| 1. |
Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 10 diubah, dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
| (1) |
Menteri/Pimpinan Lembaga mengusulkan Satker yang memenuhi persyaratan substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif untuk ditetapkan sebagai Satker yang menerapkan PPK-BLU kepada Menteri Keuangan. |
| (2) |
Pengusulan Satker yang menerapkan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengusulan kolektif. |
| (2a) |
Pengusulan Satker yang menerapkan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan hasil reviu Menteri/Pimpinan Lembaga. |
| (3) |
Pengusulan Satker yang menerapkan PPK-BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|
| 2. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
| (1) |
Satker yang telah dicabut penerapan PPK-BLU nya oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a dan huruf b diberikan masa transisi dalam rangka peralihan menjadi Satker yang tidak menerapkan PPK-BLU. |
| (2) |
Hal-hal yang diselesaikan dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
| a. |
pembentukan penanggung jawab likuidasi; |
| b. |
penyelesaian likuidasi terhadap status kepegawaian, dokumen pelaksanaan anggaran, dan struktur organisasi Satker pasca pencabutan penerapan PPK-BLU; |
| c, |
penyelesaian hak dan kewajiban Satker, termasuk hak dan kewajiban Satker terkait dengan kerja sama dengan pihak ketiga; |
| d. |
penyusunan laporan keuangan atas penyelesaian hak dan kewajiban sampai dengan penyajian aset dan kewajiban pada neraca bersaldo nihil; |
| e. |
penutupan rekening BLU; dan |
| f. |
penyampaian usulan jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak dalam hal berubah status menjadi Satker penerimaan negara bukan pajak. |
|
| (3) |
Masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan pencabutan penerapan PPK- BLU Satker berkenaan ditetapkan. |
|
| 3. |
Ketentuan ayat (2) dan ayat (4) Pasal 47B diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 47B
| (1) |
Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47A. |
| (2) |
Analisis terhadap RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan aspek paling sedikit meliputi:
| a. |
produktivitas meliputi perbandingan antara keluaran yang dicapai (output) dengan sumber daya yang digunakan (input), peningkatan kualitas dan kuantitas layanan, target pendapatan, serta rasio sumber daya manusia; |
| b. |
efisiensi meliputi kebijakan untuk mengoptimalkan belanja dibandingkan dengan keluaran (output) layanan, proporsi pendapatan operasional dan belanja operasional, serta proporsi per jenis belanja; |
| c. |
inovasi meliputi adanya ide/gagasan untuk meningkatkan layanan utama dan penunjang, optimalisasi aset, penggunaan teknologi informasi, serta modernisasi BLU; dan |
| d. |
keselarasan/kesesuaian meliputi kesesuaian dengan RSB dan prioritas pembangunan. |
|
| (3) |
Dalam melakukan analisis RBA, Direktorat Jenderal Perbendaharaan melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran serta dapat melibatkan Kementerian Negara/Lembaga dan/atau BLU. |
| (4) |
Hasil analisis RBA memuat paling sedikit meliputi:
| a. |
besaran target penerimaan negara bukan pajak BLU; |
| b. |
besaran rencana belanja; dan |
| c. |
informasi kesesuaian RBA dengan RSB dan prioritas pembangunan. |
|
| (5) |
Hasil analisis RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Negara/Lembaga, dan BLU, serta dijadikan sebagai dasar penyusunan alokasi anggaran BLU termasuk penentuan target penerimaan negara bukan pajak BLU. |
|
| 4. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 63 dihapus, sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63
| (1) |
Pendapatan yang diperoleh oleh BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (8) huruf b dapat dikelola dan digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran BLU sesuai dengan RBA Definitif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1). |
| (2) |
Dihapus. |
|
| 5. |
Ketentuan ayat (1) huruf b Pasal 69 diubah dan ayat (6) Pasal 69 dihapus, serta ditambahkan 6 (enam) ayat, yakni ayat (7) sampai dengan ayat (12) sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
| (1) |
Pendapatan BLU, terdiri atas:
| a. |
pendapatan yang diperoleh dari layanan yang diberikan kepada masyarakat; |
| b. |
hibah tidak terikat dan/atau hibah terikat; |
| c. |
hasil kerja sama BLU dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya; |
| d. |
penerimaan lainnya yang sah; dan/atau |
| e. |
penerimaan anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni). |
|
| (2) |
Hasil usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit meliputi pendapatan jasa lembaga keuangan, hasil penjualan aset tetap, dan pendapatan sewa. |
| (3) |
Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilaporkan sebagai penerimaan negara bukan pajak Kementerian Negara/Lembaga. |
| (4) |
Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dilakukan pertanggungjawaban pendapatan BLU berupa pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64. |
| (5) |
Pengesahan pendapatan kepada KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperlukan untuk hibah yang diterima dalam bentuk barang, jasa, dan/atau surat berharga. |
| (6) |
Dihapus. |
| (7) |
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
| a. |
pendapatan dalam bentuk uang, barang, jasa, dan/atau surat berharga yang diterima oleh BLU dari masyarakat, badan lain atau entitas di luar pemerintah pusat; |
| b. |
tanpa diikuti adanya kewajiban bagi BLU untuk menyerahkan uang/barang/jasa kepada pemberi hibah; dan |
| c. |
hibah yang dilaksanakan tanpa melalui mekanisme perencanaan sebagaimana dimaksud pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah. |
|
| (8) |
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berasal dari:
| a. |
luar negeri; atau |
| b. |
dalam negeri. |
|
| (9) |
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan registrasi dengan ketentuan:
| a. |
pemberian nomor register hibah dari luar negeri dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktorat Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen; dan |
| b. |
pemberian nomor register hibah dari dalam negeri dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan c.q. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
|
| (10) |
Hibah terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus diperlakukan sesuai dengan peruntukannya. |
| (11) |
Hibah tidak terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipergunakan untuk kegiatan operasional layanan. |
| (12) |
Penggunaan hibah tidak terikat sebagaimana dimaksud pada ayat (11) tidak dapat digunakan untuk pembayaran remunerasi. |
|
| 6. |
Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 69B, dan Pasal 69C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69A
| (1) |
Hibah yang akan diterima BLU dikonsultasikan terlebih dahulu kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
| (2) |
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada:
| a. |
Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum untuk hibah yang bersumber dari luar negeri; dan |
| b. |
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk hibah yang bersumber dari dalam negeri. |
|
| (3) |
Dalam melakukan konsultasi hibah yang bersumber dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dapat melibatkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. |
| (4) |
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (7). |
| (5) |
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal:
| a. |
penerimaan hibah untuk pertama kalinya dan/atau tidak berulang; dan |
| b. |
tidak sama dengan penerimaan hibah sebelumnya. |
|
| (6) |
Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
| a. |
tatap muka; |
| b. |
rapat; dan/atau |
| c. |
komunikasi melalui sarana elektronik. |
|
| (7) |
Hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara hasil konsultasi. |
Pasal 69B
| (1) |
Hibah dituangkan dalam perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan. |
| (2) |
Perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
| a. |
identitas pemberi hibah dan penerima hibah; |
| b. |
tanggal perjanjian hibah/penandatanganan perjanjian hibah; |
| c. |
jumlah hibah; |
| d. |
periode hibah; |
| e. |
peruntukan hibah; dan |
| f. |
ketentuan dan persyaratan. |
|
| (3) |
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku pembina teknis dapat memberikan kuasa/pendelegasian kewenangan untuk menandatangani perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan kepada Pemimpin BLU yang ditetapkan dalam bentuk surat kuasa/pendelegasian kewenangan. |
| (4) |
Dalam hal terdapat perubahan terhadap perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui kesepakatan tertulis antara Pemimpin BLU dan pemberi hibah dengan merujuk pada ketentuan perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan sebelumnya. |
| (5) |
Atas perubahan terhadap perjanjian hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dokumen asli perubahan perjanjian hibah atau salinan perubahan perjanjian hibah yang telah dilegalisir penerima hibah disampaikan kepada:
| a. |
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktur Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen untuk hibah yang bersumber dari luar negeri; dan |
| b. |
Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk hibah yang bersumber dari dalam negeri, |
untuk dilakukan pemutakhiran data. |
Pasal 69C
| (1) |
Untuk mendapatkan nomor register sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (9), Pemimpin BLU mengajukan permohonan nomor register atas:
| a. |
hibah yang bersumber dari luar negeri kepada Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktur Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen; dan |
| b. |
hibah yang bersumber dari dalam negeri kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
|
| (2) |
Permohonan nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dokumen paling sedikit berupa:
| a. |
perjanjian hibah/dokumen lain yang dipersamakan; |
| b. |
ringkasan hibah; dan |
| c. |
surat kuasa/pendelegasian kewenangan dalam hal Menteri/Pimpinan Lembaga memberikan kuasa/pendelegasian kepada Pemimpin BLU untuk menandatangani perjanjian hibah. |
|
| (3) |
Permohonan nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
| (4) |
Atas dasar permohonan nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan verifikasi oleh:
| a. |
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko c.q. Direktur Evaluasi, Akuntansi, dan Setelmen untuk hibah yang bersumber dari luar negeri; dan |
| b. |
Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk hibah yang bersumber dari dalam negeri. |
|
| (5) |
Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan cara:
| a. |
menguji kelengkapan dokumen permohonan nomor register sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan |
| b. |
menguji kesesuaian permohonan register dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
|
| (6) |
Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan penerbitan surat penetapan nomor register hibah. |
| (7) |
Penerbitan surat penetapan nomor register hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dalam rangka administrasi hibah. |
| (8) |
Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak sesuai, surat permohonan nomor register dan lampiran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada Pemimpin BLU. |
|
| 7. |
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 76 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (2a), sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 76
| (1) |
Penerimaan yang berasal dari pendapatan dari jasa layanan, hasil investasi, hibah, dan sumber penerimaan lainnya yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f disetorkan langsung ke Rekening Operasional Penerimaan BLU. |
| (2) |
Dalam hal BLU hanya menerapkan 1 (satu) jenis rekening operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3), penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan langsung ke Rekening Operasional BLU. |
| (2a) |
Untuk menampung penerimaan hibah dalam bentuk uang, dibuka rekening operasional BLU tersendiri dengan nama RPL [KODE KPPN] BLU [NAMA SATKER] UNTUK OPS HIBAH. |
| (3) |
Penerimaan yang berasal dari Pinjaman dan anggaran pendapatan dan belanja negara (rupiah murni) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) huruf d dan huruf e khusus alokasi bagian anggaran bendahara umum negara pengelolaan investasi Pemerintah bagi BLU tertentu disetorkan ke Rekening Dana Kelolaan BLU. |
| (4) |
Dalam hal penerimaan BLU diterima oleh fungsi kasir, fungsi kasir menyetorkan penerimaan paling lambat setiap akhir hari kerja saat penerimaan diterima ke rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2). |
| (5) |
Penyetoran penerimaan dapat dilakukan pada hari berikutnya dalam hal penerimaan diterima:
| a. |
pada hari libur atau diliburkan; atau |
| b. |
setelah jam operasional bank berakhir. |
|
| (6) |
Pemimpin BLU menetapkan batas waktu (cut-off) penerimaan untuk disetorkan pada hari yang sama dengan memperhatikan waktu jam operasional bank berakhir dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penyetoran. |
|
| 8. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 205 diubah dan ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 205 dihapus, sehingga Pasal 205 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 205
| (1) |
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat membentuk Dewan Pengawas BLU paling sedikit berdasarkan pertimbangan:
| a. |
Nilai Omzet atau Nilai Aset; dan |
| b. |
analisis kemampuan keuangan BLU pada periode jabatan Dewan Pengawas. |
|
| (2) |
Dihapus. |
| (3) |
Dihapus. |
|
| 9. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 206 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 206
| (1) |
Jumlah anggota Dewan Pengawas ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang atau 5 (lima) orang berdasarkan pertimbangan Nilai Omzet atau Nilai Aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205. |
| (2) |
Salah seorang di antara anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas. |
| (3) |
Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 3 (tiga) orang untuk BLU yang memiliki:
| a. |
realisasi Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun terakhir, sebesar sampai dengan Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau |
| b. |
Nilai Aset menurut neraca tahun terakhir sebesar sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
|
| (4) |
Jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebanyak 5 (lima) orang untuk BLU yang memiliki:
| a. |
realisasi Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun terakhir, lebih dari Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau |
| b. |
Nilai Aset menurut neraca tahun terakhir, lebih dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
|
|
| 10. |
Di antara Pasal 206 dan Pasal 207 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 206A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 206A
| (1) |
Dalam rangka peningkatan kinerja keuangan, peningkatan kinerja layanan, peningkatan tata kelola, dan penguatan fungsi pengawasan pada BLU, jumlah keanggotaan Dewan Pengawas dapat dikecualikan dari ketentuan dalam Pasal 206 dengan persetujuan Menteri Keuangan. |
| (2) |
Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan usulan jumlah keanggotaan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menyertakan analisis pemenuhan kriteria sebagai berikut:
| a. |
memiliki kemampuan untuk meningkatkan kinerja keuangan dan layanan; |
| b. |
memenuhi kriteria Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun terakhir lebih dari Rp90.000.000.000,00 (sembilan puluh miliar rupiah) atau Nilai Aset menurut neraca tahun terakhir lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah); |
| c. |
melaksanakan mandat layanan yang berasal lebih dari 1 (satu) Kementerian Negara/Lembaga; |
| d. |
memiliki lebih dari satu jenis bidang pelayanan umum; |
| e. |
memiliki cakupan pelayanan yang bersifat strategis nasional; dan |
| f. |
memiliki kemampuan keuangan untuk membentuk Dewan Pengawas. |
|
|
| 11. |
Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) diubah, dan diantara ayat (2a) dan ayat (3) Pasal 208 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (2b) sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 208
| (1) |
Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 3 (tiga) orang, terdiri atas:
| a. |
1 (satu) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga; |
| b. |
1 (satu) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan; dan |
| c. |
1 (satu) orang berasal dari unsur tenaga ahli. |
|
| (2) |
Komposisi keanggotaan Dewan Pengawas yang berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas:
| a. |
2 (dua) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga; |
| b. |
2 (dua) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan; dan |
| c. |
1 (satu) orang berasal dari unsur tenaga ahli. |
|
| (2a) |
Dalam hal BLU melaksanakan mandat layanan yang berasal lebih dari 1 (satu) Kementerian Negara/Lembaga, komposisi keanggotaan Dewan Pengawas dapat dikecualikan dari ketentuan pada ayat (2) dengan persetujuan Menteri Keuangan. |
| (2b) |
Dalam hal jumlah keanggotaan Dewan Pengawas yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206A berjumlah lebih dari 5 (lima) orang, komposisi keanggotaan Dewan Pengawas terdiri atas:
| a. |
paling sedikit 2 (dua) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Negara/Lembaga; |
| b. |
paling sedikit 2 (dua) orang berasal dari unsur pejabat Kementerian Keuangan; dan |
| c. |
paling sedikit 1 (satu) orang berasal dari unsur tenaga ahli, |
dengan persetujuan Menteri Keuangan. |
| (3) |
Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengusulkan/ menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Negara/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, dan ayat (2b) huruf a. |
| (4) |
Menteri Keuangan dapat mengusulkan/menetapkan pihak lain sebagai anggota Dewan Pengawas mewakili unsur Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, ayat (2) huruf b, dan ayat (2b) huruf b. |
| (5) |
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus memiliki kapasitas untuk menjadi anggota Dewan Pengawas berdasarkan pengalaman dan keahlian. |
|
| 12. |
Ketentuan ayat (4) Pasal 209 diubah dan ketentuan ayat (6) Pasal 209 dihapus, sehingga Pasal 209 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 209
| (1) |
Dewan Pengawas diangkat dan diberhentikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan. |
| (2) |
Masa jabatan Dewan Pengawas ditetapkan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
| (3) |
Anggota Dewan Pengawas diangkat dari orang perseorangan yang memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. |
| (4) |
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
| a. |
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; |
| b. |
memiliki integritas, dedikasi, itikad baik, dan rasa tanggung jawab; |
| c. |
dapat menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugasnya; |
| d. |
bukan pengurus partai politik; |
| e. |
bukan calon anggota legislatif dan/atau anggota legislatif; |
| f. |
bukan calon kepala/wakil kepala daerah atau kepala/wakil kepala daerah; |
| g. |
bukan Pegawai pada BLU bersangkutan atau tidak sedang menjabat sebagai Pejabat Pengelola pada BLU; |
| h. |
tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan; |
| i. |
tidak sedang menjadi terpidana sesuai dengan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; |
| j. |
cakap melakukan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi/komisaris/Dewan Pengawas yang dinyatakan bersalah sehingga menyebabkan suatu badan usaha pailit atau dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan Keuangan Negara; dan |
| k. |
tidak memiliki hubungan keluarga sedarah dan semenda sampai derajat ketiga baik menurut garis lurus maupun garis ke samping dengan Pejabat Pengelola maupun dengan anggota Dewan Pengawas lainnya. |
|
| (5) |
Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
| a. |
sehat jasmani dan rohani (tidak sedang menderita suatu penyakit yang dapat menghambat pelaksanaan tugas sebagai Dewan Pengawas); dan |
| b. |
memiliki pengetahuan dan/atau kompetensi di bidang yang berkaitan dengan kegiatan BLU. |
|
| (6) |
Dihapus. |
| (7) |
Pemenuhan persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon anggota Dewan Pengawas. |
| (8) |
Pemenuhan persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan dokumen yang sah dan relevan dengan persyaratan khusus berkenaan. |
| (9) |
Surat pernyataan yang ditandatangani oleh calon anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|
| 13. |
Di antara Pasal 209 dan Pasal 210 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 209A sehingga berbunyi berikut:
Pasal 209A
| (1) |
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (4) huruf d dapat dikecualikan dalam hal calon anggota Dewan Pengawas merupakan Wakil Menteri/Wakil Pimpinan Lembaga. |
| (2) |
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (4) huruf f dapat dikecualikan dalam hal calon anggota Dewan Pengawas berada pada lokasi yang sama dengan BLU. |
| (3) |
Menteri/Pimpinan Lembaga mengusulkan calon Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disertai dengan pernyataan urgensi pengangkatan anggota Dewan Pengawas dimaksud. |
|
| 14. |
Ketentuan Pasal 211 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 211
| (1) |
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan surat usulan pembentukan Dewan Pengawas kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. |
| (2) |
Surat usulan pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat usulan jumlah, komposisi, dan nama calon anggota Dewan Pengawas yang telah lulus pengujian pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1). |
| (3) |
Surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
| a. |
analisis kemampuan keuangan BLU; |
| b. |
surat pernyataan Menteri/Pimpinan Lembaga mengenai kebutuhan peran pengawasan BLU dalam rangka peningkatan kinerja keuangan dan kinerja layanan, perbaikan tata kelola, serta peningkatan akuntabilitas BLU; |
| c. |
informasi kompetensi anggota Dewan Pengawas yang memuat paling sedikit berupa daftar riwayat hidup dan surat pernyataan memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 ayat (7); |
| d. |
surat pernyataan bahwa Menteri/Pimpinan Lembaga akan menetapkan Dewan Pengawas yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan, paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak tanggal surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan usulan Dewan Pengawas. |
|
| (4) |
Dalam hal usulan jumlah anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206A dan komposisi anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2b), surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilampiri dengan:
| a. |
analisis pemenuhan kriteria; dan |
| b. |
kajian kebutuhan bidang layanan. |
|
| (5) |
Dalam hal calon anggota Dewan Pengawas yang diusulkan merupakan Wakil Menteri/Wakil Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209A ayat (1), surat usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga dilampiri dengan pernyataan urgensi pengangkatan Dewan Pengawas. |
| (6) |
Surat usulan pembentukan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) disusun sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|
| 15. |
Di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) sehingga Pasal 213 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 213
| (1) |
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian terhadap usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211. |
| (1a) |
Penilaian terhadap usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kertas kerja penilaian usulan anggota Dewan Pengawas sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
| (2) |
Dalam hal usulan Dewan Pengawas belum memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan meminta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melengkapi dan/atau memperbaiki usulan anggota Dewan Pengawas. |
| (3) |
Dalam hal usulan anggota Dewan Pengawas telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 dan Pasal 211, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengajukan rekomendasi persetujuan anggota Dewan Pengawas kepada Menteri Keuangan. |
|
| 16. |
Ketentuan ayat (3) dan ayat (5) Pasal 231 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 231
| (1) |
Dewan Pengawas dapat membentuk Komite Audit yang terdiri dari ketua dan anggota. |
| (1a) |
Komite Audit dapat dibentuk apabila BLU memenuhi syarat minimum realisasi Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun terakhir, lebih besar dari Rp175.000.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima miliar rupiah). |
| (2) |
Ketua Komite Audit dipilih dari salah satu anggota Dewan Pengawas berdasarkan kesepakatan para anggota Dewan Pengawas dengan mempertimbangkan kepemimpinan, integritas, pemahaman fungsi Komite Audit, dan diutamakan berasal dari unsur tenaga ahli. |
| (3) |
Anggota Komite Audit berasal dari pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga, dan/atau profesional/tenaga ahli. |
| (4) |
Ketua dan anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Dewan Pengawas. |
| (5) |
Khusus untuk anggota Komite Audit yang berasal dari pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga, atau professional/tenaga ahli, berdasarkan Keputusan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemimpin BLU menetapkan pengangkatan dan pemberhentian anggota Komite Audit dari pejabat/pegawai Kementerian Keuangan, pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga, atau profesional/tenaga ahli untuk keperluan pembayaran remunerasi dan hak-hak lainnya. |
| (6) |
Anggota Komite Audit yang merupakan anggota Dewan Pengawas berhenti dengan sendirinya apabila masa jabatannya sebagai anggota Dewan Pengawas berakhir. |
| (7) |
Dalam hal terdapat anggota Dewan Pengawas yang menjabat sebagai ketua Komite Audit berhenti sebagai anggota Dewan Pengawas, maka ketua Komite Audit wajib diganti sementara oleh anggota Dewan Pengawas lainnya dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sampai dengan diangkatnya Dewan Pengawas definitif. |
| (8) |
Pembentukan Komite Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada BLU yang telah memiliki penetapan remunerasi oleh Menteri Keuangan dengan tetap memperhatikan kemampuan keuangan BLU. |
|
| 17. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 232 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 232
| (1) |
Komite Audit beranggotakan 3 (tiga) orang termasuk ketua dengan komposisi keanggotaan terdiri dari 1 (satu) orang berasal dari unsur Dewan Pengawas sebagai ketua Komite Audit dan 2 (dua) orang anggota yang terdiri atas:
| a. |
unsur pejabat/pegawai Kementerian Keuangan; |
| b. |
unsur pejabat/pegawai Kementerian Negara/Lembaga; atau |
| c. |
unsur profesional/tenaga ahli. |
|
| (2) |
Komite Audit bekerja secara kolektif dalam melaksanakan tugasnya membantu Dewan Pengawas. |
| (3) |
Komite Audit bersifat mandiri dalam pelaksanaan tugas dan pelaporan, serta bertanggung jawab langsung kepada Dewan Pengawas. |
|
| 18. |
Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 247
| (1) |
Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan monitoring terhadap proses penetapan Dewan Pengawas oleh Menteri/Pimpinan Lembaga. |
| (2) |
Monitoring terhadap proses penetapan Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan satu kali sepanjang periode jabatan Dewan Pengawas. |
| (3) |
Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memastikan kesesuaian jumlah anggota Dewan Pengawas berdasarkan:
| a. |
Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun anggaran terakhir; dan |
| b. |
Nilai Aset menurut neraca tahun anggaran terakhir. |
|
| (4) |
Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi pertimbangan bagi Menteri Keuangan dalam memberikan persetujuan terkait usulan jumlah anggota Dewan Pengawas periode berikutnya. |
| (5) |
Dalam hal berdasarkan hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Dewan Pengawas beranggotakan 5 (lima) orang berupa:
| a. |
Nilai Omzet menurut laporan realisasi anggaran tahun anggaran terakhir sebesar kurang dari Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau |
| b. |
Nilai Aset menurut neraca tahun anggaran terakhir sebesar kurang dari Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah), |
Menteri/Pimpinan Lembaga tetap dapat mengusulkan anggota Dewan Pengawas berjumlah 5 (lima) orang dengan melampirkan kajian mengenai potensi peningkatan layanan yang akan meningkatkan omzet dan/atau aset dalam periode masa jabatan Dewan Pengawas yang akan datang. |
| (6) |
Hasil monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga. |
|
| 19. |
Ketentuan Pasal 274 ditambahkan (5) ayat, yakni ayat (6) sampai dengan ayat (10), sehingga Pasal 274 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 274
| (1) |
Pembayaran remunerasi di BLU berdasarkan capaian kinerja yang tertuang dalam kontrak kinerja antara Pemimpin BLU dengan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
| (2) |
Dihapus. |
| (3) |
Pembayaran remunerasi kepada Pejabat Pengelola dan Pegawai didasarkan pada perhitungan capaian kinerja atas kontrak kinerja masing-masing Pejabat dan Pegawai dengan atasannya yang dihasilkan dari sistem penilaian kinerja memperhatikan keterkaitan dengan kontrak kinerja Pemimpin BLU sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
| (4) |
Dihapus. |
| (5) |
Pemimpin BLU mengembangkan dan mengelola sistem penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
| (6) |
Kontrak Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk periode 1 (satu) tahun anggaran. |
| (7) |
Dalam hal BLU baru ditetapkan, Kontrak Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk periode sejak tanggal penetapan BLU sampai dengan 31 Desember tahun Kontrak Kinerja bersangkutan. |
| (8) |
Kontrak Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu pada:
| a. |
Rencana Strategis unit eselon I pada Kementerian Negara/Lembaga sebagai pembina teknis; |
| b. |
Indikator Kinerja unit eselon I pada Kementerian Negara/Lembaga sebagai pembina teknis; |
| c. |
Rencana Strategis Bisnis BLU; dan |
| d. |
Rencana Bisnis Anggaran BLU, . |
|
|
pada periode bersangkutan |
| (9) |
Kontrak Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merepresentasikan kinerja Pemimpin BLU secara menyeluruh. |
| (10) |
Kontrak Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat pernyataan kesanggupan, nama, trajektori, target, dan aspek Indikator Kinerja, serta dilengkapi Definisi Operasional Indikator Kinerja. |
|
| 20. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 280 diubah dan ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (4), sehingga Pasal 280 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 280
| (1) |
Dalam hal capaian kinerja Pejabat Pengelola/Pegawai melebihi target yang ditetapkan dalam kontrak kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2), Pemimpin BLU dapat memberikan Insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja. |
| (2) |
Dalam hal capaian kinerja Pemimpin BLU melebihi target yang ditetapkan dalam kontrak kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (2), dapat diberikan insentif kinerja atas kelebihan capaian kinerja setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
| (3) |
Dihapus. |
| (4) |
Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan mempertimbangkan waktu penyampaian kontrak kinerja Pemimpin BLU. |
|
| 21, |
Ketentuan Lampiran I, Lampiran III, dan Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.05/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 129/PMK.05/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum diubah sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran III, dan Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |