TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final. |
(2) | Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(3) | Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
|
(4) | Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
|
Pasal 3
(1) | Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1% (satu persen). |
(2) | Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(3) | Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu Tahun Pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir Tahun Pajak yang bersangkutan. |
(4) | Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
Pasal 4
(1) | Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. |
(2) | Pajak Penghasilan terutang dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 5
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 6
Atas penghasilan selain dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pasal 7
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya.
Pasal 8
Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Pasal 10
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
Pasal 11
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2013
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal13 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 106
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2013
TENTANG
PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI USAHA
YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH WAJIB PAJAK
YANG MEMILIKI PEREDARAN BRUTO TERTENTU
I. |
UMUM
|
||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, selain peredaran bruto dari usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan di bidang perpajakan.
Misalnya, Jika tahun buku Wajib Pajak dimulai pada tanggal 1 Juli 2013 dan berakhir pada tanggal 30 Juni 2014 maka tahun buku tersebut berarti Tahun Pajak 2013 karena memenuhi 6 (enam) bulan pertama dari tahun 2013. Contoh penentuan peredaran bruto: Rajesh merupakan pedagang tekstil yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa pasar di wilayah yang berbeda. Berdasarkan pencatatan yang dilakukan diketahui rincian peredaran usaha di tahun 2013 adalah sebagai berikut:
Dengan demikian peredaran bruto usaha perdagangan tekstil Rajesh sebagai dasar pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar Rp730.000.000,00 (Rp80.000.000,00 + Rp250.000.000,00 + Rp400.000.000,00). Ayat (3) Wajib Pajak orang pribadi yang tergolong dalam ketentuan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa melalui suatu tempat usaha yang dapat dibongkar pasang, termasuk yang menggunakan gerobak, dan menggunakan tempat untuk kepentingan umum yang menurut peraturan perundang-undangan bahwa tempat tersebut tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan, misalnya pedagang makanan keliling, pedagang asongan, warung tenda di trotoar, dan sejenisnya. Terhadap Wajib Pajak tersebut atas penghasilannya tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini. Ayat (4)Cukup jelas. Pasal 3 Ayat (1) Contoh penentuan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final: Cukup jelas. Ayat (3) Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), maka atas penghasilan dari usaha yang diterima oleh CV Andik sampai dengan bulan Desember 2014 (akhir Tahun Pajak 2014) tetap dikenai tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 1% (satu persen). Ayat (4)Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan ayat (3), pada bulan Januari sampai dengan Desember 2014 memperoleh peredaran bruto sebesar Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah), maka penghasilan yang diperoleh CV Andik pada tahun 2015 (tahun berikutnya), dikenai Pajak Penghasilan sesuai ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Jika CV Andik, sebagaimana contoh pada penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2), pada bulan Agustus 2014 memperoleh penghasilan dari usaha penjualan gerabah sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), maka Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang untuk bulan Agustus 2014 dihitung sebagai berikut: Pasal 5 Atas penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, misalnya penghasilan dari usaha jasa konstruksi yang pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah, meskipun peredaran bruto usaha Wajib Pajak yang bersangkutan dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), tidak dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah ini tetapi mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur mengenai pengenaan pajak atas penghasilan tersebut. Pasal 6Cukup jelas. Pasal 7Cukup jelas. Pasal 8Contoh perlakuan kompensasi kerugian: Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Contoh penentuan peredaran bruto sebagai dasar dikenainya Pajak Penghasilan dengan Peraturan Pemerintah ini, dalam hal:
Pasal 11 Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5424