TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2016
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
JENIS-JENIS PAJAK DAN PENGATURAN PENETAPAN PAJAK
DALAM PERATURAN DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak yang Dipungut berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau
Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak
Pasal 2
Jenis Pajak terdiri atas:
Pasal 3
(1) | Jenis Pajak provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
|
(2) | Jenis Pajak provinsi yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
(3) | Jenis Pajak kabupaten/kota yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah terdiri atas:
|
(4) | Jenis Pajak kabupaten/kota yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
Bagian Kedua
Pengaturan Penetapan Pajak dalam Peraturan Daerah
Pasal 4
(1) | Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah. |
(2) | Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
(3) | Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
|
BAB III
PENDAFTARAN WAJIB PAJAK DAN MASA PAJAK
Bagian Kesatu
Pendaftaran Wajib Pajak
Pasal 5
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) wajib mendaftarkan objek Pajak kepada Kepala Daerah dengan menggunakan:
|
(2) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dan ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g diwajibkan mendaftarkan diri kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah. |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Kepala Daerah secara jabatan menerbitkan nomor pokok Wajib Pajak Daerah berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah. |
Bagian Kedua
Masa Pajak
Pasal 6
(1) | Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4). |
(2) | Ketentuan masa Pajak dikecualikan untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h. |
BAB IV
PENETAPAN, PEMBAYARAN, PELAPORAN, DAN KETETAPAN PAJAK
Bagian Kesatu
Penetapan Pajak
Pasal 7
(1) | Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang atas jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan huruf b berdasarkan surat pendaftaran obyek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD. |
(2) | Kepala Daerah secara jabatan dapat menerbitkan SKPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) |
(3) | Kepala Daerah menetapkan Pajak terutang atas PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT. |
(4) | Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPD dalam hal sebagai berikut:
|
Pasal 8
(1) | Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) huruf a dan huruf b dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak. |
(2) | Besarnya Pajak terutang untuk PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. |
(3) | Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
|
(4) | Besarnya nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(5) | Nilai perolehan air tanah dalam Daerah provinsi ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(6) | Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur. |
(7) | Penetapan besarnya nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian teknis terkait. |
Pasal 9
(1) | Besarnya Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) huruf a sampai dengan huruf g dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak. |
(2) | Besarnya Pajak terutang untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak dengan dasar pengenaan Pajak setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak. |
(3) | Dasar pengenaan Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4):
|
Pasal 10
(1) | Jumlah pembayaran kepada hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c termasuk:
|
(2) | Jumlah yang seharusnya dibayar kepada hotel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf c merupakan voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma dengan dasar pengenaan Pajak sebesar harga berlaku. |
Pasal 11
(1) | Jumlah pembayaran yang diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d termasuk:
|
(2) | Jumlah pembayaran yang seharusnya diterima restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf d merupakan harga jual makanan atau minuman dalam hal voucher atau bentuk lain yang diberikan secara cuma-cuma. |
Pasal 12
(1) | Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf f ditetapkan:
|
(2) | Berdasarkan nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik melakukan penghitungan dan Pemungutan Pajak penerangan jalan atas penggunaan tenaga listrik. |
Bagian Kedua
Pembayaran Pajak Terutang
Pasal 13
(1) | Wajib Pajak membayar atau menyetor Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD. |
(2) | Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) paling lama:
|
(3) | Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya Pajak. |
Bagian Ketiga
Pelaporan Pajak
Pasal 14
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) mengisi SPTPD. |
(2) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat omzet dan jumlah Pajak terutang dalam satu masa Pajak. |
Pasal 15
(1) | Wajib Pajak menyampaikan SPTPD yang dilampiri SSPD kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4). |
(2) | SSPD untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) huruf h dipersamakan sebagai SPTPD. |
(3) | SSPD untuk BPHTB dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran. |
(4) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah berakhirnya masa Pajak. |
(5) | Kepala Daerah melakukan Penelitian atas SPTPD dan SSPD yang disampaikan oleh Wajib Pajak. |
Bagian Keempat
Ketetapan Pajak
Pasal 16
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4). |
(2) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal:
|
(3) | Jumlah Pajak yang tercantum dalam SKPDKB yang diterbitkan dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dihitung secara jabatan. |
(4) | SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang. |
(5) | SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. |
Pasal 17
(1) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a dan huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak. |
(2) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak tersebut. |
(3) | Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan Pemeriksaan. |
(4) | Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf c dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak. |
(5) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
Pasal 18
(1) | Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah. |
(2) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan. |
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. |
(4) | Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut. |
(5) | Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB. |
(6) | Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak. |
BAB V
PENAGIHAN DAN PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK
Bagian Kesatu
Penagihan Pajak
Pasal 19
(1) | Kepala Daerah dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (3) dalam hal:
|
(2) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan. |
(3) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya Pajak. |
Pasal 20
(1) | Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (4) dalam hal:
|
(2) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya Pajak. |
Pasal 21
(1) | Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. |
(2) | Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan mengenai pedoman Penagihan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
Bagian Kedua
Penghapusan Piutang Pajak
Pasal 22
(1) | Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan |
(2) | Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
(3) | Pengakuan utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. |
(4) | Pengakuan utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut. |
(6) | Dalam hal ada pengakuan utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Kepala Daerah. |
BAB VI
KEBERATAN DAN BANDING
Pasal 23
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga |
(2) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan atau Pemungutan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan. |
(4) | Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(6) | Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 24
(1) | Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1). |
(2) | Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. |
(3) | Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima. |
(4) | Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
(5) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
Pasal 25
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. |
(2) | Pengajuan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(3) | Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 26
(1) | Jika pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB. |
(3) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan. |
(5) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
BAB VII
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Pasal 27
(1) | Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan omzet paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta Rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan. |
(2) | Pembukuan atau pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat dihitung besarnya Pajak yang terutang. |
Pasal 28
(1) | Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan. |
(4) | Ketentuan mengenai pedoman Pemeriksaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
BAB VIII
PENELITIAN SURAT SETORAN PAJAK DAERAH BEA PEROLEHAN HAK
ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Pasal 29
(1) | Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
|
(2) | Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat. |
(3) | Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat. |
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah Pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah Pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut. |
BAB IX
PENILAIAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN PERDESAAN DAN PERKOTAAN
Pasal 30
(1) | Kepala Daerah menetapkan NJOP. |
(2) | Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. |
(3) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. |
(4) | Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
(5) | Penghitungan NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilakukan melalui penilaian. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
BAB X
PAJAK YANG DIBAYARKAN ATAU DIPUNGUT OLEH PEMERINTAH
Pasal 31
(1) | Jenis Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah meliputi:
|
(2) | Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku bagi Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau di bidang kegiatan usaha lain yang menetapkan bahwa Pajak terutangnya dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah. |
(3) | Pajak yang dapat dibayarkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari jumlah tertentu yang merupakan bagian penerimaan negara atas setiap kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sesuai dasar pengenaan Pajak yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(5) | Dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b merupakan nilai perolehan air. |
(6) | Nilai perolehan air sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(7) | Peraturan Gubernur mengenai nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b ditetapkan berdasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(8) | Besaran Pajak yang dibayarkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan hasil perkalian antara tarif Pajak yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 32
(1) | Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dipungut bersamaan dengan Pemungutan cukai rokok oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai. |
(2) | Besarnya Pajak terutang untuk Pajak rokok dihitung oleh Wajib Pajak sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai cukai rokok. |
(3) | Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum Daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan dan penyetoran Pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 33
(1) | Penerimaan Pajak rokok yang disetorkan ke rekening kas umum Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) dibagi dengan proporsi:
|
(2) | Penerimaan Pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. |
(3) | Pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan kesehatan masyarakat sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah. |
(4) | Penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah yang dapat dikerjasamakan dengan pihak/instansi lain. |
(5) | Ketentuan mengenai pelayanan kesehatan masyarakat yang didanai dari Pajak rokok diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Pajak Daerah, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 35
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar, Sendiri oleh Wajib Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5179) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 36
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Pasal 37
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2016
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2016
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 244
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 55 TAHUN 2016
TENTANG
KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH
I. |
UMUM Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengatur mengenai kebijakan perpajakan dan retribusi Daerah, termasuk beberapa ketentuan pelaksanaan pemungutan Pajak. Beberapa ketentuan lain terkait proses pelaksanaan pemungutan Pajak oleh Pemerintah Daerah dapat diatur oleh Daerah sendiri dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah dan/atau peraturan pelaksanaan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah Daerah memiliki diskresi dan keleluasaan dalam membangun sistem dan prosedur pemungutan Pajak sesuai dengan kondisi dan kekhasan Daerah masing-masing dengan tetap berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam pelaksanaan pemungutan Pajak di Daerah, masih terdapat kesulitan yang dihadapi oleh Daerah terkait teknis pemungutan Pajak mengingat belum lengkapnya peraturan perundang-undangan yang mengatur teknis pemungutan Pajak. Selain itu, masih terdapat perbedaan interpretasi antara Wajib Pajak dengan Pemerintah Daerah dan antar Pemerintah Daerah terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perbedaan interpretasi tersebut antara lain ketentuan mengenai Masa Pajak, penetapan Wajib Pajak, Penelitian Pajak, dan Penagihan Pajak. Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak hanya mengatur mengenai pembagian jenis Pajak berdasarkan pemungutannya, maka untuk memberikan pedoman teknis pelaksanaan Pemungutan Pajak dan memperjelas pemaknaan berbagai ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu disusun Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak. Di samping itu, Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk dapat memberikan pengaturan yang lebih jelas terkait Pemungutan Pajak yang bersifat khusus, antara lain jenis Pajak yang pembayaran Pajak terutangnya dibebankan kepada Pemerintah yaitu untuk Wajib Pajak yang menandatangani perjanjian dengan Pemerintah di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang menetapkan bahwa Pajak terutangnya dibayarkan oleh Pemerintah. Dasar pengenaan Pajak adalah salah satu komponen utama dalam perhitungan Pajak terutang. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengamanatkan bahwa penetapan dasar pengenaan Pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan kewenangan ini haruslah sesuai dengan norma-norma dasar yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. NJOP dimaksud diperoleh melalui penilaian yang dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata, penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau nilai jual pengganti. Agar Kepala Daerah dapat menetapkan NJOP secara wajar dan bertanggung jawab, maka dalam Peraturan Pemerintah ini mengamanatkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Selain itu, untuk mendukung pelaksanaan Pemungutan Pajak, memperkuat law enforcement perpajakan daerah, dan menjamin terlaksananya hak dan kewajiban Wajib Pajak, Peraturan Pemerintah ini juga mengamanatkan bahwa ketentuan mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Cukup jelas. Pasal 3Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’Pajak kendaraan bermotor” adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Huruf bYang dimaksud dengan ”bea balik nama kendaraan bermotor” adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. Huruf cYang dimaksud dengan ’’Pajak air permukaan” adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’Pajak bahan bakar kendaraan bermotor” adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Huruf bYang dimaksud dengan ’’Pajak rokok” adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ’’Pajak reklame” adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. Huruf bYang dimaksud dengan ’’Pajak air tanah” adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. Huruf cCukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan ’’Pajak hotel” adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel. Huruf bYang dimaksud dengan ’’Pajak restoran” adalah Pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Huruf cYang dimaksud dengan ’’Pajak hiburan” adalah Pajak atas penyelenggaraan hiburan. Huruf dYang dimaksud dengan ’’Pajak penerangan jalan” adalah Pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Huruf eYang dimaksud dengan ’’Pajak mineral bukan logam dan batuan” adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. Dikecualikan dari kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan adalah:
Yang dimaksud dengan ’’Pajak parkir” adalah Pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor. Huruf gYang dimaksud dengan ’’Pajak sarang burung walet” adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Huruf hCukup jelas. Cukup jelas. Pasal 5Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Masa Pajak” adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Yang dimaksud dengan “keterangan lain” antara lain pengajuan dari Wajib Pajak. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Yang dimaksud dengan “kementerian teknis terkait” adalah:
Cukup jelas. Pasal 10Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Yang dimaksud dengan “bentuk lain” antara lain berupa undangan dari pihak hotel kepada penerima jasa hotel baik secara tertulis ataupun lisan. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Yang dimaksud dengan “bentuk lain” antara lain berupa undangan dari pihak restoran kepada penerima jasa restoran baik secara tertulis maupun lisan. Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “tenaga listrik yang berasal dari sumber lain” adalah tenaga listrik yang diperoleh dari penyedia tenaga listrik. Huruf b Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 14Cukup jelas. Pasal 15Cukup jelas. Pasal 16Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Huruf a Yang dimaksud dengan “keterangan lain” antara lain pengakuan dari Wajib Pajak. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3)Yang dimaksud dengan ’’dihitung secara jabatan” adalah penghitungan besarnya Pajak terutang yang dilakukan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 18Cukup jelas. Pasal 19Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh untuk Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda adalah jika permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Contoh untuk Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda adalah jika permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Ayat (2)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 22Cukup jelas. Pasal 23Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5) Penangguhan jangka waktu pelunasan Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan menyebabkan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan tidak diberlakukan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Ayat (6)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 25Cukup jelas. Pasal 26Cukup jelas. Pasal 27Ayat (1) Kewajiban pelaksanaan pembukuan atau pencatatan ini berlaku untuk Wajib Pajak atas jenis Pajak yang berasal dari kegiatan usaha. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain dalam hal:
Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 29Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “nomor objek Pajak” adalah nomor identitas objek Pajak PBB-P2 sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Kebenaran penghitungan BPHTB adalah kebenaran penghitungan formulasi secara matematis. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “waris” adalah suatu keadaan yang menyebabkan seseorang menjadi berhak menerima harta pusaka dari orang yang telah meninggal. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk Daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan setahun sekali. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Huruf a Yang dimaksud dengan “perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara membandingkannya dengan objek Pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. Huruf bYang dimaksud dengan “nilai perolehan baru” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut. Huruf cYang dimaksud dengan “nilai jual pengganti” adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek Pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek Pajak tersebut. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 31Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dibayarkan oleh Pemerintah” adalah pembayaran yang dilaksanakan oleh Menteri Keuangan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “dibebaskan dan ditanggung oleh Pemerintah” adalah kondisi di mana Wajib Pajak dibebaskan dari kewajiban untuk membayar Pajak terutang dan Pemerintah menanggung kewajiban pembayaran Pajak dimaksud sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau di bidang kegiatan usaha lain. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Cukup jelas. Ayat (8)Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (1) Yang dimaksud dengan “instansi Pemerintah” adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang ditunjuk sebagai Pemungut Pajak. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Yang dimaksud dengan “pihak/instansi lain” antara lain Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Ayat (5)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 35Cukup jelas. Pasal 36Cukup jelas. Pasal 37Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5950