TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2018
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. |
(2) | Tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar 0,5% (nol koma lima persen). |
(3) | Tidak termasuk penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
|
(4) | Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi:
|
Pasal 3
(1) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan:
|
(2) | Tidak termasuk Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(4) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), untuk Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 4
(1) | Besarnya peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan keseluruhan peredaran bruto dari usaha, termasuk peredaran bruto dari cabang. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami-isteri yang:
|
Pasal 5
(1) | Jangka waktu tertentu pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yaitu paling lama:
|
(2) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhitung sejak:
|
Pasal 6
(1) | Jumlah peredaran bruto atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) setiap bulan merupakan dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
(2) | Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis. |
(3) | Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 7
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang peredaran brutonya pada Tahun Pajak berjalan telah melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), atas penghasilan dari usaha tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir Tahun Pajak bersangkutan. |
(2) | Atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh pada Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
Pasal 8
(1) | Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilunasi dengan cara:
|
(2) | Penyetoran sendiri Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilakukan setiap bulan. |
(3) | Pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib dilakukan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak untuk setiap transaksi dengan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 9
(1) | Dalam hal Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini bertransaksi dengan Pemotong atau Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b, Wajib Pajak harus mengajukan permohonan surat keterangan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan bahwa Wajib Pajak bersangkutan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. |
Pasal 10
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, bagi Wajib Pajak yang sejak awal Tahun Pajak 2018 sampai dengan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku memenuhi syarat untuk menjalankan kewajiban perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu, namun tidak memenuhi ketentuan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Pasal 11
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5424), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 8 Juni 2018 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juni 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 89
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2018
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA
ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI
PEREDARAN BRUTO TERTENTU
I. |
UMUM Dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Undang-Undang Pajak Penghasilan), telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013), yang mengatur pengenaan Pajak Penghasilan final bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto usaha sampai jumlah tertentu. Dengan memperhatikan hasil evaluasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013, untuk memberikan kemudahan dan kesederhanaan kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan jangka waktu tertentu. Pemberlakuan jangka waktu tertentu dimaksudkan sebagai masa pembelajaran bagi Wajib Pajak untuk dapat menyelenggarakan pembukuan sebelum dikenai Pajak Penghasilan dengan rezim umum. Lebih lanjut, untuk mendorong masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan ekonomi formal, Peraturan Pemerintah ini mengatur ketentuan mengenai penyesuaian tarif Pajak Penghasilan final. Untuk lebih memberikan keadilan kepada Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang telah mampu melakukan pembukuan, dalam Peraturan Pemerintah ini Wajib Pajak dapat memilih untuk dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (2a), atau Pasal 31E Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk menyempurnakan ketentuan Pajak Penghasilan final atas penghasilan dari Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, maka dipandang perlu untuk mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dengan Peraturan Pemerintah ini. |
||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Contoh: Ayat (1) Persekutuan komanditer disebut dengan istilah asing commanditaire vennootschap. Ayat (2) Huruf a
Wajib Pajak yang berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dikenai Pajak Penghasilan final, dapat memilih untuk tidak dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Selanjutnya Wajib Pajak tersebut dikenai Pajak Penghasilan atas penghasilan kena pajak nya berdasarkan tarif:
Huruf b Contoh: Cukup jelas. Huruf dCukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (1) Contoh 1: Ayat (2) Contoh:
Contoh 1: Cukup jelas. Pasal 7Contoh: Contoh:
Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10Contoh:
Cukup jelas. Pasal 12Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6214