TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2022
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
BAB II
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK,
SURAT PEMBERITAHUAN, PENGUNGKAPAN KETIDAKBENARAN,
DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
Bagian Kesatu
Nomor Pokok Wajib Pajak
Pasal 2
(1) | Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(2) | Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk menggunakan Nomor Induk Kependudukan. |
(3) | Terhadap Penduduk, pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. |
(4) | Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
|
(5) | Dalam hal wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak sebelum kawin, wanita kawin tersebut tidak perlu mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(6) | Wanita kawin selain yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan suaminya. |
Pasal 3
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan yang menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai subjek pajak menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut dan diwakili oleh:
Pasal 4
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan atau penelitian. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pendaftaran Wajib Pajak dan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta pengukuhan dan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. |
(4) | Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) yang merupakan Wajib Pajak orang pribadi Penduduk dilakukan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi Penduduk tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Nomor Induk Kependudukan dinonaktifkan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan. |
Bagian Kedua
Surat Pemberitahuan
Pasal 5
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis. |
(2) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
|
(3) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, yang dimulai sejak saat surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. |
(5) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan. |
(6) | Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 6
(1) | Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima:
|
||||||||||||||||
(2) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan rugi fiskal berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan. | ||||||||||||||||
(3) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||
(4) | Jangka waktu 3 (tiga) bulan untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dihitung sejak tanggal diterima:
|
||||||||||||||||
(5) | Tanggal diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal:
|
||||||||||||||||
(6) | Apabila Wajib Pajak:
|
||||||||||||||||
(7) | Penghitungan kembali kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan rugi fiskal sesuai dengan:
|
||||||||||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Pengungkapan Ketidakbenaran
Pasal 7
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, jika:
|
||||||
(2) | Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan atas perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c atau huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan baik yang berdiri sendiri atau berkaitan dengan tindak pidana perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1) kecuali huruf c dan huruf d dan ayat (3), Pasal 39A, dan Pasal 43 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan. | ||||||
(3) | Pernyataan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disertai dengan:
|
||||||
(4) | Pembayaran jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. | ||||||
(5) | Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan yang dilakukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan Penyidikan. | ||||||
(6) | Dalam hal setelah Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) masih ditemukan data yang menyatakan lain dari pengungkapan ketidakbenaran perbuatan tersebut, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan/atau Tahun Pajak, untuk jenis pajak yang dilakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan. | ||||||
(7) | Tata cara pengungkapan ketidakbenaran perbuatan oleh Wajib Pajak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 8
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dilakukan tindakan Pemeriksaan, Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri mengenai ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, sepanjang Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan. |
(2) | Laporan tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
|
(3) | Untuk membuktikan kebenaran pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan tersebut diterbitkan Surat Ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri serta memperhitungkan pajak yang terutang yang telah dibayar. |
(4) | Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, Surat Ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. |
(5) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4). |
(6) | Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan bukti pembayaran sanksi administratif terkait dengan pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran atau Penyetoran Pajak
Pasal 9
(1) | Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. |
(2) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Bagian Kelima
Dasar Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Pasal 10
(1) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlewati, Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
BAB III
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
Bagian Kesatu
Pembukuan
Pasal 11
(1) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi daring wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak selain melaksanakan kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib menyimpan dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. |
(3) | Ketentuan mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 12
(1) | Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. |
(2) | Dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan:
|
(3) | Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain. |
(4) | Penentuan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling kurang mempertimbangkan peredaran bruto Wajib Pajak. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara melakukan pencatatan dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau tata cara menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Kedua
Pemeriksaan
Pasal 13
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
|
(3) | Berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
(4) | Buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. |
Pasal 14
Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dan ayat (4) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 15
(1) | Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan hasil Pemeriksaan melalui surat pemberitahuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak badan atau orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 memberikan dokumen pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa pajak dapat mempertimbangkan dokumen tersebut dalam menghitung pajak terutang. |
(4) | Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbatas pada:
|
Pasal 16
(1) | Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil Pemeriksaan. |
(2) | Berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dibuat nota penghitungan. |
(3) | Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak. |
Pasal 17
(1) | Dalam hal pada saat dilakukan Pemeriksaan ditemukan adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan dan ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan. | ||||||||||||||||||
(2) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan jika:
|
||||||||||||||||||
(3) | Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan jika:
|
||||||||||||||||||
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dalam hal masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan atau hasil Penyidikan. |
Pasal 18
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 yang dilaksanakan tanpa melalui prosedur:
|
(2) | Dalam hal terdapat pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka proses Pemeriksaan dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
|
(3) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang dibatalkan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. |
BAB IV
PENETAPAN DAN KETETAPAN
Pasal 19
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak. |
(2) | Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. |
Pasal 20
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan Pemeriksaan dalam hal:
Pasal 21
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang terhadap:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan berdasarkan hasil Pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
Pasal 22
Jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Pasal 23
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil berdasarkan hasil Pemeriksaan terhadap Surat Pemberitahuan jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
Pasal 24
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar berdasarkan:
|
(2) | Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih dapat diterbitkan lagi jika terdapat data baru, termasuk data yang semula belum terungkap, jika ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. |
Pasal 25
(1) | Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b, dituangkan dalam laporan hasil penelitian. |
(2) | Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat nota penghitungan. |
(3) | Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 27
(1) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberi atau diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. |
(2) | Dalam hal setelah dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi Wajib Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 24 dan/atau Surat Tagihan Pajak. |
(3) | Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. |
(4) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 28
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak berdasarkan:
|
(2) | Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama:
|
Pasal 29
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikembalikan, dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf c. |
Pasal 30
(1) | Wajib Pajak yang telah ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dicabut penetapannya sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Tata cara pencabutan penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
BAB V
KEBERATAN, PEMBETULAN, PENGURANGAN,
PENGHAPUSAN, PEMBATALAN, DAN GUGATAN
Bagian Kesatu
Keberatan
Pasal 31
(1) | Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak atau pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
|
||||||||||
(2) | Keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat penerbitan Surat Keputusan Pembetulan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan Wajib Pajak belum mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak, Wajib Pajak masih dapat mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim Surat Keputusan Pembetulan. |
Pasal 32
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengajukan permohonan:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh Wajib Pajak. |
(4) | Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar. |
(5) | Wajib Pajak yang mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dapat mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif. |
(6) | Tata cara pencabutan pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 33
(1) | Direktur Jenderal Pajak harus menyelesaikan keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal surat pengajuan keberatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak sampai dengan tanggal Surat Keputusan Keberatan diterbitkan. |
Pasal 34
(1) | Dalam hal pengajuan keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (9) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran atas jumlah yang disetujui maupun yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam hal keputusan keberatan atas pengajuan keberatan Wajib Pajak menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) atau pengajuan keberatan tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak. |
Pasal 35
(1) | Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Banding:
|
(2) | Dalam hal Putusan Banding berupa tidak dapat diterima, pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan menjadi utang pajak sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. |
(3) | Jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditambah sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). |
Pasal 36
(1) | Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (51) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal Putusan Peninjauan Kembali menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. |
(2) | Atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diterbitkan Surat Tagihan Pajak paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Bagian Kedua
Pembetulan
Pasal 37
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kesalahan hitung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai pada surat keputusan atau surat ketetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) , pembetulan atas kekeliruan tersebut hanya dapat dilakukan jika terdapat perbedaan besarnya Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak dan Pajak Masukan tersebut tidak mengandung persengketaan antara fiskus dan Wajib Pajak. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Pengurangan, Penghapusan, atau Pembatalan
Pasal 38
(1) | Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
|
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali. |
(4) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak jika:
|
(5) | Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan dalam hal Wajib Pajak mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3). |
(6) | Pada saat penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan buku, catatan, atau dokumen yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar tersebut. |
(7) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. |
(8) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. |
(9) | Tata cara pengurangan, penghapusan, dan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 39
(1) | Wajib Pajak yang dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana diatur pada ayat (1) diajukan terhadap sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dikenakan melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, atas permohonan tersebut dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sehingga besarnya sanksi administratif dikenakan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak secara jabatan mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan keberatan, Prosedur Persetujuan Bersama, banding, peninjauan kembali, atau pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengakibatkan berkurangnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. |
Bagian Keempat
Penerbitan Kembali atas Keputusan
Pasal 40
(1) | Dalam hal keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diketahui rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi karena keadaan di luar kekuasaannya, Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya menerbitkan kembali keputusan sebagai pengganti keputusan yang rusak, tidak terbaca, hilang, atau tidak dapat ditemukan lagi. |
(2) | Keputusan yang diterbitkan kembali oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan keputusan yang telah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan kembali keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Bagian Kelima
Gugatan
Pasal 41
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Ketetapan Pajak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan kembali sebagai akibat dari Putusan Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan bagi Direktur Jenderal Pajak untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak tertangguh, terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang diajukan gugatan sampai dengan Putusan Gugatan diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 42
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara penerbitan, Direktur Jenderal Pajak setelah menerima Putusan Gugatan tersebut menindaklanjuti Putusan Gugatan dengan menerbitkan kembali Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan prosedur atau tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Dalam hal terdapat Putusan Gugatan atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. |
Bagian Keenam
Surat Pelaksanaan Putusan Banding,
Putusan Peninjauan Kembali, dan Putusan Gugatan
Pasal 43
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Banding setelah menerima Putusan Banding. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali setelah menerima Putusan Peninjauan Kembali. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pelaksanaan Putusan Gugatan setelah menerima Putusan Gugatan. |
BAB VI
IMBALAN BUNGA
Pasal 44
(1) | Wajib Pajak diberi imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. |
(3) | Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
(4) | Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. |
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan:
|
(6) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga merupakan tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
(7) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(8) | Pelaksanaan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan:
|
(9) | Tata cara pemberian imbalan bunga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
BAB VII
PENAGIHAN
Pasal 45
(1) | Dasar penagihan pajak berupa:
|
(2) | Termasuk jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yaitu pajak yang seharusnya tidak dikembalikan. |
(3) | Dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
Pasal 46
Dalam hal dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a dan ayat (2) diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran, jangka waktu hak mendahulu selama 5 (lima) tahun dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan atau sejak tanggal jatuh tempo angsuran terakhir sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (5) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 47
(1) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah pajak yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar pada saat pengajuan keberatan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
Pasal 48
(1) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan bukan merupakan utang pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tidak termasuk sebagai utang pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding. |
(3) | Atas jumlah pajak yang tidak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (la) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. |
Pasal 49
(1) | Dalam hal jumlah pajak yang masih harus dibayar atau utang pajak tidak dilunasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47 diterbitkan Surat Teguran. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan Pasal 47. |
(3) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf b. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pengajuan permohonan banding. |
(6) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak mengajukan permohonan banding atas keputusan keberatan, Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setelah 7 (tujuh) hari terhitung sejak saat jatuh tempo pelunasan pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Putusan Banding. |
Pasal 50
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VIII
KUASA WAJIB PAJAK DAN RAHASIA JABATAN
Bagian Kesatu
Kuasa Wajib Pajak
Pasal 51
(1) | Wajib Pajak dapat menunjuk kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali keluarga. |
(4) | Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
|
Pasal 52
(1) | Kuasa menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). |
(2) | Dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan sebagai kuasa, kuasa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Kuasa tidak dapat menjalankan hak dan kewajiban Wajib Pajak yang dikuasakan kepadanya jika dalam menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpaj akannya:
|
Pasal 53
Menteri dapat mengatur pembinaan, pengembangan, dan/atau pengawasan konsultan pajak dan pihak lain yang bertindak sebagai kuasa Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf a dan huruf b untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bagian Kedua
Rahasia Jabatan
Pasal 54
(1) | Setiap pejabat dan tenaga ahli dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya. |
(2) | Demi kepentingan negara, dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri tersebut. |
(3) | Pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
(4) | Dalam hal pihak tertentu yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pihak tertentu tersebut dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pejabat dan/atau tenaga ahli yang memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara pemberian izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB IX
PENERAPAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA
Pasal 55
(1) | Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. | ||||||||
(2) | Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
|
||||||||
(3) | Untuk menentukan dapat atau tidaknya dilaksanakan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meneliti terlebih dahulu permintaan pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama yang diajukan oleh pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, atau huruf d. |
Pasal 56
Terhadap pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang menghasilkan kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti Persetujuan Bersama tersebut dengan menerbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama dengan ketentuan Direktur Jenderal Pajak telah:
Pasal 57
(1) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(2) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(3) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(4) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1):
|
||||||
(5) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan terhadap:
|
||||||
(6) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), atau ayat (5) dapat diterapkan dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 telah terpenuhi. |
Pasal 58
(1) | Dalam hal Surat Keputusan Persetujuan Bersama mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika Wajib Pajak mempunyai utang pajak, kelebihan pembayaran dimaksud langsung diperhitungkan untuk melunasi utang pajak terlebih dahulu. |
(2) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat diterbitkannya Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Wajib Pajak tanpa diberikan imbalan bunga. |
(3) | Dalam hal pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama tidak ditindaklanjuti dengan penerbitan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, berlaku Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
BAB X
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) | Berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana diatur dalam Pasal 43A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(2) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Penyidik yang menerima surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan. |
(3) | Pemeriksaan Bukti Permulaan memiliki tujuan dan kedudukan yang sama dengan penyelidikan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai hukum acara pidana. |
(4) | Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertutup atau secara terbuka. |
(5) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilakukan tanpa pemberitahuan kepada Wajib Pajak. |
(6) | Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak. |
(7) | Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan, Penyidik selaku Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
|
(8) | Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
|
(9) | Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 60
(1) | Penyidik melakukan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam hal terjadi tindak pidana di bidang perpajakan dan diperoleh bukti permulaan. |
(2) | Bukti permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari kegiatan:
|
(3) | Dalam melakukan Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyidik berwenang memanggil saksi atau tersangka untuk diperiksa berdasarkan surat panggilan yang sah. |
(4) | Saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi panggilan berdasarkan surat panggilan yang sah. |
(5) | Pemanggilan saksi atau tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai hukum acara pidana. |
Pasal 61
(1) | Penetapan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan dapat dilakukan tanpa didahului pemeriksaan sebagai saksi apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. |
(2) | Penetapan sebagai tersangka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada 2 (dua) alat bukti yang sah. |
(3) | Pemeriksaan tersangka tindak pidana di bidang perpajakan tidak dilakukan apabila yang bersangkutan telah dipanggil 2 (dua) kali secara sah dan tidak hadir tanpa memberikan alasan yang patut dan wajar. |
(4) | Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban sebagai tersangka tidak dapat dilakukan oleh kuasa atau penasihat hukum. |
(5) | Dalam hal tersangka tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penyidik melakukan tindakan berupa:
|
(6) | Dalam hal hasil Penyidikan dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum, penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari Penyidik kepada penuntut umum dapat dilakukan tanpa kehadiran tersangka apabila:
|
(7) | Dalam melaksanakan kewenangan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain, berupa:
|
(8) | Aparat penegak hukum lain sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus memberikan bantuan sesuai dengan permintaan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 62
(1) | Dalam pelaksanaan Penyidikan, Menteri berwenang menerbitkan keputusan pencegahan. |
(2) | Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keputusan pencegahan, perpanjangan masa pencegahan, dan pencabutan pencegahan. |
(3) | Menteri dapat melimpahkan kewenangan penerbitan keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dan atas nama Menteri. |
Pasal 63
(1) | Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri, Jaksa Agung dapat menghentikan Penyidikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. |
(2) | Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
|
(3) | Penerapan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sebagai berikut:
|
(4) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemulihan kerugian pada pendapatan negara. |
(5) | Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(6) | Dalam mengajukan permintaan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melimpahkan kewenangan permintaan penghentian Penyidikan kepada pejabat yang ditunjuk. |
(7) | Berdasarkan permintaan penghentian Penyidikan dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung dapat melimpahkan kewenangan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat yang ditunjuk. |
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, dan Pasal 62 diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 65
(1) | Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3). |
(2) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi pertimbangan:
|
(3) | Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah menerima informasi kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) dari Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Kerugian pada pendapatan negara dan/atau jumlah pajak beserta sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan Pasal 44B ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
(5) | Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap Penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dan ayat (3) , atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda. |
(6) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) diperhitungkan sebagai pembayaran kerugian pada pendapatan negara atau pidana denda dalam hal terdakwa terlebih dahulu:
|
BAB XI
PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN SECARA ELEKTRONIK
Pasal 66
(1) | Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara elektronik dan menggunakan tanda tangan elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(2) | Tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanda tangan elektronik tersertifikasi dan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi. |
(3) | Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan tanda tangan elektronik yang tersertifikasi, Wajib Pajak diberikan sertifikat elektronik yang diterbitkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(4) | Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditunjuk oleh Menteri dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia yang sudah diakui oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
(5) | Menteri dapat melakukan kerja sama dengan instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik dan penggunaan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 67
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan keputusan dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan dalam bentuk elektronik. |
(2) | Dalam hal penerbitan keputusan diproses melalui sistem Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak serta seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem dapat menerbitkan keputusan sebagai keputusan Direktorat Jenderal Pajak atau pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang dalam bentuk elektronik. |
(3) | Keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan tanda tangan elektronik tersertifikasi dan/atau segel elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan berkekuatan hukum sama dengan keputusan yang tertulis. |
(4) | Tanggal dikirim atau tanggal diterima terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan secara elektronik merupakan tanggal pengiriman secara elektronik dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak. |
(5) | Tanggal pengiriman atau tanggal penerimaan yang dilakukan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(6) | Ketentuan mengenai tata cara penerbitan dan pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. |
BAB XII
INTEGRASI BASIS DATA KEPENDUDUKAN DENGAN
BASIS DATA PERPAJAKAN
Pasal 68
(1) | Orang pribadi yang merupakan Penduduk serta telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagai Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak menggunakan Nomor Induk Kependudukan. |
(2) | Nomor Induk Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Data Kependudukan yang diadministrasikan pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna pada basis Data Kependudukan kepada Menteri untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan. |
(4) | Pemberian Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa pemberian hak akses Data Kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pemberian Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(6) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri melalui Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil memberikan hak akses Data Kependudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Menteri mendelegasikan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menerima dan meminta Data Kependudukan dan Data Balikan dari Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
BAB XIII
PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PAJAK KARBON
Pasal 69
(1) | Orang pribadi atau badan yang memenuhi persyaratan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan persyaratan subjektif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, atau pemungut Pajak Karbon termasuk dalam pengertian Wajib Pajak. | ||||
(2) | Pajak Karbon dilunasi dengan cara:
|
||||
(3) | Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon. | ||||
(4) | Wajib Pajak pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Karbon. | ||||
(5) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib mengisi Surat Pemberitahuan sesuai ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. | ||||
(6) | Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah:
|
||||
(7) | Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dikenai sanksi administratif dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(8) | Wajib Pajak yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan kriteria tertentu, dikecualikan dari kewajiban melaporkan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penunjukan pemungut Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Menteri. |
Pasal 70
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) dan ayat (4), wajib menyelenggarakan pencatatan atas aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dan/atau penjualan barang yang mengandung karbon, yang digunakan sebagai dasar untuk menghitung besarnya Pajak Karbon yang terutang. |
(2) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari catatan, dokumen, dan/atau data. |
(3) | Catatan, dokumen, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dikelola atau disimpan sesuai ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) atau ayat (2). |
(4) | Apabila Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Wajib Pajak dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. |
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 71
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
1. | terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku ketentuan dalam hal penghitungan sanksi administratifnya dimulai:
|
||||||
2. | terhadap Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan sejak tanggal 29 Oktober 2021 yang memuat sanksi administratif berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c dan huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pengenaan sanksi administratifnya sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||||
3. | terhadap jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar yang timbul sejak tanggal 29 Oktober 2021 sebagai akibat tidak dilunasinya jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam surat keputusan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; | ||||||
4. | terhadap:
|
||||||
5. | terhadap permintaan penghentian Penyidikan yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang permintaan informasi kerugian pada pendapatan negaranya disampaikan sebelum tanggal 29 Oktober 2021 dan belum diterbitkan keputusan penghentian Penyidikan oleh Jaksa Agung:
|
||||||
6. | Prosedur Persetujuan Bersama yang dilaksanakan sampai dengan tanggal 31 Desember 2022, ditindaklanjuti sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan; | ||||||
7. | Keputusan yang diterbitkan dalam bentuk elektronik tanpa diberikan segel elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sebelum tersedia segel elektronik tersertifikasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak tetap berlaku dan diakui keabsahannya, sepanjang dapat dibuktikan bersumber dari sistem elektronik perpajakan; dan | ||||||
8. | Penunjukan kuasa Wajib Pajak yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan masih tetap berlaku sampai dengan diberlakukannya peraturan pelaksanaan berdasarkan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. |
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 72
Ketentuan penerbitan keputusan dalam bentuk elektronik yang diberikan tanda tangan elektronik tersertifikasi dan/atau segel elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 harus sudah diterapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku.
Pasal 73
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan Peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 74
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, terhadap:
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268); dan |
b. | Pasal 6 dan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621), |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 75
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2022 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Desember 2022
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 226
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 50 TAHUN 2022
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN
KEWAJIBAN PERPAJAKAN
I. |
UMUM Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang tersebut, perlu dilakukan penyelarasan terhadap ketentuan di bidang perpajakan yang terdampak termasuk ketentuan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Penyelarasan ketentuan tersebut dilakukan dengan melakukan penggantian terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk lebih memberikan kepastian hukum, kemudahan, kejelasan bagi masyarakat dalam memahami ketentuan mengenai perpajakan serta guna mendukung simplifikasi regulasi. Kemudahan administrasi perpajakan tersebut antara lain pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, pengintegrasian basis data kependudukan dengan basis data perpajakan, dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban Pajak Karbon. Pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini secara umum bertujuan untuk memberikan kepercayaan dan tanggung jawab yang lebih besar kepada Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya dan Pemerintah, dalam hal ini aparat perpajakan, dalam memberikan pelayanan, penyuluhan, pembinaan, dan melakukan pengawasan serta penegakan hukum perpajakan sesuai dinamika kebutuhan masyarakat dan perkembangan hukum. Oleh karena itu, dengan mendasarkan pada pertimbangan di atas dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "persyaratan subjektif" adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak.
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Penduduk yang telah memiliki Nomor Induk Kependudukan tidak serta merta terdaftar sebagai Wajib Pajak sebelum melakukan aktivasi Nomor Induk Kependudukan. Ayat (4) Contoh: Ayat (5) Contoh: Ayat (6) Pada prinsipnya sistem administrasi perpajakan di Indonesia menempatkan keluarga sebagai satu kesatuan ekonomis, sehingga dalam satu keluarga hanya terdapat satu Nomor Pokok Wajib Pajak. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh 1: Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 5 Cukup jelas. Pasal 6 Ayat (1) Contoh:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 11 Oktober 2023 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menyatakan rugi fiskal menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah. Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak tersebut, apabila terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 belum dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 sehingga penghitungan Penghasilan Kena Pajak Tahun Pajak 2022 menjadi sebagai berikut:
Demikian halnya apabila hasil Pemeriksaan Tahun Pajak 2021 rugi fiskal untuk Surat Ketetapan Pajak misalnya menjadi sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), Wajib Pajak juga membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 dengan cara yang sama. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Contoh 1:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2021 dilakukan Pemeriksaan dan pada tanggal 12 Oktober 2023 diterbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan rugi fiskal sebesar Rp175.000.000,00 (seratus tujuh puluh lima juta rupiah). Contoh 2:
Terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak 2022 telah dilakukan Pemeriksaan dan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak. Atas surat ketetapan pajak tersebut telah diajukan upaya hukum dan telah diterbitkan putusan oleh pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dengan kompensasi kerugian dari Tahun Pajak 2021 tetap sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) karena sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali terbit, atas Tahun Pajak 2021 belum terbit Surat Ketetapan Pajak. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 7 Ayat (1) Terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan tindakan penegakan hukum, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk secara sukarela mengungkapkan sendiri ketidakbenaran perbuatannya. Dalam hal Wajib Pajak melakukan perbuatan, yaitu:
yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, Direktur Jenderal Pajak benvenang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebelum melakukan Penyidikan. Meskipun Wajib Pajak telah melakukan perbuatan sebagaimana tersebut di atas dan terhadap Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Pemeriksaan Bukti Permulaan telah ditindaklanjuti untuk dilakukan Penyidikan, Wajib Pajak tetap memiliki kesempatan untuk mengungkapkan sendiri kesalahannya dan terhadap Wajib Pajak tidak akan dilakukan Penyidikan, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan "mulai dilakukan Penyidikan" adalah saat surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan diberitahukan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan demikian, dalam hal pemberitahuan dimulainya Penyidikan telah dilakukan, kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sudah tertutup bagi Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 8 Cukup jelas. Pasal 9 Ayat (1) Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "sarana administrasi lain" antara lain bukti pembayaran secara elektronik atau bukti pembayaran melalui anjungan tunai mandiri.
Cukup jelas. Pasal 10 Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UndangUndang Pajak Penghasilan dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Cukup jelas. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "tindak pidana di bidang perpajakan" adalah perbuatan yang diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Meterai, Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 18 Ayat (1) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dianggap telah dilaksanakan apabila temuan Pemeriksaan telah dibahas sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara Pemeriksaan.
Ayat (2) Untuk memberikan pedoman dalam membatalkan Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan, perlu ditegaskan bahwa pembatalan tersebut tidak membatalkan seluruh kegiatan Pemeriksaan yang pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, agar Surat Ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan merupakan suatu produk hukum yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktur Jenderal Pajak melanjutkan Pemeriksaan yang telah dibatalkan dengan melaksanakan prosedur Pemeriksaan yang belum dilakukan berupa:
Ayat (3) Contoh: Pasal 19 Ayat (1) Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
Jumlah pajak yang terrrtang yang telah dipotong, dipungut, atau pun yang harus dibayar oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, oleh Wajib Pajak harus disetorkan ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu Surat Ketetapan Pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ketentuan ini rnengatur bahwa kepada Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
Apabila berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pasal 20 Penghitungan jangka waktu 5 (lima) tahun dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Dalam hal ini, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dengan penghitungan sebagai berikut:
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 ayat (3a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam hal terdapat penerapan sanksi administratif berrrpa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil Pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diterapkan satu jenis sanksi administratif yang tertinggi nilai besaran sanksinya, sehingga jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah sebagai berikut:
Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Contoh 1:
Ayat (2) Contoh: Ayat (3) Contoh penghitungan jangka waktu 5 (lima) tahun:
Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Ayat (1) Sebagai contoh kondisi yang dapat menyebabkan Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu adalah apabila terhadap Wajib Pajak dilakukan Penyidikan. Pemeriksaan Bukti Permulaan merupakan proses yang tidak terpisahkan dari Penyidikan. Oleh karena itu, walaupun Penyidikan belum dilakukan, tetapi Direktur Jenderal Pajak telah melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan maka untuk mencegah agar tidak terjadi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak dikembalikan maka Direktur Jenderal Pajak mencabut penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang telah diterbitkan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 31 Ayat (1) Contoh Penghitungan jangka waktu 3 (tiga) bulan dalam ketentuan ini adalah sebagai berikut:
Apabila terjadi suatu keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak maka pengajuan keberatan dapat dilakukan setelah jangka waktu 3 (tiga) bulan. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan pengajuan keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 32 Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "sanksi administratif" adalah sanksi yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak maupun dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari penerbitan Surat Ketetapan Pajak. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "surat pemberitahuan untuk hadir" adalah surat yang disampaikan kepada Wajib Pajak yang berisi mengenai pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri pertemuan dengan pegawai pajak dalam waktu yang telah ditetapkan guna memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai hasil penelitian keberatan. Ayat (4) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 33 Cukup jelas. Pasal 34 Ayat (1) Untuk memberikan penjelasan lebih lanjut diberikan contoh sebagai berikut:
Dalam hal Surat Keputusan Keberatan menolak pengajuan keberatan Wajib Pajak maka dasar pengenaan untuk penghitungan sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) adalah jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Keputusan Keberatan dikurangi jumlah pajak yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan. Dalam hal ini, dasar untuk menghitung sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) adalah sebesar Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah), yaitu sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) (jumlah pajak dalam Surat Keputusan Keberatan) dikurangi dengan Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (jumlah yang telah dibayar sebelum pengajuan keberatan). Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Untuk memberikan kepastian hukum tentang penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar akibat keputusan keberatan, dalam ayat ini dijelaskan bahwa penambahan jumlah pajak yang masih harus dibayar juga dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) seperti halnya jumlah pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
Cukup jelas.
Pada prinsipnya jatuh tempo pembayaran pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan, apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut. Namun demikian, apabila Wajib Pajak dianggap tidak mengajukan keberatan sebagai akibat pengajuan keberatannya tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak karena tidak memenuhi persyaratan formal sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (3a), dan Pasal 32 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan maka jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Ketetapan Pajak menjadi utang pajak. Pasal 35 Ayat (1) Untuk memperjelas ketentuan ini diberikan contoh sebagai berikut. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 36 Ayat (1) Contoh 1: Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 37 Ayat (1) Cukup jelas.
Pada prinsipnya kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dimaksudkan untuk menjalankan tugas pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanga.n. Dalam melaksanakan tugas menghitung dan menetapkan pajak, baik dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, atau surat keputusan yang berkaitan dengan perpajakan dapat terjadi adanya kesalahan atau kekeliruan yang bersifat manusiawi.
Atas Surat Ketetapan Pajak Tahun Pajak 2023 diterbitkan Putusan Banding yang mengabulkan sebagian dari lebih bayar sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) menjadi sebesar Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) sedangkan rugi sebesar Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Kerugian yang dapat dikompensasikan dalam penghitungan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak 2024 menjadi sebesar Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Direktur Jenderal Pajak ber-wenang membetulkan Surat Ketetapan Pajak untuk Tahun Pajak 2024 yang diakibatkan karena perbedaan kompensasi kerugian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dari rugi sebesar Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) menjadi laba sebesar Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). (Rugi sebesar Rp20.000.000,00 dikurangi dengan pengurangan kompensasi kerugian sebesar Rp50.000.000,00). Dengan demikian Surat Ketetapan Pajak Nihil Tahun Pajak 2024 yang pernah diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak harus dibetulkan secara jabatan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kekeliruan pengkreditan Pajak Masukan Pajak Pertambahan Nilai" merupakan kekeliruan yang sifatnya manusiawi dan tidak mengandung sengketa antara fiskus dan Wajib Pajak.
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 38 Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "tidak dapat ditemukan lagl karena keadaan di luar kekuasaannya" antara lain disebabkan karena bencana alam.
Ayat (2) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 41 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Contoh: Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Banding" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Banding dari Pengadilan Pajak agar Putusan Banding tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan.
Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Peninjauan Kembali" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Peninjauan Kembali dari Mahkamah Agung agar Putusan Peninjauan Kembali tersebut dapat dicatat ke dalam sistem administrasi perpajakan. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "surat pelaksanaan Putusan Gugatan" adalah surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Putusan Gugatan dari Pengadilan Pajak. Pasal 44Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Contoh 1: Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "tanggal diterbitkannya Putusan Banding" adalah tanggal Putusan Banding diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 45 Ayat (1) Dalam pengertian jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah termasuk jumlah sanksi administratif berupa bunga, denda, atau kenaikan. Ayat (2) Contoh pajak yang seharusnya tidak dikembalikan
Cukup jelas. Pasal 46Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kompetensi tertentu" antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertilikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.
Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pejabat" meliputi petugas pajak dan mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan. Yang dimaksud dengan "tenaga ahli" adalah para ahli, antara lain ahli bahasa, akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Yang dimaksud dengan "pihak tertentu yang ditunjuk" adalah pihak-pihak yang membutuhkan data perpajakan untuk kepentingan negara misalnya dalam rangka Penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain. Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Pemberian data dan informasi perpajakan oleh pejabat atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak kepada para pihak dalam rangka pelaksanaan tugas di bidang perpajakan misalnya Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, penagihan pajak, gugatan, banding, Penyidikan dan proses penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, dan dalam sidang tindak pidana di bidang perpajakan di pengadilan, tidak memerlukan izin tertulis dari Menteri.
Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas. Pasal 57 Ayat (1) Penyesuaian pengajuan keberatan dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap pengajuan keberatan.
Pencabutan perrnohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak dilakukan jika Persetujuan Bersama memuat kesepakatan untuk sebagian atau keseluruhan materi sengketa yang diajukan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak. Ayat (3) Penyesuaian permohonan banding dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap permohonan banding melalui penyampaian surat bantahan atau penjelasan tertulis kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Penyesuaian permohonan peninjauan kembali dilakukan jika terdapat materi sengketa lain di luar kesepakatan dalam Persetujuan Bersama, sehingga perlu dilakukan penyesuaian terhadap permohonan peninjauan kembali melalui penyampaian adendum permohonan peninjauan kembali kepada panitera yang menangani perkara tata usaha negara di Mahkamah Agung.
Contoh:
Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 59 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" yaitu pihak lain yang mempunyai hubungan dengan tindakan, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan seperti bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, atau pemasok. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "red notice" adalah permintaan kepada penegak hukum di seluruh dunia untuk menemukan dan menangkap sementara seseorang yang akan diekstradisi, diserahkan, atau dilakukan tindakan hukum serupa.
Cukup jelas. Ayat (7) Yang dimaksud dengan "aparat penegak hukum lain" antara lain aparat penegak hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Kejaksaan Republik Indonesia. Huruf a Yang dimaksud dengan "bantuan teknis" yaitu bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain berupa pemeriksaan laboratorium forensik, pemeriksaan identifikasi, dan/atau pemeriksaan psikologi. Huruf b Yang dimaksud dengan "bantuan taktis" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan tenaga Penyidik, pengamanan, dan/atau peralatan. Huruf c Yang dimaksud dengan "bantuan upaya paksa" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia antara lain berupa bantuan penangkapan, dan/atau penahanan. Huruf d Yang dimaksud dengan "bantuan konsultasi" adalah bantuan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Kejaksaan Republik Indonesia yang antara lain berupa bantuan konsultasi Penyidikan, termasuk konsultasi dan gelar perkara dalam penyelesaian dan penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 62 Ayat (1) Pencegahan dalam melaksanakan Penyidikan dilakukan antara lain terhadap tersangka dan/atau saksi yang berpotensi menjadi tersangka.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 63 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Contoh: Huruf b Contoh: Ayat (4) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak lain selain instansi pemerintah, lembaga, dan asosiasi yang dapat memfasilitasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan melalui sistem administrasi yang diselenggarakan oleh pihak lain namun terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Ayat (1) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "kriteria tertentu" antara lain batasan kapasitas pembangkit listrik. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 73 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6834