TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 163, Pasal 166, Pasal 168, dan Pasal 180 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional;
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Harmonisasi kebijakan fiskal nasional dalam rangka penyelarasan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi penyelenggaraan:
BAB II
SINERGI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) | Sinergi kebijakan fiskal nasional dilakukan melalui:
|
||||||||
(2) | Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan:
|
Bagian Kedua
Penyelarasan Kebijakan Fiskal Pusat dan Daerah
Pasal 4
Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dilakukan dalam tahap:
a. | perencanaan dan penganggaran; dan |
b. | pelaksanaan. |
Paragraf 1
Perencanaan dan Penganggaran
Pasal 5
(1) | Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional bersama-sama menyampaikan rancangan KEM PPKF, ketersediaan anggaran, rancangan awal RKP, dan rancangan pagu indikatif pada bulan Maret kepada Presiden melalui menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian bidang perekonomian. |
(2) | Rancangan awal RKP dan rancangan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disetujui oleh Presiden, disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan Menteri kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah. |
(3) | Berdasarkan rancangan awal RKP dan rancangan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta pedoman umum penyusunan RKPD, Pemerintah Daerah menyusun RKPD, usulan target kinerja makro Daerah, dan target kinerja program Daerah termasuk pemenuhan target Belanja Wajib. |
(4) | Pemerintah Daerah menyampaikan usulan target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Menteri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(5) | Berdasarkan rancangan awal RKP, rancangan KEM PPKF, usulan target kinerja makro Daerah, dan usulan target kinerja program Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam rangka menyinergikan program pembangunan, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melibatkan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri untuk melaksanakan rapat koordinasi bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya. |
Pasal 6
(1) | Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional secara bersama-sama menyampaikan pemutakhiran KEM PPKF, ketersediaan anggaran, rancangan akhir RKP, dan rancangan pagu anggaran kementerian/lembaga pada bulan Juni kepada Presiden melalui menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian bidang perekonomian. |
(2) | Rancangan akhir RKP dan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan Menteri kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya. |
(3) | Pemerintah Daerah menetapkan RKPD berpedoman pada RKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Rancangan akhir RKP dan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar dalam perumusan pedoman penyusunan APBD. |
(5) | Pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 7
(1) | Pemerintah Daerah menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD dengan mengacu pada pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5). | ||||
(2) | Penyusunan Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan minimal sesuai target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah yang telah diselaraskan dengan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1). | ||||
(3) | Kepala Daerah menyampaikan rancangan KUA dan rancangan PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan Juli. | ||||
(4) | Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan oleh:
|
||||
(5) | Rancangan KUA dan rancangan PPAS provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan penilaian kesesuaian dengan KEM PPKF oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. | ||||
(6) | Rancangan KUA dan rancangan PPAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan penilaian kesesuaian dengan KEM PPKF oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. | ||||
(7) | Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan oleh:
|
||||
(8) | Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Kepala Daerah dan DPRD melakukan penyempurnaan rancangan KUA dan rancangan PPAS yang sedang dibahas bersama antara Kepala Daerah dan DPRD untuk mendapat kesepakatan bersama paling lambat minggu kedua bulan Agustus. | ||||
(9) | Dalam hal rancangan KUA dan rancangan PPAS telah mendapatkan kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD sebelum hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan, hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah. | ||||
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian kesesuaian rancangan KUA dan rancangan PPAS dengan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 8
(1) | Pemerintah memastikan tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang telah ditetapkan dalam RKPD, KUA, dan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (8) atau Pasal 7 ayat (9). | ||||||||
(2) | Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besaran penggunaannya telah ditentukan meliputi:
|
||||||||
(3) | Dalam rangka memastikan tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyusun BAS dan/atau melakukan penandaan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Belanja Wajib untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyusunan BAS dan pelaksanaan penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. | ||||||||
(5) | Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan Belanja Wajib infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan. | ||||||||
(6) | Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan mempertimbangkan minimal:
|
||||||||
(7) | Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib infrastruktur dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan mempertimbangkan minimal:
|
||||||||
(8) | Pemastian tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan evaluasi Rancangan Perda tentang APBD yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Keuangan Daerah. |
Paragraf 2
Pelaksanaan
Pasal 9
(1) | Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dalam tahap pelaksanaan dilakukan dalam hal terdapat arahan Presiden atau kesepakatan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat. | ||||||
(2) | Dalam hal terdapat arahan Presiden atau kesepakatan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, Menteri, dan/atau menteri/pimpinan lembaga teknis terkait melakukan koordinasi guna menyusun kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||||
(3) | Berdasarkan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah menindaklanjuti paling sedikit melalui:
|
||||||
(4) | Tindak lanjut kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Penetapan Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD dan
Pembiayaan Utang Daerah
Pasal 10
(1) | Anggaran Pendapatan Daerah yang lebih kecil dari anggaran Belanja Daerah yang mengakibatkan defisit APBD, ditutup dari Pembiayaan neto. |
(2) | Pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara penerimaan Pembiayaan dengan pengeluaran Pembiayaan. |
(3) | Penerimaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa Pembiayaan Utang Daerah. |
Pasal 11
(1) | Jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan. |
(2) | Defisit APBD yang diperhitungkan dalam jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan defisit APBD yang dibiayai dari Pembiayaan Utang Daerah. |
(3) | Penetapan batas maksimal kumulatif defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan perkiraan defisit APBN. |
(4) | Batas maksimal kumulatif defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mencakup batas maksimal defisit APBD setiap Daerah. |
(5) | Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pembiayaan Utang Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan. |
(6) | Batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD setiap Daerah, dan jumlah kumulatif Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) untuk tahun anggaran berikutnya paling lambat bulan Agustus tahun anggaran berjalan dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 12
(1) | Dalam rangka penyusunan APBD, Pemerintah Daerah melaporkan rencana defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, paling lambat bulan September tahun anggaran berjalan. |
(2) | Dalam rangka penyusunan perubahan APBD, Pemerintah Daerah melaporkan rencana defisit perubahan APBD kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, paling lambat bulan Agustus tahun anggaran berkenaan. |
(3) | Dalam hal rencana defisit APBD yang dibiayai dari Pembiayaan Utang Daerah melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan Menteri, Kepala Daerah mengajukan permohonan pelampauan batas maksimal defisit APBD kepada Menteri. |
(4) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat memberikan persetujuan atas pelampauan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah dengan ketentuan tidak melebihi batas maksimal kumulatif defisit APBD. |
(5) | Persetujuan atas pelampauan batas maksimal defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap dan benar. |
(6) | Surat persetujuan pelampauan batas maksimal defisit APBD merupakan bagian dari dokumen evaluasi rancangan Perda tentang APBD. |
Pasal 13
(1) | Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan pengendalian atas defisit APBD provinsi berdasarkan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah yang ditetapkan oleh Menteri. |
(2) | Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pengendalian atas defisit APBD kabupaten/kota berdasarkan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah yang ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Pengendalian atas defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada saat evaluasi terhadap rancangan Perda tentang APBD. |
Pasal 14
Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi realisasi defisit APBD yang dibiayai dengan Pembiayaan Utang Daerah untuk tahun anggaran berkenaan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setiap semester.
Bagian Keempat
Pengendalian Dalam Kondisi Darurat
Pasal 15
(1) | Dalam kondisi darurat, Pemerintah melakukan pengendalian dengan:
|
||||||||
(2) | Pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sepanjang diatur dalam undang-undang mengenai APBN. | ||||||||
(3) | Dalam kondisi darurat, Pemerintah Daerah wajib menjalankan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d. |
Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian dalam kondisi darurat diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
Bagian Kelima
Sinergi BAS
Pasal 17
(1) | Sinergi BAS pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan minimal melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah dalam kerangka Keuangan Negara dan sinergi kebijakan fiskal nasional. |
(2) | Sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
|
(3) | Penyelarasan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah. |
(4) | Penyelarasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah. |
(5) | Penyelarasan keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan rincian keluaran dan klasifikasi rincian keluaran yang diselenggarakan oleh Pemerintah. |
Pasal 18
(1) | BAS pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan kodefikasi akun yang menggambarkan struktur APBD dan laporan keuangan secara lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Keuangan Daerah. |
(2) | Kodefikasi sinergi BAS digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah dan pelaporan penggunaan TKD secara digital ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Kodefikasi sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dimutakhirkan secara berkala untuk mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional. |
(4) | Pemutakhiran kodefikasi sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi salah satu dasar pemutakhiran BAS pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan secara berkala. |
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi BAS diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
Bagian Keenam
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional
Paragraf 1
Umum
Pasal 20
Penyelenggaraan platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional memenuhi prinsip interoperabilitas, akuntabilitas, keamanan, akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal 21
Platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional meliputi:
a. | penyelenggaraan platform digital; |
b. | data dan informasi digital; |
c. | digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah; |
d. | konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah; dan |
e. | penyajian Informasi Keuangan Daerah. |
Paragraf 2
Penyelenggaraan Platform Digital
Pasal 22
(1) | Pemerintah membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital. |
(2) | Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional. |
(3) | Sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk SIKD secara nasional dan digitalisasi hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang diselenggarakan oleh Menteri. |
Pasal 23
(1) | Menteri menyelenggarakan SIKD secara nasional. |
(2) | Penyelenggaraan SIKD secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
|
Pasal 24
(1) | Pemerintah Daerah menyelenggarakan sistem informasi terintegrasi melalui platform digital untuk menghasilkan data dan informasi digital. |
(2) | Sistem informasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan SIKD dalam rangka mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional. |
Paragraf 3
Data dan Informasi Digital
Pasal 25
(1) | Pemerintah Daerah wajib menyediakan data dan/atau informasi digital. |
(2) | Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Pasal 26
(1) | Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a minimal memuat informasi:
|
(2) | Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Kapasitas Fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 27
(1) | Pemerintah Daerah menyampaikan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(2) | Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselaraskan dengan BAS untuk Pemerintah Daerah. |
(3) | Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibagipakaikan dengan sistem informasi lain. |
Paragraf 4
Digitalisasi Pengelolaan Hubungan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
Pasal 28
(1) | Menteri menyelenggarakan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional. |
(2) | Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
|
Pasal 29
(1) | Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan dengan menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital. |
(2) | Dalam rangka menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara dapat melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga dan Daerah serta pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Paragraf 5
Konsolidasi Informasi Keuangan Pemerintah Daerah
Pasal 30
(1) | Menteri menyusun konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional, berdasarkan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. |
(2) | Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal digunakan dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional, penyusunan statistik keuangan pemerintah, dan penyusunan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi. |
Paragraf 6
Penyajian Informasi Keuangan Daerah
Pasal 31
(1) | Menteri menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara nasional dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital. |
(2) | Setiap Pemerintah Daerah menyajikan Informasi Keuangan Daerah dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital. |
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Sanksi dan Insentif
Pasal 33
(1) | Menteri dapat memberikan sanksi berupa:
|
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya terkait sinergi kebijakan fiskal nasional dan penyediaan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 31. |
Pasal 34
(1) | Pemerintah dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah berdasarkan capaian kinerja Pemerintah Daerah. |
(2) | Dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional Pemerintah Daerah provinsi dapat memberikan insentif bagi kabupaten/kota di wilayahnya berdasarkan capaian kinerja Pemerintah Daerah kabupaten/kota di wilayahnya. |
(3) | Dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat memberikan insentif bagi desa/kelurahan di wilayahnya berdasarkan capaian kinerja desa/kelurahan di wilayahnya. |
Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian sanksi dan insentif diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PEMBIAYAAN UTANG DAERAH
Bagian Kesatu
Prinsip Umum
Pasal 36
(1) | Pembiayaan Utang Daerah digunakan untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. |
(2) | Pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prinsip:
|
Pasal 37
Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas:
a. | Pinjaman Daerah; |
b. | Obligasi Daerah; dan |
c. | Sukuk Daerah. |
Pasal 38
(1) | Pemerintah tidak memberikan Jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah. |
(2) | Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri. |
Pasal 39
(1) | Pemerintah Daerah menetapkan nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah setiap tahunnya. |
(2) | Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD. |
(3) | Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada saat pembahasan APBD. |
(4) | Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan Utang Daerah melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan. |
Pasal 40
(1) | Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus memenuhi persyaratan teknis minimal:
|
||||||
(2) | Persyaratan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
||||||
(3) | Batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan jumlah sisa Pembiayaan Utang Daerah ditambah jumlah Pembiayaan Utang Daerah yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah pendapatan APBD tahun sebelumnya yang tidak ditentukan penggunaannya. | ||||||
(4) | Rasio kemampuan Keuangan Daerah mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling sedikit 2,5 (dua koma lima). | ||||||
(5) | Batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri mengenai batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD dan jumlah kumulatif Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6). | ||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
Pasal 41
(1) | Dalam hal Pembiayaan Utang Daerah yang telah memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, harus mendapat pertimbangan dari Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(2) | Kepala Daerah menyampaikan rencana Pembiayaan Utang Daerah yang melebihi sisa masa jabatan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan, dengan melampirkan dokumen:
|
(3) | Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pembiayaan Utang Daerah berupa Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan/atau Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah. |
(4) | Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah tersedia dalam platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional, Pemerintah Daerah tidak lagi melampirkan dokumen dimaksud. |
(5) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah. |
(6) | Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterbitkannya tanda bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(8) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
|
(9) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
|
(10) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional secara bersama-sama membahas permohonan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat melibatkan kementerian/lembaga terkait. |
(11) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dapat menunjuk pejabat untuk mewakili dalam membahas permohonan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (10). |
(12) | Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dituangkan dalam berita acara dan menjadi dasar dalam pemberian pertimbangan atas permohonan Pembiayaan Utang Daerah. |
(13) | Dalam hal terdapat menteri yang tidak menyampaikan pertimbangan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri dianggap telah menyampaikan pertimbangan sesuai dengan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (12). |
Pasal 42
Untuk Pembiayaan Utang Daerah yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah berupa Pinjaman Daerah yang melalui penerusan pinjaman dari luar negeri, pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dilakukan melalui penyampaian daftar kegiatan pinjaman dari luar negeri.
Bagian Kedua
Pinjaman Daerah
Pasal 43
(1) | Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:
|
(2) | Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah. |
(3) | Kesepakatan pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman. |
(4) | Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan perubahan atas kesepakatan Kepala Daerah dan pemberi pinjaman sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal terjadi keadaan darurat berupa bencana skala nasional atau bencana skala daerah yang menyebabkan pelunasan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi ketentuan dalam perjanjian pinjaman, dapat dilakukan perpanjangan waktu pelunasan melalui perubahan perjanjian pinjaman. |
Pasal 44
(1) | Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka:
|
(2) | Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan tidak dengan persetujuan DPRD. |
(3) | Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan. |
(4) | Pinjaman Daerah dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan. |
(5) | Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan portofolio utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk menjaga komposisi utang yang optimal dan untuk meminimalkan biaya utang yang terkendali. |
(6) | Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 45
(1) | Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a berasal dari APBN. |
(2) | Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Menteri setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. |
(3) | Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penugasan kepada LKB atau LKBB. |
Pasal 46
(1) | Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah. |
(2) | Kepala Daerah menyampaikan rencana Pinjaman Daerah kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan dengan melampirkan dokumen:
|
(3) | Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah. |
(4) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah. |
(5) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan melakukan penilaian terhadap:
|
(6) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
|
(7) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan rencana Pinjaman Daerah. |
(8) | Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional belum diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana Pinjaman Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6). |
(9) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri. |
(10) | Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, mekanisme pemberian pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui mekanisme pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. |
Pasal 47
(1) | Kepala Daerah menyampaikan rencana Pinjaman Daerah kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri serta menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atas Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan, dengan melampirkan dokumen:
|
(2) | Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah. |
(3) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Daerah. |
(4) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
|
(5) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(6) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
|
(7) | Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana Pinjaman Daerah. |
(8) | Dalam hal pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional tidak diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana Pinjaman Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6). |
(9) | Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah. |
(10) | Persetujuan LKB atau LKBB diberikan dengan melakukan penilaian terhadap kelayakan teknis dan keuangan serta memperhatikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9). |
(11) | Persetujuan LKB atau LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan rencana Pinjaman Daerah secara lengkap dan benar. |
(12) | Untuk Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah melalui penugasan kepada LKB atau LKBB yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, mekanisme pemberian pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui mekanisme pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41. |
Pasal 48
(1) | Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Daerah lain, LKB, dan LKBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemberi pinjaman. |
(2) | Kepala Daerah menyampaikan salinan perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari Daerah lain, LKB, dan LKBB kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 49
(1) | Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan/atau penanganan kondisi darurat, Pemerintah dapat memberikan Pinjaman Daerah yang bersumber dari:
|
(2) | Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan dengan suku bunga tertentu yang ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Dalam hal Pinjaman Daerah dalam rangka penanganan kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Kepala Daerah setelah APBD ditetapkan, Pinjaman Daerah tersebut dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan. |
(4) | Menteri dapat menugaskan LKB atau LKBB untuk melaksanakan pemberian Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a. |
(5) | Pemerintah dapat memberikan subsidi bunga kepada Daerah yang memanfaatkan pinjaman bersumber dari LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
(6) | Besaran subsidi bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan kategori Kapasitas Fiskal Daerah dan kemampuan Keuangan Negara. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pinjaman dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan/atau penanganan kondisi darurat dan pemberian subsidi bunga diatur dengan Peraturan Menteri. |
Bagian Ketiga
Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah
Pasal 50
(1) | Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka:
|
(2) | Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pasar modal domestik dan dalam mata uang rupiah. |
(3) | Penerbitan melalui pasar modal domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mekanisme penawaran umum. |
(4) | Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah. |
Pasal 51
(1) | Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(2) | Dalam melaksanakan penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyampaikan rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dengan melampirkan dokumen:
|
(3) | Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah. |
(4) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(5) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. |
(6) | Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, belum diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(7) | Surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri. |
(8) | Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
|
(9) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya tembusan atas surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui. |
Pasal 52
(1) | Dalam hal Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah yang diterbitkan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional. |
(2) | Dalam melaksanakan penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyampaikan rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional, dengan melampirkan dokumen:
|
(3) | Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah. |
(4) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah. |
(5) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(6) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
|
(7) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. |
(8) | Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, tidak diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6). |
(9) | Surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri. |
(10) | Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
|
(11) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya tembusan atas surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (9) atau sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui. |
Pasal 53
(1) | Penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah diatur dengan Perkada. |
(2) | Perkada mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Perkada mengenai penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(4) | Perkada mengenai penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah disampaikan kepada otoritas di bidang pasar modal sebelum efektifnya pernyataan pendaftaran penawaran umum Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 54
(1) | Pemerintah Daerah menyampaikan dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penawaran umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah, setelah mendapatkan surat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (9) atau Pasal 52 ayat (11). |
(2) | Dalam hal dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap Otoritas Jasa Keuangan dapat menerbitkan pernyataan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(3) | Tata cara dan persyaratan dalam pernyataan pendaftaran penawaran umum dan dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
Pasal 55
(1) | Perjanjian penerbitan Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan ditandatangani oleh Kepala Daerah dan wali amanat sebagai wakil pemegang Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah. |
(2) | Perjanjian penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perjanjian perwaliamanatan yang diatur dalam peraturan di bidang pasar modal. |
Pasal 56
(1) | Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang merupakan bagian dari rekening kas umum daerah. |
(2) | Dana hasil penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam rekening pada bank syariah. |
(3) | Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan tujuan penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang telah direncanakan. |
(4) | Dalam hal terdapat sisa dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah setelah seluruh kegiatan terlaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah memindahkan sisa dana dimaksud ke rekening kas umum daerah. |
(5) | Sisa dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat digunakan untuk kegiatan lain yang mendukung pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(6) | Dalam hal dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah tidak mencukupi kebutuhan pendanaan untuk membiayai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menutup kekurangan pendanaan kegiatan dimaksud. |
Pasal 57
(1) | Pemerintah Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang diterbitkan. |
(2) | Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang dibeli kembali diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah tersebut. |
(3) | Tata cara pembelian kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah oleh Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 58
Sukuk Daerah dapat berupa:
a. | Sukuk Daerah ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad ijarah; |
b. | Sukuk Daerah mudharabah, yang diterbitkan berdasarkan Akad mudharabah; |
c. | Sukuk Daerah musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan Akad musyarakah; |
d. | Sukuk Daerah istishna', yang diterbitkan berdasarkan Akad istishna'; |
e. | Sukuk Daerah wakalah, yang diterbitkan berdasarkan Akad wakalah; |
f. | Sukuk Daerah yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan |
g. | Sukuk Daerah yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari 2 (dua) atau lebih Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f. |
Pasal 59
(1) | Pemerintah Daerah dapat menggunakan BMD dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah. |
(2) | BMD yang akan digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD. |
(3) | BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(4) | BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas. |
(5) | Jenis, nilai, dan spesifikasi BMD dan/atau objek Pembiayaan yang akan digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Kepala Daerah. |
Pasal 60
(1) | BMD dan/atau objek Pembiayaan yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk Daerah. |
(2) | Ketentuan mengenai larangan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemindahtanganan dilakukan dalam rangka pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan mengenai larangan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal penghapusan dilakukan karena kondisi BMD dan/atau objek Pembiayaan yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sudah rusak atau musnah. |
(4) | Dalam hal dilakukan pemindahtanganan atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah Daerah wajib mengganti dengan BMD lain yang memenuhi persyaratan dan mempunyai nilai paling sedikit sama dengan dasar penerbitan Sukuk Daerah yang dipindahtangankan atau dihapuskan. |
Pasal 61
(1) | Penggunaan BMD sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah dilakukan Kepala Daerah dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas BMD atau cara lain sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah. |
(2) | BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disewa kembali oleh Kepala Daerah berdasarkan suatu Akad. |
(3) | Dalam hal dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang digunakan oleh instansi Pemerintah Daerah dan akan digunakan sebagai aset Sukuk Daerah, sekretaris daerah terlebih dahulu memberitahukan kepada pengguna BMD. |
Pasal 62
(1) | Kepala Daerah harus membeli kembali Hak Manfaat atas BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan Sukuk Daerah lainnya pada saat Sukuk Daerah jatuh tempo. |
(2) | Dalam rangka pembelian kembali Hak Manfaat atas BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah, pembatalan Akad sewa, dan pengakhiran Akad penerbitan Sukuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah membayar nilai nominal Sukuk Daerah atau kewajiban pembayaran lain sesuai dengan Akad penerbitan Sukuk Daerah kepada pemegang Sukuk Daerah. |
Bagian Keempat
Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan
Pasal 63
(1) | Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah. |
(2) | Pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
(3) | Dalam pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah dibantu oleh unit yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan utang pada perangkat daerah yang bertugas melaksanakan pengelolaan Keuangan Daerah. |
Pasal 64
(1) | Setiap tahun Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana cadangan dalam APBD sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah untuk pembayaran pokok Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. |
(2) | Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda mengenai pembentukan dana cadangan. |
(3) | Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat diinvestasikan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah. |
Pasal 65
(1) | Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain. |
(2) | Dalam rangka penyediaan proyek strategis nasional, Pemerintah Daerah dapat memberikan jaminan atas pembiayaan utang BUMD yang mendapat penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. |
(3) | BMD tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk mendapatkan Pembiayaan Utang Daerah. |
(4) | Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas kegiatan yang didanai dari Pembiayaan Utang Daerah. |
Bagian Kelima
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 66
(1) | Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sesuai dengan kewenangannya, melakukan pemantauan dan evaluasi atas penarikan, penggunaan, dan pembayaran kembali Pembiayaan Utang Daerah. |
(2) | Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan koordinasi penyelesaian atas permasalahan pemberian Pembiayaan Utang Daerah. |
(3) | Permasalahan pemberian Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
|
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan/atau melalui penugasan kepada LKB atau LKBB ditemukan permasalahan, Menteri dapat melakukan langkah-langkah penyelesaian berupa pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Daerah. |
(5) | Segala kewajiban yang timbul akibat pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah. |
Bagian Keenam
Kewajiban dan Sanksi
Pasal 67
(1) | Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo. |
(2) | Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban. |
(3) | Dalam hal terdapat Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melebihi masa jabatan Kepala Daerah, Kepala Daerah dan DPRD periode berikutnya sesuai dengan kewenangannya masing-masing melanjutkan kewajiban penganggaran dan pembayaran pokok, bunga atau kupon, dan kewajiban lainnya atas Pembiayaan Utang Daerah sampai dengan berakhirnya kewajiban. |
(4) | Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan. |
(5) | Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
Pasal 68
(1) | Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah yang telah jatuh tempo, Menteri dapat melakukan pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya. |
(2) | Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemotongan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. |
Pasal 69
(1) | Pemerintah Daerah melaporkan pos1s1 kumulatif Pembiayaan Utang Daerah dan kewajiban Pembiayaan Utang Daerah setiap semester, termasuk alokasi pemenuhan kewajiban dalam APBD kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Informasi Keuangan Daerah. |
Pasal 70
(1) | Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pembiayaan Utang Daerah kepada masyarakat secara berkala. |
(2) | Publikasi informasi mengenai Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
|
(3) | Setiap perjanjian Pembiayaan Utang Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam berita daerah. |
Pasal 71
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pinjaman Daerah, penerbitan Obligasi Daerah, dan penerbitan Sukuk Daerah diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
BAB IV
DANA ABADI DAERAH
Pasal 72
(1) | Daerah dapat membentuk DAD. |
(2) | Pembentukan DAD bagi Pemerintah Daerah bertujuan untuk:
|
(3) | Pembentukan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda. |
Pasal 73
(1) | Daerah yang akan membentuk DAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) harus memenuhi kriteria:
|
(2) | Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan Urusan Pemerintahan wajib yang digunakan dalam penghitungan alokasi DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 74
(1) | Pembentukan DAD dilakukan dengan tahapan:
|
(2) | Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
(3) | Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat paling sedikit:
|
(4) | Dana untuk membentuk DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat bersumber dari:
|
Pasal 75
(1) | Tahap penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan proses yang dilakukan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dalam menilai permohonan pembentukan DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(3) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya dokumen rencana pembentukan DAD secara lengkap dan benar. |
(4) | Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri tidak diberikan sampai batas waktu 15 (lima belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan kesesuaian usulan pembentukan DAD sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pembentukan DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah. |
Pasal 76
Tahap penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. | penetapan Perda mengenai DAD; |
b. | pengalokasian DAD sebagai pengeluaran Pembiayaan dalam APBD, |
dalam hal Menteri telah memberikan persetujuan pembentukan DAD.
Pasal 77
(1) | Pengelolaan DAD dilakukan oleh bendahara umum Daerah atau badan layanan umum Daerah. |
(2) | Kepala Daerah menentukan unit pengelola DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 78
(1) | Pengelola DAD memilih instrumen keuangan yang akan menjadi penempatan DAD. |
(2) | Pengelolaan DAD dilakukan dalam investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai. |
(3) | Pemilihan instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bebas dari risiko penurunan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berdasarkan tingkat imbal hasil yang optimal. |
(4) | Dalam memilih instrumen keuangan yang akan menjadi penempatan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola DAD harus melakukan analisis terhadap risiko. |
(5) | Pengelola DAD dapat bekerja sama dengan pengelola dana abadi di Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain, dan/atau LKB/LKBB, dalam menempatkan atau memanfaatkan DAD. |
Pasal 79
(1) | Hasil pengelolaan DAD dimanfaatkan untuk meningkatkan dan/atau memperluas pelayanan publik yang menjadi prioritas daerah. |
(2) | Hasil pengelolaan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
|
(3) | Dalam hal terdapat surplus hasil pengelolaan DAD, dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Surplus hasil pengelolaan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk:
|
(5) | DAD dapat diperhitungkan sebagai bagian pemenuhan Belanja Wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 80
(1) | Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat membentuk DAD. |
(2) | Pembentukan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari kriteria pembentukan DAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1). |
(3) | Ketentuan pembentukan dan pengelolaan DAD, termasuk pengelolaan DAD dalam kondisi darurat, dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 81
(1) | Dalam hal Daerah mengalami kondisi darurat, Daerah dapat menarik pokok DAD. |
(2) | Kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kondisi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. |
(3) | Penarikan pokok DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Daerah mengajukan usulan penarikan pokok DAD dan mendapatkan persetujuan Menteri. |
(4) | Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(5) | Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
|
(6) | Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya dokumen rencana penarikan pokok DAD secara lengkap dan benar. |
(7) | Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri tidak diberikan sampai batas waktu 15 (lima belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan kesesuaian usulan penarikan pokok DAD sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(8) | Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan penarikan pokok DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah. |
(9) | Daerah wajib mengembalikan pokok DAD yang telah ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berakhirnya kondisi darurat dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah. |
(10) | Dalam hal Daerah tidak mengembalikan pokok DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Menteri dapat melakukan pemotongan DAU dan/atau dana bagi hasil. |
Pasal 82
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan DAD diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
BAB V
SINERGI PENDANAAN
Pasal 83
(1) | Dalam rangka percepatan penyediaan Infrastruktur dan/atau program prioritas lainnya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah, Daerah dapat melakukan Sinergi Pendanaan. |
(2) | Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan untuk mendanai 1 (satu) atau lebih kegiatan dalam pencapaian target pembangunan pada:
|
(3) | Percepatan pencapaian target pembangunan pada wilayah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Sinergi Pendanaan lintas sektor dalam 1 (satu) atau lebih Daerah. |
(4) | Percepatan pencapaian target pembangunan pada tematik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui perumusan suatu tematik pembangunan yang menyinergikan pendanaan beberapa bidang Urusan Pemerintahan. |
Pasal 84
(1) | Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dapat dilaksanakan melalui sumber pendanaan APBD dan selain APBD. |
(2) | Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari PAD, TKD, dan/atau penerimaan Pembiayaan Daerah. |
(3) | Pemerintah dapat mengarahkan pengalokasian TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendukung Sinergi Pendanaan. |
(4) | Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau dukungan pendanaan dari pihak lain. |
(5) | Pendanaan dari pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat bersumber dari:
|
Pasal 85
(1) | Daerah menyusun rencana Sinergi Pendanaan, dalam rangka melaksanakan Sinergi Pendanaan. |
(2) | Rencana Sinergi Pendanaan mengacu pada dokumen perencanaan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Rencana Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
|
(4) | Kerangka strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, memuat paling sedikit:
|
(5) | Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, memuat paling sedikit:
|
(6) | Dukungan yang dibutuhkan dari pihak yang terlibat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat:
|
(7) | Pengelolaan keuangan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d meliputi:
|
(8) | Rencana Sinergi Pendanaan ditetapkan dengan Perkada. |
Pasal 86
(1) | Pengalokasian TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dapat dilakukan bersama dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah berupa belanja kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf a. |
(2) | Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan Keuangan Negara dan memperhatikan Kapasitas Fiskal Daerah. |
(3) | Kepala Daerah menyampaikan usulan pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan rencana Sinergi Pendanaan. |
(4) | Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal rencana Sinergi Pendanaan melibatkan sumber pendanaan yang bersumber dari:
|
(5) | Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan penilaian atas rencana Sinergi Pendanaan. |
(6) | Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan pencapaian prioritas nasional dan karakteristik wilayah. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri. |
BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 87
Menteri selaku pengelola fiskal melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pendanaan desentralisasi secara berkala paling sedikit terhadap:
a. | pelaksanaan TKD; dan |
b. | pelaksanaan APBD. |
Pasal 88
Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a dilakukan paling sedikit terhadap:
a. | realisasi penyerapan; |
b. | capaian keluaran; dan/atau |
c. | dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan. |
Pasal 89
(1) | Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b paling sedikit dilakukan terhadap:
|
(2) | Pemantauan dan evaluasi atas PAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk mencapai penerimaan realisasi PAD yang mendekati potensi PAD. |
(3) | Pemantauan dan evaluasi atas Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diukur dari kecepatan belanja, ketepatan belanja, pemenuhan Belanja Wajib, serta pencapaian keluaran dan hasil atas program prioritas. |
(4) | Pemantauan dan evaluasi atas pengelolaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diukur dari:
|
(5) | Pemantauan dan evaluasi atas likuiditas Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk mengukur kesehatan fiskal Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban lancar. |
Pasal 90
Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan TKD dan APBD dilakukan secara bersinergi atas pencapaian program prioritas nasional dan Daerah.
Pasal 91
(1) | Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 untuk mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional menggunakan platform digital. |
(2) | Pemantauan dan evaluasi dengan memanfaatkan platform digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselaraskan dengan berbagai pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga dan Daerah. |
Pasal 92
Hasil pemantauan dan evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah.
Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemantauan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 94
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. | Perjanjian Pembiayaan Utang Daerah yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman; |
b. | Jaminan atas pelaksanaan Pinjaman Daerah yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian Pinjaman Daerah; |
c. | Pembiayaan Utang Daerah yang telah diajukan oleh Daerah sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, proses penilaian terhadap pinjaman daerah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah; dan |
d. | Perda mengenai DAD yang telah ditetapkan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Perda mengenai DAD berdasarkan Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku. |
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 95
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5155); dan |
b. | Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6279); |
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 96
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
a. | sinkronisasi perencanaan dan penganggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6056); dan |
b. | Pinjaman Daerah, KUA, dan PPAS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322); |
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 97
Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku:
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5155); dan |
b. | Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6279); |
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 98
Ketentuan mengenai penilaian kesesuaian antara rancangan KUA dan rancangan PPAS dengan KEM PPKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan mulai tahun 2024.
Pasal 99
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2024
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2024
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 2
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2024
TENTANG
HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
I. |
UMUM Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar penyempurnaan dan penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan bernegara. Upaya tersebut dimanifestasikan dalam berbagai redesain instrumen utama desentralisasi fiskal yang tidak hanya melalui TKD, pajak daerah, dan retribusi daerah, melainkan juga melalui sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan. Peraturan Pemerintah ini disusun untuk melaksanakan beberapa amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah khususnya mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan. Penggabungan beberapa muatan pengaturan tersebut sebagai upaya simplifikasi dan optimalisasi regulasi dalam suatu harmonisasi kebijakan fiskal nasional. Harmonisasi kebijakan fiskal nasional merupakan proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, dan/atau menyesuaikan kebijakan fiskal antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah di dalam pengelolaan dan pengaturan pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara dan Daerah untuk menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam rangka menjaga stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk mengoptimalkan pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah, penyelenggaraan DAD, pelaksanaan Sinergi Pendanaan, dan penerapan sinergi kebijakan fiskal nasional dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
|
||||||
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Cukup jelas. Pasal 3Cukup jelas. Pasal 4Cukup jelas. Pasal 5Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "target kinerja makro Daerah" meliputi kinerja pembangunan dan kinerja fiskal Daerah.
Yang dimaksud dengan "target kinerja program Daerah" mencakup target kinerja program, kegiatan, dan/atau subkegiatan sesuai dengan urusan Pemerintah Daerah. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 6Cukup jelas. Pasal 7Cukup jelas. Pasal 8Ayat (1) Yang dimaksud dengan "program prioritas" merupakan program prioritas nasional dan program prioritas Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 9Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kebijakan" antara lain berupa Peraturan Menteri. Ayat (3) Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dan yang tidak menyebabkan perubahan APBD.
Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 10Cukup jelas. Pasal 11Cukup jelas. Pasal 12Cukup jelas. Pasal 13Cukup jelas. Pasal 14Cukup jelas. Pasal 15Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien antara lain:
Cukup jelas. Pasal 17Ayat (1) Sinergi BAS merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara BAS pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 18Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "kodefikasi sinergi BAS" adalah kodefikasi dalam penyelarasan BAS pada Pemerintah Daerah dengan BAS pada Pemerintah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 19Cukup jelas. Pasal 20Yang dimaksud dengan "interoperabilitas" adalah koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis dan antarsistem elektronik, dalam rangka pertukaran data, informasi, atau layanan platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional.
Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan BAS untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan BAS untuk Pemerintah, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan. Pasal 22Cukup jelas. Pasal 23Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Penyajian Informasi Keuangan Daerah secara nasional meliputi informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi terkait lainnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Pasal 24Cukup jelas. Pasal 25Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "informasi lainnya" termasuk laporan penggunaan dana TKD serta seluruh informasi namun tidak terbatas pada data non-Keuangan Daerah, serta data yang dibutuhkan oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan program nasional. Pasal 26Cukup jelas. Pasal 27Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "sistem informasi lain" antara lain sistem kolaborasi perencanaan dan informasi kinerja anggaran, sistem informasi Pemerintahan Daerah, sistem perbendaharaan dan anggaran negara. Pasal 28Cukup jelas. Pasal 29Ayat (1) Yang dimaksud dengan "berbagai sistem informasi dan ekosistem digital" antara lain menghubungkan SIKD dengan sistem informasi Pemerintahan Daerah, kolaborasi perencanaan dan informasi kinerja anggaran, dan Satu Data Indonesia. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 30Cukup jelas. Pasal 31Yang dimaksud dengan "bersifat terbuka" adalah keterbukaan informasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik. Pasal 32Cukup jelas. Pasal 33Cukup jelas. Pasal 34Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau penghargaan lainnya. Ayat (3) Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau penghargaan lainnya. Pasal 35Cukup jelas. Pasal 36Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah bahwa pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah harus patuh dan tunduk pada kaidah hukum yang ada. Huruf b Yang dimaksud dengan "transparan" adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang Keuangan Daerah. Huruf c Yang dimaksud dengan "akuntabel" adalah perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Huruf d Yang dimaksud dengan "efisien" adalah pencapaian keluaran yang maksimal dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu. Huruf e Yang dimaksud dengan "kehati-hatian" adalah pelaksanaan dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah. Huruf f Yang dimaksud dengan "profesional" adalah pengelolaan dilaksanakan dengan kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Pasal 37Cukup jelas. Pasal 38Cukup jelas. Pasal 39Ayat (1) Yang dimaksud dengan "nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah" adalah jumlah utang Daerah setelah dikurangi pembayaran utang. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Pemberian persetujuan DPRD melekat pada saat pembahasan APBD. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan Pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD. Pasal 40Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan "syarat administrasi" merupakan dokumen yang dipersyaratkan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "jumlah sisa Pembiayaan Utang Daerah" adalah jumlah pokok Pembiayaan Utang Daerah lama yang belum terdaftar. Ayat (4) Rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah menunjukkan rasio kemampuan membayar kembali Pembiayaan Utang Daerah yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut:
Cukup jelas. Ayat (6) Perubahan nilai rasio kemampuan Keuangan Daerah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional dan kondisi Keuangan Daerah. Pasal 41Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral.
Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Ayat (13) Cukup jelas. Pasal 42Cukup jelas. Pasal 43Cukup jelas. Pasal 44Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pinjaman tunai" adalah Pinjaman Daerah berbasis program yang digunakan untuk mendukung pembiayaan APBD dengan penarikannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, seperti paket kebijakan dan/atau terlaksananya kegiatan tertentu. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 45Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "LKB atau LKBB" adalah LKB atau LKBB yang dianggap mampu oleh Menteri. Pasal 46Ayat (1) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah" antara lain peraturan pemerintah mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah, peraturan pemerintah mengenai Pembiayaan proyek yang bersumber dari surat berharga syariah negara, dan peraturan pemerintah mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Pasal 47Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Pasal 48Cukup jelas. Pasal 49Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebijakan fiskal nasional" adalah kebijakan Pemerintah di bidang fiskal dalam upaya pencapaian target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pinjaman tunai" adalah Pinjaman Daerah berbasis program yang digunakan untuk mendukung pembiayaan APBD dengan penarikannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, seperti paket kebijakan dan/atau terlaksananya kegiatan tertentu. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "LKB atau LKBB" adalah LKB atau LKBB yang dianggap mampu oleh Menteri. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Kategori Kapasitas Fiskal Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai peta kapasitas fiskal. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 50Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pasar modal domestik" adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "penawaran umum" adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang mengenai pasar modal dan peraturan pelaksanaannya. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 51Cukup jelas. Pasal 52Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Pasal 53Cukup jelas. Pasal 54Cukup jelas. Pasal 55Ayat (1) Yang dimaksud dengan "wali amanat" dalam ketentuan ini adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang termasuk Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 56Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "kegiatan lain" adalah kegiatan yang bukan termasuk kegiatan yang telah direncanakan dalam rangka penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 57Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "pelunasan atas Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah" adalah Pemerintah Daerah tidak perlu lagi melakukan pembayaran atas bunga atau imbalan atas Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah yang telah dibeli kembali. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 58Cukup jelas. Pasal 59Ayat (1) Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah. Ayat (2) Pemberian persetujuan DPRD dilakukan pada saat pembahasan nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 60Cukup jelas. Pasal 61Cukup jelas. Pasal 62Cukup jelas. Pasal 63Cukup jelas. Pasal 64Cukup jelas. Pasal 65Cukup jelas. Pasal 66Cukup jelas. Pasal 67Cukup jelas. Pasal 68Ayat (1) Pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya dilakukan dalam rangka menjamin terjaganya kualitas aset LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 69Cukup jelas. Pasal 70Cukup jelas. Pasal 71Cukup jelas. Pasal 72Cukup jelas. Pasal 73Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik telah terpenuhi" adalah tingkat capaian tertentu dari kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 74Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana" merupakan fasilitas yang digunakan oleh pengelola DAD untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan DAD. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Pemanfaatan Hasil Pengelolaan DAD mengatur urusan, program, dan kegiatan yang didanai dari DAD, sedangkan target layanan akan ditetapkan dalam Perkada. Huruf f Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 75Cukup jelas. Pasal 76Cukup jelas. Pasal 77Cukup jelas. Pasal 78Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal, fluktuasi hanya akan mempengaruhi imbal hasil.
Ayat (3) Yang dimaksud dengan "tingkat imbal hasil yang optimal" adalah pengelola DAD memilih beberapa alternatif instrumen keuangan dengan mempertimbangkan imbal hasil dan potensi risiko. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "analisis terhadap risiko" antara lain risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, dan informasi tambahan, termasuk rencana penanggulangannya dalam hal terjadi risiko investasi. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 79Ayat (1) Yang dimaksud dengan "meningkatkan dan/atau memperluas pelayanan publik" adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan di atas dan/atau di luar standar pelayanan minimal. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "surplus hasil pengelolaan DAD" adalah selisih lebih antara pendapatan yang berasal dari hasil pengelolaan DAD dengan pengeluaran dalam rangka pemanfaatan hasil pengelolaan DAD pada tahun tertentu. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "pemanfaatan lainnya sesuai kebutuhan dan prioritas Daerah" adalah pemanfaatan surplus hasil pengelolaan DAD yang berdasarkan kebutuhan dan prioritas Daerah seperti pemanfaatan untuk penambahan target layanan atau pemanfaatan dalam rangka penanganan kondisi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 80Cukup jelas. Pasal 81Cukup jelas. Pasal 82Cukup jelas. Pasal 83Ayat (1) Yang dimaksud dengan "program prioritas lainnya" antara lain pengembangan suatu kawasan dan pembangunan dengan tematik tertentu. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu" adalah wilayah yang terletak di dalam suatu Daerah dan/atau berbatasan/beririsan dengan Daerah lain yang memiliki potensi untuk memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya kepada Daerah. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 84Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pendapatan Daerah dapat mencakup yang bersumber dari PAD yang telah diterima maupun potensi PAD, dan potensi TKD pada tahun yang akan datang. Ayat (3) Pemerintah dapat mengarahkan pengalokasian TKD misalnya memperhatikan Sinergi Pendanaan dalam proses pengalokasian TKD pada tahun anggaran yang akan datang. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "swasta" adalah badan usaha yang berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "sumber lainnya yang sah" yaitu sumber yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan misalnya keterlibatan lembaga donor. Pasal 85Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "dokumen perencanaan Daerah" adalah RPJMD dan/atau RKPD. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "pihak yang terlibat" merupakan pihak lain yang terlibat dalam rencana Sinergi Pendanaan selain Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Huruf d Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Komitmen antara lain berupa dokumen tertulis terkait kerja sama, komitmen pinjaman, dan dokumen tertulis tentang komitmen lainnya. Ayat (7) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "sumber keuangan" yaitu pendanaan dalam rangka melaksanakan Sinergi Pendanaan baik yang bersumber dari APBD maupun selain APBD. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Yang dimaksud dengan "pengelolaan keuangan lainnya" antara lain pemenuhan kewajiban jangka panjang komitmen pembiayaan maupun kerja sama Daerah. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 86Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Termasuk kerja sama Daerah dengan badan usaha yang sesuai dengan prinsip syariah. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Pasal 87Cukup jelas. Pasal 88Cukup jelas. Pasal 89Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pemantauan dan evaluasi PAD dilakukan dengan membandingkan potensi PAD dengan realisasi PAD. Ayat (3) Kecepatan belanja Daerah dihitung dengan membandingkan realisasi bulanan terhadap anggaran. Ayat (4) Huruf a Jumlah SiLPA yang wajar dihitung dengan membandingkan jumlah SiLPA terhadap perkiraan kebutuhan operasional. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Ayat (5) Likuiditas Keuangan Daerah dihitung dengan membandingkan kas dan utang jangka pendek. Pasal 90Cukup jelas. Pasal 91Cukup jelas. Pasal 92Cukup jelas. Pasal 93Cukup jelas. Pasal 94Cukup jelas. Pasal 95Cukup jelas. Pasal 96Cukup jelas. Pasal 97Cukup jelas. Pasal 98Cukup jelas. Pasal 99Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6906