLU pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi; |
f. | mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga; |
g. | menatausahakan serta menyimpan dokumen BLU, termasuk risalah rapat Pejabat Pengelola dan rapat Dewan Pengawas; dan |
h. | menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari SPI, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, pembina BLU, Dewan Pengawas, dan pihak lain. |
Pasal 198
Pejabat Pengelola BLU dilarang:
a. | merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas/Pejabat Pengelola/anggota Komite Audit pada BLU lain; | ||||||
b. | merangkap jabatan sebagai anggota komisaris/direksi/komite audit pada BUMN/perusahaan swasta; | ||||||
c. | memanfaatkan jabatannya pada BLU untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain; | ||||||
d. | mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BLU, selain remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan; | ||||||
e. | memiliki hubungan keluarga sedarah sampai dengan derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping termasuk hubungan yang timbul karena perkawinan dengan Pejabat Pengelola yang lain maupun dengan anggota Dewan Pengawas; dan | ||||||
f. | menggunakan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan, kecuali:
|
Pasal 199
(1) | Pengangkatan Pejabat Pengelola BLU harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(2) | Khusus Pejabat Pengelola yang berasal dari tenaga profesional non-PNS harus memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan terkait pengangkatan Pejabat Pengelola yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikecualikan dari ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||||||
(4) | Pengangkatan Pejabat Pengelola mempertimbangkan hasil penilaian atas kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dalam bentuk uji kelayakan dan kepatutan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||||||||
(5) | Pengangkatan Pejabat Keuangan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. | ||||||||||||||||||
(6) | Pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola yang berasal dari PNS mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. | ||||||||||||||||||
(7) | Pejabat Pengelola dari tenaga profesional non-PNS diangkat dengan mekanisme kontrak untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. | ||||||||||||||||||
(8) | Jabatan Pejabat Pengelola dari tenaga profesional non-PNS berakhir apabila:
|
||||||||||||||||||
(9) | Pemberhentian dari jabatannya sebelum masa jabatan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dapat dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
|
Paragraf 3
Kepegawaian
Pasal 200
(1) | Pejabat Pengelola BLU dan Pegawai dapat terdiri atas PNS dan/atau tenaga profesional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. |
(2) | Jumlah dan komposisi Pegawai dari tenaga profesional non-PNS ditetapkan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. |
(3) | Syarat pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. |
(4) | Syarat pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari tenaga profesional non-PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur oleh Pemimpin BLU. |
Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan
Paragraf 1
Pembinaan
Pasal 201
(1) | Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan. |
(3) | Dalam rangka pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk Dewan Pengawas. |
Pasal 202
(1) | Dalam rangka melakukan pembinaan teknis, Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh BLU. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai regulator dan supervisor sesuai bidang layanannya. |
(3) | Dalam melaksanakan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga membuat pedoman penyelenggaraan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh BLU. |
(4) | Dalam melaksanakan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga menunjuk unit eselon I pada Kementerian Negara/Lembaga yang berperan sebagai pembina teknis. |
(5) | Menteri/Pimpinan Lembaga harus menyelenggarakan rapat pembinaan dengan Dewan Pengawas paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dengan agenda paling sedikit meliputi kebijakan strategis pada BLU. |
Pasal 203
Dalam rangka pembinaan keuangan, Menteri Keuangan berperan sebagai regulator dan supervisor di bidang keuangan dan tata kelola BLU untuk peningkatan kinerja, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan BLU.
Pasal 204
(1) | Dalam hal terdapat dewan/komite/nama lain di luar struktur BLU yang dibentuk untuk melakukan pembinaan kepada BLU yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pelaksanaan tugas pembinaan oleh dewan/komite/nama lain di luar struktur BLU berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. |
(2) | Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pembina teknis dan Kementerian Negara/Lembaga terkait. |
Paragraf 2
Dewan Pengawas
Pasal 205
(1) | Dewan Pengawas dibentuk apabila BLU memenuhi syarat minimum Nilai Omzet dan Nilai Aset. | ||||
(2) | Syarat minimum Nilai Omzet dan Nilai Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni:
|
Pasal 206
(1) | Jumlah anggota Dewan Pengawas ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang sesuai dengan Nilai Omzet dan Nilai Aset. | ||||
(2) | Salah seorang di antara anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas. | ||||
(3) | Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk BLU yang memiliki:
|
||||
(4) | Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 5 (lima) orang untuk BLU yang memiliki:
|
Pasal 207
(1) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas unsur-unsur pejabat dari Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan, serta unsur tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan BLU. |
(2) | Keanggotaan Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa keanggotaan ex-officio dari jabatan tertentu pada Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan. |
(3) | Dewan Pengawas merupakan majelis dan setiap keputusannya dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat dan bersifat kolektif dan kolegial. |
Pasal 208
(1) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 3 (tiga) orang, terdiri atas:
|
||||||
(2) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas:
|
||||||
(3) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengusulkan/menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a. | ||||||
(4) | Menteri Keuangan dapat mengusulkan/menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b. | ||||||
(5) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus memiliki kapasitas untuk menjadi anggota Dewan Pengawas berdasarkan pengalaman dan keahlian. |
Pasal 209
(1) | Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Masa jabatan Dewan Pengawas ditetapkan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Anggota Dewan Pengawas diangkat dari orang perseorangan yang memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(5) | Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(6) | Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dikecualikan dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga dapat memberikan penjelasan/keterangan urgensi pengangkatan anggota Dewan Pengawas dimaksud. | ||||||||||||||||||||||
(7) | Pemenuhan persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon anggota Dewan Pengawas. | ||||||||||||||||||||||
(8) | Pemenuhan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan dokumen yang sah dan relevan dengan persyaratan khusus berkenaan. | ||||||||||||||||||||||
(9) | Surat pernyataan calon anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 210
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pengujian pemenuhan persyaratan terhadap calon anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli. |
(2) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pengujian pemenuhan persyaratan terhadap calon anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan. |
Pasal 211
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan surat usulan anggota Dewan Pengawas yang telah lulus pengujian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. | ||||||
(2) | Surat usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
||||||
(3) | Surat usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 212
Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan yang telah lulus pengujian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
Pasal 213
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian terhadap usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211. |
(2) | Dalam hal usulan Dewan Pengawas belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melengkapi dan/atau memperbaiki usulan anggota Dewan Pengawas. |
(3) | Dalam hal usulan anggota Dewan Pengawas telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengajukan rekomendasi persetujuan anggota Dewan Pengawas kepada Menteri Keuangan. |
Pasal 214
(1) | Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan anggota Dewan Pengawas yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 dan/atau rekomendasi persetujuan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213. | ||||
(2) | Dalam hal Menteri Keuangan memberikan persetujuan, Menteri Keuangan menyampaikan surat kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||
(3) | Dalam surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan dapat menyampaikan usulan penunjukan Ketua Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2). | ||||
(4) | Dalam hal Menteri Keuangan memberikan penolakan atas usulan anggota Dewan Pengawas, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan:
|
Pasal 215
(1) | Berdasarkan surat persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan keputusan tentang pengangkatan anggota Dewan Pengawas. | ||||||||
(2) | Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penunjukan Ketua Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2). | ||||||||
(3) | Salinan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada paling sedikit meliputi:
|
Pasal 216
(1) | Dewan Pengawas bertugas melaksanakan pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab Pejabat Pengelola BLU, serta memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola BLU. |
(2) | Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BLU. |
Pasal 217
Dalam menjalankan tugas, Dewan Pengawas berkewajiban untuk:
a. | menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; |
b. | memantau dan memastikan bahwa tata kelola telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan; |
c. | menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan Dewan Pengawas terintegrasi dengan RBA; |
d. | membuat/memiliki pembagian tugas, pedoman, dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Pengawas; |
e. | memberikan pendapat dan saran secara tertulis kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, Menteri Keuangan, dan Pejabat Pengelola BLU mengenai, tetapi tidak terbatas pada, RSB dan RBA yang disusun oleh Pejabat Pengelola BLU; |
f. | melaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan dalam hal terjadi gejala menurunnya kinerja BLU dan/atau penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan; |
g. | menyampaikan laporan pelaksanaan tugas Dewan Pengawas yang telah dilakukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan; |
h. | memastikan bahwa temuan dan rekomendasi dari satuan pemeriksaan intern, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, pembina BLU, dan pihak lain telah ditindaklanjuti; |
i. | mengungkapkan remunerasi dan fasilitas lain pada laporan pelaksanaan tata kelola; dan |
j. | mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 218
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, Dewan Pengawas berwenang untuk:
a. | memperoleh informasi mengenai BLU secara lengkap, tepat waktu, dan terukur; |
b. | mendapatkan laporan berkala atas pengelolaan BLU yang paling sedikit meliputi laporan keuangan dan laporan kinerja; |
c. | mendapatkan laporan hasil pengawasan/pemeriksaan yang dilakukan oleh SPI BLU, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, dan pembina BLU; |
d. | mengetahui kebijakan dan tindakan yang dijalankan oleh Pejabat Pengelola BLU dalam pelaksanaan kegiatan BLU; |
e. | mendapatkan penjelasan dan/atau data dari Pejabat Pengelola BLU dan/atau Pegawai mengenai kebijakan dan pelaksanaan kegiatan BLU; |
f. | mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Dewan Pengawas dan Komite Audit; |
g. | memberikan persetujuan atas pengangkatan kepala SPI; |
h. | menghadirkan Pejabat Pengelola dalam rapat Dewan Pengawas; |
i. | berkomunikasi secara langsung dengan SPI; |
j. | meminta Pejabat Pengelola BLU untuk menghadirkan tenaga profesional dalam rapat Dewan Pengawas; |
k. | meminta audit secara khusus kepada aparat pengawasan intern Pemerintah dan melaporkannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan; |
l. | menunjuk kantor akuntan publik; dan |
m. | melaksanakan kewenangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 219
(1) | Anggota Dewan Pengawas dilarang:
|
||||||||
(2) | Pengambilan keputusan kegiatan operasional BLU oleh Dewan Pengawas atas hal-hal lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh Dewan Pengawas sehingga tidak meniadakan tanggung jawab Pejabat Pengelola atas pelaksanaan kepengurusan BLU. |
Pasal 220
(1) | Dewan Pengawas mengadakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dengan Pejabat Pengelola. |
(2) | Bentuk rapat dapat dilakukan secara fisik atau secara daring disesuaikan dengan kebutuhan. |
(3) | Rapat Dewan Pengawas secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kedudukan BLU, tempat kegiatan usaha BLU, atau di tempat lain di wilayah Negara Republik Indonesia. |
(4) | Dalam hal rapat Dewan Pengawas diadakan di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat harus mendapatkan persetujuan Pemimpin BLU. |
(5) | Ketentuan rapat Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 221
(1) | Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas wajib terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
(2) | Dalam hal tidak tercapainya mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas dilakukan berdasarkan suara terbanyak. |
(3) | Segala keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi seluruh anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Hal-hal yang dibicarakan dan/atau diputuskan dalam rapat Dewan Pengawas dituangkan dalam risalah rapat yang dilampiri dengan daftar hadir Dewan Pengawas. |
Pasal 222
(1) | Dewan Pengawas menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada:
|
||||||
(2) | Laporan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(3) | Laporan periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan laporan yang dibuat secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. | ||||||
(4) | Laporan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan laporan yang dibuat sewaktu-waktu dalam hal terjadi gejala penurunan kinerja BLU dan/atau penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Penyampaian laporan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 223
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan Indikator Pencapaian Kinerja (Key Performance Indicators) Dewan Pengawas dengan mempertimbangkan usulan dari Dewan Pengawas yang bersangkutan dan masukan dari Menteri Keuangan. |
(2) | Indikator Pencapaian Kinerja merupakan ukuran penilaian atas keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pemberian nasihat oleh Dewan Pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dewan Pengawas menyampaikan laporan realisasi Pencapaian Indikator Kinerja kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan. |
(4) | Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 224
(1) | Dalam rangka menilai kinerja Dewan Pengawas, Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan melakukan evaluasi terhadap Dewan Pengawas. |
(2) | Evaluasi terhadap Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(3) | Evaluasi terhadap Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan mengkaji/meneliti laporan Dewan Pengawas, capaian Indikator Pencapaian Kinerja Dewan Pengawas, dan kepatuhan Dewan Pengawas terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Hasil evaluasi terhadap Dewan Pengawas dapat menjadi pertimbangan bagi Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Pengawas. |
Pasal 225
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan berwenang memberhentikan anggota Dewan Pengawas dari jabatannya. | ||||||||
(2) | Pemberhentian anggota Dewan Pengawas dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
Pasal 226
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang mengganti anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan penggantian anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli, kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan. |
(3) | Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan terhadap usulan penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan keputusan mengenai penggantian anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Persyaratan, pengusulan, dan penetapan penggantian anggota Dewan Pengawas mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 210, Pasal 211, Pasal 213, dan Pasal 214. |
Pasal 227
(1) | Menteri Keuangan berwenang mengganti anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan. |
(2) | Menteri Keuangan menyampaikan penggantian anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk mendapat penetapan. |
(3) | Persyaratan dan pengusulan penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 210, Pasal 212, dan Pasal 214. |
Pasal 228
(1) | Keputusan penggantian anggota Dewan Pengawas memuat penetapan paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(2) | Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku efektif sejak:
|
Pasal 229
(1) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli dapat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan dapat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri Keuangan. |
(3) | Dalam hal permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disetujui, Menteri/Pimpinan Lembaga atau Menteri Keuangan melakukan penggantian anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga atau Menteri Keuangan tidak melakukan penggantian anggota Dewan Pengawas, permohonan pengunduran diri anggota Dewan Pengawas dianggap tidak disetujui. |
Pasal 230
(1) | Dalam rangka mendukung penyelenggaraan tugas Dewan Pengawas, diangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(2) | Sekretaris Dewan Pengawas memiliki tugas membantu Dewan Pengawas untuk:
|
||||||||||||
(3) | Sekretaris Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(4) | Berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemimpin BLU menetapkan pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Dewan Pengawas untuk keperluan pembayaran remunerasi dan hak-hak lainnya. | ||||||||||||
(5) | Pengangkatan Sekretaris Dewan Pengawas harus mempertimbangkan kemampuan keuangan BLU dan beban tugas Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(6) | Sekretaris Dewan Pengawas dapat berasal dari Pejabat Pengelola/Pegawai, pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga, pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, atau profesional. | ||||||||||||
(7) | Sekretaris Dewan Pengawas diangkat dari orang perseorangan, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
Pasal 231
(1) | Dewan Pengawas dapat membentuk Komite Audit yang terdiri dari ketua dan anggota. |
(2) | Ketua Komite Audit dipilih dari salah satu anggota Dewan Pengawas berdasarkan kesepakatan para anggota Dewan Pengawas dengan mempertimbangkan kepemimpinan, integritas, pemahaman fungsi Komite Audit, dan diutamakan berasal dari unsur tenaga ahli. |
(3) | Anggota Komite Audit dapat berasal dari anggota Dewan Pengawas dan/atau dari luar BLU. |
(4) | Ketua dan anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Dewan Pengawas. |
(5) | Khusus untuk anggota Komite Audit yang berasal dari luar BLU, berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite Audit dari luar BLU untuk keperluan pembayaran remunerasi dan hak-hak lainnya. |
(6) | Anggota Komite Audit yang merupakan anggota Dewan Pengawas berhenti dengan sendirinya apabila masa jabatannya sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir. |
(7) | Dalam hal terdapat anggota Dewan Pengawas yang menjabat sebagai ketua Komite Audit berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas, maka ketua Komite Audit wajib diganti sementara oleh anggota Dewan Pengawas lainnya dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sampai dengan diangkatnya Dewan Pengawas definitif. |
(8) | Pembentukan Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada BLU yang telah memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan BLU. |
Pasal 232
(1) | Komite Audit beranggotakan paling banyak 3 (tiga) orang termasuk ketua. |
(2) | Komite Audit bekerja secara kolektif dalam melaksanakan tugasnya membantu Dewan Pengawas. |
(3) | Komite Audit bersifat mandiri dalam pelaksanaan tugas dan pelaporan, serta bertanggung jawab langsung kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 233
(1) | Komite Audit bertugas untuk:
|
||||||||||||||
(2) | Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas dapat memberikan penugasan lain kepada Komite Audit yang ditetapkan dalam piagam Komite Audit. |
Pasal 234
Masa jabatan anggota Komite Audit yang bukan merupakan anggota Dewan Pengawas paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang satu kali masa jabatan, dengan tidak mengurangi hak Dewan Pengawas untuk memberhentikannya sewaktu-waktu.
Pasal 235
(1) | Anggota Komite Audit harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||||
(2) | Anggota Komite Audit harus memiliki latar belakang pendidikan atau memiliki keahlian di bidang akuntansi atau keuangan. |
Pasal 236
(1) | Dewan Pengawas menetapkan piagam Komite Audit berdasarkan usulan Komite Audit. |
(2) | Asli piagam Komite Audit disampaikan kepada Pemimpin BLU untuk didokumentasikan. |
Pasal 237
(1) | Sebelum tahun buku berjalan, Komite Audit wajib menyusun dan menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan kepada Dewan Pengawas untuk mendapatkan persetujuan. |
(2) | Salinan rencana kerja dan anggaran Komite Audit yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Dewan Pengawas kepada Pemimpin BLU. |
(3) | Pelaksanaan rencana kerja dan anggaran tahunan Komite Audit dilaporkan kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 238
(1) | Komite Audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat Dewan Pengawas yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini. |
(2) | Rapat Komite Audit mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 239
(1) | Komite Audit bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas dan wajib menyampaikan laporan kepada Dewan Pengawas atas setiap pelaksanaan tugas, disertai dengan rekomendasi jika diperlukan. |
(2) | Komite Audit membuat laporan semesteran dan laporan tahunan kepada Dewan Pengawas. |
(3) | Laporan Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh Ketua Komite Audit dan anggota Komite Audit. |
Pasal 240
(1) | Berdasarkan surat penugasan tertulis dari Dewan Pengawas, Komite Audit dapat mengakses catatan atau informasi tentang sumber daya manusia, dana, aset, serta sumber daya lainnya milik BLU yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. |
(2) | Komite Audit melaporkan secara tertulis hasil penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 241
Komite Audit harus menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi BLU, baik dari pihak intern maupun pihak ekstern dan hanya digunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya.
Pasal 242
Dewan Pengawas melakukan evaluasi terhadap kinerja Komite Audit setiap 1 (satu) tahun dengan menggunakan metode yang ditetapkan Dewan Pengawas.
Pasal 243
Anggota Komite Audit dilarang mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping dengan anggota Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola BLU.
Pasal 244
Anggota Komite Audit yang bukan merupakan anggota Dewan Pengawas, tidak boleh merangkap sebagai:
a. | anggota Dewan Pengawas pada BLU lain; |
b. | Sekretaris Dewan Pengawas pada BLU bersangkutan atau BLU lain; |
c. | Pejabat Pengelola pada BLU lain; |
d. | anggota Komite Audit pada BLU lain; atau |
e. | Pejabat Pengelola/Pegawai pada BLU bersangkutan. |
Pasal 245
(1) | Ketentuan terkait pembentukan dan keanggotaan Dewan Pengawas yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikecualikan dari ketentuan pembentukan dan keanggotaan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 dan Pasal 208. |
(2) | Untuk mendukung pelaksanaan tugas kesekretariatan pada Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas dapat dibantu oleh sekretariat Dewan Pengawas. |
Pasal 246
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Komite Audit dibebankan kepada anggaran BLU, dan dimuat dalam RBA yang bersangkutan.
Pasal 247
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring terhadap proses penetapan Dewan Pengawas oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||
(2) | Dalam hal berdasarkan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), realisasi Nilai Omzet tahunan BLU menurut laporan realisasi anggaran dan Nilai Aset pada BLU menurut neraca selama 2 (dua) tahun berturut-turut lebih rendah dari ketentuan pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dan ayat (4):
|
||||
(3) | Dalam hal berdasarkan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh hasil bahwa Nilai Omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran dan Nilai Aset menurut neraca selama 2 (dua) tahun berturut-turut lebih tinggi dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3), pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dapat diusulkan untuk disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (4). |
Paragraf 3
Program Pengenalan
Pasal 248
(1) | Pemimpin BLU memfasilitasi program pengenalan BLU kepada Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola yang diangkat untuk pertama kalinya. | ||||
(2) | Program pengenalan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
||||
(3) | Pemimpin BLU memfasilitasi program pengembangan kapasitas secara berkelanjutan bagi Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola sebagai tindak lanjut program pengenalan BLU. | ||||
(4) | Program pengenalan pola pengelolaan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Paragraf 4
Sistem Pengendalian Intern
Pasal 249
(1) | Pemimpin BLU menetapkan Sistem Pengendalian Intern pada BLU. | ||||||||||
(2) | Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan:
|
||||||||||
(3) | Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(4) | Ketentuan mengenai Sistem Pengendalian Intern tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 250
(1) | Pemimpin BLU dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan risiko. |
(2) | Pemimpin BLU wajib membangun dan melaksanakan program manajemen risiko secara terpadu. |
(3) | Pelaksanaan program manajemen risiko dilakukan dengan membentuk unit kerja tersendiri atau memberi penugasan kepada SPI untuk menjalankan fungsi manajemen risiko. |
Pasal 251
BLU menyusun ketentuan yang mengatur mekanisme penyampaian atas dugaan penyimpangan pada BLU yang bersangkutan.
Pasal 252
(1) | Untuk memastikan efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, Pemimpin BLU membentuk SPI. |
(2) | Penggunaan nama atau istilah SPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU bersangkutan. |
Pasal 253
SPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 memiliki tugas sebagai berikut:
a. | menyusun dan melaksanakan rencana Pengawasan Intern; |
b. | menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian intern dan sistem manajemen risiko; |
c. | melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektivitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi, dan kegiatan lainnya; |
d. | memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang diawasi pada semua tingkat manajemen; |
e. | membuat laporan hasil Pengawasan Intern dan menyampaikan laporan tersebut kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas; |
f. | memberikan rekomendasi terhadap perbaikan/peningkatan proses tata kelola dan upaya pencapaian strategi bisnis BLU; |
g. | memantau, menganalisis, dan melaporkan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengawasan oleh SPI, aparat pengawasan intern Pemerintah, aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah, dan pembina BLU; |
h. | melakukan reviu laporan keuangan; |
i. | melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan; |
j. | menyusun dan memutakhirkan pedoman kerja serta sistem dan prosedur pelaksanaan tugas SPI; dan |
k. | melaksanakan tugas lainnya berdasarkan penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 254
SPI dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 memiliki kewenangan sebagai berikut:
a. | mendapatkan akses terhadap seluruh dokumen, pencatatan, sumber daya manusia, dan fisik Aset BLU pada seluruh bagian dan unit kerja lainnya; |
b. | melakukan komunikasi secara langsung dengan pimpinan BLU dan/atau Dewan Pengawas; |
c. | mengadakan rapat secara berkala dan insidental dengan pimpinan BLU dan/atau Dewan Pengawas; |
d. | melakukan koordinasi dengan aparat pengawasan intern Pemerintah dan/atau aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah; dan |
e. | mendampingi aparat pengawasan intern Pemerintah dan/atau aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah dalam melakukan pengawasan. |
Pasal 255
(1) | SPI menyusun rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern dan menyampaikannya kepada Pemimpin BLU untuk mendapatkan persetujuan. |
(2) | Rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan untuk pengawasan yang tidak terjadwal dan/atau dirahasiakan. |
(3) | Rencana program kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 256
SPI melaksanakan pengawasan berdasarkan rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern yang telah disetujui Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255.
Pasal 257
(1) | SPI menyusun laporan hasil pengawasan berdasarkan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dan menyampaikan kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. |
(2) | Pemimpin BLU menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan tertulis Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 258
Pemimpin BLU memperhatikan dan/atau menindaklanjuti laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 dengan segera mengambil langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam laporan hasil pengawasan.
Pasal 259
Pemimpin BLU wajib menjaga dan mengevaluasi kualitas fungsi Pengawasan Intern di BLU.
Pasal 260
(1) | SPI secara efisien dan efektif melaksanakan pemantauan dan mendorong tidak lanjut rekomendasi pengawasan SPI, aparat pengawasan intern Pemerintah, aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah, dan pembina BLU. | ||||||
(2) | SPI melaporkan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas yang paling sedikit memuat:
|
||||||
(3) | Pemimpin BLU menyampaikan laporan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan tertulis Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 261
(1) | SPI terdiri atas 1 (satu) orang auditor intern atau lebih dan dipimpin oleh kepala SPI. |
(2) | Jumlah auditor intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan besaran dan tingkat kompleksitas kegiatan BLU. |
(3) | Kebutuhan jumlah auditor intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihasilkan dari analisis beban kerja yang dilakukan oleh SPI dan/atau unit di BLU yang membidangi sumber daya manusia. |
(4) | Dalam hal SPI terdiri atas 1 (satu) orang auditor intern, auditor intern dimaksud juga bertindak sebagai kepala SPI. |
(5) | Auditor intern SPI dapat terdiri atas PNS dan/atau tenaga profesional non-PNS. |
Pasal 262
(1) | Kepala SPI diangkat dan diberhentikan oleh Pemimpin BLU dengan persetujuan Dewan Pengawas. |
(2) | Kepala SPI bertanggung jawab secara langsung kepada Pemimpin BLU. |
(3) | Auditor intern SPI bertanggung jawab secara langsung kepada kepala SPI. |
Pasal 263
Auditor intern SPI dilarang merangkap tugas dan jabatan dari pelaksanaan kegiatan operasional BLU, kecuali tugas dan jabatan pada fungsi kepatuhan dan fungsi manajemen risiko.
Pasal 264
(1) | Untuk alasan efisiensi, pada BLU dengan rentang kendali manajemen yang pendek dan dengan kompleksitas usaha sederhana, SPI dapat:
|
||||
(2) | Perangkapan SPI pada salah satu unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dilakukan dengan fungsi verifikator keuangan, fungsi pengujian dan persetujuan pembayaran, dan/atau fungsi bendahara. | ||||
(3) | Perangkapan SPI pada salah satu unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan penggunaan tenaga yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 265
(1) | Auditor intern SPI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
(2) | Khusus untuk kepala SPI harus memiliki keahlian yang memadai mengenai audit. | ||||||||||||||||
(3) | Keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan keahlian yang diakui dalam profesi auditor intern dengan mendapatkan sertifikasi profesi yang sesuai. | ||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dipenuhi, dapat diganti dengan persyaratan sementara sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
(5) | Kepala SPI yang diangkat dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperoleh sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diangkat. | ||||||||||||||||
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi, kepala SPI diberhentikan dari jabatannya. |
Pasal 266
Pemimpin BLU memfasilitasi auditor intern SPI mengikuti program pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk mendukung usaha memperoleh sertifikasi profesi dan/atau mempertahankan sertifikasi profesi.
Pasal 267
(1) | BLU harus memiliki piagam Pengawasan Intern. |
(2) | Piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan kepala SPI serta mendapatkan persetujuan Dewan Pengawas. |
(3) | Piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan dimutakhirkan sesuai kebutuhan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 268
Kepala SPI menetapkan pedoman audit, mekanisme kerja, dan supervisi di dalam organisasi SPI, serta penilaian program jaminan dan peningkatan kualitas.
Pasal 269
Dalam hal BLU tidak memiliki Dewan Pengawas, penyampaian laporan kepada Dewan Pengawas serta persetujuan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (1) dan Pasal 260 ayat (2), serta persetujuan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dan Pasal 267 ayat (2), tidak diperlukan.
Paragraf 5
Pemeriksaan Ekstern
Pasal 270
(1) | Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilakukan oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(2) | Pemeriksaan ekstern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemeriksaan laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171. | ||||||
(3) | Dalam hal pemeriksaan ekstern terhadap laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kantor akuntan publik, pemilihan kantor akuntan publik mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
(4) | Dewan Pengawas melakukan penunjukan kantor akuntan publik sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pada BLU. | ||||||
(5) | Dalam hal terdapat Komite Audit, penunjukan kantor akuntan publik oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui Komite Audit. | ||||||
(6) | Dalam hal BLU belum memiliki Dewan Pengawas, proses penunjukan calon kantor akuntan publik dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(7) | Berdasarkan keputusan penunjukan kantor akuntan publik oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan penunjukan kantor akuntan publik untuk keperluan pembayaran dan hak-hak lainnya. | ||||||
(8) | Penetapan kantor akuntan publik paling lambat dilakukan tanggal 30 September sebelum tahun pelaporan berakhir. | ||||||
(9) | Pemeriksaan laporan keuangan BLU oleh kantor akuntan publik harus memperhatikan jadwal pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/laporan keuangan Kementerian/Negara Lembaga. | ||||||
(10) |
Output pemeriksaan keuangan oleh kantor akuntan publik, yaitu:
|
||||||
(11) | SPI BLU melakukan pemantauan pelaksanaan rekomendasi kantor akuntan publik oleh BLU dan melaporkannya kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. |
Bagian Ketiga
Remunerasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 271
(1) | Remunerasi diberikan kepada Pejabat Pengelola, Pegawai, dan Dewan Pengawas. |
(2) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Sekretaris Dewan Pengawas dan anggota Komite Audit. |
(3) | Anggota Komite Audit yang berasal dari Dewan Pengawas, hanya menerima remunerasi yang berasal dari tugasnya sebagai Dewan Pengawas. |
(4) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan/atau penerimaan negara bukan pajak BLU dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU. |
Paragraf 2
Prinsip
Pasal 272
(1) | Remunerasi diberikan berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme dengan mempertimbangkan prinsip:
|
||||||||
(2) | Selain mempertimbangkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian remunerasi dapat memperhatikan indeks harga daerah/wilayah. |
Paragraf 3
Komponen
Pasal 273
(1) | Remunerasi merupakan imbalan kerja yang diberikan dalam komponen sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(2) | Selain komponen remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komponen remunerasi dapat berupa:
|
||||||||||||||
(3) | Komponen remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan remunerasi kepada masing-masing BLU. |
Paragraf 4
Kontrak Kinerja
Pasal 274
(1) | Pembayaran remunerasi di BLU berdasarkan capaian kinerja yang tertuang dalam kontrak kinerja antara Pemimpin BLU dengan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Penyusunan kontrak kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Kementerian Negara/Lembaga, Kementerian Keuangan, dan Dewan Pengawas. |
(3) | Pembayaran remunerasi kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai didasarkan pada perhitungan capaian kinerja atas kontrak kinerja masing-masing Pejabat dan Pegawai dengan atasannya yang dihasilkan dari sistem penilaian kinerja memperhatikan keterkaitan dengan kontrak kinerja Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Pedoman penyusunan kontrak kinerja dan penetapan persetujuan capaian kinerja Pemimpin BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(5) | Pemimpin BLU mengembangkan dan mengelola sistem penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
Paragraf 5
Gaji
Pasal 275
(1) | Gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf a diberikan dengan memperhitungkan nilai jabatan yang dituangkan dalam grading/level jabatan. |
(2) | Nilai jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari proses analisis dan evaluasi jabatan dengan menggunakan metode 10 (sepuluh) faktor penimbang. |
Pasal 276
(1) | Gaji untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(2) | Gaji yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji dan tunjangan sebagai PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Gaji yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji sesuai perhitungan nilai jabatan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi jabatan. |
(4) | Gaji untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari tenaga profesional non-PNS bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(5) | Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dalam hal diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin BLU. |
(7) | Besaran Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling tinggi disetarakan dengan Pejabat Pengelola dari Pegawai yang berasal dari PNS yang setingkat dengan memperhatikan tanggung jawab, nilai jabatan, skala grade, golongan, dan/atau masa kerja. |
Paragraf 6
Honorarium
Pasal 277
(1) | Honorarium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Gaji Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||
(3) | Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 7
Tunjangan Tetap
Pasal 278
(1) | BLU dapat memberikan Tunjangan Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf c berupa:
|
||||
(2) | Tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan tambahan pendapatan yang diberikan kepada pimpinan BLU dalam hal tidak mendapatkan fasilitas kendaraan dinas. | ||||
(3) | Tunjangan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan tambahan pendapatan yang diberikan kepada pimpinan BLU dalam hal tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas/rumah jabatan. | ||||
(4) | Pimpinan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan Pemimpin BLU dan Pejabat Pengelola satu tingkat di bawah Pemimpin BLU. | ||||
(5) | Tunjangan Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 8
Insentif
Pasal 279
(1) | Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf d diberikan kepada:
|
||||
(2) | Capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
|
||||
(3) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||
(4) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dalam hal diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 280
(1) | Dalam hal capaian kinerja Pejabat Pengelola/Pegawai melebihi target yang ditetapkan dalam kontrak kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2), Pemimpin BLU dapat memberikan Insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja. |
(2) | Khusus untuk Pemimpin BLU, pemberian kelebihan Insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas usulan Pemimpin BLU. |
(3) | Pedoman penyusunan kontrak kinerja dan penetapan persetujuan capaian kinerja Pemimpin BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 281
(1) | Pemimpin BLU dapat memberikan Insentif tambahan berupa penghargaan kepada:
|
||||
(2) | Pemberian Insentif tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan BLU dan terpenuhinya capaian kinerja Pejabat Pengelola dan Pegawai bersangkutan. |
Pasal 282
(1) | Besaran Insentif bagi Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (1) huruf b diberikan berdasarkan kinerja Dewan Pengawas. | ||||||||
(2) | Besaran Insentif bagi Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Paragraf 9
Bonus Atas Prestasi
Pasal 283
(1) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf e merupakan imbalan kerja bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, Tunjangan Tetap Insentif, dan Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit atas prestasi kerja BLU yang dapat diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran setelah BLU memenuhi syarat-syarat tertentu. | ||||||||||||||
(2) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||||
(3) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan keberlanjutan layanan dan upaya peningkatan layanan. | ||||||||||||||
(4) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila BLU memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(5) | Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g merupakan selisih lebih antara pendapatan BLU yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU dengan belanja penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||||
(6) | Tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu:
|
||||||||||||||
(7) | Besaran bonus yang diterima kepada masing-masing penerima paling tinggi sebesar persentase tertentu dari remunerasi sebagaimana diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||
(8) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan remunerasi dari komponen:
|
Paragraf 10
Pesangon
Pasal 284
(1) | Pada saat akhir masa jabatannya, Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas dapat diberikan pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf f, berupa santunan purna jabatan dengan pengikutsertaan dalam program asuransi atau tabungan pensiun yang beban premi atau iuran tahunannya ditanggung oleh BLU. |
(2) | Pejabat Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemimpin BLU dan Pejabat Pengelola satu tingkat di bawah Pemimpin BLU. |
(3) | Premi atau iuran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari Gaji dalam 1 (satu) tahun. |
(4) | Pembayaran premi atau iuran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 11
Pensiun
Pasal 285
Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf g diberikan kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 12
Remunerasi Bulan Ketiga belas
Pasal 286
(1) | Dalam hal Pemerintah memberikan Gaji bulan ketiga belas, BLU dapat memberikan remunerasi bulan ketiga belas kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU. | ||||
(2) | Remunerasi bulan ketiga belas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan paling tinggi 1 (satu) kali remunerasi yang telah dibayarkan pada bulan sebelum pembayaran remunerasi ketiga belas dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU. | ||||
(3) | Remunerasi ketiga belas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 13
Tunjangan Hari Raya
Pasal 287
(1) | Dalam hal Pemerintah memberikan tunjangan Hari Raya, BLU memberikan tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU. | ||||
(2) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
||||
(3) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang sedang menjalani cuti di luar tanggungan negara atau yang diperbantukan di luar instansi Pemerintah. |
Pasal 288
(1) | Pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai dilaksanakan pada BLU yang telah memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan. |
(2) | Dalam hal terdapat kondisi tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, pemberian tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kebijakan pemberian tunjangan Hari Raya yang dilakukan oleh Pemerintah. |
Pasal 289
(1) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran sesuai dengan Hari Raya yang dijadikan sebagai dasar pembayaran. | ||||
(2) | Dalam hal pada 1 (satu) tahun anggaran berjalan terdapat 2 (dua) Hari Raya yang sama, tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan lebih dari 1 (satu) kali yang dijadikan sebagai dasar pembayaran. | ||||
(3) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
|
||||
(4) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan paling tinggi sebesar remunerasi 1 (satu) bulan pada bulan sebelum bulan Hari Raya dengan capaian Key Performance Indicator 100% (seratus persen). | ||||
(5) | Dalam hal remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dapat dibayarkan sebesar yang seharusnya diterima, selisih kekurangan tunjangan Hari Raya tetap dapat dibayarkan. |
Pasal 290
Pembayaran tunjangan Hari Raya dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran BLU dan dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU.
Pasal 291
(1) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai menerima remunerasi lebih dari 1 (satu) BLU, tunjangan Hari Raya diberikan salah satu yang jumlahnya paling besar. |
(2) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Sekretaris Dewan Pengawas dan Pegawai memiliki jabatan rangkap pada BLU, tunjangan Hari Raya diberikan salah satu yang jumlahnya paling besar. |
(3) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai telah menerima lebih dari satu tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan pembayaran tersebut merupakan utang yang dikembalikan kepada BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 292
Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 yang dibayarkan dari penerimaan negara bukan pajak BLU merupakan objek pajak penghasilan yang ditanggung oleh Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai.
Pasal 293
Pertanggungjawaban pembayaran tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai dilakukan secara terpisah dengan pertanggungjawaban pembayaran remunerasi bulanan.
Pasal 294
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin BLU dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini. | ||||||
(2) | Keputusan Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
Pasal 295
Dalam hal BLU belum memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan, pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang berasal dari PNS mengikuti ketentuan pemberian tunjangan Hari Raya dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan pemberian tunjangan Hari Raya kepada PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat negara, penerima pensiun, dan penerima tunjangan.
Paragraf 14
Uang Lembur
Pasal 296
(1) | BLU dapat memberikan uang lembur kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||
(2) | Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
||||
(3) | Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 15
Uang Makan
Pasal 297
(1) | BLU dapat memberikan uang makan kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||
(2) | Uang makan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
||||
(3) | Uang makan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 16
Pengusulan dan Penetapan
Pasal 298
(1) | Pemimpin BLU mengajukan usulan remunerasi kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan remunerasi baru dan/atau usulan perubahan remunerasi. |
(3) | Usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk dokumen pengusulan yang disusun dan ditandatangani oleh Pemimpin BLU. |
(4) | Dokumen pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun menggunakan sistematika yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(5) | Dalam hal usulan remunerasi berupa usulan perubahan remunerasi, dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan terkait minimum jangka waktu pengajuan, besaran capaian kontrak kinerja, dan kesehatan keuangan BLU. |
(6) | Pedoman terkait minimum jangka waktu pengajuan, besaran capaian kontrak kinerja, dan kesehatan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 299
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan reviu atas dokumen pengusulan remunerasi. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan remunerasi disertai dokumen usulan remunerasi yang telah direviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan. |
Pasal 300
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan remunerasi yang disampaikan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(2) | Untuk penilaian usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menunjuk suatu tim penilai. |
(3) | Kewenangan untuk menunjuk tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 301
(1) | Berdasarkan pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(2) | Pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan hasil kajian dan penilaian terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(3) | Persetujuan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan. |
(4) | Penetapan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa penetapan kolektif. |
(5) | Penetapan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berjadwal pada bulan Februari dan bulan Agustus. |
(6) | Penolakan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan melalui surat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 302
(1) | Dalam hal usulan remunerasi berupa bonus atas prestasi, pengajuan usulan dilakukan secara terpisah dari pengajuan usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 dan Pasal 299. |
(2) | Proses pengajuan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 dan Pasal 299 serta penilaian dan penetapan usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dan Pasal 301 berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan pengajuan usulan dan penetapan Bonus atas Prestasi. |
Paragraf 17
Lain-lain
Pasal 303
BLU mengikutsertakan Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai sebagai peserta pada badan penyelenggara jaminan sosial berdasarkan program jaminan sosial yang diikuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 304
Remunerasi yang dibayarkan dari penerimaan negara bukan pajak BLU merupakan objek pajak penghasilan yang ditanggung oleh Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai.
Pasal 305
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian remunerasi kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai, ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 306
(1) | Untuk penerapan ketentuan mengenai remunerasi berdasarkan Peraturan Menteri ini, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring dan evaluasi kepada BLU. |
(2) | Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan kepada Menteri Keuangan untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan remunerasi Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit pada masing-masing BLU. |
Pasal 307
Pengusulan dan penetapan remunerasi BLU dilakukan melalui sistem informasi remunerasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 308
(1) | Ketentuan remunerasi untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan remunerasi untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prajurit Tentara Nasional Indonesia, kecuali pemberian uang makan. |
(2) | Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prajurit Tentara Nasional Indonesia mendapatkan uang lauk-pauk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 309
Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi pekerja pada BLU yang dilaksanakan berdasarkan kontrak kinerja dengan pihak ketiga (outsourcing).
Bagian Keempat
Tata Kelola yang Baik
Paragraf 1
Penerapan Tata Kelola yang Baik
Pasal 310
(1) | BLU wajib menerapkan Tata Kelola yang Baik secara konsisten dan berkelanjutan dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, dan Praktik Bisnis yang Sehat dengan mengutamakan efisiensi dan produktivitas. |
(2) | Tata Kelola yang Baik sebagaimana pada ayat (1) mengikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran. |
(3) | Prinsip Tata Kelola yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Pemimpin BLU membuat pedoman teknis, standar operasional prosedur, dan pedoman kerja Dewan Pengawas dan pimpinan BLU (board manual) sebagai bagian dari dokumen tata kelola BLU berpedoman pada Peraturan Menteri ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, dan Praktik Bisnis yang Sehat. |
(5) | Pedoman kerja Dewan Pengawas dan pimpinan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjelaskan secara garis besar hal-hal yang berkenaan dengan struktur organ pimpinan BLU dan Dewan Pengawas serta proses hubungan antara kedua organ dimaksud. |
(6) | Pemimpin BLU menunjuk Pejabat Keuangan satu tingkat di bawah Pemimpin BLU sebagai penanggung jawab penerapan dan pemantauan Tata Kelola yang Baik pada BLU. |
Paragraf 2
Penilaian Dan Pelaporan Terhadap Penerapan Tata Kelola
Yang Baik Pada BLU
Pasal 311
(1) | BLU wajib menyusun laporan pelaksanaan tata kelola pada setiap akhir tahun buku. |
(2) | Muatan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran IV yang meru pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan laporan pelaksanaan tata kelola diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 312
(1) | BLU wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. |
(2) | Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipublikasikan pada laman (website) BLU paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. |
Pasal 313
Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola kepada Menteri Keuangan ditujukan kepada:
a. | Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan |
b. | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan tempat kedudukan BLU. |
Pasal 314
(1) | BLU wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas penerapan Tata Kelola BLU paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. | ||||||
(2) | Khusus untuk BLU tertentu, penilaian Tata Kelola BLU dilakukan oleh penilai (assessor) independen setiap dua tahun sekali. | ||||||
(3) | BLU tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
||||||
(4) | Dewan Pengawas melakukan penunjukan penilai (assessor) independen sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pada BLU. | ||||||
(5) | Dalam hal BLU belum memiliki Dewan Pengawas, proses penunjukan penilai (assessor) independen dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(6) | Berdasarkan keputusan penunjukan penilai independen oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan penunjukan penilai (assessor) independen untuk keperluan pembayaran dan hak-hak lainnya. | ||||||
(7) | Penilaian sendiri (self-assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan dalam periode penilaian Tata Kelola BLU dilakukan oleh penilai (assessor) independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||
(8) | Penilaian penerapan Tata Kelola BLU menggunakan indikator/parameter sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. | ||||||
(9) | Hasil penilaian penerapan Tata Kelola BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pelaksanaan tata kelola. |
Pasal 315
(1) | Untuk melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat melakukan penilaian kembali/evaluasi terhadap hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314. |
(2) | Untuk melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk menunjuk penilai independen. |
(3) | Mekanisme penunjukan penilai (assessor) independen mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (4) sampai dengan ayat (6). |
(4) | Biaya penunjukan atas penilai (assessor) independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada BLU bersangkutan. |
(5) | Berdasarkan hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 atau hasil penilaian kembali/evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh BLU dengan target waktu tertentu. |
(6) | Dalam hal diperlukan, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk melakukan penyesuaian rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan penerapan Tata Kelola yang telah dilakukan oleh BLU. |
Pasal 316
Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola dan penilaian Tata Kelola yang Baik pada BLU dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 317
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Badan Layanan Umum; |
b. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.05/2009 tentang Pengelolaan Pinjaman pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 74); |
c. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.05/2009 tentang Pedoman Pemberian Bonus atas Prestasi bagi Rumah Sakit Eks Perjan yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 495); |
d. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.05/2009 tentang Penghapusan Piutang Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 516); |
e. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 363); |
f. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.05/2016 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 913); |
g. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 915); |
h. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.05/2016 tentang Pengelolaan Aset pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1377); |
i. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2016 tentang Penetapan dan Pencabutan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Satuan Kerja Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1792); |
j. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.05/2017 tentang Penarikan dan Pengembalian Dana pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 989); |
k. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.05/2017 tentang Pedoman Remunerasi Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1701); |
l. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.05/2017 tentang Sistem Pengendalian Intern pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1885); |
m. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 42/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.05/2009 tentang Pengelolaan Pinjaman pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 588); |
n. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2018 tentang Pengelolaan Kas dan Investasi Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 998); |
o. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.05/2019 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 575), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
Pasal 318
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua peraturan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau belum diganti berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 319
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 September 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 1046
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129/PMK.05/2020
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN BADAN LAYANAN UMUM.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Ruang lingkup pengaturan dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
a. | tujuan dan asas; |
b. | persyaratan, penetapan, dan pencabutan; |
c. | standar dan tarif layanan; |
d. | pengelolaan keuangan; dan |
e. | tata kelola. |
BAB II
TUJUAN DAN ASAS
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 3
BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan Praktik Bisnis yang Sehat.
Bagian Kedua
Asas
Pasal 4
(1) | BLU beroperasi sebagai unit kerja Kementerian Negara/Lembaga untuk tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan. |
(2) | Kementerian Negara/Lembaga tetap bertanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan yang didelegasikannya kepada BLU dan menjalankan peran pengawasan terhadap kinerja BLU dan pelaksanaan kewenangan yang didelegasikan. |
(3) | BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan Kementerian Negara/Lembaga dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah dari Kementerian Negara/Lembaga sebagai instansi induk. |
(4) | Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi manfaat layanan yang dihasilkan. |
(5) | Layanan BLU dapat diarahkan untuk menghasilkan manfaat yang mendukung stabilisasi ekonomi dan fiskal. |
(6) | Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(7) | BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan. |
(8) | Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian Negara/Lembaga. |
(9) | BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan Praktik Bisnis yang Sehat. |
(10) | Dalam rangka mewujudkan konsep bisnis yang sehat, BLU harus senantiasa meningkatkan efisiensi dan produktivitas yang dapat berupa kewenangan merencanakan dan menetapkan kebutuhan sumber daya yang dibutuhkan. |
BAB III
PERSYARATAN, PENETAPAN, DAN PENCABUTAN
Bagian Kesatu
Persyaratan
Pasal 5
Satker dapat diizinkan untuk mengelola keuangan dengan menerapkan PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan:
a. | substantif; |
b. | teknis; dan |
c. | administratif. |
Pasal 6
(1) | Persyaratan substantif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a terpenuhi apabila Satker menyelenggarakan pelayanan umum berupa:
|
||||||
(2) | Pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
|
Pasal 7
(1) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b terpenuhi apabila Satker memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(2) | Kinerja pelayanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuktikan dengan adanya rekomendasi dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 8
(1) | Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c terpenuhi apabila Satker dapat menyajikan seluruh dokumen persyaratan administratif sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mendapatkan persetujuan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||
(3) | Pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat oleh pemimpin Satker. | ||||||||||||
(4) | Pola tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan peraturan internal yang paling sedikit meliputi penetapan organisasi dan tata laksana, akuntabilitas, dan transparansi. | ||||||||||||
(5) | Peraturan internal terkait organisasi dan tata laksana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk memuat struktur organisasi, serta pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||||||||||
(6) | Struktur organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi. | ||||||||||||
(7) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan dokumen perencanaan lima tahunan yang disusun oleh Pemimpin BLU dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||||
(8) | Laporan keuangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan. | ||||||||||||
(9) | Untuk Satker yang baru dibentuk, laporan keuangan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa prognosa laporan keuangan tahun berjalan atau berikutnya. | ||||||||||||
(10) | Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||
(11) | Laporan audit terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan laporan auditor tahun terakhir sebelum Satker yang bersangkutan diusulkan untuk menerapkan PPK-BLU. | ||||||||||||
(12) | Pernyataan bersedia untuk diaudit secara independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dibuat oleh Satker yang telah maupun belum diaudit secara independen. |
Pasal 9
Persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedua
Penetapan dan Pencabutan
Paragraf 1
Penetapan
Pasal 10
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga mengusulkan Satker yang memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif untuk ditetapkan sebagai Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan. |
(2) | Pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengusulan kolektif. |
(3) | Pengusulan penetapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 11
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang diajukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. | ||||
(2) | Penilaian oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 12
(1) | Dalam hal Satker memenuhi persyaratan substantif, Direktur Jenderal Perbendaharaan melanjutkan pengujian terhadap pemenuhan persyaratan teknis. |
(2) | Dalam hal Satker tidak memenuhi persyaratan substantif, Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menyampaikan surat penolakan usulan penetapan penerapan PPK-BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul. |
(3) | Dalam hal Satker memenuhi persyaratan teknis, Direktur Jenderal Perbendaharaan melanjutkan pengujian terhadap pemenuhan persyaratan administratif. |
(4) | Dalam hal Satker tidak memenuhi persyaratan teknis, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan surat penolakan usulan penetapan penerapan PPK-BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul. |
(5) | Dalam hal dokumen persyaratan administratif telah memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan dokumen persyaratan administratif kepada tim penilai untuk dilakukan penilaian. |
(6) | Dalam hal dokumen persyaratan administratif belum memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melengkapi dan/atau memperbaiki dokumen persyaratan administratif. |
(7) | Penilaian usulan penetapan PPK-BLU tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 13
(1) | Penilaian terhadap dokumen persyaratan administratif yang dilakukan oleh tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b dilakukan dengan mempertimbangkan hasil pengujian yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. | ||||||
(2) | Hasil penilaian oleh tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa rekomendasi:
|
||||||
(3) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit memuat:
|
||||||
(4) | Tim penilai menyampaikan hasil rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 14
(1) | Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang telah memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, persyaratan administratif, serta rekomendasi tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan. |
(2) | Menteri Keuangan memberi keputusan penetapan terhadap usulan penetapan penerapan PPK-BLU paling lama 3 (tiga) bulan sejak dokumen persyaratan administratif terpenuhi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. |
(3) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat penetapan Satker untuk menerapkan PPK-BLU. |
(4) | Penetapan Satker untuk menerapkan PPK-BLU sebagaimana dimaksud ayat (3) dapat berupa penetapan kolektif. |
Paragraf 2
Pencabutan
Pasal 15
Menteri Keuangan dapat mencabut penerapan PPK-BLU berdasarkan:
a. | hasil monitoring dan evaluasi serta penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik; dan/atau |
b. | usulan dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 16
(1) | Penerapan PPK-BLU dapat dicabut, apabila berdasarkan:
|
||||||
(2) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila pelayanan umum yang diberikan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6. | ||||||
(3) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7. | ||||||
(4) | BLU tidak lagi memenuhi persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila tidak mencapai target sesuai dengan rencana pencapaian kinerja yang tercantum dalam dokumen persyaratan administratif yang disampaikan pada saat pengusulan penetapan penerapan PPK-BLU. | ||||||
(5) | Hasil penilaian kinerja dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik dikelompokkan dalam kriteria buruk dan/atau tidak mencapai ambang batas nilai yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. |
Pasal 17
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, BLU:
|
||||||||
(2) | BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan tenggang waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima untuk melakukan pemenuhan persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan/atau persyaratan administratif, mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pengelolaan keuangan BLU, dan/atau memperbaiki kinerja dan/atau tata kelola. | ||||||||
(3) | Apabila setelah tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BLU tidak dapat memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan/atau persyaratan administratif, tidak mengikuti ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pengelolaan keuangan BLU, dan/atau tidak menunjukkan peningkatan kinerja dan/atau tata kelola, Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat mengusulkan pencabutan penerapan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan melalui tim penilai. |
Pasal 18
(1) | Tim penilai melakukan penilaian terhadap usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3). | ||||||
(2) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil monitoring dan evaluasi serta penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau hasil penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik. | ||||||
(3) | Berdasarkan hasil penilaian, tim penilai memberikan rekomendasi pencabutan status BLU yang paling sedikit memuat:
|
||||||
(4) | Tim penilai menyampaikan hasil rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 19
Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan pencabutan penerapan PPK-BLU serta rekomendasi tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan.
Pasal 20
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan pertimbangan atas usulan pencabutan penerapan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan untuk mendapat keputusan. |
Pasal 21
(1) | Menteri Keuangan menetapkan keputusan pencabutan penerapan PPK-BLU paling lama 3 (tiga) bulan sejak usulan pencabutan diterima dari Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Apabila jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, usulan pencabutan dianggap ditolak. |
Bagian Ketiga
Lain-lain
Pasal 22
(1) | Satker yang telah dicabut penerapan PPK-BLU-nya oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan huruf b diberikan masa transisi dalam rangka peralihan menjadi Satker yang tidak menerapkan PPK-BLU. | ||||||||
(2) | Hal-hal yang diselesaikan dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
|
||||||||
(3) | Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan pencabutan penerapan PPK-BLU Satker berkenaan ditetapkan. |
Pasal 23
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengajukan usulan penerapan PPK-BLU terhadap Satker yang telah dicabut penerapan PPK-BLU-nya oleh Menteri Keuangan.
Pasal 24
Menteri Keuangan dapat melakukan kebijakan moratorium penetapan penerapan PPK-BLU atau menolak usulan penetapan penerapan PPK-BLU yang direkomendasikan oleh tim penilai berdasarkan pertimbangan paling sedikit meliputi:
a. | kebijakan fiskal Pemerintah; dan/atau |
b. | optimalisasi pembinaan terhadap BLU. |
Pasal 25
(1) | Dalam hal Satker yang menerapkan PPK-BLU berubah status menjadi badan hukum dengan kekayaan negara yang dipisahkan, maka penerapan PPK-BLU dinyatakan berakhir. |
(2) | Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). |
Pasal 26
(1) | Dalam hal terdapat perubahan terhadap dokumen persyaratan administratif berupa pola tata kelola, rencana strategis dan bisnis, dan standar pelayanan minimum, Pemimpin BLU menyampaikan perubahan dokumen kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melalui Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Perubahan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 2 (dua) minggu setelah dokumen berkenaan ditetapkan oleh pejabat berwenang. |
(3) | BLU yang tidak menyampaikan perubahan dokumen persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengurangi penilaian kinerja yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan/atau penilaian penerapan Tata Kelola yang Baik. |
Pasal 27
(1) | Dalam hal terdapat perubahan jenis pelayanan umum BLU, Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan penetapan kembali sebagai Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan, dengan mengikuti ketentuan mengenai pengajuan, penilaian dan penetapan usulan penerapan PPK-BLU, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. | ||||||||
(2) | Dalam hal terdapat perubahan nomenklatur BLU namun tidak berakibat pada perubahan jenis pelayanan umum, Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan perubahan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan, dengan melampirkan penetapan menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi mengenai perubahan nomenklatur BLU. | ||||||||
(3) | Dalam hal perubahan nomenklatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan perubahan kode unik bagian anggaran, kode unik unit eselon I, dan/atau kode unik Satker, Satker yang menerapkan PPK-BLU BLU melakukan proses likuidasi administrasi terhadap satker lama paling sedikit sebagai berikut:
|
Pasal 28
Pengusulan penetapan PPK-BLU dan penilaian usulan penetapan PPK-BLU dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian, penetapan, dan pencabutan penerapan PPK-BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB IV
STANDAR DAN TARIF LAYANAN
Bagian Kesatu
Standar Layanan
Pasal 30
(1) | BLU dalam memberikan layanan menggunakan standar pelayanan minimum yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Standar pelayanan minimum dapat diusulkan oleh BLU. |
(3) | Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya, serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. |
(4) | Standar pelayanan minimum pada BLU tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Kedua
Tarif Layanan
Pasal 31
(1) | BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan dalam bentuk tarif. | ||||||
(2) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhitungkan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh BLU untuk menghasilkan barang/jasa layanan. | ||||||
(3) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun atas dasar perhitungan biaya per unit layanan atau hasil per investasi dana. | ||||||
(4) | Penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
Pasal 32
Tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek:
a. | kontinuitas dan pengembangan layanan, yaitu tarif layanan dapat meningkatkan kemampuan BLU dalam memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan biaya dalam penyediaan barang/jasa layanan dan mendorong kesinambungan serta pengembangan bisnis BLU; |
b. | daya beli masyarakat, yaitu tarif layanan memperhitungkan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membeli barang/jasa layanan yang dihasilkan oleh BLU, berdasarkan pendapatan masyarakat, perubahan harga barang/jasa layanan, dan nilai mata uang; |
c. | asas keadilan dan kepatutan, yaitu tarif layanan menjamin bahwa setiap orang/pelanggan memperoleh pelayanan yang sama sesuai dengan hak dan manfaat yang diterima, dan tarif layanan memperhitungkan situasi dan kondisi sosial masyarakat; dan |
d. | kompetisi yang sehat, yaitu tarif layanan mampu menjamin dan menjaga Praktik Bisnis yang Sehat tanpa menimbulkan gangguan pada industri dan bisnis sejenis yang lain. |
Pasal 33
(1) | Tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 berupa besaran tarif dan/atau pola tarif. | ||||
(2) | Besaran tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan tarif layanan dalam bentuk:
|
||||
(3) | Pola tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyusunan tarif layanan dalam bentuk formula. |
Pasal 34
(1) | Pemimpin BLU mengajukan usulan tarif layanan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan tarif layanan baru dan/atau usulan perubahan tarif layanan. |
(3) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk dokumen pengusulan yang disusun dan ditandatangani oleh Pemimpin BLU. |
(4) | Dokumen pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun menggunakan sistematika sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 35
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan sesuai dengan kebijakan Kementerian Negara/Lembaga dalam penetapan tarif layanan yang dikenakan kepada masyarakat oleh BLU. | ||||||
(2) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan paling lama 6 (enam) bulan setelah BLU ditetapkan. | ||||||
(3) | Dalam hal batas waktu penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, Menteri/Pimpinan Lembaga menjelaskan alasan keterlambatan penyampaian usulan tarif layanan kepada Menteri Keuangan. | ||||||
(4) | Dalam hal usulan tarif layanan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disampaikan kepada Menteri Keuangan sampai dengan 12 (dua belas) bulan setelah BLU ditetapkan, Menteri Keuangan dapat mengevaluasi penetapan BLU. | ||||||
(5) | Kebijakan Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit meliputi:
|
||||||
(6) | Penyampaian usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan keterangan/pernyataan telah dilakukan pengujian/telaah oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(7) | Usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan tarif layanan kolektif. |
Pasal 36
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan tarif layanan yang disampaikan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(2) | Untuk penilaian usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menunjuk tim penilai untuk memberikan pertimbangan/rekomendasi. |
(3) | Kewenangan untuk menunjuk tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(4) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat menggunakan indeks tarif yang diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 37
(1) | Berdasarkan pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Menteri Keuangan memberikan penetapan atau penolakan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(2) | Pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil kajian dan penilaian terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35. |
(3) | Penetapan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan. |
(4) | Penetapan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat berupa penetapan tarif layanan kolektif. |
(5) | Penolakan terhadap usulan tarif layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dituangkan dalam bentuk surat penolakan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 38
(1) | Tarif layanan kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dapat berupa:
|
||||
(2) | Tarif layanan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagi berdasarkan zona. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan zona pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 39
(1) | Menteri Keuangan dapat mendelegasikan kewenangan penetapan tarif layanan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU. | ||||||||
(2) | Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU. | ||||||||
(4) | Usulan pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam dokumen usulan tarif layanan baru dan/atau usulan perubahan tarif layanan. | ||||||||
(5) | Pendelegasian kewenangan penetapan tarif layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif layanan. | ||||||||
(6) | Dalam rangka menetapkan tarif layanan yang didelegasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 sampai dengan Pasal 33. |
Pasal 40
Dalam hal BLU belum mempunyai tarif layanan yang diatur oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, BLU menggunakan tarif layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
Pasal 41
Pendapatan yang diterima oleh BLU sebagai pelaksanaan penetapan tarif layanan berdasarkan Peraturan Menteri ini, merupakan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU.
Pasal 42
(1) | BLU menyampaikan laporan atas pelaksanaan tarif layanan BLU termasuk yang didelegasikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan/atau Pemimpin BLU kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan tahunan yang disampaikan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir. |
Pasal 43
Pengusulan dan pelaporan tarif layanan BLU untuk pelaksanaan Peraturan Menteri ini, dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
BAB V
PENGELOLAAN KEUANGAN BLU
Bagian Kesatu
Perencanaan dan Penganggaran
Paragraf 1
Rencana Strategis Bisnis
Pasal 44
(1) | BLU menyusun RSB 5 (lima) tahunan dengan mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(2) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
||||||||||
(3) | Format RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||
(4) | RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||||
(5) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||
(6) | Pemimpin BLU menyampaikan RSB kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 2 (dua) bulan sejak berakhirnya periode RSB. | ||||||||||
(7) | Dalam hal terjadi perubahan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga yang berdampak pada RSB dan/atau kondisi yang menyebabkan perlunya penyesuaian target capaian dalam RSB, Pemimpin BLU melakukan revisi RSB dimaksud paling lama 2 (dua) bulan sejak perubahan Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(8) | Revisi RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||||
(9) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, revisi RSB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||
(10) | Pemimpin BLU menyampaikan RSB kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya RSB yang telah direvisi. |
Paragraf 2
Rencana Bisnis dan Anggaran
Pasal 45
(1) | BLU menyusun RBA tahunan dengan mengacu kepada RSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1). | ||||||||
(2) | RBA paling sedikit memuat program, kegiatan, indikator kinerja utama, target kinerja, anggaran penerimaan/pendapatan, anggaran pengeluaran/belanja, estimasi saldo awal kas dan estimasi saldo akhir kas BLU, ambang batas, serta prakiraan RBA tahun berikutnya. | ||||||||
(3) | Target kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan target yang terukur, dapat dicapai, relevan dengan tenggat waktu yang jelas berdasarkan kemampuan dan potensi BLU yang dijabarkan dalam aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan BLU disertai dengan indikator keberhasilan dan kebutuhan anggarannya. | ||||||||
(4) | RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
|
||||||||
(5) | Basis kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara target kinerja yang direncanakan dan biaya yang dibutuhkan termasuk pemenuhan pendanaannya, serta efisiensi dalam pencapaian kinerja. | ||||||||
(6) | Perhitungan akuntansi biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a paling sedikit menyajikan perhitungan biaya langsung dan biaya tidak langsung berdasarkan standar biaya yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||||
(7) | Dalam hal BLU belum menyusun standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), BLU menggunakan standar biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. | ||||||||
(8) | Kemampuan Pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri dari:
|
||||||||
(9) | Penyusunan target pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b mempertimbangkan:
|
Pasal 46
(1) | Rencana belanja BLU yang dicantumkan ke dalam RBA mencakup belanja yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), belanja yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU, termasuk penggunaan saldo awal kas BLU. |
(2) | Dalam hal belanja lebih besar dari pendapatannya, BLU memprioritaskan penggunaan saldo awal kas. |
Pasal 47
(1) | RBA menganut Pola Anggaran Fleksibel dengan suatu Persentase Ambang Batas tertentu. |
(2) | Pola Anggaran Fleksibel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya digunakan untuk belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(3) | Persentase Ambang Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung tanpa memperhitungkan saldo awal kas. |
(4) | Penetapan Persentase Ambang Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan target dan realisasi pendapatan/belanja serta fluktuasi kegiatan operasional BLU. |
(5) | Persentase Ambang Batas belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam RKA-K/L dan DIPA Petikan BLU. |
(6) | Pencantuman ambang batas dalam RKA-K/L dan DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat berupa keterangan atau catatan yang memberikan informasi besaran Persentase Ambang Batas. |
Pasal 48
(1) | RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) disertai Ikhtisar RBA. |
(2) | Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan untuk menggabungkan RBA ke dalam RKA-K/L. |
Pasal 49
(1) | BLU mencantumkan rencana penerimaan dan pengeluaran yang tercantum dalam RBA ke dalam pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam Ikhtisar RBA termasuk belanja dan pengeluaran pembiayaan yang didanai dari saldo awal kas. |
(2) | Rencana pendapatan, belanja, dan pembiayaan yang dicantumkan dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan basis kas. |
(3) | Rencana pendapatan BLU yang dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pendapatan penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) huruf b. |
Pasal 50
(1) | Rencana belanja BLU yang dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) mencakup semua belanja BLU, termasuk belanja yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), belanja yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU, penerimaan pembiayaan, dan belanja yang didanai dari saldo awal kas. |
(2) | Rencana belanja BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan ke dalam Ikhtisar RBA dalam 3 (tiga) jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. |
Pasal 51
(1) | Rencana pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) mencakup semua penerimaan pembiayaan BLU dan pengeluaran pembiayaan BLU. |
(2) | Rencana penerimaan pembiayaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi penerimaan yang bersumber dari Pinjaman jangka pendek, Pinjaman jangka panjang, dan/atau penerimaan kembali/penjualan investasi jangka panjang BLU. |
(3) | Rencana pengeluaran pembiayaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi pengeluaran untuk pembayaran pokok Pinjaman, pengeluaran investasi jangka panjang dan/atau pemberian Pinjaman. |
(4) | Pengeluaran pembiayaan BLU yang dicantumkan dalam Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) merupakan pengeluaran pembiayaan BLU yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan dan penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(5) | Pengeluaran pembiayaan BLU yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah tercantum dalam DIPA selain DIPA Petikan BLU, atau anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun lalu dan telah dipertanggungjawabkan dalam pertanggungjawaban anggaran pendapatan dan belanja negara sebelumnya, tidak dicantumkan dalam lkhtisar RBA. |
Pasal 52
Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyusunan RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 53
(1) | Pemimpin BLU menyampaikan RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dan Menteri/Pimpinan Lembaga c.q. pejabat eselon I yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pembina teknis paling lambat pada akhir Desember, 2 (dua) tahun sebelum tahun pelaksanaan RBA. | ||||||||
(2) | RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. | ||||||||
(3) | Dalam hal BLU tidak mempunyai Dewan Pengawas, RBA ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(4) | Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(5) | Analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(6) | Dalam melakukan analisis RBA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU. | ||||||||
(7) | Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(8) | Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU. | ||||||||
(9) | Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Pasal 54
(1) | RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) yang merupakan bagian dari RKA-K/L yang telah disetujui dan ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga diajukan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran. |
(2) | Pengajuan RBA dan Ikhtisar RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan jadwal dalam ketentuan penyusunan RKA-K/L. |
Pasal 55
(1) | Pemimpin BLU melakukan penyesuaian atas RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) menjadi RBA Definitif setelah Peraturan Presiden mengenai Rincian Anggaran Belanja Pemerintah ditetapkan dengan memperhatikan arah indikator kinerja (Key Performance Indicator) BLU yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. | ||||||
(2) | Penetapan arah indikator kinerja (Key Performance Indicator) BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan paling sedikit meliputi:
|
||||||
(3) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas, serta disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(4) | Dalam hal BLU tidak memiliki Dewan Pengawas, RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga, serta disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(5) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat melimpahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan terhadap RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||
(6) | Pemimpin BLU menyampaikan RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat minggu kedua bulan Januari tahun pelaksanaan RBA. | ||||||
(7) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar dalam melakukan aktivitas/kegiatan BLU. |
Pasal 56
(1) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dapat dilakukan revisi dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
(2) | Kewenangan pengesahan revisi RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni sebagai berikut:
|
||||||||||
(3) | Pemimpin BLU menyampaikan revisi RBA Definitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai revisi RBA yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 58
Penyampaian RSB/RSB revisi, RBA/RBA revisi, analisis RBA, dan RBA Definitif/RBA Definitif revisi dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Bagian Kedua
Dokumen Pelaksanaan Anggaran
Pasal 59
(1) | RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) digunakan juga sebagai acuan dalam menyusun DIPA Petikan BLU. | ||||
(2) | DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memuat saldo awal kas, pendapatan, belanja, pembiayaan, saldo akhir kas, besaran Persentase Ambang Batas, proyeksi arus kas (termasuk rencana penarikan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara), dan jumlah serta kualitas barang dan/atau jasa yang dihasilkan, sebagaimana ditetapkan dalam RBA Definitif. | ||||
(3) | Saldo awal kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersumber dari surplus anggaran tahun sebelumnya dan saldo pembiayaan bersih BLU tahun sebelumnya. | ||||
(4) | Saldo awal kas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak termasuk:
|
||||
(5) | Saldo pembiayaan bersih BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan selisih antara penerimaan pembiayaan BLU dengan pengeluaran pembiayaan BLU. | ||||
(6) | Surplus anggaran tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan saldo kas yang berasal dari selisih lebih antara penerimaan negara bukan pajak BLU dengan belanja BLU, di luar anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
Pasal 60
DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) tidak mencantumkan:
a. | Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun sebelumnya; dan/atau |
b. | Pengeluaran pembiayaan (dana bergulir/investasi) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) tahun berjalan yang telah tercantum dalam DIPA lain. |
Pasal 61
DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 62
(1) | DIPA Petikan BLU yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan menjadi dasar bagi penarikan dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
(2) | Berdasarkan DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kuasa Pengguna Anggaran mengajukan Surat Perintah Membayar kepada KPPN. |
(3) | Berdasarkan Surat Perintah Membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 63
(1) | Pendapatan yang diperoleh oleh BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) huruf b dapat dikelola dan digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran BLU sesuai dengan RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). |
(2) | Hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan hukum lain harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya. |
Pasal 64
(1) | Untuk pertanggungjawaban pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dan/atau belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang dapat digunakan langsung, BLU mengajukan surat perintah pengesahan pendapatan dan belanja BLU kepada KPPN paling kurang satu kali dalam satu triwulan. |
(2) | Berdasarkan surat perintah pengesahan pendapatan dan belanja BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan Surat Pengesahan Pendapatan dan Belanja BLU terhadap pendapatan dan/atau belanja yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang dapat digunakan langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan dan pertanggungjawaban penggunaan dana BLU diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 65
(1) | Dalam hal revisi RBA Definitif berakibat pada perubahan DIPA Petikan BLU, maka revisi RBA Definitif diikuti dengan revisi DIPA Petikan BLU. | ||||||||||||
(2) | Revisi DIPA Petikan BLU terdiri atas revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU dan selain penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||
(3) | Revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diakibatkan oleh:
|
||||||||||||
(4) | Perubahan atau pergeseran rincian anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b paling sedikit meliputi:
|
Pasal 66
(1) | BLU dapat melakukan belanja dalam ambang batas sebelum pengesahan revisi DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) huruf b. |
(2) | BLU dapat melakukan belanja melampaui ambang batas setelah pengesahan revisi DIPA Petikan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (4) huruf c. |
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut mengenai revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 68
Revisi DIPA Petikan BLU yang sumber dananya berasal dari selain penerimaan negara bukan pajak BLU mengikuti ketentuan mengenai tata cara revisi DIPA.
Bagian Ketiga
Pendapatan dan Belanja
Pasal 69
(1) | Pendapatan BLU, terdiri atas:
|
||||||||||
(2) | Hasil usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit meliputi pendapatan jasa lembaga keuangan, hasil penjualan aset tetap, dan pendapatan sewa. | ||||||||||
(3) | Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilaporkan sebagai penerimaan negara bukan pajak Kementerian Negara/Lembaga. | ||||||||||
(4) | Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, sampai dengan huruf d dilakukan pertanggungjawaban pendapatan BLU berupa pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. | ||||||||||
(5) | Pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperlukan untuk hibah yang diterima dalam bentuk barang, jasa, dan/atau surat berharga. | ||||||||||
(6) | Hibah tidak terikat dan/atau hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak memerlukan nomor register hibah. |
Pasal 70
(1) | Belanja BLU terdiri atas:
|
||||||
(2) | Belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan belanja pegawai yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni), sedangkan belanja pegawai yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU dimasukkan ke dalam belanja barang BLU. | ||||||
(3) | Belanja barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari belanja barang yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan belanja barang yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||
(4) | Belanja barang yang didanai dari penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari belanja Gaji dan tunjangan, belanja barang, belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan, dan belanja penyediaan barang dan jasa BLU lainnya yang berasal dari penerimaan negara bukan pajak BLU, termasuk belanja pengembangan sumber daya manusia. | ||||||
(5) | Belanja modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri dari belanja modal yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan belanja modal BLU. | ||||||
(6) | Belanja modal yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan belanja modal yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) yang terdiri dari belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal lainnya. | ||||||
(7) | Belanja modal BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan belanja modal yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU yang terdiri dari belanja modal tanah, belanja modal peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, dan belanja modal lainnya. | ||||||
(8) | Belanja modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) termasuk pengeluaran untuk perolehan aset tidak berwujud dan pengembangan aplikasi/software yang memenuhi kriteria aset tak berwujud. |
Pasal 71
(1) | Pengelolaan belanja BLU diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan kesetaraan antara volume kegiatan pelayanan dengan jumlah pengeluaran, mengikuti Praktik Bisnis yang Sehat. |
(2) | Fleksibilitas pengelolaan belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam ambang batas sesuai dengan yang ditetapkan dalam RBA. |
(3) | Belanja BLU yang melampaui ambang batas fleksibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan. |
Bagian Keempat
Pengelolaan Kas
Paragraf 1
Umum
Pasal 72
(1) | Pengelolaan kas pada BLU meliputi:
|
||||||
(2) | Pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Praktik Bisnis yang Sehat. | ||||||
(3) | Transaksi penerimaan dan pengeluaran kas di BLU semaksimal mungkin dilakukan melalui sistem perbankan dan/atau sistem pembayaran elektronik lain. | ||||||
(4) | BLU harus menganalisis biaya dan manfaat atas pengelolaan kas pada sistem perbankan dan/atau sistem pembayaran elektronik lainnya untuk mengurangi hilangnya potensi pendapatan dari kas. | ||||||
(5) | Untuk mendukung keandalan nilai kas dari pengelolaan kas pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU mengembangkan sistem dan menyusun rekonsiliasi bank sebagai kebutuhan manajerial dan pelaporan keuangan posisi kas pada tanggal pelaporan. |
Pasal 73
(1) | Kas yang dimiliki BLU harus digunakan secara optimal untuk penyelenggaraan pemberian layanan. |
(2) | Penggunaan kas BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan dalam hal BLU memiliki mandat untuk mengelola dana dan/atau kas tersebut telah direncanakan untuk suatu pengeluaran tertentu di masa mendatang dan telah dicantumkan dalam RSB. |
Pasal 74
(1) | Untuk pengelolaan kas, BLU membuka rekening yang terdiri atas:
|
||||||
(2) | Rekening Operasional BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Operasional Pengeluaran BLU. | ||||||
(3) | Dalam hal terdapat alasan efektivitas dan efisiensi, BLU dapat membuka 1 (satu) jenis Rekening Operasional BLU tanpa membagi rekening berkenaan menjadi Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Operasional Pengeluaran BLU. | ||||||
(4) | Selain rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU dapat membuka rekening pengeluaran untuk belanja yang bersumber dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Bunga/nisbah/jasa giro dari rekening yang dikelola BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) tidak dikenakan pajak. | ||||||
(6) | Mekanisme pembukaan dan penutupan rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 2
Penerimaan Kas
Pasal 75
(1) | Sumber penerimaan BLU berasal dari:
|
||||||||||||
(2) | Sumber penerimaan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 76
(1) | Penerimaan yang berasal dari pendapatan dari jasa layanan, hasil investasi, hibah, dan sumber penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f disetorkan langsung ke Rekening Operasional Penerimaan BLU. | ||||
(2) | Dalam hal BLU hanya menerapkan 1 (satu) jenis rekening operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3), penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan langsung ke Rekening Operasional BLU. | ||||
(3) | Penerimaan yang berasal dari Pinjaman dan anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf d dan huruf e khusus alokasi bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah bagi BLU tertentu disetorkan ke Rekening Dana Kelolaan BLU. | ||||
(4) | Dalam hal penerimaan BLU diterima oleh fungsi kasir, fungsi kasir menyetorkan penerimaan paling lambat setiap akhir hari kerja saat penerimaan diterima ke rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). | ||||
(5) | Penyetoran penerimaan dapat dilakukan pada hari berikutnya dalam hal penerimaan diterima:
|
||||
(6) | Pemimpin BLU menetapkan batas waktu (cut-off) penerimaan untuk disetorkan pada hari yang sama dengan memperhatikan waktu jam operasional bank berakhir dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran. |
Pasal 77
Dalam proses penerimaan kas, harus ada pemisahan secara jelas antara pihak yang menerima kas, pihak yang memberikan pelayanan, dan pihak yang melakukan pembukuan.
Paragraf 3
Pengeluaran Kas
Pasal 78
(1) | Pengeluaran kas BLU meliputi:
|
||||
(2) | Belanja untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan belanja modal. | ||||
(3) | Penyaluran dana layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||
(4) | Belanja terkait dengan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan pembayaran kegiatan layanan yang tidak diharapkan untuk diterima kembali yang dapat berupa hibah dan/atau beasiswa. | ||||
(5) | Penyaluran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan pendanaan yang dikeluarkan untuk membiayai suatu kegiatan atau proyek berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara BLU dengan masyarakat/lembaga yang harus dikembalikan dengan persyaratan tertentu yang dapat berupa penyaluran dana bergulir. |
Pasal 79
Dalam proses pengeluaran kas, harus ada pemisahan secara jelas antara penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen, pihak yang menguji dan menyetujui permintaan pembayaran, dan pihak yang melakukan pembayaran.
Pasal 80
(1) | BLU melakukan pelimpahan kas secara berkala dari Rekening Operasional Penerimaan BLU ke Rekening Operasional Pengeluaran BLU dalam rangka belanja untuk kegiatan operasional dan penyaluran dana layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a dan huruf b berdasarkan perencanaan kebutuhan dana yang akurat atau berdasarkan dokumen pengeluaran kas yang telah diotorisasi oleh pejabat yang berwenang. |
(2) | Perencanaan dana yang akurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebutuhan kas yang diperlukan untuk segera dilakukan pengeluaran. |
(3) | Pelaksanaan belanja untuk kegiatan operasional yang sumber dananya dari alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | BLU dapat membentuk kas kecil dalam rangka belanja untuk kegiatan operasional dengan nilai transaksi yang tidak mungkin dan/atau tidak efisien dilakukan melalui mekanisme perbankan. |
Pasal 81
(1) | Penyaluran belanja terkait dengan layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) huruf a dilakukan dengan transfer dana secara langsung dari Rekening Operasional Pengeluaran BLU/Rekening Operasional BLU kepada rekening pihak ketiga. |
(2) | Penyaluran pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) huruf b dilakukan dengan transfer dana secara langsung dari Rekening Operasional Pengeluaran BLU/Rekening Operasional BLU atau Rekening Dana Kelolaan BLU kepada rekening pihak ketiga. |
Paragraf 4
Optimalisasi Kas
Pasal 82
BLU mengupayakan saldo minimal pada Rekening Operasional Pengeluaran BLU dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 80 ayat (1).
Pasal 83
(1) | BLU harus mengoptimalkan kas pada Rekening Operasional Penerimaan BLU dan/atau Rekening Dana Kelolaan BLU dengan melakukan investasi jangka pendek. |
(2) | Termasuk dalam pengertian kas yang harus dioptimalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kas yang dimiliki sebagai akibat perbedaan waktu diterimanya kas dengan saat dikeluarkannya kas. |
(3) | Pemimpin BLU menetapkan batas maksimal saldo dalam Rekening Operasional Penerimaan BLU dan Rekening Dana Kelolaan BLU di luar yang dioptimalkan sebagai kas penyangga dengan tetap memperhatikan prinsip efisiensi dan efektivitas. |
(4) | Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) berlaku mutatis mutandis terhadap BLU yang menerapkan 1 (satu) jenis Rekening Operasional BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3). |
Pasal 84
(1) | Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) merupakan kegiatan manajemen kas aktif berupa penempatan kas pada instrumen keuangan dengan risiko rendah. |
(2) | Investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penempatan kas pada Rekening Pengelolaan Kas BLU berbentuk deposito on call dan/atau deposito berjangka pada Bank Umum. |
Pasal 85
(1) | Untuk memastikan ketersediaan kas pada saat diperlukan, BLU harus mengelola portofolio investasi dengan memperhatikan bauran instrumen investasi. |
(2) | Bauran instrumen investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan kredibilitas bank, jatuh tempo, nominal, dan ketentuan penalti. |
Pasal 86
(1) | BLU menyusun kebijakan investasi jangka pendek yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||
(2) | Kebijakan investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 87
(1) | BLU menyusun rencana investasi jangka pendek tahunan yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU. | ||||||
(2) | Rencana investasi jangka pendek tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 88
Pengelolaan investasi jangka pendek diselenggarakan oleh Pemimpin BLU atau Pejabat Pengelola setingkat di bawah Pemimpin BLU yang mempunyai fungsi pengelolaan kas dan/atau investasi.
Pasal 89
Dalam mengelola investasi jangka pendek, pengelola investasi harus melakukan:
a. | analisis terhadap risiko dan kajian yang memadai serta terdokumentasi dalam menempatkan, mempertahankan, dan melepaskan investasi; dan |
b. | penyusunan, pendokumentasian, dan pemeliharaan catatan dan/atau kertas kerja terkait pengelolaan investasi. |
Pasal 90
(1) | BLU menyajikan data dan informasi pelaksanaan investasi jangka pendek yang dapat diakses secara real time oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Penyajian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
(3) | Penyajian data dan informasi laporan pelaksanaan investasi jangka pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 91
(1) | Pemilihan/penunjukan Bank Umum untuk membuka Rekening Operasional BLU, Rekening Dana Kelolaan BLU, dan Rekening Pengelolaan Kas BLU dilakukan melalui Beauty Contest. | ||||||
(2) |
Beauty Contest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme:
|
||||||
(3) | Pelaksanaan Beauty Contest khusus untuk Rekening Pengelolaan Kas BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui Kementerian Keuangan. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Beauty Contest yang dilakukan melalui Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 92
Pemimpin BLU menyusun dan menetapkan standar operasional prosedur dalam rangka pengelolaan kas.
Bagian Kelima
Pengelolaan Piutang dan Utang
Paragraf 1
Pengelolaan Piutang
Pasal 93
(1) | Ruang lingkup pengaturan Piutang BLU dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pengelolaan Piutang BLU termasuk penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU yang bersumber dari pendapatan BLU. |
(2) | Penghapusan secara mutlak terhadap Piutang BLU dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penghapusan Piutang Negara. |
Pasal 94
(1) | Piutang BLU merupakan Piutang Negara. |
(2) | Piutang BLU terjadi sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, dan/atau transaksi lainnya yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan BLU. |
Pasal 95
(1) | Piutang BLU dikelola dan diselesaikan secara tertib, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab serta dapat memberikan nilai tambah, sesuai dengan Praktik Bisnis yang Sehat.Pemilihan/penunjukan Bank Umum untuk membuka Rekening Operasional BLU, Rekening Dana Kelolaan BLU, dan Rekening Pengelolaan Kas BLU dilakukan melalui Beauty Contest. | ||||||||
(2) | Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin BLU menetapkan pedoman pengelolaan Piutang BLU yang disetujui Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. | ||||||||
(3) | Pedoman pengelolaan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit mencakup:
|
||||||||
(4) | Dalam rangka pengelolaan piutang dan/atau penyaluran dana, BLU dapat menggunakan sistem layanan informasi keuangan yang dikelola Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 96
(1) | BLU harus melakukan penagihan secara maksimal terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2). |
(2) | Dalam hal Piutang BLU tidak terselesaikan setelah dilakukan penagihan secara maksimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU menyerahkan pengurusan penagihan tersebut kepada PUPN. |
(3) | Penyerahan pengurusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengurusan Piutang Negara. |
Pasal 97
(1) | Pengurusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dilakukan oleh PUPN sampai lunas, selesai, atau optimal. |
(2) | Pengurusan Piutang BLU dinyatakan telah optimal, dalam hal telah dinyatakan sebagai PSBDT oleh PUPN. |
Pasal 98
(1) | Terhadap Piutang BLU yang telah dinyatakan PSBDT oleh PUPN, Pemimpin BLU melakukan penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU dengan menerbitkan surat keputusan penghapusan. | ||||||
(2) | Format surat keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
(3) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menghapuskan Piutang BLU dari pembukuan BLU tanpa menghapuskan hak tagih negara. | ||||||
(4) | Penghapusan Piutang BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan dilengkapi:
|
Pasal 99
(1) | Pemimpin BLU diberikan kewenangan penghapusan secara bersyarat sesuai jenjang kewenangannya. | ||||
(2) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU ditetapkan oleh:
|
||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat Dewan Pengawas, persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. | ||||
(4) | Penghapusan secara bersyarat, sepanjang menyangkut Piutang BLU untuk jumlah lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penghapusan Piutang Negara. |
Pasal 100
Dalam hal perjanjian/peraturan/hal lain yang menjadi dasar terjadinya Piutang BLU diatur bahwa Penanggung Utang wajib menyalurkan kredit kepada para anggotanya, nilai Piutang BLU yang dapat dihapuskan secara bersyarat yakni per anggota Penanggung Utang.
Pasal 101
Dalam hal Piutang BLU dalam satuan mata uang asing, nilai piutang yang dihapuskan secara bersyarat merupakan nilai yang setara dengan nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) dengan kurs tengah Bank Indonesia yang berlaku pada 3 (tiga) hari sebelum tanggal surat pengajuan usul penghapusan oleh Pejabat Keuangan.
Pasal 102
Pencatatan atas penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU dilakukan sesuai pedoman penatausahaan dan akuntansi BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) huruf b.
Pasal 103
(1) | Penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dilaporkan kepada Dewan Pengawas dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. |
(2) | Dalam hal tidak terdapat Dewan Pengawas, penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a dilaporkan kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga yang bersangkutan. |
Pasal 104
Pemimpin BLU menyampaikan laporan penghapusan secara bersyarat terhadap Piutang BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ayat (2) huruf a kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Kekayaan Negara dan Direktur Jenderal Perbendaharaan paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat keputusan penghapusan diterbitkan.
Pasal 105
Penghapusan Piutang BLU yang timbul dari tuntutan ganti kerugian negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Pengelolaan Utang
Pasal 106
(1) | Ruang lingkup pengelolaan Pinjaman dalam Peraturan Menteri ini mengatur mengenai pengelolaan Pinjaman jangka pendek. |
(2) | BLU dapat mengadakan Pinjaman jangka pendek atas namanya sendiri sesuai kebutuhan. |
(3) | Pinjaman jangka pendek dilakukan dalam rangka menutup selisih antara jumlah kas yang tersedia ditambah aliran kas masuk yang diharapkan dengan jumlah pengeluaran yang diproyeksikan dalam suatu tahun anggaran (mismatch). |
(4) | Pinjaman jangka pendek digunakan untuk memenuhi kebutuhan belanja operasional. |
(5) | Belanja operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pengeluaran yang dimaksudkan memberikan manfaat jangka pendek. |
Pasal 107
(1) | BLU dapat memiliki Pinjaman sehubungan dengan:
|
||||
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa badan usaha dalam negeri baik berupa lembaga keuangan perbankan maupun nonperbankan, badan usaha lainnya, atau BLU. | ||||
(3) | Aset Tetap BLU dilarang dijadikan jaminan atas Pinjaman jangka pendek. |
Pasal 108
Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan Pinjaman jangka pendek meliputi:
a. | kegiatan yang akan dibiayai dari penerimaan negara bukan pajak BLU dan/atau anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) telah tercantum dalam RBA tahun anggaran berjalan, tetapi dana yang tersedia dari penerimaan negara bukan pajak BLU tidak/belum mencukupi untuk menutup kebutuhan/kekurangan dana untuk membiayai kegiatan dimaksud; |
b. | kegiatan yang akan dibiayai bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda; |
c. | saldo kas dan setara kas BLU tidak mencukupi atau tidak memadai untuk membiayai pengeluaran dimaksud; dan |
d. | jumlah Pinjaman jangka pendek yang masih ada ditambah dengan jumlah Pinjaman jangka pendek yang akan ditarik tidak melebihi 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber langsung dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
Pasal 109
(1) | BLU dapat diberikan pengecualian dari persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf d untuk kegiatan yang berdampak signifikan terhadap layanan BLU, setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||
(2) | Kegiatan yang berdampak signifikan terhadap layanan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Permohonan persetujuan terhadap pengecualian dari persyaratan yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pemimpin BLU kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(4) | Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kajian dan memastikan kemampuan bayar BLU yang bersangkutan, dan selanjutnya menyampaikan permohonan persetujuan kepada Menteri Keuangan. | ||||||||
(5) | Permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) paling sedikit dilampiri dengan rencana penggunaan Pinjaman jangka pendek dan rincian komitmen pendapatan yang akan diterima untuk menjamin pembayaran kembali Pinjaman jangka pendek. | ||||||||
(6) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mempertimbangkan urgensi perlunya melakukan Pinjaman jangka pendek dan kemampuan BLU untuk membayar kembali Pinjaman jangka pendek. | ||||||||
(7) | Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||||
(8) | Persetujuan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam surat persetujuan dengan disertai jumlah maksimal Pinjaman jangka pendek yang dapat dilakukan kepada Pemimpin BLU dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||
(9) | Penolakan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan melalui surat penolakan kepada Pemimpin BLU dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 110
Kewenangan persetujuan atas Pinjaman jangka pendek diberikan oleh:
a. | Pemimpin BLU untuk peminjaman yang bernilai sampai dengan 10% (sepuluh persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
b. | Pemimpin BLU atas persetujuan Dewan Pengawas untuk peminjaman yang bernilai di atas 10% (sepuluh persen) sampai dengan 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
c. | Pemimpin BLU atas persetujuan Lembaga atau pejabat yang Menteri/Pimpinan ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga bagi BLU yang tidak memiliki Dewan Pengawas untuk peminjaman yang bernilai di atas 10% (sepuluh persen) sampai dengan 15% (lima belas persen) dari jumlah pendapatan BLU tahun anggaran sebelumnya yang tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan hibah terikat. |
Pasal 111
(1) | Pelaksanaan Pinjaman jangka pendek antara BLU dengan pihak lain, dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman. | ||||||||||||||||
(2) | Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut:
|
Pasal 112
(1) | Pejabat Keuangan melaksanakan pembayaran pokok Pinjaman, bunga, dan biaya lainnya pada saat jatuh tempo sesuai Perjanjian Pinjaman. |
(2) | Kewajiban yang timbul sebagai akibat dari Perjanjian Pinjaman merupakan tanggung jawab BLU. |
(3) | Penatausahaan Pinjaman jangka pendek dilaksanakan oleh Pejabat Keuangan. |
Pasal 113
(1) | Pejabat Keuangan menyampaikan laporan bulanan kepada Pemimpin BLU mengenai realisasi penyerapan dan pembayaran kewajiban yang timbul akibat Pinjaman jangka pendek. |
(2) | Laporan bulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemimpin BLU kepada Dewan Pengawas atau Pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga untuk BLU yang tidak memiliki Dewan Pengawas. |
(3) | Pemimpin BLU melakukan monitoring dan evaluasi bulanan atas pengelolaan Pinjaman jangka pendek. |
Pasal 114
BLU yang beralih statusnya menjadi badan hukum lain dengan kekayaan negara yang dipisahkan harus menyelesaikan sisa kewajiban yang timbul sebagai akibat dari Perjanjian Pinjaman.
Paragraf 3
Pemberian Pinjaman kepada BLU
Pasal 115
(1) | BLU dapat memberikan Pinjaman kepada BLU. | ||||
(2) | Pemberian Pinjaman kepada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap:
|
||||
(3) | Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk Pinjaman jangka pendek dengan peruntukan sebagaimana diatur dalam Pasal 106. | ||||
(4) | Sumber pemberian Pinjaman berasal dari surplus anggaran BLU. | ||||
(5) | Surplus anggaran BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan surplus kas BLU hasil pengesahan pendapatan dan belanja BLU. |
Pasal 116
BLU yang akan memberikan Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 harus memenuhi persyaratan paling sedikit:
a. | memiliki kecukupan likuiditas; dan |
b. | tidak terganggu keberlanjutan layanannya. |
Pasal 117
BLU yang mengajukan usulan Pinjaman harus memperhatikan persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan Pinjaman jangka pendek sebagaimana diatur dalam Pasal 108 dan Pasal 109.
Pasal 118
(1) | Dalam rangka pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, BLU penerima Pinjaman mengajukan proposal usulan Pinjaman kepada BLU pemberi Pinjaman. | ||||||||||||||||||
(2) | Proposal usulan Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan:
|
Pasal 119
(1) | BLU pemberi Pinjaman melakukan penilaian kelayakan usulan Pinjaman berdasarkan proposal usulan Pinjaman dengan paling sedikit mempertimbangkan:
|
||||||
(2) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU pemberi Pinjaman menyetujui atau menolak usulan Pinjaman yang diajukan oleh BLU. | ||||||
(3) | Kewenangan atas persetujuan pemberian Pinjaman jangka pendek diberikan oleh:
|
Pasal 120
(1) | Pelaksanaan Pinjaman antar-BLU dituangkan dalam Perjanjian Pinjaman. | ||||||||||||||||||
(2) | Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||||||
(3) | BLU menyampaikan salinan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga terkait paling lambat 15 (lima belas) hari setelah Perjanjian Pinjaman ditandatangani. |
Pasal 121
(1) | Untuk menjamin pembayaran kembali Piutang, pemberian Pinjaman oleh BLU kepada BLU dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang berbeda diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Rekening escrow sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk menampung dana tertentu yang penarikannya hanya dapat dilakukan dengan syarat khusus sesuai dengan perjanjian dalam rangka Pinjaman antar-BLU. | ||||||
(3) | Pembentukan rekening escrow sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan yang berlaku. | ||||||
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterapkan untuk pemberian Pinjaman oleh BLU kepada BLU lain dalam lingkup Kementerian Negara/Lembaga yang sama. |
Pasal 122
(1) | Perpindahan kas antar-BLU dalam rangka pemberian Pinjaman kepada BLU lain diperlakukan sebagai transaksi transitoris/nonanggaran. |
(2) | Transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengesahan baik oleh BLU pemberi Pinjaman maupun BLU penerima Pinjaman ke KPPN mitra kerja masing-masing. |
(3) | Petunjuk teknis pengesahan transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 123
(1) | Menteri Keuangan dapat menugaskan/memerintahkan BLU untuk memberikan Pinjaman kepada BLU lainnya. |
(2) | Prosedur pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 sampai dengan Pasal 122. |
Bagian Keenam
Investasi
Pasal 124
(1) | Investasi jangka panjang dapat dilakukan oleh BLU setelah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(2) | Persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan penetapan BLU sebagai operator investasi Pemerintah. | ||||||||||
(3) | Dalam hal BLU bukan merupakan operator investasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BLU dapat menempatkan dana kepada operator investasi pemerintah sebagai investor untuk melakukan investasi jangka panjang setelah mendapatkan Persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||
(4) | Dalam hal pelaksanaan investasi Pemerintah terdapat penurunan nilai investasi, pimpinan BLU yang ditetapkan sebagai operator investasi Pemerintah tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian investasi dan/atau kerugian negara apabila dapat membuktikan:
|
||||||||||
(5) | Pelaksanaan investasi jangka panjang pada BLU mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang investasi Pemerintah. |
Bagian Ketujuh
Pengelolaan Barang
Paragraf 1
Pengadaan Barang/Jasa
Pasal 125
(1) | Pengadaan barang/jasa pada BLU dikecualikan dari peraturan pengadaan barang dan jasa Pemerintah pada umumnya. | ||||||||
(2) | Pengadaan barang/jasa pada BLU diatur tersendiri dengan peraturan Pemimpin BLU. | ||||||||
(3) | Pengadaan barang/jasa pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari:
|
||||||||
(4) | Pengadaan barang/jasa pada BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU dengan mengikuti prinsip-prinsip transparansi, adil/tidak diskriminatif, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, ekonomis, dan Praktik Bisnis yang Sehat. | ||||||||
(5) | Pengaturan pengadaan barang/jasa dalam peraturan Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, persiapan pemilihan, pelaksanaan pemilihan, dan pelaksanaan kontrak. | ||||||||
(6) | Ketentuan pengadaan barang/jasa yang ditetapkan oleh Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) memperhatikan ketentuan mengenai tata cara pembayaran atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara. | ||||||||
(7) | Dalam hal BLU belum menetapkan peraturan Pemimpin BLU, pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada BLU berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang/jasa Pemerintah. | ||||||||
(8) | Pedoman pengadaan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus ditinjau/disempurnakan sesuai kebutuhan. | ||||||||
(9) | Untuk pengadaan barang/jasa yang sumber dananya berasal dari hibah terikat dapat dilakukan dengan mengikuti ketentuan pengadaan dari pemberi hibah atau mengikuti ketentuan pengadaan barang/jasa yang berlaku bagi BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sepanjang disetujui oleh pemberi hibah dimaksud. |
Pasal 126
Dalam proses pengadaan barang/jasa harus ada pemisahan yang jelas antara pemegang kewenangan penggunaan anggaran, penanggung jawab kegiatan/pembuat komitmen, dan penyelenggara pengadaan barang/jasa.
Paragraf 2
Pengelolaan Aset pada BLU
Pasal 127
(1) | BLU bertugas mengelola aset pada BLU. |
(2) | Hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sepenuhnya untuk menyelenggarakan kegiatan BLU dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. |
Pasal 128
Pengelolaan aset pada BLU meliputi:
a. | pelaksanaan pengelolaan Aset BLU; dan |
b. | pelaksanaan pengelolaan aset pihak lain. |
Pasal 129
Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU meliputi perencanaan dan penganggaran, penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, pemusnahan, dan penghapusan.
Pasal 130
Pengelolaan aset pada BLU dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Pasal 131
Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU berpedoman pada ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan barang milik negara sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Pasal 132
(1) | Pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU dilaksanakan dengan prinsip-prinsip:
|
||||||||
(2) | Pelaksanaan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme KSO atau KSM. | ||||||||
(3) | Biaya yang timbul dalam rangka persiapan pelaksanaan KSO atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
Pasal 133
KSO dan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) bertujuan untuk:
a. | meningkatkan penyediaan pelayanan umum kepada masyarakat; |
b. | mengoptimalkan daya guna dan hasil guna Aset BLU; dan |
c. | meningkatkan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. |
Pasal 134
KSO dan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) berupa:
a. | KSO terhadap Aset BLU; |
b. | KSO terhadap aset pihak lain; dan |
c. | KSM pada BLU dan/atau pihak lain. |
Pasal 135
(1) | Pemimpin BLU melakukan KSO dan/atau KSM dalam rangka Tugas dan Fungsi pada BLU. |
(2) | KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan melibatkan pihak lain sebagai Mitra. |
(3) | KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam naskah perjanjian antara Pemimpin BLU dengan Mitra. |
(4) | Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang mengalihkan KSO dan/atau KSM kepada pihak lain kecuali atas persetujuan Pemimpin BLU dan disertai pembayaran kompensasi dalam hal terdapat keuntungan atas pengalihan KSO dan/atau KSM dimaksud. |
Pasal 136
Tarif yang dikenakan kepada masyarakat terhadap layanan yang dihasilkan dari KSO dan/atau KSM ditetapkan oleh Pemimpin BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan BLU.
Pasal 137
Mitra terdiri atas:
a. | Kementerian Negara/Lembaga/Satker; |
b. | pemerintah daerah; |
c. | badan usaha milik negara; |
d. | badan usaha milik daerah; |
e. | BLU; |
f. | BLU daerah; |
g. | perusahaan swasta; |
h. | yayasan; |
i. | koperasi; dan/atau |
j. | perorangan. |
Pasal 138
(1) | Pemimpin BLU menyusun rencana KSO dan/atau KSM yang paling sedikit menjelaskan secara ringkas tentang maksud dan tujuan, bentuk, dan hasil analisis dan evaluasi dari aspek teknis, aspek keuangan, dan aspek hukum. |
(2) | Rencana KSO dan/atau KSM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam RBA. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 139
(1) | KSO terhadap Aset BLU dilakukan terhadap objek KSO berupa:
|
||||||||||||||
(2) | Aset BLU selain tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk aset tak berwujud. | ||||||||||||||
(3) | Aset tak berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
Pasal 140
KSO terhadap Aset BLU dilakukan dalam bentuk:
a. | KSO Tanah dan Bangunan; dan/atau |
b. | KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan. |
Pasal 141
KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a dilakukan dalam bentuk:
a. | Mitra mendayagunakan tanah dan/atau gedung dan bangunan milik BLU dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU selama jangka waktu tertentu yang disepakati dalam perjanjian; |
b. | Mitra mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atas tanah milik BLU, dan setelah selesai pembangunannya diserahkan kepada BLU, untuk kemudian digunakan oleh Mitra atau Mitra bersama BLU dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU selama jangka waktu tertentu yang disepakati dalam perjanjian; dan/atau |
c. | Mitra mendirikan gedung dan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya di atas tanah milik BLU, untuk kemudian digunakan oleh Mitra dalam rangka pelaksanaan Tugas dan Fungsi BLU, dan Mitra menyerahkan gedung dan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya kepada BLU sesuai jangka waktu yang disepakati dalam perjanjian. |
Pasal 142
(1) | KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(2) | Jangka waktu KSO dapat melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. |
Pasal 143
(1) | Dalam pelaksanaan KSO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142, selain mendapatkan kompensasi tetap, Pemimpin BLU dapat mengenakan imbal hasil kepada Mitra. | ||||||
(2) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan memperhitungkan:
|
||||||
(3) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 144
KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b dan huruf c, dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 145
(1) | BLU mendapatkan imbalan dari hasil KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 berupa kompensasi tetap dan/atau imbal hasil. | ||||||
(2) | Besaran kompensasi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemimpin BLU dengan paling sedikit mempertimbangkan:
|
||||||
(3) | Nilai penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan dalam hal terdapat bangunan yang dihapuskan di atas tanah milik BLU yang menjadi objek KSO. | ||||||
(4) | Besaran imbal hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mempertimbangkan pendapatan dan belanja KSO. |
Pasal 146
(1) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ditetapkan dengan memperhitungkan masa manfaat bangunan. |
(2) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. |
(3) | Jangka waktu KSO dapat melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan. |
(4) | Jangka waktu pelaksanaan KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) hanya berlaku untuk 1 (satu) kali perjanjian dan tidak dapat dilakukan perpanjangan. |
Pasal 147
(1) | Dalam hal KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 berakhir, Mitra dapat melanjutkan kerja sama dengan bentuk KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a. | ||||||
(2) | Pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah:
|
Pasal 148
KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 149
KSO Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | BLU mendapatkan imbalan berupa kompensasi tetap, imbal hasil, dan/atau manfaat ekonomi lainnya. |
b. | Setelah jangka waktu KSO berakhir, Mitra dapat mengajukan perpanjangan kerja sama. |
c. | Perpanjangan kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf b ditetapkan Pemimpin BLU setelah dilakukan evaluasi dan penyesuaian klausul dalam perjanjian. |
d. | Dalam hal Mitra tidak mengajukan perpanjangan kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf b, Mitra tidak diperbolehkan menggunakan manfaat dari Aset Selain Tanah dan/atau Bangunan milik BLU demi kepentingan sendiri, dan menjamin bebas dari segala tuntutan hukum dan hak-hak pihak ketiga. |
Pasal 150
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf b dilakukan terhadap objek KSO berupa peralatan dan mesin milik Mitra.
Pasal 151
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150, dilakukan dengan cara BLU mendayagunakan peralatan dan mesin milik Mitra, untuk selanjutnya digunakan dalam pemberian pelayanan umum BLU sesuai jangka waktu tertentu yang disepakati.
Pasal 152
KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 153
BLU mendapatkan imbal hasil dari pelaksanaan KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150.
Pasal 154
Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ditetapkan dengan memperhitungkan masa manfaat peralatan dan mesin.
Pasal 155
BLU dapat melakukan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 huruf c dalam bentuk:
a. | Pendayagunaan Aset BLU dan/atau Mitra dalam rangka menghasilkan layanan, dengan menggunakan/menyertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial yang dimiliki BLU. |
b. | Pendayagunaan Aset BLU dan/atau Mitra dalam rangka menghasilkan layanan, dengan menggunakan/menyertakan sumber daya manusia dan/atau kemampuan manajerial yang dimiliki Mitra. |
Pasal 156
KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | Dilakukan berdasarkan keputusan Pemimpin BLU. |
b. | Jangka waktu KSM paling lama 5 (lima) tahun sejak ditandatanganinya perjanjian. |
c. | Jangka waktu KSM sebagaimana dimaksud pada huruf b, apabila telah berakhir dapat diperpanjang setelah dilakukan evaluasi dan penyesuaian klausul dalam perjanjian. |
Pasal 157
BLU mendapatkan imbalan dari pelaksanaan KSM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, sesuai dengan perjanjian.
Pasal 158
Pemilihan Mitra dilakukan dengan mekanisme penunjukan langsung terhadap calon Mitra yang mengajukan permohonan KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf a.
Pasal 159
Pemilihan Mitra dilakukan melalui mekanisme tender terhadap calon Mitra pada:
a. | KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b; |
b. | KSO Tanah dan Bangunan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf c; |
c. | KSO terhadap aset pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150; dan |
d. | KSM dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf b. |
Pasal 160
(1) | Pemilihan Mitra terhadap KSO Aset selain Tanah dan/atau Bangunan dapat dilakukan melalui mekanisme penunjukan langsung, perizinan, atau tender terhadap calon Mitra. |
(2) | Mekanisme pemilihan Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 161
(1) | Pemilihan Mitra dilakukan melalui mekanisme perizinan terhadap calon Mitra yang mengajukan permohonan KSM dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 huruf a. |
(2) | Perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemimpin BLU. |
Pasal 162
(1) | Pelaksanaan KSO atau KSM dituangkan dalam naskah perjanjian. |
(2) | Naskah perjanjian untuk KSO Tanah dan Bangunan dengan jangka waktu lebih dari 3 (tiga) tahun dibuat di hadapan notaris. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai naskah perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 163
BLU melakukan penatausahaan terhadap setiap transaksi dari pelaksanaan pengelolaan aset pada BLU.
Pasal 164
(1) | Pendapatan atau bagian pendapatan yang diperoleh dari pelaksanaan pengelolaan aset dengan menggunakan mekanisme KSO atau KSM merupakan pendapatan BLU yang dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU sesuai RBA. |
(2) | Pendapatan atau bagian pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Pasal 165
Peralatan dan mesin milik Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 tidak dicatat sebagai Aset BLU.
Pasal 166
Tanah milik BLU yang akan didirikan bangunan di atasnya oleh Mitra pada KSO Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b dan huruf c, pada saat penyerahan direklasifikasi menjadi Aset Lainnya BLU berupa aset kemitraan dengan pihak ketiga pada neraca BLU.
Pasal 167
Pemimpin BLU melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan aset pada BLU yang berada dalam penguasaannya.
Pasal 168
Pemimpin BLU menetapkan standar operasional prosedur yang diperlukan dalam pengelolaan aset pada BLU sebagai pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
Bagian Kedelapan
Penyelesaian Kerugian
Pasal 169
Setiap kerugian negara pada BLU yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian kerugian negara.
Bagian Kesembilan
Akuntansi, Pelaporan, dan Pertanggungjawaban Keuangan
Pasal 170
(1) | Setiap transaksi keuangan BLU harus diakuntansikan dan dokumen pendukungnya dikelola secara tertib. | ||||||
(2) | Akuntansi dan laporan keuangan BLU diselenggarakan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | BLU menyelenggarakan dan mengembangkan subsistem akuntansi secara mandiri untuk dapat menghasilkan pencatatan transaksional sesuai dengan karakteristik BLU. | ||||||
(4) | Subsistem akuntansi secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembangkan sesuai dengan Praktik Bisnis yang Sehat untuk dapat mencatat transaksi, kejadian keuangan, dan akuntansi berdasarkan dokumen sumbernya yang menjadi pengakuan hak dan kewajiban BLU secara transaksional. | ||||||
(5) | Penyelenggaraan dan pengembangan subsistem akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk:
|
Pasal 171
(1) | Dalam rangka menyusun laporan keuangan, BLU melakukan pengumpulan, pencatatan, serta pengikhtisaran data transaksi dan informasi kejadian keuangan, termasuk data yang berasal dari subsistem akuntansi transaksional. | ||||||||||||||
(2) | Laporan keuangan BLU merupakan bentuk pertanggungjawaban BLU yang terdiri atas:
|
||||||||||||||
(3) | Laporan keuangan unit usaha BLU dikonsolidasikan ke Laporan Keuangan BLU. | ||||||||||||||
(4) | Laporan keuangan BLU diaudit dan diberi opini oleh auditor ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(5) | Laporan keuangan BLU dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Kementerian Negara/Lembaga. |
Bagian Kesepuluh
Akuntabilitas Kinerja
Pasal 172
(1) | Pimpinan BLU bertanggung jawab terhadap kinerja operasional BLU sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan dalam RBA. |
(2) | Pimpinan BLU mengikhtisarkan dan melaporkan kinerja operasional BLU secara terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171. |
(3) | Tata cara penyusunan ikhtisar kinerja operasional dan pengintegrasiannya dengan laporan keuangan didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaporan keuangan dan kinerja. |
(4) | Penyampaian ikhtisar laporan kinerja operasional yang terintegrasi dengan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Bagian Kesebelas
Surplus dan Defisit
Paragraf 1
Surplus
Pasal 173
(1) | Surplus anggaran BLU dapat digunakan dalam tahun anggaran berikutnya kecuali atas perintah Menteri Keuangan disetorkan sebagian atau seluruhnya ke Kas Umum Negara dengan mempertimbangkan posisi likuiditas BLU. |
(2) | Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diestimasikan dalam RBA tahun anggaran berikutnya untuk disetujui penggunaannya. |
Paragraf 2
Defisit
Pasal 174
(1) | Defisit anggaran BLU dapat diajukan pembiayaannya dalam tahun anggaran berikutnya kepada Menteri Keuangan melalui Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Menteri Keuangan dapat mengajukan anggaran untuk menutup defisit pelaksanaan anggaran BLU dalam anggaran pendapatan dan belanja negara tahun anggaran berikutnya. |
Paragraf 3
Penarikan dan Pengembalian Dana BLU
Pasal 175
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU. | ||||||
(2) | Dana yang dikelola oleh BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Surplus Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan surplus kas BLU hasil pengesahan pendapatan dan belanja BLU. | ||||||
(4) | Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
|
||||||
(5) | Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Paragraf 4
Penarikan Surplus Anggaran dan/atau
Dana Kelolaan Tanpa Pengembalian
Pasal 176
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU tanpa pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (5) huruf a dalam rangka pembinaan pengelolaan keuangan BLU dan/atau optimalisasi kas Pemerintah. |
(2) | Untuk penarikan dana yang dikelola BLU tanpa pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan. |
Pasal 177
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran pada BLU dengan mempertimbangkan:
a. | posisi likuiditas BLU; |
b. | keberlanjutan layanan BLU; |
c. | rencana pengembangan layanan tahun berjalan dan/atau 1 (satu) tahun berikutnya; dan/atau |
d. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Surplus Anggaran. |
Pasal 178
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Dana Kelolaan. | ||||||
(2) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Kekayaan Negara selaku pimpinan pembantu pengguna anggaran bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah. | ||||||
(3) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||||
(4) | Dalam hal penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara, hasil penilaian disampaikan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 179
(1) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 dan Pasal 178, Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan rekomendasi penarikan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU kepada Menteri Keuangan. | ||||
(2) | Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penarikan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU. | ||||
(3) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
Pasal 180
(1) | Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2), BLU menyetorkan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan ke Kas Negara melalui bank/pos persepsi dengan menggunakan sistem penerimaan negara. |
(2) | Penyetoran Surplus Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai transaksi nonanggaran. |
(3) | Penyetoran Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai penerimaan pembiayaan untuk bagian anggaran BUN. |
Pasal 181
(1) | Pemimpin BLU menyampaikan permintaan penerbitan SKTB kepada KPPN mitra kerja atas setoran Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah penyetoran. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan SKTB oleh KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Paragraf 5
Penarikan Surplus Anggaran dan/atau
Dana Kelolaan dengan Pengembalian
Pasal 182
(1) | Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU dengan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (5) huruf b dalam rangka pembinaan pengelolaan keuangan BLU, optimalisasi kas Pemerintah, dan/atau penyangga kas Pemerintah. |
(2) | Untuk penarikan dana yang dikelola BLU dengan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan. |
Pasal 183
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Surplus Anggaran pada BLU dengan mempertimbangkan:
a. | posisi likuiditas BLU; |
b. | keberlanjutan layanan BLU; |
c. | rencana pengembangan layanan tahun berjalan dan/atau 1 (satu) tahun berikutnya; dan/atau |
d. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Surplus Anggaran. |
Pasal 184
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian atas pengelolaan Dana Kelolaan dengan mempertimbangkan:
a. | tujuan pengelolaan dana; |
b. | realisasi penyaluran/perguliran Dana Kelolaan; dan/atau |
c. | hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan atas pengelolaan Dana Kelolaan. |
Pasal 185
(1) | Berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dan Pasal 184, Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menetapkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU. | ||||||
(2) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Pasal 186
Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan yang ditarik untuk dikembalikan dilakukan sebagai transaksi nonanggaran.
Pasal 187
Menteri Keuangan memerintahkan Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pengelolaan Kas Negara untuk melakukan pembukaan Rekening Pemerintah Lainnya di Bank Umum dalam rangka penyimpanan Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU yang ditarik untuk dikembalikan.
Pasal 188
Tata cara penyetoran, penarikan, pengembalian, dan pembukaan rekening Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan BLU yang ditarik untuk dikembalikan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
Paragraf 6
Lain-lain
Pasal 189
(1) | Menteri Keuangan dapat memerintahkan penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan untuk pengelolaan Kas Negara, tanpa melalui mekanisme penilaian. |
(2) | Perintah penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (3) dan Pasal 185 ayat (2). |
(3) | Mekanisme penyetoran dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
Pasal 190
(1) | Untuk menjaga kondisi fiskal Pemerintah, Menteri Keuangan dapat memberikan penugasan kepada BLU untuk melakukan pembelian surat berharga negara dengan cara private placement. |
(2) | Dalam hal BLU memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melakukan pembelian surat berharga negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BLU tidak memerlukan persetujuan investasi jangka panjang dari Menteri Keuangan. |
(3) | Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi keuangan BLU dalam memberikan layanan. |
Pasal 191
(1) | Menteri Keuangan dapat memerintahkan BLU untuk memindahkan saldo yang berasal dari Surplus Anggaran kepada BLU yang lain dalam hal:
|
||||
(2) | Kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 192
Ketentuan mengenai pejabat perbendaharaan, akuntansi, dan pelaporan transaksi penarikan dan pengembalian Surplus Anggaran dan/atau Dana Kelolaan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
BAB VI
TATA KELOLA
Bagian Kesatu
Kelembagaan, Pejabat Pengelola, dan Kepegawaian
Paragraf 1
Kelembagaan
Pasal 193
(1) | Dalam hal instansi Pemerintah perlu mengubah status kelembagaannya untuk menerapkan PPK-BLU, perubahan struktur kelembagaan dan instansi Pemerintah tersebut berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk menetapkan status kelembagaan instansi Pemerintah yang menerapkan PPK-BLU yang mengakibatkan perubahan Satker struktural atau menjadi nonstruktural pada Kementerian Negara/Lembaga. |
Pasal 194
(1) | BLU bidang layanan pengelola dana harus memiliki unit atau Pegawai yang menjalankan fungsi manajemen risiko dan fungsi pengelolaan investasi. |
(2) | Fungsi manajemen risiko dan fungsi pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh unit atau Pegawai secara terpisah. |
Pasal 195
(1) | Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, BLU dapat melakukan pengembangan usaha dengan membentuk unit usaha. |
(2) | Unit usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari BLU yang bertugas melakukan pengembangan layanan dan mengoptimalkan sumber-sumber pendanaan untuk mendukung kegiatan BLU. |
(3) | Pelaksanaan kegiatan pada unit usaha harus memperhatikan analisis aspek teknis, aspek keuangan, dan aspek hukum untuk mendapatkan keuntungan. |
(4) | Analisis aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam RBA dengan paling sedikit memuat proyeksi pendapatan dan belanja unit usaha. |
(5) | Pemimpin BLU menunjuk seorang Pegawai untuk memimpin unit usaha. |
(6) | Pemimpin unit usaha dapat diberikan kewenangan mengelola Rekening Operasional BLU tersendiri untuk menampung pendapatan dan untuk keperluan pengeluaran sesuai Praktik Bisnis yang Sehat dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini. |
(7) | Perekrutan karyawan pada unit usaha harus mendapat persetujuan dari Pemimpin BLU. |
(8) | Unit usaha dapat dikelola sendiri oleh BLU atau dikelola bersama dengan mitra. |
(9) | Dalam hal unit usaha dikelola sendiri oleh BLU, pendapatan yang diterima dan belanja yang dikeluarkan unit usaha merupakan pendapatan dan belanja BLU. |
(10) | Pemimpin unit usaha harus menyusun laporan keuangan untuk keperluan pengukuran kinerja manajerial yang dikonsolidasikan dengan laporan keuangan BLU. |
(11) | Untuk keperluan perizinan berusaha dan/atau persyaratan sebagai penyedia barang/jasa, BLU dapat menggunakan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan BLU sebagai dasar hukum pembentukan badan usaha. |
Paragraf 2
Pejabat Pengelola
Pasal 196
(1) | Pejabat Pengelola BLU terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(2) | Sebutan Pemimpin, Pejabat Keuangan, dan Pejabat Teknis dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada instansi Pemerintah yang bersangkutan. | ||||||||||||||||
(3) | Pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berfungsi sebagai penanggung jawab umum operasional dan keuangan BLU yang berkewajiban:
|
||||||||||||||||
(4) | Pejabat Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai penanggung jawab keuangan yang berkewajiban:
|
||||||||||||||||
(5) | Pejabat Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berfungsi sebagai penanggung jawab teknis di bidang masing-masing yang berkewajiban:
|
Pasal 197
Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196, Pejabat Pengelola BLU harus:
a. | memiliki tata tertib kerja dan pedoman teknis pelaksanaan kerja yang bersifat mengikat bagi setiap Pejabat Pengelola dan Pegawai; |
b. | memiliki pedoman kode etik; |
c. | melaksanakan tugasnya dengan itikad baik untuk kepentingan BLU dan sesuai dengan maksud dan tujuan BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
d. | menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen yaitu tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; |
e. | memastikan pelaksanaan dan penerapan prinsip-prinsip Tata Kelola yang Baik dalam setiap kegiatan pengelolaan BLU pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi; |
f. | mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga; |
g. | menatausahakan serta menyimpan dokumen BLU, termasuk risalah rapat Pejabat Pengelola dan rapat Dewan Pengawas; dan |
h. | menindaklanjuti temuan audit dan rekomendasi dari SPI, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, pembina BLU, Dewan Pengawas, dan pihak lain. |
Pasal 198
Pejabat Pengelola BLU dilarang:
a. | merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Pengawas/Pejabat Pengelola/anggota Komite Audit pada BLU lain; | ||||||
b. | merangkap jabatan sebagai anggota komisaris/direksi/komite audit pada BUMN/perusahaan swasta; | ||||||
c. | memanfaatkan jabatannya pada BLU untuk kepentingan pribadi, keluarga, dan/atau pihak lain; | ||||||
d. | mengambil dan/atau menerima keuntungan pribadi dari BLU, selain remunerasi dan fasilitas lain yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan; | ||||||
e. | memiliki hubungan keluarga sedarah sampai dengan derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping termasuk hubungan yang timbul karena perkawinan dengan Pejabat Pengelola yang lain maupun dengan anggota Dewan Pengawas; dan | ||||||
f. | menggunakan penasihat perorangan dan/atau jasa profesional sebagai konsultan, kecuali:
|
Pasal 199
(1) | Pengangkatan Pejabat Pengelola BLU harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(2) | Khusus Pejabat Pengelola yang berasal dari tenaga profesional non-PNS harus memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan terkait pengangkatan Pejabat Pengelola yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikecualikan dari ketentuan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||||||
(4) | Pengangkatan Pejabat Pengelola mempertimbangkan hasil penilaian atas kualifikasi, kompetensi, dan kinerja dalam bentuk uji kelayakan dan kepatutan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||||||||||||||
(5) | Pengangkatan Pejabat Keuangan dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. | ||||||||||||||||||
(6) | Pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola yang berasal dari PNS mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. | ||||||||||||||||||
(7) | Pejabat Pengelola dari tenaga profesional non-PNS diangkat dengan mekanisme kontrak untuk masa jabatan paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. | ||||||||||||||||||
(8) | Jabatan Pejabat Pengelola dari tenaga profesional non-PNS berakhir apabila:
|
||||||||||||||||||
(9) | Pemberhentian dari jabatannya sebelum masa jabatan berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c dapat dilakukan dengan alasan sebagai berikut:
|
Paragraf 3
Kepegawaian
Pasal 200
(1) | Pejabat Pengelola BLU dan Pegawai dapat terdiri atas PNS dan/atau tenaga profesional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. |
(2) | Jumlah dan komposisi Pegawai dari tenaga profesional non-PNS ditetapkan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. |
(3) | Syarat pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. |
(4) | Syarat pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari tenaga profesional non-PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur oleh Pemimpin BLU. |
Bagian Kedua
Pembinaan dan Pengawasan
Paragraf 1
Pembinaan
Pasal 201
(1) | Pembinaan teknis BLU dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Pembinaan keuangan BLU dilakukan oleh Menteri Keuangan. |
(3) | Dalam rangka pelaksanaan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibentuk Dewan Pengawas. |
Pasal 202
(1) | Dalam rangka melakukan pembinaan teknis, Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh BLU. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai regulator dan supervisor sesuai bidang layanannya. |
(3) | Dalam melaksanakan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga membuat pedoman penyelenggaraan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh BLU. |
(4) | Dalam melaksanakan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga menunjuk unit eselon I pada Kementerian Negara/Lembaga yang berperan sebagai pembina teknis. |
(5) | Menteri/Pimpinan Lembaga harus menyelenggarakan rapat pembinaan dengan Dewan Pengawas paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun dengan agenda paling sedikit meliputi kebijakan strategis pada BLU. |
Pasal 203
Dalam rangka pembinaan keuangan, Menteri Keuangan berperan sebagai regulator dan supervisor di bidang keuangan dan tata kelola BLU untuk peningkatan kinerja, akuntabilitas, dan transparansi pengelolaan keuangan BLU.
Pasal 204
(1) | Dalam hal terdapat dewan/komite/nama lain di luar struktur BLU yang dibentuk untuk melakukan pembinaan kepada BLU yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, pelaksanaan tugas pembinaan oleh dewan/komite/nama lain di luar struktur BLU berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud. |
(2) | Pelaksanaan tugas pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pembina teknis dan Kementerian Negara/Lembaga terkait. |
Paragraf 2
Dewan Pengawas
Pasal 205
(1) | Dewan Pengawas dibentuk apabila BLU memenuhi syarat minimum Nilai Omzet dan Nilai Aset. | ||||
(2) | Syarat minimum Nilai Omzet dan Nilai Aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni:
|
Pasal 206
(1) | Jumlah anggota Dewan Pengawas ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang sesuai dengan Nilai Omzet dan Nilai Aset. | ||||
(2) | Salah seorang di antara anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas. | ||||
(3) | Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk BLU yang memiliki:
|
||||
(4) | Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 5 (lima) orang untuk BLU yang memiliki:
|
Pasal 207
(1) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas unsur-unsur pejabat dari Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan, serta unsur tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan BLU. |
(2) | Keanggotaan Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa keanggotaan ex-officio dari jabatan tertentu pada Kementerian Negara/Lembaga dan Kementerian Keuangan. |
(3) | Dewan Pengawas merupakan majelis dan setiap keputusannya dilaksanakan secara musyawarah untuk mufakat dan bersifat kolektif dan kolegial. |
Pasal 208
(1) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 3 (tiga) orang, terdiri atas:
|
||||||
(2) | Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas:
|
||||||
(3) | Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengusulkan/menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a. | ||||||
(4) | Menteri Keuangan dapat mengusulkan/menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b. | ||||||
(5) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus memiliki kapasitas untuk menjadi anggota Dewan Pengawas berdasarkan pengalaman dan keahlian. |
Pasal 209
(1) | Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Masa jabatan Dewan Pengawas ditetapkan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Anggota Dewan Pengawas diangkat dari orang perseorangan yang memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(5) | Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(6) | Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf f dikecualikan dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga dapat memberikan penjelasan/keterangan urgensi pengangkatan anggota Dewan Pengawas dimaksud. | ||||||||||||||||||||||
(7) | Pemenuhan persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon anggota Dewan Pengawas. | ||||||||||||||||||||||
(8) | Pemenuhan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan dokumen yang sah dan relevan dengan persyaratan khusus berkenaan. | ||||||||||||||||||||||
(9) | Surat pernyataan calon anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 210
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pengujian pemenuhan persyaratan terhadap calon anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli. |
(2) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pengujian pemenuhan persyaratan terhadap calon anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan. |
Pasal 211
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan surat usulan anggota Dewan Pengawas yang telah lulus pengujian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1) kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. | ||||||
(2) | Surat usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
||||||
(3) | Surat usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 212
Direktur Jenderal Perbendaharaan menyampaikan usulan anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan yang telah lulus pengujian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
Pasal 213
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian terhadap usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211. |
(2) | Dalam hal usulan Dewan Pengawas belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melengkapi dan/atau memperbaiki usulan anggota Dewan Pengawas. |
(3) | Dalam hal usulan anggota Dewan Pengawas telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengajukan rekomendasi persetujuan anggota Dewan Pengawas kepada Menteri Keuangan. |
Pasal 214
(1) | Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan anggota Dewan Pengawas yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 dan/atau rekomendasi persetujuan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213. | ||||
(2) | Dalam hal Menteri Keuangan memberikan persetujuan, Menteri Keuangan menyampaikan surat kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||
(3) | Dalam surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan dapat menyampaikan usulan penunjukan Ketua Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2). | ||||
(4) | Dalam hal Menteri Keuangan memberikan penolakan atas usulan anggota Dewan Pengawas, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan:
|
Pasal 215
(1) | Berdasarkan surat persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214, Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan keputusan tentang pengangkatan anggota Dewan Pengawas. | ||||||||
(2) | Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penunjukan Ketua Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2). | ||||||||
(3) | Salinan keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada paling sedikit meliputi:
|
Pasal 216
(1) | Dewan Pengawas bertugas melaksanakan pengawasan terhadap tugas dan tanggung jawab Pejabat Pengelola BLU, serta memberikan nasihat kepada Pejabat Pengelola BLU. |
(2) | Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas mengarahkan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BLU. |
Pasal 217
Dalam menjalankan tugas, Dewan Pengawas berkewajiban untuk:
a. | menjamin pengambilan keputusan yang efektif, tepat, dan cepat serta dapat bertindak secara independen, tidak mempunyai kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya untuk melaksanakan tugas secara mandiri dan kritis; |
b. | memantau dan memastikan bahwa tata kelola telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan; |
c. | menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan Dewan Pengawas terintegrasi dengan RBA; |
d. | membuat/memiliki pembagian tugas, pedoman, dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Dewan Pengawas; |
e. | memberikan pendapat dan saran secara tertulis kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, Menteri Keuangan, dan Pejabat Pengelola BLU mengenai, tetapi tidak terbatas pada, RSB dan RBA yang disusun oleh Pejabat Pengelola BLU; |
f. | melaporkan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan dalam hal terjadi gejala menurunnya kinerja BLU dan/atau penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan; |
g. | menyampaikan laporan pelaksanaan tugas Dewan Pengawas yang telah dilakukan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan; |
h. | memastikan bahwa temuan dan rekomendasi dari satuan pemeriksaan intern, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, pembina BLU, dan pihak lain telah ditindaklanjuti; |
i. | mengungkapkan remunerasi dan fasilitas lain pada laporan pelaksanaan tata kelola; dan |
j. | mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 218
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, Dewan Pengawas berwenang untuk:
a. | memperoleh informasi mengenai BLU secara lengkap, tepat waktu, dan terukur; |
b. | mendapatkan laporan berkala atas pengelolaan BLU yang paling sedikit meliputi laporan keuangan dan laporan kinerja; |
c. | mendapatkan laporan hasil pengawasan/pemeriksaan yang dilakukan oleh SPI BLU, auditor intern Pemerintah, auditor ekstern, dan pembina BLU; |
d. | mengetahui kebijakan dan tindakan yang dijalankan oleh Pejabat Pengelola BLU dalam pelaksanaan kegiatan BLU; |
e. | mendapatkan penjelasan dan/atau data dari Pejabat Pengelola BLU dan/atau Pegawai mengenai kebijakan dan pelaksanaan kegiatan BLU; |
f. | mengangkat dan memberhentikan Sekretaris Dewan Pengawas dan Komite Audit; |
g. | memberikan persetujuan atas pengangkatan kepala SPI; |
h. | menghadirkan Pejabat Pengelola dalam rapat Dewan Pengawas; |
i. | berkomunikasi secara langsung dengan SPI; |
j. | meminta Pejabat Pengelola BLU untuk menghadirkan tenaga profesional dalam rapat Dewan Pengawas; |
k. | meminta audit secara khusus kepada aparat pengawasan intern Pemerintah dan melaporkannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan; |
l. | menunjuk kantor akuntan publik; dan |
m. | melaksanakan kewenangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 219
(1) | Anggota Dewan Pengawas dilarang:
|
||||||||
(2) | Pengambilan keputusan kegiatan operasional BLU oleh Dewan Pengawas atas hal-hal lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bagian dari tugas pengawasan oleh Dewan Pengawas sehingga tidak meniadakan tanggung jawab Pejabat Pengelola atas pelaksanaan kepengurusan BLU. |
Pasal 220
(1) | Dewan Pengawas mengadakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dengan Pejabat Pengelola. |
(2) | Bentuk rapat dapat dilakukan secara fisik atau secara daring disesuaikan dengan kebutuhan. |
(3) | Rapat Dewan Pengawas secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kedudukan BLU, tempat kegiatan usaha BLU, atau di tempat lain di wilayah Negara Republik Indonesia. |
(4) | Dalam hal rapat Dewan Pengawas diadakan di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat harus mendapatkan persetujuan Pemimpin BLU. |
(5) | Ketentuan rapat Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 221
(1) | Pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas wajib terlebih dahulu dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
(2) | Dalam hal tidak tercapainya mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengambilan keputusan rapat Dewan Pengawas dilakukan berdasarkan suara terbanyak. |
(3) | Segala keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat mengikat bagi seluruh anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Hal-hal yang dibicarakan dan/atau diputuskan dalam rapat Dewan Pengawas dituangkan dalam risalah rapat yang dilampiri dengan daftar hadir Dewan Pengawas. |
Pasal 222
(1) | Dewan Pengawas menyampaikan laporan pelaksanaan tugas kepada:
|
||||||
(2) | Laporan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(3) | Laporan periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan laporan yang dibuat secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. | ||||||
(4) | Laporan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan laporan yang dibuat sewaktu-waktu dalam hal terjadi gejala penurunan kinerja BLU dan/atau penyimpangan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Penyampaian laporan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 223
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan Indikator Pencapaian Kinerja (Key Performance Indicators) Dewan Pengawas dengan mempertimbangkan usulan dari Dewan Pengawas yang bersangkutan dan masukan dari Menteri Keuangan. |
(2) | Indikator Pencapaian Kinerja merupakan ukuran penilaian atas keberhasilan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pemberian nasihat oleh Dewan Pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dewan Pengawas menyampaikan laporan realisasi Pencapaian Indikator Kinerja kepada Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan. |
(4) | Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 224
(1) | Dalam rangka menilai kinerja Dewan Pengawas, Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan melakukan evaluasi terhadap Dewan Pengawas. |
(2) | Evaluasi terhadap Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(3) | Evaluasi terhadap Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan mengkaji/meneliti laporan Dewan Pengawas, capaian Indikator Pencapaian Kinerja Dewan Pengawas, dan kepatuhan Dewan Pengawas terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Hasil evaluasi terhadap Dewan Pengawas dapat menjadi pertimbangan bagi Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan untuk melakukan penggantian atau pemberhentian anggota Dewan Pengawas. |
Pasal 225
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan berwenang memberhentikan anggota Dewan Pengawas dari jabatannya. | ||||||||
(2) | Pemberhentian anggota Dewan Pengawas dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
Pasal 226
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga berwenang mengganti anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga mengajukan usulan penggantian anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli, kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan. |
(3) | Berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan terhadap usulan penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri/Pimpinan Lembaga menetapkan keputusan mengenai penggantian anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Persyaratan, pengusulan, dan penetapan penggantian anggota Dewan Pengawas mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 210, Pasal 211, Pasal 213, dan Pasal 214. |
Pasal 227
(1) | Menteri Keuangan berwenang mengganti anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan. |
(2) | Menteri Keuangan menyampaikan penggantian anggota Dewan Pengawas yang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk mendapat penetapan. |
(3) | Persyaratan dan pengusulan penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 210, Pasal 212, dan Pasal 214. |
Pasal 228
(1) | Keputusan penggantian anggota Dewan Pengawas memuat penetapan paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(2) | Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada paling sedikit meliputi:
|
||||||||
(3) | Penggantian anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku efektif sejak:
|
Pasal 229
(1) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga dan unsur tenaga ahli dapat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Anggota Dewan Pengawas dari unsur pejabat Kementerian Keuangan dapat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri Keuangan. |
(3) | Dalam hal permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disetujui, Menteri/Pimpinan Lembaga atau Menteri Keuangan melakukan penggantian anggota Dewan Pengawas. |
(4) | Dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga atau Menteri Keuangan tidak melakukan penggantian anggota Dewan Pengawas, permohonan pengunduran diri anggota Dewan Pengawas dianggap tidak disetujui. |
Pasal 230
(1) | Dalam rangka mendukung penyelenggaraan tugas Dewan Pengawas, diangkat seorang Sekretaris Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(2) | Sekretaris Dewan Pengawas memiliki tugas membantu Dewan Pengawas untuk:
|
||||||||||||
(3) | Sekretaris Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(4) | Berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemimpin BLU menetapkan pengangkatan dan pemberhentian Sekretaris Dewan Pengawas untuk keperluan pembayaran remunerasi dan hak-hak lainnya. | ||||||||||||
(5) | Pengangkatan Sekretaris Dewan Pengawas harus mempertimbangkan kemampuan keuangan BLU dan beban tugas Dewan Pengawas. | ||||||||||||
(6) | Sekretaris Dewan Pengawas dapat berasal dari Pejabat Pengelola/Pegawai, pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga, pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, atau profesional. | ||||||||||||
(7) | Sekretaris Dewan Pengawas diangkat dari orang perseorangan, dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
Pasal 231
(1) | Dewan Pengawas dapat membentuk Komite Audit yang terdiri dari ketua dan anggota. |
(2) | Ketua Komite Audit dipilih dari salah satu anggota Dewan Pengawas berdasarkan kesepakatan para anggota Dewan Pengawas dengan mempertimbangkan kepemimpinan, integritas, pemahaman fungsi Komite Audit, dan diutamakan berasal dari unsur tenaga ahli. |
(3) | Anggota Komite Audit dapat berasal dari anggota Dewan Pengawas dan/atau dari luar BLU. |
(4) | Ketua dan anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Dewan Pengawas. |
(5) | Khusus untuk anggota Komite Audit yang berasal dari luar BLU, berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite Audit dari luar BLU untuk keperluan pembayaran remunerasi dan hak-hak lainnya. |
(6) | Anggota Komite Audit yang merupakan anggota Dewan Pengawas berhenti dengan sendirinya apabila masa jabatannya sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir. |
(7) | Dalam hal terdapat anggota Dewan Pengawas yang menjabat sebagai ketua Komite Audit berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas, maka ketua Komite Audit wajib diganti sementara oleh anggota Dewan Pengawas lainnya dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sampai dengan diangkatnya Dewan Pengawas definitif. |
(8) | Pembentukan Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada BLU yang telah memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan BLU. |
Pasal 232
(1) | Komite Audit beranggotakan paling banyak 3 (tiga) orang termasuk ketua. |
(2) | Komite Audit bekerja secara kolektif dalam melaksanakan tugasnya membantu Dewan Pengawas. |
(3) | Komite Audit bersifat mandiri dalam pelaksanaan tugas dan pelaporan, serta bertanggung jawab langsung kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 233
(1) | Komite Audit bertugas untuk:
|
||||||||||||||
(2) | Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Pengawas dapat memberikan penugasan lain kepada Komite Audit yang ditetapkan dalam piagam Komite Audit. |
Pasal 234
Masa jabatan anggota Komite Audit yang bukan merupakan anggota Dewan Pengawas paling lama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang satu kali masa jabatan, dengan tidak mengurangi hak Dewan Pengawas untuk memberhentikannya sewaktu-waktu.
Pasal 235
(1) | Anggota Komite Audit harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||||
(2) | Anggota Komite Audit harus memiliki latar belakang pendidikan atau memiliki keahlian di bidang akuntansi atau keuangan. |
Pasal 236
(1) | Dewan Pengawas menetapkan piagam Komite Audit berdasarkan usulan Komite Audit. |
(2) | Asli piagam Komite Audit disampaikan kepada Pemimpin BLU untuk didokumentasikan. |
Pasal 237
(1) | Sebelum tahun buku berjalan, Komite Audit wajib menyusun dan menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan kepada Dewan Pengawas untuk mendapatkan persetujuan. |
(2) | Salinan rencana kerja dan anggaran Komite Audit yang telah mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Dewan Pengawas kepada Pemimpin BLU. |
(3) | Pelaksanaan rencana kerja dan anggaran tahunan Komite Audit dilaporkan kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 238
(1) | Komite Audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat Dewan Pengawas yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri ini. |
(2) | Rapat Komite Audit mengikuti ketentuan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 239
(1) | Komite Audit bertanggung jawab kepada Dewan Pengawas dan wajib menyampaikan laporan kepada Dewan Pengawas atas setiap pelaksanaan tugas, disertai dengan rekomendasi jika diperlukan. |
(2) | Komite Audit membuat laporan semesteran dan laporan tahunan kepada Dewan Pengawas. |
(3) | Laporan Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh Ketua Komite Audit dan anggota Komite Audit. |
Pasal 240
(1) | Berdasarkan surat penugasan tertulis dari Dewan Pengawas, Komite Audit dapat mengakses catatan atau informasi tentang sumber daya manusia, dana, aset, serta sumber daya lainnya milik BLU yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. |
(2) | Komite Audit melaporkan secara tertulis hasil penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Dewan Pengawas. |
Pasal 241
Komite Audit harus menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi BLU, baik dari pihak intern maupun pihak ekstern dan hanya digunakan untuk kepentingan pelaksanaan tugasnya.
Pasal 242
Dewan Pengawas melakukan evaluasi terhadap kinerja Komite Audit setiap 1 (satu) tahun dengan menggunakan metode yang ditetapkan Dewan Pengawas.
Pasal 243
Anggota Komite Audit dilarang mempunyai hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping dengan anggota Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola BLU.
Pasal 244
Anggota Komite Audit yang bukan merupakan anggota Dewan Pengawas, tidak boleh merangkap sebagai:
a. | anggota Dewan Pengawas pada BLU lain; |
b. | Sekretaris Dewan Pengawas pada BLU bersangkutan atau BLU lain; |
c. | Pejabat Pengelola pada BLU lain; |
d. | anggota Komite Audit pada BLU lain; atau |
e. | Pejabat Pengelola/Pegawai pada BLU bersangkutan. |
Pasal 245
(1) | Ketentuan terkait pembentukan dan keanggotaan Dewan Pengawas yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dikecualikan dari ketentuan pembentukan dan keanggotaan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 dan Pasal 208. |
(2) | Untuk mendukung pelaksanaan tugas kesekretariatan pada Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas dapat dibantu oleh sekretariat Dewan Pengawas. |
Pasal 246
Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Komite Audit dibebankan kepada anggaran BLU, dan dimuat dalam RBA yang bersangkutan.
Pasal 247
(1) | Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring terhadap proses penetapan Dewan Pengawas oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||
(2) | Dalam hal berdasarkan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), realisasi Nilai Omzet tahunan BLU menurut laporan realisasi anggaran dan Nilai Aset pada BLU menurut neraca selama 2 (dua) tahun berturut-turut lebih rendah dari ketentuan pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dan ayat (4):
|
||||
(3) | Dalam hal berdasarkan monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh hasil bahwa Nilai Omzet tahunan menurut laporan realisasi anggaran dan Nilai Aset menurut neraca selama 2 (dua) tahun berturut-turut lebih tinggi dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3), pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dapat diusulkan untuk disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (4). |
Paragraf 3
Program Pengenalan
Pasal 248
(1) | Pemimpin BLU memfasilitasi program pengenalan BLU kepada Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola yang diangkat untuk pertama kalinya. | ||||
(2) | Program pengenalan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
||||
(3) | Pemimpin BLU memfasilitasi program pengembangan kapasitas secara berkelanjutan bagi Dewan Pengawas dan Pejabat Pengelola sebagai tindak lanjut program pengenalan BLU. | ||||
(4) | Program pengenalan pola pengelolaan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Paragraf 4
Sistem Pengendalian Intern
Pasal 249
(1) | Pemimpin BLU menetapkan Sistem Pengendalian Intern pada BLU. | ||||||||||
(2) | Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mewujudkan:
|
||||||||||
(3) | Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(4) | Ketentuan mengenai Sistem Pengendalian Intern tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 250
(1) | Pemimpin BLU dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan risiko. |
(2) | Pemimpin BLU wajib membangun dan melaksanakan program manajemen risiko secara terpadu. |
(3) | Pelaksanaan program manajemen risiko dilakukan dengan membentuk unit kerja tersendiri atau memberi penugasan kepada SPI untuk menjalankan fungsi manajemen risiko. |
Pasal 251
BLU menyusun ketentuan yang mengatur mekanisme penyampaian atas dugaan penyimpangan pada BLU yang bersangkutan.
Pasal 252
(1) | Untuk memastikan efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, Pemimpin BLU membentuk SPI. |
(2) | Penggunaan nama atau istilah SPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan dengan nomenklatur yang berlaku pada BLU bersangkutan. |
Pasal 253
SPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 memiliki tugas sebagai berikut:
a. | menyusun dan melaksanakan rencana Pengawasan Intern; |
b. | menguji dan mengevaluasi pelaksanaan pengendalian intern dan sistem manajemen risiko; |
c. | melakukan pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektivitas di bidang keuangan, akuntansi, operasional, sumber daya manusia, pemasaran, teknologi informasi, dan kegiatan lainnya; |
d. | memberikan saran perbaikan dan informasi yang objektif tentang kegiatan yang diawasi pada semua tingkat manajemen; |
e. | membuat laporan hasil Pengawasan Intern dan menyampaikan laporan tersebut kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas; |
f. | memberikan rekomendasi terhadap perbaikan/peningkatan proses tata kelola dan upaya pencapaian strategi bisnis BLU; |
g. | memantau, menganalisis, dan melaporkan pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengawasan oleh SPI, aparat pengawasan intern Pemerintah, aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah, dan pembina BLU; |
h. | melakukan reviu laporan keuangan; |
i. | melakukan pemeriksaan khusus apabila diperlukan; |
j. | menyusun dan memutakhirkan pedoman kerja serta sistem dan prosedur pelaksanaan tugas SPI; dan |
k. | melaksanakan tugas lainnya berdasarkan penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 254
SPI dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 memiliki kewenangan sebagai berikut:
a. | mendapatkan akses terhadap seluruh dokumen, pencatatan, sumber daya manusia, dan fisik Aset BLU pada seluruh bagian dan unit kerja lainnya; |
b. | melakukan komunikasi secara langsung dengan pimpinan BLU dan/atau Dewan Pengawas; |
c. | mengadakan rapat secara berkala dan insidental dengan pimpinan BLU dan/atau Dewan Pengawas; |
d. | melakukan koordinasi dengan aparat pengawasan intern Pemerintah dan/atau aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah; dan |
e. | mendampingi aparat pengawasan intern Pemerintah dan/atau aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah dalam melakukan pengawasan. |
Pasal 255
(1) | SPI menyusun rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern dan menyampaikannya kepada Pemimpin BLU untuk mendapatkan persetujuan. |
(2) | Rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan untuk pengawasan yang tidak terjadwal dan/atau dirahasiakan. |
(3) | Rencana program kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 256
SPI melaksanakan pengawasan berdasarkan rencana program kerja tahunan Pengawasan Intern yang telah disetujui Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 255.
Pasal 257
(1) | SPI menyusun laporan hasil pengawasan berdasarkan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 dan menyampaikan kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. |
(2) | Pemimpin BLU menyampaikan laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan tertulis Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 258
Pemimpin BLU memperhatikan dan/atau menindaklanjuti laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 dengan segera mengambil langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan dalam laporan hasil pengawasan.
Pasal 259
Pemimpin BLU wajib menjaga dan mengevaluasi kualitas fungsi Pengawasan Intern di BLU.
Pasal 260
(1) | SPI secara efisien dan efektif melaksanakan pemantauan dan mendorong tidak lanjut rekomendasi pengawasan SPI, aparat pengawasan intern Pemerintah, aparat pemeriksaan ekstern Pemerintah, dan pembina BLU. | ||||||
(2) | SPI melaporkan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas yang paling sedikit memuat:
|
||||||
(3) | Pemimpin BLU menyampaikan laporan hasil pemantauan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas permintaan tertulis Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 261
(1) | SPI terdiri atas 1 (satu) orang auditor intern atau lebih dan dipimpin oleh kepala SPI. |
(2) | Jumlah auditor intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan besaran dan tingkat kompleksitas kegiatan BLU. |
(3) | Kebutuhan jumlah auditor intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihasilkan dari analisis beban kerja yang dilakukan oleh SPI dan/atau unit di BLU yang membidangi sumber daya manusia. |
(4) | Dalam hal SPI terdiri atas 1 (satu) orang auditor intern, auditor intern dimaksud juga bertindak sebagai kepala SPI. |
(5) | Auditor intern SPI dapat terdiri atas PNS dan/atau tenaga profesional non-PNS. |
Pasal 262
(1) | Kepala SPI diangkat dan diberhentikan oleh Pemimpin BLU dengan persetujuan Dewan Pengawas. |
(2) | Kepala SPI bertanggung jawab secara langsung kepada Pemimpin BLU. |
(3) | Auditor intern SPI bertanggung jawab secara langsung kepada kepala SPI. |
Pasal 263
Auditor intern SPI dilarang merangkap tugas dan jabatan dari pelaksanaan kegiatan operasional BLU, kecuali tugas dan jabatan pada fungsi kepatuhan dan fungsi manajemen risiko.
Pasal 264
(1) | Untuk alasan efisiensi, pada BLU dengan rentang kendali manajemen yang pendek dan dengan kompleksitas usaha sederhana, SPI dapat:
|
||||
(2) | Perangkapan SPI pada salah satu unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat dilakukan dengan fungsi verifikator keuangan, fungsi pengujian dan persetujuan pembayaran, dan/atau fungsi bendahara. | ||||
(3) | Perangkapan SPI pada salah satu unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan penggunaan tenaga yang bersifat sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 265
(1) | Auditor intern SPI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
(2) | Khusus untuk kepala SPI harus memiliki keahlian yang memadai mengenai audit. | ||||||||||||||||
(3) | Keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan keahlian yang diakui dalam profesi auditor intern dengan mendapatkan sertifikasi profesi yang sesuai. | ||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dipenuhi, dapat diganti dengan persyaratan sementara sebagai berikut:
|
||||||||||||||||
(5) | Kepala SPI yang diangkat dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memperoleh sertifikasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam waktu 2 (dua) tahun sejak diangkat. | ||||||||||||||||
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak terpenuhi, kepala SPI diberhentikan dari jabatannya. |
Pasal 266
Pemimpin BLU memfasilitasi auditor intern SPI mengikuti program pengembangan profesi secara berkelanjutan untuk mendukung usaha memperoleh sertifikasi profesi dan/atau mempertahankan sertifikasi profesi.
Pasal 267
(1) | BLU harus memiliki piagam Pengawasan Intern. |
(2) | Piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pemimpin BLU dan kepala SPI serta mendapatkan persetujuan Dewan Pengawas. |
(3) | Piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau dan dimutakhirkan sesuai kebutuhan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai piagam Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 268
Kepala SPI menetapkan pedoman audit, mekanisme kerja, dan supervisi di dalam organisasi SPI, serta penilaian program jaminan dan peningkatan kualitas.
Pasal 269
Dalam hal BLU tidak memiliki Dewan Pengawas, penyampaian laporan kepada Dewan Pengawas serta persetujuan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 257 ayat (1) dan Pasal 260 ayat (2), serta persetujuan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 262 ayat (1) dan Pasal 267 ayat (2), tidak diperlukan.
Paragraf 5
Pemeriksaan Ekstern
Pasal 270
(1) | Pemeriksaan ekstern terhadap BLU dilakukan oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(2) | Pemeriksaan ekstern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemeriksaan laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171. | ||||||
(3) | Dalam hal pemeriksaan ekstern terhadap laporan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kantor akuntan publik, pemilihan kantor akuntan publik mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||
(4) | Dewan Pengawas melakukan penunjukan kantor akuntan publik sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pada BLU. | ||||||
(5) | Dalam hal terdapat Komite Audit, penunjukan kantor akuntan publik oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui Komite Audit. | ||||||
(6) | Dalam hal BLU belum memiliki Dewan Pengawas, proses penunjukan calon kantor akuntan publik dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(7) | Berdasarkan keputusan penunjukan kantor akuntan publik oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan penunjukan kantor akuntan publik untuk keperluan pembayaran dan hak-hak lainnya. | ||||||
(8) | Penetapan kantor akuntan publik paling lambat dilakukan tanggal 30 September sebelum tahun pelaporan berakhir. | ||||||
(9) | Pemeriksaan laporan keuangan BLU oleh kantor akuntan publik harus memperhatikan jadwal pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/laporan keuangan Kementerian/Negara Lembaga. | ||||||
(10) |
Output pemeriksaan keuangan oleh kantor akuntan publik, yaitu:
|
||||||
(11) | SPI BLU melakukan pemantauan pelaksanaan rekomendasi kantor akuntan publik oleh BLU dan melaporkannya kepada Pemimpin BLU dan Dewan Pengawas. |
Bagian Ketiga
Remunerasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 271
(1) | Remunerasi diberikan kepada Pejabat Pengelola, Pegawai, dan Dewan Pengawas. |
(2) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Sekretaris Dewan Pengawas dan anggota Komite Audit. |
(3) | Anggota Komite Audit yang berasal dari Dewan Pengawas, hanya menerima remunerasi yang berasal dari tugasnya sebagai Dewan Pengawas. |
(4) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan/atau penerimaan negara bukan pajak BLU dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU. |
Paragraf 2
Prinsip
Pasal 272
(1) | Remunerasi diberikan berdasarkan tingkat tanggung jawab dan tuntutan profesionalisme dengan mempertimbangkan prinsip:
|
||||||||
(2) | Selain mempertimbangkan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian remunerasi dapat memperhatikan indeks harga daerah/wilayah. |
Paragraf 3
Komponen
Pasal 273
(1) | Remunerasi merupakan imbalan kerja yang diberikan dalam komponen sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(2) | Selain komponen remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komponen remunerasi dapat berupa:
|
||||||||||||||
(3) | Komponen remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan remunerasi kepada masing-masing BLU. |
Paragraf 4
Kontrak Kinerja
Pasal 274
(1) | Pembayaran remunerasi di BLU berdasarkan capaian kinerja yang tertuang dalam kontrak kinerja antara Pemimpin BLU dengan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Penyusunan kontrak kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Kementerian Negara/Lembaga, Kementerian Keuangan, dan Dewan Pengawas. |
(3) | Pembayaran remunerasi kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai didasarkan pada perhitungan capaian kinerja atas kontrak kinerja masing-masing Pejabat dan Pegawai dengan atasannya yang dihasilkan dari sistem penilaian kinerja memperhatikan keterkaitan dengan kontrak kinerja Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Pedoman penyusunan kontrak kinerja dan penetapan persetujuan capaian kinerja Pemimpin BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(5) | Pemimpin BLU mengembangkan dan mengelola sistem penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
Paragraf 5
Gaji
Pasal 275
(1) | Gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf a diberikan dengan memperhitungkan nilai jabatan yang dituangkan dalam grading/level jabatan. |
(2) | Nilai jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari proses analisis dan evaluasi jabatan dengan menggunakan metode 10 (sepuluh) faktor penimbang. |
Pasal 276
(1) | Gaji untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dan penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(2) | Gaji yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji dan tunjangan sebagai PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Gaji yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji sesuai perhitungan nilai jabatan yang ditetapkan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi jabatan. |
(4) | Gaji untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari tenaga profesional non-PNS bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
(5) | Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dalam hal diamanatkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin BLU. |
(7) | Besaran Gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling tinggi disetarakan dengan Pejabat Pengelola dari Pegawai yang berasal dari PNS yang setingkat dengan memperhatikan tanggung jawab, nilai jabatan, skala grade, golongan, dan/atau masa kerja. |
Paragraf 6
Honorarium
Pasal 277
(1) | Honorarium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Gaji Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Gaji yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||
(3) | Honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 7
Tunjangan Tetap
Pasal 278
(1) | BLU dapat memberikan Tunjangan Tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf c berupa:
|
||||
(2) | Tunjangan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan tambahan pendapatan yang diberikan kepada pimpinan BLU dalam hal tidak mendapatkan fasilitas kendaraan dinas. | ||||
(3) | Tunjangan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan tambahan pendapatan yang diberikan kepada pimpinan BLU dalam hal tidak mendapatkan fasilitas rumah dinas/rumah jabatan. | ||||
(4) | Pimpinan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) merupakan Pemimpin BLU dan Pejabat Pengelola satu tingkat di bawah Pemimpin BLU. | ||||
(5) | Tunjangan Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 8
Insentif
Pasal 279
(1) | Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf d diberikan kepada:
|
||||
(2) | Capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
|
||||
(3) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||
(4) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) dalam hal diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 280
(1) | Dalam hal capaian kinerja Pejabat Pengelola/Pegawai melebihi target yang ditetapkan dalam kontrak kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2), Pemimpin BLU dapat memberikan Insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja. |
(2) | Khusus untuk Pemimpin BLU, pemberian kelebihan Insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan atas usulan Pemimpin BLU. |
(3) | Pedoman penyusunan kontrak kinerja dan penetapan persetujuan capaian kinerja Pemimpin BLU diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 281
(1) | Pemimpin BLU dapat memberikan Insentif tambahan berupa penghargaan kepada:
|
||||
(2) | Pemberian Insentif tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan BLU dan terpenuhinya capaian kinerja Pejabat Pengelola dan Pegawai bersangkutan. |
Pasal 282
(1) | Besaran Insentif bagi Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (1) huruf b diberikan berdasarkan kinerja Dewan Pengawas. | ||||||||
(2) | Besaran Insentif bagi Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1). diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Paragraf 9
Bonus Atas Prestasi
Pasal 283
(1) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf e merupakan imbalan kerja bersifat tambahan pendapatan di luar Gaji, Tunjangan Tetap Insentif, dan Honorarium, yang diterima oleh Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit atas prestasi kerja BLU yang dapat diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran setelah BLU memenuhi syarat-syarat tertentu. | ||||||||||||||
(2) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||||
(3) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan keberlanjutan layanan dan upaya peningkatan layanan. | ||||||||||||||
(4) | Bonus atas prestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan apabila BLU memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(5) | Surplus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g merupakan selisih lebih antara pendapatan BLU yang bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU dengan belanja penerimaan negara bukan pajak BLU. | ||||||||||||||
(6) | Tidak termasuk dalam perhitungan pendapatan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu:
|
||||||||||||||
(7) | Besaran bonus yang diterima kepada masing-masing penerima paling tinggi sebesar persentase tertentu dari remunerasi sebagaimana diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||
(8) | Remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan remunerasi dari komponen:
|
Paragraf 10
Pesangon
Pasal 284
(1) | Pada saat akhir masa jabatannya, Pejabat Pengelola dan Dewan Pengawas dapat diberikan pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf f, berupa santunan purna jabatan dengan pengikutsertaan dalam program asuransi atau tabungan pensiun yang beban premi atau iuran tahunannya ditanggung oleh BLU. |
(2) | Pejabat Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemimpin BLU dan Pejabat Pengelola satu tingkat di bawah Pemimpin BLU. |
(3) | Premi atau iuran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling tinggi 25% (dua puluh lima persen) dari Gaji dalam 1 (satu) tahun. |
(4) | Pembayaran premi atau iuran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara bukan pajak BLU. |
Paragraf 11
Pensiun
Pasal 285
Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (1) huruf g diberikan kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 12
Remunerasi Bulan Ketiga belas
Pasal 286
(1) | Dalam hal Pemerintah memberikan Gaji bulan ketiga belas, BLU dapat memberikan remunerasi bulan ketiga belas kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU. | ||||
(2) | Remunerasi bulan ketiga belas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibayarkan paling tinggi 1 (satu) kali remunerasi yang telah dibayarkan pada bulan sebelum pembayaran remunerasi ketiga belas dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU. | ||||
(3) | Remunerasi ketiga belas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 13
Tunjangan Hari Raya
Pasal 287
(1) | Dalam hal Pemerintah memberikan tunjangan Hari Raya, BLU memberikan tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU. | ||||
(2) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
||||
(3) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang sedang menjalani cuti di luar tanggungan negara atau yang diperbantukan di luar instansi Pemerintah. |
Pasal 288
(1) | Pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai dilaksanakan pada BLU yang telah memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan. |
(2) | Dalam hal terdapat kondisi tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, pemberian tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kebijakan pemberian tunjangan Hari Raya yang dilakukan oleh Pemerintah. |
Pasal 289
(1) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 diberikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran sesuai dengan Hari Raya yang dijadikan sebagai dasar pembayaran. | ||||
(2) | Dalam hal pada 1 (satu) tahun anggaran berjalan terdapat 2 (dua) Hari Raya yang sama, tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan lebih dari 1 (satu) kali yang dijadikan sebagai dasar pembayaran. | ||||
(3) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi:
|
||||
(4) | Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan paling tinggi sebesar remunerasi 1 (satu) bulan pada bulan sebelum bulan Hari Raya dengan capaian Key Performance Indicator 100% (seratus persen). | ||||
(5) | Dalam hal remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dapat dibayarkan sebesar yang seharusnya diterima, selisih kekurangan tunjangan Hari Raya tetap dapat dibayarkan. |
Pasal 290
Pembayaran tunjangan Hari Raya dibebankan pada daftar isian pelaksanaan anggaran BLU dan dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan keuangan BLU.
Pasal 291
(1) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai menerima remunerasi lebih dari 1 (satu) BLU, tunjangan Hari Raya diberikan salah satu yang jumlahnya paling besar. |
(2) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Sekretaris Dewan Pengawas dan Pegawai memiliki jabatan rangkap pada BLU, tunjangan Hari Raya diberikan salah satu yang jumlahnya paling besar. |
(3) | Dalam hal Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai telah menerima lebih dari satu tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kelebihan pembayaran tersebut merupakan utang yang dikembalikan kepada BLU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 292
Tunjangan Hari Raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 287 yang dibayarkan dari penerimaan negara bukan pajak BLU merupakan objek pajak penghasilan yang ditanggung oleh Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai.
Pasal 293
Pertanggungjawaban pembayaran tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai dilakukan secara terpisah dengan pertanggungjawaban pembayaran remunerasi bulanan.
Pasal 294
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin BLU dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini. | ||||||
(2) | Keputusan Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
Pasal 295
Dalam hal BLU belum memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan, pemberian tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai yang berasal dari PNS mengikuti ketentuan pemberian tunjangan Hari Raya dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan pemberian tunjangan Hari Raya kepada PNS, prajurit Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat negara, penerima pensiun, dan penerima tunjangan.
Paragraf 14
Uang Lembur
Pasal 296
(1) | BLU dapat memberikan uang lembur kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||
(2) | Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
||||
(3) | Uang lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 15
Uang Makan
Pasal 297
(1) | BLU dapat memberikan uang makan kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai. | ||||
(2) | Uang makan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
|
||||
(3) | Uang makan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari:
|
Paragraf 16
Pengusulan dan Penetapan
Pasal 298
(1) | Pemimpin BLU mengajukan usulan remunerasi kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
(2) | Usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa usulan remunerasi baru dan/atau usulan perubahan remunerasi. |
(3) | Usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk dokumen pengusulan yang disusun dan ditandatangani oleh Pemimpin BLU. |
(4) | Dokumen pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun menggunakan sistematika yang tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(5) | Dalam hal usulan remunerasi berupa usulan perubahan remunerasi, dapat dilakukan dengan memenuhi ketentuan terkait minimum jangka waktu pengajuan, besaran capaian kontrak kinerja, dan kesehatan keuangan BLU. |
(6) | Pedoman terkait minimum jangka waktu pengajuan, besaran capaian kontrak kinerja, dan kesehatan keuangan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 299
(1) | Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan reviu atas dokumen pengusulan remunerasi. |
(2) | Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan remunerasi disertai dokumen usulan remunerasi yang telah direviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan. |
Pasal 300
(1) | Menteri Keuangan melakukan penilaian terhadap usulan remunerasi yang disampaikan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(2) | Untuk penilaian usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menunjuk suatu tim penilai. |
(3) | Kewenangan untuk menunjuk tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 301
(1) | Berdasarkan pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, Menteri Keuangan memberikan persetujuan atau penolakan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(2) | Pertimbangan/rekomendasi dari tim penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan hasil kajian dan penilaian terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 299. |
(3) | Persetujuan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan. |
(4) | Penetapan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa penetapan kolektif. |
(5) | Penetapan kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara berjadwal pada bulan Februari dan bulan Agustus. |
(6) | Penolakan terhadap usulan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan melalui surat oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
Pasal 302
(1) | Dalam hal usulan remunerasi berupa bonus atas prestasi, pengajuan usulan dilakukan secara terpisah dari pengajuan usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 dan Pasal 299. |
(2) | Proses pengajuan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 298 dan Pasal 299 serta penilaian dan penetapan usulan remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300 dan Pasal 301 berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan pengajuan usulan dan penetapan Bonus atas Prestasi. |
Paragraf 17
Lain-lain
Pasal 303
BLU mengikutsertakan Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai sebagai peserta pada badan penyelenggara jaminan sosial berdasarkan program jaminan sosial yang diikuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 304
Remunerasi yang dibayarkan dari penerimaan negara bukan pajak BLU merupakan objek pajak penghasilan yang ditanggung oleh Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai.
Pasal 305
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian remunerasi kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, anggota Komite Audit, dan Pegawai, ditetapkan dengan keputusan Pemimpin BLU.
Pasal 306
(1) | Untuk penerapan ketentuan mengenai remunerasi berdasarkan Peraturan Menteri ini, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring dan evaluasi kepada BLU. |
(2) | Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan kepada Menteri Keuangan untuk meninjau kembali Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan remunerasi Pejabat Pengelola, Pegawai, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan anggota Komite Audit pada masing-masing BLU. |
Pasal 307
Pengusulan dan penetapan remunerasi BLU dilakukan melalui sistem informasi remunerasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Pasal 308
(1) | Ketentuan remunerasi untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari PNS berlaku mutatis mutandis terhadap ketentuan remunerasi untuk Pejabat Pengelola dan Pegawai yang berasal dari anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prajurit Tentara Nasional Indonesia, kecuali pemberian uang makan. |
(2) | Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan prajurit Tentara Nasional Indonesia mendapatkan uang lauk-pauk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 309
Remunerasi sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri ini tidak berlaku bagi pekerja pada BLU yang dilaksanakan berdasarkan kontrak kinerja dengan pihak ketiga (outsourcing).
Bagian Keempat
Tata Kelola yang Baik
Paragraf 1
Penerapan Tata Kelola yang Baik
Pasal 310
(1) | BLU wajib menerapkan Tata Kelola yang Baik secara konsisten dan berkelanjutan dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, dan Praktik Bisnis yang Sehat dengan mengutamakan efisiensi dan produktivitas. |
(2) | Tata Kelola yang Baik sebagaimana pada ayat (1) mengikuti prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian, dan kewajaran. |
(3) | Prinsip Tata Kelola yang Baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Pemimpin BLU membuat pedoman teknis, standar operasional prosedur, dan pedoman kerja Dewan Pengawas dan pimpinan BLU (board manual) sebagai bagian dari dokumen tata kelola BLU berpedoman pada Peraturan Menteri ini, ketentuan peraturan perundang-undangan terkait, dan Praktik Bisnis yang Sehat. |
(5) | Pedoman kerja Dewan Pengawas dan pimpinan BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjelaskan secara garis besar hal-hal yang berkenaan dengan struktur organ pimpinan BLU dan Dewan Pengawas serta proses hubungan antara kedua organ dimaksud. |
(6) | Pemimpin BLU menunjuk Pejabat Keuangan satu tingkat di bawah Pemimpin BLU sebagai penanggung jawab penerapan dan pemantauan Tata Kelola yang Baik pada BLU. |
Paragraf 2
Penilaian Dan Pelaporan Terhadap Penerapan Tata Kelola
Yang Baik Pada BLU
Pasal 311
(1) | BLU wajib menyusun laporan pelaksanaan tata kelola pada setiap akhir tahun buku. |
(2) | Muatan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Lampiran IV yang meru pakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan laporan pelaksanaan tata kelola diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 312
(1) | BLU wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311 kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. |
(2) | Laporan pelaksanaan tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipublikasikan pada laman (website) BLU paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. |
Pasal 313
Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola kepada Menteri Keuangan ditujukan kepada:
a. | Direktur Jenderal Perbendaharaan; dan |
b. | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sesuai dengan tempat kedudukan BLU. |
Pasal 314
(1) | BLU wajib melakukan penilaian sendiri (self-assessment) atas penerapan Tata Kelola BLU paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. | ||||||
(2) | Khusus untuk BLU tertentu, penilaian Tata Kelola BLU dilakukan oleh penilai (assessor) independen setiap dua tahun sekali. | ||||||
(3) | BLU tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
||||||
(4) | Dewan Pengawas melakukan penunjukan penilai (assessor) independen sesuai dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa pada BLU. | ||||||
(5) | Dalam hal BLU belum memiliki Dewan Pengawas, proses penunjukan penilai (assessor) independen dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri/Pimpinan Lembaga. | ||||||
(6) | Berdasarkan keputusan penunjukan penilai independen oleh Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan penunjukan penilai (assessor) independen untuk keperluan pembayaran dan hak-hak lainnya. | ||||||
(7) | Penilaian sendiri (self-assessment) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan dalam periode penilaian Tata Kelola BLU dilakukan oleh penilai (assessor) independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||
(8) | Penilaian penerapan Tata Kelola BLU menggunakan indikator/parameter sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. | ||||||
(9) | Hasil penilaian penerapan Tata Kelola BLU merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan pelaksanaan tata kelola. |
Pasal 315
(1) | Untuk melakukan penilaian terhadap penerapan Tata Kelola, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat melakukan penilaian kembali/evaluasi terhadap hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314. |
(2) | Untuk melakukan penilaian atau evaluasi terhadap hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk menunjuk penilai independen. |
(3) | Mekanisme penunjukan penilai (assessor) independen mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (4) sampai dengan ayat (6). |
(4) | Biaya penunjukan atas penilai (assessor) independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada BLU bersangkutan. |
(5) | Berdasarkan hasil penilaian atas penerapan Tata Kelola sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 atau hasil penilaian kembali/evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk menyampaikan rencana tindak (action plan) yang memuat langkah-langkah perbaikan yang wajib dilaksanakan oleh BLU dengan target waktu tertentu. |
(6) | Dalam hal diperlukan, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat meminta BLU untuk melakukan penyesuaian rencana tindak (action plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau melakukan pemeriksaan khusus terhadap hasil perbaikan penerapan Tata Kelola yang telah dilakukan oleh BLU. |
Pasal 316
Penyampaian laporan pelaksanaan tata kelola dan penilaian Tata Kelola yang Baik pada BLU dilakukan melalui sistem informasi yang dibangun Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 317
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 08/PMK.02/2006 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Badan Layanan Umum; |
b. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.05/2009 tentang Pengelolaan Pinjaman pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 74); |
c. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.05/2009 tentang Pedoman Pemberian Bonus atas Prestasi bagi Rumah Sakit Eks Perjan yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 495); |
d. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 230/PMK.05/2009 tentang Penghapusan Piutang Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 516); |
e. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 92/PMK.05/2011 tentang Rencana Bisnis dan Anggaran serta Pelaksanaan Anggaran Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 363); |
f. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 95/PMK.05/2016 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 913); |
g. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100/PMK.05/2016 tentang Pedoman Umum Penyusunan Tarif Layanan Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 915); |
h. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136/PMK.05/2016 tentang Pengelolaan Aset pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1377); |
i. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 180/PMK.05/2016 tentang Penetapan dan Pencabutan Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum pada Satuan Kerja Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1792); |
j. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 98/PMK.05/2017 tentang Penarikan dan Pengembalian Dana pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 989); |
k. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.05/2017 tentang Pedoman Remunerasi Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1701); |
l. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.05/2017 tentang Sistem Pengendalian Intern pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1885); |
m. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 42/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.05/2009 tentang Pengelolaan Pinjaman pada Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 588); |
n. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.05/2018 tentang Pengelolaan Kas dan Investasi Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 998); |
o. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 79/PMK.05/2019 tentang Pemberian Tunjangan Hari Raya kepada Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas, Sekretaris Dewan Pengawas, dan Pegawai Badan Layanan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 575), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
Pasal 318
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, semua peraturan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau belum diganti berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 319
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 September 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 1046