Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.05/2021

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 110/PMK.05/2021

TENTANG

TATA CARA PENETAPAN MAKSIMUM PENCAIRAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa untuk percepatan realisasi belanja kementerian negara/lembaga yang sumber dananya berasal dari penerimaan negara bukan pajak dan modernisasi pelaksanaan anggaran, perlu melakukan optimalisasi penggunaan sistem teknologi dan informasi dan simplifikasi proses dalam penetapan maksimum pencairan penerimaan negara bukan pajak;
  2. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang menetapkan kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penetapan Maksimum Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Mengingat :


  1. Pasal 17 ayat  (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6267);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 230, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6563);
  7. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENETAPAN MAKSIMUM PENCAIRAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
  3. Kementerian Negara/Lembaga adalah kementerian negara/lembaga pemerintah non kementerian negara/lembaga negara.
  4. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
  5. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
  6. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian Negara/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
  7. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari pengguna anggaran untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan.
  8. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan pemerintah pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
  9. Maksimum Pencairan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disebut MP PNBP adalah batas tertinggi pencairan anggaran belanja negara yang sumber dananya berasal dari PNBP pada DIPA yang dapat digunakan, ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu.


BAB II
PRINSIP-PRINSIP

Pasal 2

(1) Pencairan anggaran yang sumber dananya berasal dari PNBP dilakukan berdasarkan MP PNBP.
(2) MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak dapat melampaui pagu anggaran sumber dana PNBP dalam DIPA.

 


Pasal 3

(1) MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
  1. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP tahun anggaran berjalan;
  2. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP tahun anggaran sebelumnya;
  3. proyeksi setoran PNBP tahun anggaran berjalan;
  4. rencana pelaksanaan program/kegiatan tahun anggaran berjalan; dan
  5. hasil monitoring dan evaluasi.
(2) Realisasi setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b memperhitungkan pengembalian PNBP.
(3) MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diatur dengan ketentuan:
  1. tahap I paling besar 60% (enam puluh persen) dari pagu DIPA sumber dana PNBP;
  2. tahap II paling besar 80% (delapan puluh persen) dari pagu DIPA sumber dana PNBP; dan
  3. tahap III paling besar 100% (seratus persen) dari pagu DIPA sumber dana PNBP.


Pasal 4

Ketentuan mengenai tata cara pembayaran sumber dana PNBP mengikuti Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dalam rangka pelaksanaan APBN, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.



BAB III
MEKANISME PENETAPAN POLA PENGGUNAAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Pasal 5

(1) Pola penggunaan PNBP pada Kementerian Negara/Lembaga dilaksanakan secara tidak terpusat.
(2) Pola penggunaan PNBP secara tidak terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Satker penghasil PNBP dengan menggunakan kode setoran PNBP masing-masing Satker penghasil PNBP, dan digunakan oleh Satker penghasil PNBP.
(3) Selain pola penggunaan secara tidak terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pola penggunaan PNBP pada Kementerian Negara/Lembaga dapat dilaksanakan secara terpusat.
(4) Pola penggunaan PNBP secara terpusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan oleh unit eselon I penghasil PNBP atau oleh lintas unit eselon I pada instansi pengelola PNBP dengan menggunakan kode setoran PNBP Satker eselon I penghasil PNBP atau kode Satker masing-masing Satker penghasil PNBP, dan digunakan oleh unit eselon I penghasil PNBP atau oleh lintas unit eselon I pada instansi pengelola PNBP.


Pasal 6

Dalam hal pola penggunaan PNBP akan dilaksanakan secara terpusat, berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Kementerian Negara/Lembaga melalui Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP mengajukan permohonan penetapan pola penggunaan PNBP secara terpusat kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
  2. berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian dengan pertimbangan sebagai berikut:
    1. optimalisasi penggunaan dana PNBP;
    2. efektivitas pencapaian kinerja program/kegiatan Kementerian Negara/Lembaga; dan
    3. persetujuan Menteri Keuangan mengenai penggunaan dana PNBP.
  3. Dalam hal berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf b permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan memberikan persetujuan permohonan pola penggunaan PNBP secara terpusat.
  4. Dalam hal berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf b permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan menolak permohonan pola penggunaan PNBP secara terpusat.
  5. Dalam hal permohonan penetapan pola penggunaan PNBP secara terpusat sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak disetujui oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada huruf d, Kementerian Negara/Lembaga mengunakan pola penggunaan PNBP secara tidak terpusat.


Pasal 7

(1) Persetujuan atau penolakan terhadap permohonan penetapan pola pengggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, disampaikan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP.
(2) Tembusan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan pola penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada:
  1. Pimpinan unit pengawasan intern Kementerian Negara/Lembaga;
  2. Direktur Jenderal Anggaran;
  3. Direktur Pelaksanaan Anggaran;
  4. Direktur Pengelolaan Kas Negara;
  5. Direktur Sistem Perbendaharaan;
  6. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan
  7. Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.


Pasal 8

(1) Kementerian Negara/Lembaga yang telah disetujui menggunakan mekanisme pola penggunaan PNBP secara terpusat dapat mengajukan perubahan pola penggunaan PNBP menjadi tidak terpusat.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan perubahan mekanisme pola penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


BAB IV
MEKANISME PENETAPAN MAKSIMUM PENCAIRAN
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK

Bagian Kesatu
Mekanisme Penetapan Maksimum Pencairan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Tidak Terpusat

Pasal 9

(1) MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan berdasarkan permohonan dari KPA Satker penghasil PNBP.
(2) Permohonan MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan:
  1. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP:
    1. sampai dengan akhir tahun anggaran sebelumnya, untuk penerbitan MP PNBP tahap I;
    2. sampai dengan akhir bulan Juni tahun anggaran berjalan, untuk penerbitan MP PNBP tahap II; atau
    3. sampai dengan akhir bulan September tahun anggaran berjalan, untuk penerbitan MP PNBP tahap III.
  2. data realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sebelumnya;
  3. proyeksi setoran PNBP sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan;
  4. rencana pelaksanaan program/kegiatan tahun anggaran berjalan; dan
  5. surat pernyataan kesanggupan pencapaian target setoran PNBP tahun anggaran berjalan yang ditandatangani oleh KPA Satker penghasil PNBP.
(3) Proyeksi setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, disusun sesuai dengan format huruf A tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Rencana pelaksanaan program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, disusun sesuai dengan format huruf B tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, disusun sesuai dengan format huruf C tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 10

(1) Usulan MP PNBP tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, diajukan paling cepat pada bulan Januari tahun anggaran berjalan.
(2) Usulan MP PNBP tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, diajukan paling cepat pada bulan Juli tahun anggaran berjalan.
(3) Usulan MP PNBP tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, diajukan paling cepat pada bulan Oktober tahun anggaran berjalan.


Pasal 11

(1) Dalam rangka penetapan MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan:
  1. verifikasi kelengkapan dan kesesuaian surat permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2); dan
  2. penilaian terhadap:
    1. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP tahun anggaran berjalan;
    2. data realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sebelumnya;
    3. proyeksi setoran PNBP sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan;
    4. rencana pelaksanaan program/kegiatan tahun anggaran berjalan; dan
    5. hasil monitoring dan evaluasi.
(2) Dalam hal hasil verifikasi kelengkapan dan kesesuaian surat permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memenuhi ketentuan, Kepala Kanwil Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengembalikan surat usulan penetapan MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III. 
(3) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b lampiran permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) memenuhi ketentuan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan MP PNBP sesuai tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak permohonan beserta lampirannya diterima secara lengkap dan benar.


Pasal 12

(1) Dalam hal Satker penghasil PNBP memerlukan kebutuhan dana PNBP lebih cepat dari batas waktu pengajuan permohonan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, KPA Satker penghasil PNBP dapat mengajukan permohonan percepatan penerbitan MP PNBP kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan dalam hal realisasi setoran PNBP telah mencapai paling kurang sebesar:
  1. 60% (enam puluh persen) dari target setoran PNBP dalam DIPA untuk percepatan penetapan MP PNBP tahap II; atau
  2. 80% (delapan puluh persen) dari target setoran PNBP dalam DIPA untuk percepatan penetapan MP PNBP tahap III.
(3) Tata cara permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 13

(1) MP PNBP yang telah ditetapkan pada tahun anggaran berjalan dapat dilakukan perubahan dalam hal terdapat:
  1. perubahan target PNBP;
  2. perubahan pagu belanja sumber dana PNBP dalam DIPA;
  3. perubahan proyeksi setoran PNBP; dan/atau
  4. pengembalian setoran PNBP.
(2) Perubahan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
  1. permohonan perubahan MP PNBP dari KPA Satker penghasil PNBP; dan/atau
  2. hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan.
(3) Tata cara permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11, berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 14

Pengajuan permohonan, penetapan, dan perubahan MP PNBP secara tidak terpusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 13 dilakukan melalui sistem aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.



Bagian Kedua
Mekanisme Penetapan Maksimum Pencairan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Secara Terpusat

Pasal 15

(1) MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan berdasarkan permohonan Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP.
(2) Permohonan MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilampiri dengan:
  1. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP:
    1. sampai dengan akhir tahun anggaran sebelumnya untuk penerbitan MP PNBP tahap I;
    2. sampai dengan akhir bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk penerbitan MP PNBP tahap II; atau
    3. sampai dengan akhir bulan September tahun anggaran berjalan untuk penerbitan MP PNBP tahap III.
  2. data realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sebelumnya;
  3. proyeksi setoran PNBP sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan;
  4. rencana pelaksanaan program/kegiatan tahun anggaran berjalan;
  5. surat pernyataan kesanggupan pencapaian target setoran PNBP tahun anggaran berjalan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP; dan
  6. daftar alokasi MP PNBP untuk masing-masing Satker.
(3) Proyeksi setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada, ayat (2) huruf c, disusun sesuai dengan format huruf A tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(4) Rencana pelaksanaan program/kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, disusun sesuai dengan format huruf B tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(5) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, disusun sesuai dengan format huruf C tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 16

(1) Usulan MP PNBP tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a, diajukan paling cepat pada bulan Januari tahun anggaran berjalan.
(2) Usulan MP PNBP tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b, diajukan paling cepat bulan Juli tahun anggaran berjalan.
(3) Usulan MP PNBP tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c, diajukan paling cepat bulan Oktober tahun anggaran berjalan.


Pasal 17

(1) Dalam rangka penetapan MP PNBP tahap I, tahap II, dan tahap III sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan:
  1. verifikasi kelengkapan dan kesesuaian lampiran permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2);
  2. penilaian terhadap:
    1. realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP tahun anggaran berjalan;
    2. data realisasi setoran PNBP dan belanja sumber dana PNBP dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sebelumnya;
    3. proyeksi setoran PNBP sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan;
    4. rencana pelaksanaan program/kegiatan tahun anggaran berjalan; dan
    5. hasil monitoring dan evaluasi.
(2) Dalam hal lampiran permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) tidak memenuhi ketentuan verifikasi kelengkapan dan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Perbendaharaan mengembalikan permohonan penetapan MP PNBP.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b lampiran permohonan penerbitan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) memenuhi ketentuan, Direktur Jenderal Perbendaharaan menetapkan MP PNBP sesuai tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan beserta lampirannya diterima secara lengkap dan benar.


Pasal 18

(1) Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga memerlukan kebutuhan dana PNBP lebih cepat dari batas waktu pengajuan permohonan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP dapat mengajukan permohonan percepatan penerbitan MP PNBP kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan dalam hal realisasi setoran PNBP telah mencapai paling kurang sebesar:
  1. 60% (enam puluh persen) dari target setoran PNBP dalam DIPA untuk percepatan penetapan MP PNBP tahap II; atau
  2. 80% (delapan puluh persen) dari target setoran PNBP dalam DIPA untuk percepatan penetapan MP PNBP tahap III.
(3) Tata cara permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17, berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 19

(1) MP PNBP yang telah ditetapkan pada tahun anggaran berjalan dapat dilakukan perubahan dalam hal terdapat:
  1. perubahan target PNBP;
  2. perubahan pagu belanja sumber dana PNBP dalam DIPA;
  3. perubahan proyeksi setoran PNBP; dan/atau
  4. pengembalian setoran PNBP.
(2) Perubahan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan:
  1. permohonan perubahan MP PNBP dari Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I penghasil PNBP; dan/atau
  2. hasil monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan.
(3) Tata cara permohonan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17, berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengajuan permohonan perubahan dan penetapan MP PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 20

Proses pengajuan permohonan, penetapan, dan perubahan MP PNBP secara terpusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 19 dilakukan melalui sistem aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.



BAB V
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 21

(1) Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan PNBP, Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara melaksanakan monitoring dan evaluasi.
(2) Monitoring dan evaluasi oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I, dan KPA Satker penghasil PNBP.
(3) Monitoring dan evaluasi oleh Menteri Keuangan selaku BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
(4) Dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian Negara/Lembaga atau Pimpinan unit eselon I, dan KPA Satker penghasil PNBP melaksanakan paling kurang:
  1. monitoring atas pelaksanaan tagging data setoran PNBP melalui aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
  2. evaluasi atas capaian kinerja dan realisasi belanja; dan
  3. evaluasi atas proyeksi setoran PNBP tahun anggaran berjalan.
(5) Dalam rangka pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan melaksanakan paling kurang:
  1. monitoring atas realisasi setoran PNBP berdasarkan tagging setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a;
  2. evaluasi atas capaian kinerja dan realisasi belanja; dan
  3. evaluasi atas proyeksi setoran PNBP tahun anggaran berjalan.
(6) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), digunakan untuk:
  1. penilaian dalam penetapan MP PNBP; dan
  2. bahan peninjauan kembali persetujuan penggunaan PNBP oleh Direktur Jenderal Anggaran.


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 22

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. MP PNBP bagi Satker penghasil PNBP yang dikelola secara terpusat tahun anggaran 2021 yang telah ditetapkan sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sebagai dasar pencairan anggaran yang sumber dananya berasal dari PNBP sampai dengan ditetapkannya MP PNBP pada DIPA Satker penghasil PNBP tahun anggaran 2021 berdasarkan Peraturan Menteri ini.
  2. MP PNBP bagi Satker penghasil PNBP yang dikelola secara tidak terpusat tahun anggaran 2021 yang telah disampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sebelum Peraturan Menteri ini mulai berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sebagai dasar pencairan anggaran yang sumber dananya berasal dari PNBP sampai dengan ditetapkannya MP PNBP tahun anggaran 2021 berdasarkan Peraturan Menteri ini.


BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penetapan MP PNBP, diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan.



Pasal 24

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan mengenai tata cara penetapan MP PNBP yang diatur dalam:

  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1191) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1736);
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.05/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1234); dan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 109/PMK.05/2016 tentang Mekanisme Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara yang Bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak di Lingkungan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1001),

beserta ketentuan pelaksanaannya, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 25

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Agustus 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 10 Agustus 2021

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


BENNY RIYANTO




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 922