Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 190 TAHUN 2017

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 190 TAHUN 2017

TENTANG

TATA CARA PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,

 

Menimbang :


  1. bahwa berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 39 Tahun 2003, Keputusan Gubernur Nomor 46 Tahun 2003 dan Keputusan Gubernur Nomor 50 Tahun 2003 telah diatur mengenai tata cara pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus dan pelaksanaan surat paksa, besarnya penagihan pajak daerah untuk pemberitahuan surat paksa dan pelaksanaan surat perintah melaksanakan penyitaan, dan pelaksanaan penyitaan dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa;
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan penerimaan Pajak Daerah terhadap utang pajak dan mendorong peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakan daerah, perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa sehingga beberapa Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu disempurnakan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Gubernur tentang Tata Cara Penagihan Pajak Daerah Dengan Surat Paksa;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000;
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
  4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015;
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa;
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah;
  10. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN GUBERNUR TENTANG TATA CARA PENAGIHAN PAJAK DAERAH DENGAN SURAT PAKSA.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Gubernur ini, yang dimaksud dengan :

  1. Daerah adalah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Pemerintah Daerah adalah Gubernur dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  3. Gubernur adalah Kepala Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  4. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; 
  5. Badan Pajak dan Retribusi Daerah adalah Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  6. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah adalah Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  7. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  8. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  9. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perpajakan Daerah.
  10. Jurusita Pajak Daerah adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  11. Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak.
  12. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
  13. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  14. Penagihan Pajak Daerah adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan cara menegur, memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita.
  15. Surat Penentuan Harga Limit adalah tafsiran harga barang sitaan yang dikeluarkan Kepala Badan.
  16. Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Badan atau Pejabat yang ditunjuk untuk memperingatkan kepada Wajib Pajak agar melunasi utang pajaknya.
  17. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak Daerah kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak, dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
  18. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
  19. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
  20. Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah dan nilai.
  21. Objek Sita adalah barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
  22. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
  23. Lelang adalah setiap penjualan barang dimuka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
  24. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara lelang.
  25. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lelang.
  26. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  27. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
  28. Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  29. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan Untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  30. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang selanjutnya disingkat SKPDKB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  31. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak vang telah ditetapkan.
  32. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  33. Surat Tagihan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.



BAB II
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DAERAH

Bagian Kesatu
Kewenangan

Pasal 2

(1) Gubernur berwenang melakukan penagihan Pajak Daerah.
(2) Penagihan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak Daerah.
(4) Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menerbitkan :
  1. surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
  2. surat perintah penagihan seketika dan sekaligus;
  3. surat paksa;
  4. surat perintah melaksanakan penyitaan;
  5. surat pencabutan sita;
  6. pengumuman lelang;
  7. surat penentuan harga limit;
  8. pembatalan lelang; dan
  9. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.
(5) Surat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf i, antara lain merupakan surat himbauan dengan penempelan stiker dan penempelan plang.


Pasal 3

(1) Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) melaksanakan penagihan pajak dalam hal pajak yang terutang sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SKPD, SKPDKB, SKPDKBT dan Pemotongan atau Pemungutan oleh Pihak Ketiga, maka atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.


Bagian Kedua
Jurusita

Pasal 4

(1) Jurusita Pajak Daerah diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur.
(2) Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk.


Paragraf 1
Persyaratan dan Sumpah Pengangkatan

Pasal 5

(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak Daerah adalah sebagai berikut :
  1. berijazah paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang setingkat dengan itu;
  2. berpangkat paling rendah Pengatur Muda/Golongan II/a;
  3. berbadan sehat;
  4. lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak; dan
  5. jujur, bertanggung jawab dan penuh pengabdian. .
(2) Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak Daerah diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, yang berbunyi sebagai berikut :
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pemberian." '
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi negara Republik Indonesia."
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan."    


Paragraf 2
Tugas dan Wewenang

Pasal 6

(1) Jurusita Pajak bertugas :
  1. melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
  2. memberitahukan Surat Paksa; dan
  3. melaksanakan Penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
  4. melaksanakan penyanderaan berdasarkan surat perintah penyanderaan.
(2) Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan surat tugas dan kartu tanda pengenal jurusita pajak daerah dan harus diperlihatkan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(3) Jurusita Pajak Daerah dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat umum, ditempat kedudukan, atau di tempat tinggal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
(4) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Jurusita Pajak Daerah dapat meminta bantuan Satuan Polisi Pamong Praja, Kepolisian, Kejaksaan, Badan Pertanahan Nasional, Dirjen Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
(5) Jurusita Pajak Daerah dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di wilayah atau daerah berlakunya wewenang berdasarkan surat tugas penempatan.


Paragraf  3
Pemberhentian Jurusita Pajak Daerah

Pasal 7

Jurusita Pajak Daerah diberhentikan apabila :

  1. meninggal dunia;
  2. pensiun;
  3. karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya;
  4. ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas;
  5. melakukan perbuatan tercela;
  6. melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak; atau
  7. sakit jasmani atau rohani terus menerus.


Bagian Ketiga
Penagihan Seketika dan Sekaligus

Pasal 8

(1) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk, apabila :
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk paling lama atau berniat untuk itu;
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha, atau menggabungkan usaha, atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh Negara dan/atau daerah; atau
  5. terjadi penyitaan atas barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
  2. diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis;
  3. diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis diterbitkan; atau
  4. diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sekurang-kurangnya memuat:
  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. saat pelunasan pajak.
(4) Bentuk Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 1 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


BAB III
PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

Bagian Kesatu
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat Teguran

Pasal 9

(1) Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.
(3) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan atau diberikan kepada Wajib Pajak setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal jatuh tempo pelunasan.
(4) Penyampaian Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan :
  1. secara langsung;
  2. melalui pos; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(5) Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:    .
  1. Nama Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. besarnya utang pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. jangka waktu pelunasan utang pajak.
(6) Bentuk Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 2 Lampiran Peraturan Gubernur ini. 

 


Bagian Kedua
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat Paksa

Pasal 10

(1) Surat Paksa diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(3) Surat Paksa sekurang-kurangnya memuat:
  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
  2. dasar penagihan;
  3. besarnya utang pajak; dan
  4. perintah untuk membayar.
(4) Bentuk Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 3 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 11

Surat Paksa yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dalam hal :

  1. apabila jumlah utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal disampaikan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4);
  2. terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;    .
  3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaaan pembayaran pajak.


Pasal 12

(1) Surat Paksa yang diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak Daerah kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan akan Surat Paksa kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
(3) Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi :
  1. hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  2. nama Jurusita Pajak;
  3. nama yang menerima; 
  4. tempat pemberitahuan Surat Paksa; dan
  5. ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(4) Bentuk Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 4 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(5) Bentuk Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 5 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 13

(1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau ditempat lain yang memungkinkan;
  2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
  3. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
  4. ahli waris, apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
(2) Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada :
  1. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
  2. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a.


Pasal 14

(1) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas, atau Balai Harta Peninggalan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.


Pasal 15

(1) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 12 dan Pasal 13 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak Daerah meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(2) Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Kelurahan dan/atau Kecamatan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, dengan mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain.


Pasal 16

Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa tetap dapat melaksanakan penyampaian Surat Paksa kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.



Pasal 17

(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.


Bagian Ketiga
Penerbitan dan Pelaksanaan Surat Perintah Melaksanaan
Penyitaan dan Penyitaan

Paragraf 1
Penyitaan

Pasal 18

(1) Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(3) Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur sebagai berikut:
  1. Tanggal dan Nomor Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dicatat dalam :
    1. Buku register Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
    2. Buku register pengawasan tindakan penagihan.
  2. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan didukung adanya bukti piutang pajak yang belum kedaluwarsa dan hasil pemeriksaan mengenai data harta kekayaan/aktiva yang akan disita.


Pasal 19

(1) Barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :
  1. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
  2. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
(4) Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak.
(5) Urutan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah utang pajak dan biaya penagihan pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya.


Pasal 20

(1) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan paling sedikit oleh 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus :
  1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
  2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
  3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
(3) Setiap melaksanakan penyitaan Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi.
(4) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
(5) Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah setempat, paling sedikit setingkat Sekretaris Kelurahan.
(6) Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat. 
(7) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak dan atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.
(8) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada :
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. Kepolisian untuk barang bergerak yang kepemilikannya terdaftar;
  3. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
  4. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang kepemilikannya belum terdaftar; dan
  5. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal.
(9)  Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tercantum dalam Format 6 Peraturan Gubernur ini.


Pasal 21

(1) Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan ketentuan sebagai berikut:
  1. membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(2) Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan sebagai berikut:
  1. menghitung terlebih dahulu uang tunai yang disita dan membuat rinciannya dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. menyimpan uang tunai yang telah disita dalam tempat penyimpanan yang selanjutnya ditempeli dengan segel sita dan kemudian menitipkannya pada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau menitipkannya pada bank.
(3) Penyitaan terhadap kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
  1. Pejabat mengajukan permintaan pemblokiran kepada bank disertai dengan penyampaian Salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
  2. bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan pemblokiran dari Pejabat dan membuat berita acara pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Pejabat dan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  3. Jurusita Pajak setelah menerima berita acara pemblokiran dari bank memerintahkan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan saldo kekayaannya yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Pajak;
  4. dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana dimaksud dalam huruf c, Pejabat meminta Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Menteri Keuangan untuk memerintahkan bank untuk memberitahukan saldo kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank yang dimaksud;
  5. setelah saldo kekayaan yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan dan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan bank yang bersangkutan;
  6. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran kepada bank setelah Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  7. Pejabat mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran; dan
  8. dalam hal pelaksanaan pemblokiran dilakukan terhadap harta kekayaan milik Penanggung Pajak yang namanya tidak tercantum dalam Surat Paksa dan/atau Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, maka surat Permintaan Pemblokiran disertai dengan Surat Keterangan Kedudukan Penanggung Pajak pada Wajib Pajak.
(4) Bentuk Surat Permintaan Pemblokiran sebagaimana ayat (3) huruf h tercantum dalam Format 7 tercantum dalam Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(5) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:
  1. pemblokiran Rekening Efek pada Kustodian dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta atau Pejabat yang ditunjuknya kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan menyebutkan nama Pemegang Rekening atau nomor Pemegang Rekening sebagai Penanggung Pajak, sebab dan alasan perlunya pemblokiran tersebut dilakukan;
  2. berdasarkan permintaan Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta atau Pejabat yang ditunjuknya sebagaimana dimaksud pada huruf a, Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dapat menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk melakukan pemblokiran terhadap Rekening Efek Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  3. berdasarkan perintah tertulis dari Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagaimana dimaksud pada huruf b, Kustodian melakukan pemblokiran;
  4. dalam hal permintaan pemblokiran tersebut disertai dengan permintaan keterangan tentang Rekening Efek pada Kustodian, maka permintaan tertulis dari Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah Provinsi DKI Jakarta harus memuat nama Pejabat yang berwenang mendapat keterangan tersebut;
  5. Kustodian yang melakukan pemblokiran dan memberikan keterangan tentang Rekening Efek Pemegang Rekening membuat Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan;
  6. Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan tersebut disampaikan kepada Gubernur dan salinannya disampaikan kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Pemegang Rekening sebagai Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, selambat-lambatnya 2 (dua) hari kerja setelah pemblokiran dan pemberian keterangan tersebut dilakukan;    
  7. Jurusita Pajak melaksanakan penyitaan atas Efek dan/atau dana dalam Rekening Efek pada Kustodian segera setelah menerima Berita Acara Pemblokiran dan Berita Acara Pemberian Keterangan;
  8. Jurusita Pajak yang melakukan penyitaan harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan saksi-saksi;
  9. Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak hadir, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi;
  10. Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, dan salinannya disampaikan kepada Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kustodian;
  11. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek Penanggung Pajak kepada Kustodian, setelah Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  12. Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah mengajukan permintaan pencabutan pemblokiran terhadap Rekening Efek Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak setelah dikurangi dengan jumlah yang disita apabila utang pajak dan Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sekalipun telah dilakukan pemblokiran; dan
  13. Efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui Perantara Pedagang Efek Anggota Bursa atas permintaan Pejabat.
(6) Bentuk Berita Acara Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e tercantum dalam Format 8 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(7) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sebagai berikut:
  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Berita Acara Pengalihan Hak Surat Berharga atas nama dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat.
(8) Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan sebagai berikut :
  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
(9) Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya dilaksanakan sebagi berikut:
  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Akte Persetujuan Pengalihan Hak Penyertaan Modal pada perusahaan lain dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada perusahaan tempat penyertaan modal.


Pasal 22

Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.



Pasal 23

 

(1) Penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
(2) Jurusita Pajak tetap dapat melakukan penyitaan terhadap barang milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang berada di luar wilayah kerja Pejabat.

 

Pasal 24

(1) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut pertimbangan Jurusita Pajak barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
(2) Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak :
  1. barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita; dan/atau
  2. barang tidak bergerak pengawasannya diserahkan kepada aparat Pemerintah Daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut.
(3) Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah Kantor Pegadaian, bank, Kantor Pos atau tempat lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Pasal 25

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila :

  1. nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak; atau
  2. hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.


Pasal 26

(1) Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.
(2) Penempelan Segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang sitaan.
(3) Segel Sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat paling sedikit :
  1. kata "DISITA";
  2. nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, merusak barang yang disita.
(4) Bentuk Segel Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Format 9 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 27

(1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau berdasarkan putusan Badan Peradilan Pajak atau ditetapkan lain oleh Gubernur.
(2) Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
(3) Bentuk Surat Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 10 Lampiran Peraturan Gubernur ini.
(4) Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan instansi yang terkait, diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.
(5) Pencabutan sita terhadap :
  1. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada bank yang bersangkutan;
  2. surat berharga berupa obligasi, saham atau sejenisnya baik yang diperdagangkan maupun yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Pengalihan Hak Atas Surat Berharga tersebut;
  3. piutang dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak yang berutang yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang; dan/atau
  4. penyertaan modal pada perusahaan lain dilaksanakan dengan menyampaikan Surat Pencabutan Sita kepada Penanggung Pajak dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait serta membuat Akte Pengalihan Hak.
(6) Bentuk Berita Acara Pelaksanaan Pencabutan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Format 11 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

 

Pasal 28

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dilarang :

  1. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
  2. membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;
  3. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan
  4. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.


Pasal 29

Barang bergerak milik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikecualikan penyitaan yaitu :

  1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
  2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
  3. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
  4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan kebudayaan dan keilmuan;
  5. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); dan/atau
  6. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.


Pasal 30

(1) Pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyitaan atas barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, wajib membantu pelaksanaan penyitaan.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja untuk tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan penagihan pajak yang dilakukan oleh Juru Sita Pajak.
(3) Bentuk Laporan Pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 12 Peraturan Gubernur ini.


Pasal 31

Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat melunasi utang pajak dan biaya yang timbul dalam rangka penagihan pajak selama barang yang telah disita belum dijual, digunakan atau dipindahbukukan.



Bagian Keempat
Pelelangan

Pasal 32

(1) Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak penyitaan, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, Pejabat yang ditunjuk segera :
  1. meminta kepada pimpinan bank untuk menggunakan atau memindahbukukan harta kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank ke kas daerah sejumlah yang tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  2. meminta kepada Kantor Lelang untuk melelang atau tidak melelang.
(2) Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk menggunakan barang sitaan dimaksud untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.


Pasal 33

(1) Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang berupa :
  1. uang tunai;
  2. surat-surat berharga :
    1. kekayaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
    2. obligasi;
    3. saham;
    4. piutang;
    5. penyertaan modal; dan
    6. surat berharga lainnya.
  3. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
(2) Terhadap barang yang mudah rusak atau cepat busuk, Pejabat dapat segera menjual barang-barang dimaksud untuk pelunasan biaya penagihan pajak dan utang pajak.

 

Pasal 34

(1) Penggunaan, penjualan dan/atau pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dilakukan dengan cara sebagai berikut :
  1. uang tunai disetor ke Kas Daerah;
  2. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke Kas Daerah atas permintaan Pejabat yang ditunjuk kepada Bank yang bersangkutan;
  3. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat yang ditunjuk;
  4. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat yang ditunjuk;
  5. piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat yang ditunjuk;
  6. penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak kepada Pejabat yang ditunjuk.
(2) Untuk penentuan harga jual, Pejabat dapat meminta bantuan kepada Jasa Penilai.
(3) Berdasarkan rekomendasi Jasa Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau perkiraan sendiri, pejabat yang ditunjuk menerbitkan Surat Penetapan Harga Limit.
(4) Penjualan atas barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f diikuti dengan pembuatan Berita Acara Pengalihan Hak dari Pejabat yang ditunjuk kepada pembeli yang fungsinya dipersamakan dengan Risalah Lelang.


Pasal 35

Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).



Pasal 36

(1) Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
(2) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
(3) Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
(4) Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.
(5) Pejabat yang ditunjuk bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
(6) Pejabat yang ditunjuk atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang.
(7) Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.
(8) Pejabat yang ditunjuk dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Perubahan, besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
(10) Bentuk Surat Permintaan Pelaksanaan Lelang Barang Sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Format 13 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 37

Lelang tetap dapat dilaksanakan dalam hal tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.



Pasal 38

Lelang tidak dilaksanakan jika :

  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak;
  2. berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan pajak; atau
  3. objek lelang musnah.


Pasal 39

(1) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
(2) Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang.
(3) Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya, penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat yang ditunjuk walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
(4) Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
(5) Dalam hal Pejabat yang ditunjuk lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Hak Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.


Bagian Kelima
Pencegahan dan Penyanderaan

Paragraf 1
Pencegahan

Pasal 40

Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang :

  1. mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
  2. diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.


Pasal 41

(1) Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Gubernur
(2) Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya :
  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
  2. alasan untuk melakukan pencegahan; dan
  3. jangka waktu pencegahan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan dengan surat tercatat kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau orang-orang yang terkena pencegahan paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(4) Jangka waktu pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
(5) Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada :
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
  2. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia;
  3. Gubernur; dan
  4. Walikota.
(6) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak atau ahli waris.


Pasal 42

Pencegahan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.



Pasal 43

Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Paragraf 2
Penyanderaan

Pasal 44

Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tidak melunasi utang pajak setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak.



Pasal 45

(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang :
  1. mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah); dan
  2. diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang pajak.
(2) Penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah memperoleh izin tertulis dari Gubernur.
(3) Bentuk Surat Perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 14 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

 

Pasal 46

(1) Permohonan izin penyanderaan diajukan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah kepada Gubernur.
(2) Permohonan izin penyanderaan memuat paling sedikit :
  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan disandera;
  2. jumlah utang pajak yang belum dilunasi;
  3. tindakan penagihan pajak yang telah dilaksanakan; dan
  4. uraian tentang adanya petunjuk bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diragukan itikad baik dalam pelunasan utang pajak, meliputi :
    1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang pajak;
    2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak menjelaskan/tidak bersedia melunasi utang pajak baik sekaligus maupun angsuran;
    3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
    4. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; dan
    5. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya.
(3) Bentuk Surat Permohonan izin penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 15 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 47

(1) Surat Perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah setelah diterimanya izin tertulis dari Gubernur.
(2) Surat Perintah Penyanderaan memuat paling sedikit:
  1. identitas Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak;
  2. alasan penyanderaan;
  3. izin penyanderaan;
  4. lama penyanderaan; dan
  5. tempat peyanderaan.


Pasal 48

(1) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera ditempatkan ditempat tertentu sebagai tempat penyanderaan dengan syarat sebagai berikut:
  1. tertutup dan terasing dari masyarakat;
  2. mempunyai fasilitas terbatas; dan
  3. mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai.
(2) Sebelum tempat penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain.
(3) Penyanderaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 49

Jangka waktu penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak ditempatkan dalam tempat penyanderaan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan.



Pasal 50

(1) Jurusita Pajak harus menyampaikan Surat Perintah Penyanderaan langsung kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak dan dapat dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan penyanderaan Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi atau melarikan diri, Jurusita Pajak melalui Pejabat atau atasan Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut.

 

Pasal 51

(1) Penyanderaan tetap dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencegahan.
(2) Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dalam hal :
  1. Sedang beribadah;
  2. Sedang mengikuti sidang resmi; atau
  3. Sedang mengikuti Pemilihan Umum.
(3) Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat Surat Perintah Penyanderaan diterima oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang bersangkutan dan salinannya disampaikan kepada kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera menolak untuk menerima Surat Perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Perintah Penyanderaan dimaksud di tempat kedudukan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak (tempat tinggal atau tempat bekerja) dan mencatatnya dalam Berita Acara Penyampaian Surat Perintah Penyanderaan bahwa Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Perintah Penyanderaan, dan Surat Perintah Penyanderaan dianggap telah diterima serta sah mempunyai kekuatan hukum mengikat.


Pasal 52

(1) Jurusita Pajak membuat Berita Acara Penyanderaan dan ditandatangani oleh Jurusita Pajak, kepala Rumah Tahanan Negara atau Kepala tempat penyanderaan dan saksi-saksi pada saat Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak ditempatkan di tempat penyanderaan.
(2) Berita Acara Penyanderaan paling sedikit memuat:
  1. nomor dan tanggal Surat Perintah Penyanderaan;
  2. izin tertulis Gubernur;
  3. identitas Jurusita Pajak;
  4. identitas Penanggung Pajak yang disandera;
  5. tempat penyanderaan;
  6. lamanya penyanderaan; dan
  7. identitas saksi penyanderaan.
(3) Salinan Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) disampaikan kepada :
  1. kepala tempat penyanderaan,
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera; dan
  3. Walikota atau Bupati Administrasi.
(4) Bentuk Berita Acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Format 16 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

 

Pasal 53

(1) Selama dalam penyanderaan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak berhak untuk :
  1. melakukan ibadah di tempat penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
  2. memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  3. mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
  4. menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
  5. memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera; dan
  6. menerima kunjungan dari :
    1. keluarga, pengacara dan sahabat;
    2. dokter pribadi atas biaya sendiri; dan
    3. rohaniawan.
(2) Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera selama dalam rumah tahanan Negara atau tempat penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin.
(3) Apabila terbukti Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak melanggar tata tertib dan disiplin Kepala Tahanan Negara melaporkan kepada Kepala Badan.


Pasal 54

(1) Penanggung Pajak yang disandera dilepas, jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
  2. apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan telah dipenuhi;
  3. berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
  4. berdasarkan pertimbangan tertentu dari Gubernur.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a di atas berupa salinan atau fotokopi bukti pembayaran/pelunasan utang pajak/biaya penagihan pajak lembar pertama yang dilegalisasi oleh tempat pembayaran pajak yang bersangkutan.
(3) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c di atas berupa salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang dilegalisasi oleh pengadilan yang bersangkutan.
(4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa Surat Rekomendasi/Surat Pemberitahuan Kepala Badan, dengan pertimbangan:
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sudah membayar utang pajak 50% atau lebih dari jumlah utang pajak/sisa utang pajak, dan sisanya akan dilunasi dengan angsuran;
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank garansi;
  3. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan utang pajak dan biaya penagihan pajak untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  4. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah berumur 75 tahun atau lebih; atau
  5. untuk kepentingan perekonomian negara dan kepentingan umum.
(5) Kepala Badan memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak akan dilepas dari penyanderaan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf c, atau huruf d.  
(6) Kepala Rumah Tahanan Negara atau tempat penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Badan apabila Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak telah dilepas dari penyanderaan.


Pasal 55

(1) Penanggung Pajak yang melarikan diri dari tempat penyanderaan dalam masa penyanderaan, disandera kembali berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya.
(2) Masa penyanderaan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sama dengan masa penyanderaan menurut Surat Perintah Penyanderaan yang dahulu diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa penyanderaan yang, telah dijalani sebelum Penanggung Pajak melarikan diri.


Pasal 56

Biaya penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Pajak yang disandera dan diperhitungkan sebagai biaya penagihan pajak.



Paragraf Ketiga
Rehabilitasi Nama Baik

Pasal 57

(1) Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
(2) Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan setelah masa penyanderaan berakhir.
(3) Dalam hal gugatan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dikabulkan oleh pengadilan dan putusan pengadilan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik.


Pasal 58

(1) Permohonan rehabilitasi nama baik Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dilengkapi dengan persyaratan sebagai berikut :
  1. Putusan Pengadilan;
  2. Surat Perintah Penyanderaan; dan
  3. Surat Pemberitahuan Pelepasan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang disandera.
(2) Rehabilitasi nama baik dilaksanakan oleh Kepala Badan dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media cetak harian yang berskala nasional/regional/lokal dengan ukuran yang memadai, yang dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari.
(3) Bentuk Surat Pemberitahuan Pelepasan Wajib Pajak yang disandera sebagaimana dimaksud pada (1) huruf c tercantum dalam Format 17 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

 

BAB IV
KETENTUAN KHUSUS

Pasal 59

(1) Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau Pejabat dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah terhadap Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(2) Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah tidak memberikan keputusan, permohonan Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu.
(4) Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah dapat membetulkan Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(5) Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Kepala Badan Pajak dan Retribusi Daerah.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.


Pasal 60

(1) Hasil Pelaksanaan atas Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika dan Sekaligus dituangkan dalam dokumen laporan pelaksanaan.
(2) Bentuk Laporan Pelaksanaan Surat Perintah Penagihan Pajak Seketika Sekaligus sebagaimana tercantum pada ayat (1) sesuai Format 18 Lampiran Peraturan Gubernur ini.

  

Pasal 61

Penagihan Pajak Daerah dengan Surat Paksa tidak dilaksanakan apabila telah kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah.



BAB V
BIAYA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

Pasal 62

(1) Biaya Penagihan Pajak Daerah adalah sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap pemberitahuan Surat Paksa dan sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
(2) Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibebankan kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang akan diperhitungkan berdasarkan hasil Lelang.
(3) Bentuk Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Format 19 Lampiran Peraturan Gubernur ini.


Pasal 63

Kepala Suku Badan Pajak dan Retribusi Daerah setiap tahun mengajukan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk pemberian Surat Paksa dan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan serta biaya Penyanderaan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.



BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 64

Pada saat Peraturan Gubernur ini mulai berlaku :

  1. Keputusan Gubernur Nomor 39 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus dan Pelaksanaan Surat Paksa;
  2. Keputusan Gubernur Nomor 50 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa; dan
  3. Keputusan Gubernur Nomor 46 Tahun 2003 tentang Besarnya Penagihan Pajak Daerah di Propinsi DKI Jakarta untuk memberitahukan Surat Paksa dan Pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 65

Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Desember 2017
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA,

ttd

ANIES BASWEDAN


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 14 Desember 2017

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS

IBUKOTA JAKARTA,


ttd


SAEFULLAH 




BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2017 NOMOR 71047