Undang-Undang Nomor 1 TAHUN 2022

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

TIMELINE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2022

TENTANG

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

  1. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah;
  2. bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;
  3. bahwa untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien, perlu diatur tata kelola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang adil, selaras, dan akuntabel berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  4. bahwa sesuai dengan Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;
  5. bahwa sesuai dengan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang;
  6. bahwa Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal, sehingga perlu diganti;
  7. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah perlu disempurnakan sesuai dengan perkembangan keadaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal, sehingga perlu diganti;
  8. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf g, perlu membentuk Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; 



Mengingat :

 


Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A ayat (2), Pasal 18B, Pasal 20, dan Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;



 

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA



MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

UNDANG-UNDANG TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah adalah suatu sistem penyelenggaraan keuangan yang mengatur hak dan kewajiban keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah yang dilaksanakan secara adil, transparan, akuntabel, dan selaras berdasarkan undang-undang.
2. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
4. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
8. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
9. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
10. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
11. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
12. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas Daerah.
13. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
14. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
18. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
19. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
20. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
21. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
22. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
23. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
24. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
25. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
26. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
27. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
28. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
29. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
30. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
31. Pajak Alat Berat yang selanjutnya disingkat PAB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat.
32. Alat Berat adalah alat yang diciptakan untuk membantu pekerjaan konstruksi dan pekerjaan teknik sipil lainnya yang sifatnya berat apabila dikerjakan oleh tenaga manusia, beroperasi menggunakan motor dengan atau tanpa roda, tidak melekat secara permanen serta beroperasi pada area tertentu, termasuk tetapi tidak terbatas pada area konstruksi, perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
33. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
34. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
35. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
36. Nilai Jual Objek Pajak, yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
37. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
38. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
39. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
40. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PBBKB adalah Pajak atas penggunaan bahan bakar Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
41. Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBKB adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk Kendaraan Bermotor dan Alat Berat.
42. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
43. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
44. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
45. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
46. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
47. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
48. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
49. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
50. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
51. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
52. Pajak Air Permukaan yang selanjutnya disingkat PAP adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan.
53. Air Permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah.
54. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah.
55. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
56. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
57. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
58. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
59. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
60. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
61. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
62. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
63. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
64. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
65. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
66. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
67. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
68. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
69. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
70. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
71. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
72. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
73. Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
74. Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai keistimewaan Yogyakarta.
75.
75. Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
76. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
77. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disebut SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
78. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
79. Pinjaman Daerah adalah pembiayaan utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
80. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
81. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
82. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah.
83. Dana Abadi Daerah adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.



 Pasal 2

 

Ruang lingkup Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:

a. pemberian sumber Penerimaan Daerah berupa Pajak dan Retribusi;
b. pengelolaan TKD;
c. pengelolaan Belanja Daerah;
d. pemberian kewenangan untuk melakukan Pembiayaan Daerah; dan
e. pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional.



 Pasal 3

 

Prinsip pendanaan untuk penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah meliputi:

a. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah didanai dari dan atas beban APBD; dan
b. penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di Daerah didanai dari dan atas beban APBN.

 


BAB II
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Bagian Kesatu
Pajak

Paragraf 1
Jenis Pajak

 Pasal 4

 

(1) Pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi terdiri atas:
a. PKB;
b. BBNKB;
c. PAB;
d. PBBKB;
e. PAP;
f. Pajak Rokok; dan
g. Opsen Pajak MBLB.
(2) Pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
(3) Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipungut oleh Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom.


 

 Pasal 5

 

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e serta Pasal 4 ayat (2) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf g serta Pasal 4 ayat (2) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

 Pasal 6

 

(1) Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dapat tidak dipungut, dalam hal:
a. potensinya kurang memadai; dan/atau
b. Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut.
(3) Jenis Pajak yang tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi.


 

Paragraf 2
PKB
 
 Pasal 7

 

(1) Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor.
(2) Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
a. kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
d. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
e. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.

 

 

Pasal 8

 

(1) Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor.


 

 Pasal 9

 

(1) Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
a. nilai jual Kendaraan Bermotor; dan
b. bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor.
(2) Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor.
(3) Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor.
(4) Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
(5) Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat.
(6) Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
a. harga Kendaraan Bermotor dengan isi silinder dan/atau satuan tenaga yang sama;
b. penggunaan Kendaraan Bermotor untuk umum atau pribadi;
c. harga Kendaraan Bermotor dengan merek Kendaraan Bermotor yang sama;
d. harga Kendaraan Bermotor dengan tahun pembuatan Kendaraan Bermotor yang sama;
e. harga Kendaraan Bermotor dengan pembuat Kendaraan Bermotor;
f. harga Kendaraan Bermotor dengan Kendaraan Bermotor sejenis; dan
g. harga Kendaraan Bermotor berdasarkan dokumen pemberitahuan impor barang.
(7) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi; dan
b. koefisien lebih besar dari 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
(8) Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
a. tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor;
b. jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor, yang dibedakan menurut bahan bakar bensin, diesel, atau jenis bahan bakar lainnya selain bahan bakar berbasis energi terbarukan; dan
c. jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan isi silinder.
(9) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan dalam suatu tabel yang ditetapkan dengan ketentuan:
a. untuk Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri; dan
b. untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan peraturan gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan memperhatikan penyusutan nilai jual Kendaraan Bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(10) Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.



 Pasal 10

 

(1) Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama, ditetapkan paling tinggi 1,2% (satu koma dua persen); dan
b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 6% (enam persen).
(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor pertama paling tinggi sebesar 2% (dua persen); dan
b. untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya, dapat ditetapkan secara progresif paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(3) Tarif PKB atas kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan, angkutan sekolah, ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, ditetapkan paling tinggi 0,5% (nol koma lima persen).
(4) Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama.
(5) Tarif PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.

 

 

Pasal 11

 

(1) Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5).
(2) PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
(3) PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor.


 

Paragraf 3
BBNKB

 Pasal 12

 

(1) Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor.
(2) Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
a. kereta api;
b. Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara;
c. Kendaraan Bermotor kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik, dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah;
d. Kendaraan Bermotor berbasis energi terbarukan; dan
e. Kendaraan Bermotor lainnya yang ditetapkan dengan Perda.
(4) Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
a. untuk diperdagangkan;
b. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
c. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.



 Pasal 13

 

(1) Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.
(2) Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor.


 

 Pasal 14

 

Dasar pengenaan BBNKB adalah nilai jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan peraturan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (9).



 Pasal 15

 

(1) Tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 12% (dua belas persen).
(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom, tarif BBNKB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
(3) Tarif BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 16

 

(1) Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dengan tarif BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3).
(2) BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
(3) Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(4) Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran Kendaraan Bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
 

Paragraf 4
PAB
 
 Pasal 17

 

(1) Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
a. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Alat Berat yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah; dan
c. Kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat lainnya yang diatur dalam Perda.

 

 
 Pasal 18

 

(1) Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
(2) Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.



 Pasal 19

 

(1) Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan.
(3) Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya.
(4) Penetapan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.
(5) Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian.



 Pasal 20

 

(1) Tarif PAB ditetapkan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen).
(2) Tarif PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 21

 

(1) Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2).
(2) PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan Alat Berat.


 

 Pasal 22

 

(1) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat.
(2) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut.
(3) PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka.
(4) Dalam hal terjadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan gubernur.


 

Paragraf 5
PBBKB
 
 Pasal 23

 

Objek PBBKB adalah penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB kepada konsumen atau pengguna Kendaraan Bermotor.

 

 Pasal 24

 

(1) Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen BBKB.
(2) Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia BBKB yang menyerahkan BBKB.
(3) Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB.
(4) Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri.


 

 Pasal 25

 

Dasar pengenaan PBBKB adalah nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai.


 Pasal 26

 

(1) Tarif PBBKB ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
(3) Untuk jenis BBKB tertentu, Pemerintah dapat menyesuaikan tarif PBBKB yang sudah ditetapkan dalam Perda dalam rangka stabilisasi harga.
(4) Penyesuaian tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
(5) Tarif PBBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 27

 

Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26.



Paragraf 6
PAP
 
 Pasal 28

 

(1) Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. keperluan keagamaan;
e. kegiatan yang mengambil dan memanfaatkan air laut baik yang berada di lautan dan/atau di daratan (air payau); dan
f. kegiatan lainnya yang ditetapkan dalam Perda, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.



 Pasal 29

 

(1) Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.
(2) Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan.



 Pasal 30

 

(1) Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan.
(2) Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan.
(3) Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan.
(4) Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
a. lokasi pengambilan air;
b. volume air; dan
c. kewenangan pengelolaan sumber daya air.
(5) Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan gubernur.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.


 

 Pasal 31

 

(1) Tarif PAP ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Tarif PAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 32

 

(1) Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2).
(2) PAP yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Air Permukaan berada.


 

Paragraf 7
Pajak Rokok
 
 Pasal 33

 

(1) Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok.
(2) Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.



 Pasal 34

 

(1) Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok.
(2) Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai.
(3) Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.
(4) Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran Pajak Rokok diatur dengan Peraturan Menteri.



 Pasal 35

 

Dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok.


 Pasal 36

 

Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari cukai rokok.



 Pasal 37

 

Besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan tarif Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

 

Paragraf 8
PBB-P2
 
 Pasal 38

 

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Daerah; dan
i. bumi dan/atau bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.
(4) Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
a. untuk diperdagangkan;
b. untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia; dan
c. digunakan untuk pameran, objek penelitian, contoh, dan kegiatan olahraga bertaraf internasional.
(5) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia.


 

 Pasal 39

 

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


 

 Pasal 40

 

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah kabupaten/kota, NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(7) Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.


 

 Pasal 41

 

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya.
(3) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 42

 

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3).



 Pasal 43

 

(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.

 

 
Paragraf 9
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
 
 Pasal 44

 

(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
  1. jual beli;
  2. tukar-menukar;
  3. hibah;
  4. hibah wasiat;
  5. waris;
  6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
  7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
  8. penunjukan pembeli dalam lelang;
  9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
  10. penggabungan usaha;
  11. peleburan usaha;
  12. pemekaran usaha; atau
  13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
  1. kelanjutan pelepasan hak; atau
  2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



 Pasal 45

 

(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.



 Pasal 46

 

(1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(7) Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang lebih tinggi daripada nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 47

 

(1) Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).
(2) Tarif BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 48

 

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2).
(2) BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.



 Pasal 49

 

Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:

a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.



Paragraf 10
PBJT
 
 Pasal 50

 

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:

a. Makanan dan/atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.


 

 Pasal 51

 

(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
  1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
  2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
  3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dalam Perda;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.



 Pasal 52

 

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
e. konsumsi Tenaga Listrik lainnya yang diatur dengan Perda.



 Pasal 53

 

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.



 Pasal 54

 

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. jasa tempat parkir lainnya yang diatur dengan Perda.



 Pasal 55

 

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
c. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang diatur dengan Perda.


 

 Pasal 56

 

(1) Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.



 Pasal 57

 

(1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu.
(2) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.


 

 Pasal 58

 

(1) Tarif PBJT ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan paling tinggi sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan paling tinggi 1,5% (satu koma lima persen).
(4) Tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Perda.



Pasal 59

 

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (4).
(2) PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
(3) Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.


 

Paragraf 11
Pajak Reklame
 
 Pasal 60

 

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2)

Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Perkada dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
f. Reklame lainnya yang diatur dengan Perda.



Pasal 61

 

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.



 Pasal 62

 

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perkada.


 

 Pasal 63

 

(1) Tarif Pajak Reklame ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(2) Tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 64

 

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2).
(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.



Paragraf 12
PAT
 
 Pasal 65

 

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2)

Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:

a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan lainnya yang diatur dengan Perda.

 

 

Pasal 66

 

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


 

 Pasal 67

 

(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4)

Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:

a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.


 

 Pasal 68

 

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) diatur dengan peraturan gubernur dengan berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(2) Peraturan yang ditetapkan oleh menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan kebijakan kemudahan berinvestasi dan ditetapkan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri.

 


Pasal 69

 

(1) Tarif PAT ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Tarif PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 70

 

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2).
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


 

Paragraf 13
Pajak MBLB
 
 Pasal 71

 

(1)

Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:

a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
c. untuk keperluan lainnya yang ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 72

 

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.


 

 Pasal 73

 

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.


 

 Pasal 74

 

(1) Tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Khusus untuk Daerah yang setingkat dengan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom, tarif Pajak MBLB ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (dua puluh lima persen).
(3) Tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 75

 

(1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3).
(2) Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.



Paragraf 14
Pajak Sarang Burung Walet
 
 Pasal 76

 

(1)

Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.

(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Perda.



 Pasal 77

 

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.


 

 Pasal 78

 

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah yang bersangkutan dengan volume sarang Burung Walet.


 

 Pasal 79

 

(1) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen)
(2) Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 80

 

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).

 

Paragraf 15
Opsen
 
 Pasal 81

 

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:

a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.



 Pasal 82

 

Wajib Pajak untuk Opsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak:

a. PKB;
b. BBNKB; dan
c. Pajak MBLB.



 Pasal 83

 

(1) Tarif Opsen ditetapkan sebagai berikut:
a. Opsen PKB sebesar 66% (enam puluh enam persen);
b. Opsen BBNKB sebesar 66% (enam puluh enam persen); dan
c. Opsen Pajak MBLB sebesar 25% (dua puluh lima persen),
dihitung dari besaran Pajak terutang.
(2) Besaran tarif Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


 

 Pasal 84

 

(1) Opsen dipungut secara bersamaan dengan Pajak yang dikenakan Opsen.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Opsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

Paragraf 16
Bagi Hasil Pajak Provinsi
 
 Pasal 85

 

(1) Hasil penerimaan PBBKB dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
(2) Hasil penerimaan PAP dibagihasilkan sebesar 50% (lima puluh persen) kepada kabupaten/kota.
(3) Khusus untuk penerimaan PAP dari sumber air yang berada hanya pada 1 (satu) wilayah kabupaten/kota, hasil penerimaan PAP dimaksud dibagihasilkan kepada kabupaten/kota yang bersangkutan sebesar 80% (delapan puluh persen).
(4) Hasil penerimaan Pajak Rokok dibagihasilkan sebesar 70% (tujuh puluh persen) kepada kabupaten/kota.
(5) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan sebagai berikut:
a. PBBKB dibagi secara proporsional paling rendah 70% (tujuh puluh persen) berdasarkan jumlah Kendaraan Bermotor yang terdaftar di kabupaten/kota yang bersangkutan dan selisihnya dibagi rata kepada seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
b. PAP dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan panjang sungai dan/atau luas daerah tangkapan air; dan
c. Pajak Rokok dibagi secara proporsional paling kurang berdasarkan jumlah penduduk kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai bagi hasil kepada kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Perda provinsi.



Paragraf 17
Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaannya
 
 Pasal 86

 

(1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
a. PKB dan Opsen PKB;
b. PBJT atas Tenaga Listrik;
c. Pajak Rokok; dan
d. PAT,
baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
(2) Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselaraskan dengan pelayanan publik yang berkaitan dengan jenis Pajaknya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.



Bagian Kedua
Retribusi

Paragraf 1
Jenis dan Objek Retribusi
 
 Pasal 87

 

(1) Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.


 

Paragraf 2
Jenis Pelayanan Retribusi
 
 Pasal 88

 

(1)

Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi:

a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum;
d. pelayanan pasar; dan
e. pengendalian lalu lintas.
(2) Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dipungut Retribusi apabila potensi penerimaannya kecil dan/atau dalam rangka pelaksanaan kebijakan nasional/daerah untuk memberikan pelayanan tersebut secara cuma-cuma.
(3) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung;
b. penggunaan tenaga kerja asing; dan
c. pengelolaan pertambangan rakyat.
(5) Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan pungutan atas penerbitan persetujuan bangunan gedung oleh Daerah.
(6) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
(7) Retribusi pengelolaan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan pungutan Daerah berupa iuran pertambangan rakyat kepada pemegang izin pertambangan rakyat oleh Pemerintah Daerah dalam rangka menjalankan delegasi kewenangan Pemerintah di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
(8) Penambahan jenis Retribusi selain jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(9) Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (8) antara lain:
a. Objek Retribusi;
b. Subjek dan Wajib Retribusi;
c. Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi; dan
d. Tata cara penghitungan Retribusi.



 Pasal 89

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

 

Paragraf 3
Tata Cara Penghitungan Retribusi
 
 Pasal 90

 

Besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.

 

 

 Pasal 91

 

Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.

 

 

 Pasal 92

 

(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang.
(2) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi.

 

 

Pasal 93

 

(1) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Perkada.


 

Bagian Ketiga
Muatan Perda tentang Pajak dan Retribusi
 
 Pasal 94

 

Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.

 

 

Bagian Keempat
Pemungutan Pajak dan Retribusi

Paragraf 1
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
 
 Pasal 95

 

(1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Kepala Daerah; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan
 
 Pasal 96

 

(1) Kepala Daerah dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
(2) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.


 

Bagian Kelima
Pengaturan Pajak dan Retribusi dalam rangka Mendukung Kemudahan Berusaha dan Berinvestasi

Paragraf 1
Kewenangan Pemerintah dalam Pengawasan dan Evaluasi Tarif
 
 Pasal 97

 

(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan untuk mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi serta untuk mendorong pertumbuhan industri dan/atau usaha yang berdaya saing tinggi serta memberikan pelindungan dan pengaturan yang berkeadilan, Pemerintah sesuai dengan program prioritas nasional dapat melakukan penyesuaian terhadap kebijakan Pajak dan Retribusi yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. dapat mengubah tarif Pajak dan tarif Retribusi dengan penetapan tarif Pajak dan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional; dan
b. pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
(3) Penetapan tarif Pajak yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup tarif atas jenis Pajak provinsi dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(4) Penetapan tarif Retribusi yang berlaku secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup objek Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan tarif Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

Paragraf 2
Evaluasi Rancangan Perda dan Perda Pajak dan Retribusi
 
 Pasal 98

 

(1) Evaluasi rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri.
(2) Rancangan Perda provinsi mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD provinsi dan gubernur sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
(3) Evaluasi rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi dilakukan oleh gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri.
(4) Rancangan Perda kabupaten/kota mengenai Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh DPRD kabupaten/kota dan bupati/wali kota sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan Menteri paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
(5) Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
(6) Gubernur melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk menguji kesesuaian rancangan Perda dengan ketentuan Undang-Undang ini, kepentingan umum, dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
(7) Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan gubernur dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) berkoordinasi dengan Menteri.
(8) Dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri melakukan evaluasi dari sisi kebijakan fiskal nasional.
(9) Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat berupa persetujuan atau penolakan.
(10) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri kepada gubernur untuk rancangan Perda provinsi dan oleh gubernur kepada bupati/wali kota untuk rancangan Perda kabupaten/kota dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya rancangan Perda dimaksud dengan tembusan kepada Menteri.
(11) Hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) disampaikan dengan disertai alasan penolakan.
(12) Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat langsung ditetapkan.
(13) Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), rancangan Perda dimaksud dapat diperbaiki oleh gubernur, bupati/wali kota bersama dengan DPRD yang bersangkutan, untuk kemudian disampaikan kembali kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri untuk rancangan Perda provinsi dan kepada gubernur dan Menteri untuk rancangan Perda kabupaten/kota.
(14) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi rancangan Perda tentang Pajak dan Retribusi diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

 Pasal 99

 

(1) Perda yang telah ditetapkan oleh gubernur/bupati/wali kota disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan untuk dilakukan evaluasi.
(2) Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan evaluasi Perda provinsi/kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah berlaku untuk menguji kesesuaian antara Perda dimaksud dengan kepentingan umum, ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan kebijakan fiskal nasional.
(3) Dalam hal berdasarkan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Perda bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan/atau kebijakan fiskal nasional, Menteri merekomendasikan dilakukannya perubahan atas Perda dimaksud kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(4) Penyampaian rekomendasi perubahan Perda oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Berdasarkan rekomendasi perubahan Perda yang disampaikan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri memerintahkan gubernur/bupati/wali kota untuk melakukan perubahan Perda dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja.
(6) Jika dalam waktu 15 (lima belas) hari kerja, gubernur/bupati/wali kota tidak melakukan perubahan atas Perda tersebut, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri menyampaikan rekomendasi pemberian sanksi kepada Menteri.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara evaluasi Perda tentang Pajak dan Retribusi dan pengawasan pelaksanaan Perda mengenai Pajak dan Retribusi dan aturan pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

 Pasal 100

 

(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dan Pasal 99 oleh Daerah dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan DAU dan/atau DBH.
(2) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Menteri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Paragraf 3
Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi
 
 Pasal 101

 

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Kepala Daerah berdasarkan pertimbangan, antara lain:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Kepala Daerah dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
(5) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Perkada.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.



Bagian Keenam
Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD
 
 Pasal 102

 

(1) Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
a. kebijakan makroekonomi Daerah; dan
b. potensi Pajak dan Retribusi.
(2) Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
(3) Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang mendasari penyusunan APBN.


 

Bagian Ketujuh
Kerahasiaan Data Wajib Pajak
 
 Pasal 103

 

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Kepala Daerah untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Kepala Daerah dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.



Bagian Kedelapan
Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
 
 Pasal 104

 

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


 

Bagian Kesembilan
Penyidikan
 
Pasal 105

 

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.

 

BAB III
TRANSFER KE DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis dan Kebijakan TKD
 
 Pasal 106

 

TKD terdiri atas:

a. DBH;
b. DAU;
c. DAK;
d. Dana Otonomi Khusus;
e. Dana Keistimewaan; dan
f. Dana Desa.


 

 Pasal 107

 

(1) Pemerintah menetapkan kebijakan TKD.
(2) Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan peraturan perundang-undangan terkait, selaras dengan rencana kerja pemerintah dan dituangkan dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap tahunnya.
(4) Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibahas terlebih dahulu dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.



Bagian Kedua
Anggaran dan Alokasi TKD
 
 Pasal 108

 

(1) Anggaran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN.
(2) Rincian alokasi TKD menurut provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Presiden.



 Pasal 109

 

(1) Kebijakan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dan besaran anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dapat disesuaikan dengan memperhatikan kondisi perekonomian nasional.
(2) Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 
Bagian Ketiga
DBH

Paragraf 1
Umum
 
 Pasal 110

 

Pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan 1 (satu) tahun sebelumnya.

 

 Pasal 111

 

(1) DBH terdiri atas:
a. DBH pajak; dan
b. DBH sumber daya alam.
(2) DBH pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. Pajak Penghasilan;
b. Pajak Bumi dan Bangunan; dan
c. cukai hasil tembakau.
(3) DBH sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. kehutanan;
b. mineral dan batu bara;
c. minyak bumi dan gas bumi;
d. panas bumi; dan
e. perikanan.


 

Paragraf 2
DBH Pajak
 
 Pasal 112

 

(1) DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf a merupakan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) DBH Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 8,9% (delapan koma sembilan persen); dan
c. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3,6% (tiga koma enam persen).
(3) Pendaftaran wajib pajak atas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri.



 Pasal 113

 

(1) DBH Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf b ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) untuk Daerah.
(2) DBH Pajak Bumi dan Bangunan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16,2% (enam belas koma dua persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 73,8% (tujuh puluh tiga koma delapan persen); dan
c. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 10% (sepuluh persen).
(3) Pendaftaran wajib pajak atas Pajak Penghasilan sebagaimana diatur pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri.


 

 Pasal 114

 

(1) DBH cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) huruf c ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari penerimaan cukai hasil tembakau dalam negeri.
(2) DBH cukai hasil tembakau untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada Daerah penghasil cukai, penghasil tembakau, dan/atau Daerah lainnya yang meliputi:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 0,8% (nol koma delapan persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 1,2% (satu koma dua persen); dan
c. kabupaten dan kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 1% (satu persen).
(3) DBH cukai hasil tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Paragraf 3
DBH Sumber Daya Alam
 
 Pasal 115

 

(1) DBH sumber daya alam kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf a bersumber dari penerimaan:
a. iuran izin usaha pemanfaatan hutan;
b. provisi sumber daya hutan; dan
c. dana reboisasi.
(2) DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari iuran izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk bagian Daerah, dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 32% (tiga puluh dua persen); dan
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 48% (empat puluh delapan persen).
(3) DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari provisi sumber daya hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 16% (enam belas persen); dan
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen).
(4) DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen) untuk provinsi penghasil.
(5) DBH sumber daya alam kehutanan yang bersumber dari dana reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


 

 Pasal 116

 

(1) DBH sumber daya alam mineral dan batu bara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf b bersumber dari penerimaan:
a. iuran tetap; dan
b. iuran produksi.
(2) DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang diperoleh dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 30% (tiga puluh persen); dan
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 50% (lima puluh persen).
(3) DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk provinsi penghasil.
(4) DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah, dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).
(5) DBH sumber daya alam mineral dan batu bara yang bersumber dari iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
a. provinsi penghasil sebesar 26% (dua puluh enam persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 46% (empat puluh enam persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).



 Pasal 117

 

(1) DBH sumber daya alam minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf c bersumber dari bagian negara yang diperoleh dari pengusahaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sampai dengan 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 2% (dua persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 6,5% (enam koma lima persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 3% (tiga persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 3% (tiga persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).
(3) DBH sumber daya alam minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 15,5% (lima belas koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi penghasil sebesar 5% (lima persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 9,5% (sembilan koma lima persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).
(4) DBH sumber daya alam gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dihasilkan dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh 4 (empat) mil dari garis pantai, ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 4% (empat persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 13,5% (tiga belas koma lima persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 6% (enam persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 6% (enam persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).
(5) DBH sumber daya alam gas bumi yang diperoleh dari wilayah laut di atas 4 (empat) mil dari garis pantai sampai dengan 12 (dua belas) mil dari garis pantai ditetapkan sebesar 30,5% (tiga puluh koma lima persen), dibagikan kepada:
a. provinsi penghasil sebesar 10% (sepuluh persen);
b. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 19,5% (sembilan belas koma lima persen); dan
c. kabupaten/kota pengolah sebesar 1% (satu persen).

 

 
 Pasal 118

 

(1) DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf d, bersumber dari:
a. iuran tetap; dan
b. iuran produksi.
(2) DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk yang bersumber dari setoran bagian Pemerintah atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
(3) DBH sumber daya alam panas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen), dibagikan kepada:
a. provinsi yang bersangkutan sebesar 16% (enam belas persen);
b. kabupaten/kota penghasil sebesar 32% (tiga puluh dua persen);
c. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 12% (dua belas persen);
d. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 12% (dua belas persen); dan
e. kabupaten/kota pengolah sebesar 8% (delapan persen).


 

 Pasal 119

 

(1) DBH sumber daya alam perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) huruf e ditetapkan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari penerimaan pungutan pengusahaan perikanan dan penerimaan pungutan hasil perikanan.
(2) DBH sumber daya alam perikanan untuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagikan kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia dan Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam daerah kabupaten/kota otonom dengan mempertimbangkan luas wilayah laut.


 

 Pasal 120

 

Berdasarkan pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, alokasi DBH per Daerah provinsi/kabupaten/kota dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:

a. 90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 119; dan
b. 10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.


 

 Pasal 121

 

Dalam hal tidak terdapat kabupaten/kota pengolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116, Pasal 117, dan Pasal 118, porsi kabupaten/kota pengolah dibagikan secara merata kepada kabupaten/kota lainnya dalam satu provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil.

 

 Pasal 122

 

Persentase pembagian DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 120 dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.


 Pasal 123

 

(1) Selain DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1), Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya.
(2) DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya.
(3) DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan Daerah dan/atau prioritas nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.


 

Bagian Keempat
DAU
 
 Pasal 124

 

(1) Pagu nasional DAU ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
b. kemampuan Keuangan Negara;
c. pagu TKD secara keseluruhan; dan
d. target pembangunan nasional.
(2) Proporsi pagu DAU antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempertimbangkan kebutuhan pendanaan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah antara provinsi dan kabupaten/kota.
(3) Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan karakteristik tertentu.


 

 Pasal 125

 

(1) DAU untuk tiap-tiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah.
(3) Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(4) Potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjumlahan dari potensi PAD, alokasi DBH, dan alokasi DAK nonfisik.


 

 Pasal 126

 

(1) Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) dihitung berdasarkan perkiraan satuan biaya dikalikan dengan jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan dan dikalikan dengan faktor penyesuaian, serta mempertimbangkan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan.
(2) Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhitungkan biaya investasi dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Jumlah unit target layanan untuk tiap-tiap urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah target penerima layanan, seperti jumlah penduduk atau jumlah siswa, dan kesenjangan tingkat kebutuhan infrastruktur dasar dalam pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(4) Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah indikator yang memperhatikan antara lain luas wilayah, karakteristik wilayah, dan indeks kemahalan konstruksi.



 Pasal 127

 

Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) dan ayat (4) diperoleh dari lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



 Pasal 128

 

(1) DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).
(2) Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh provinsi dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).


 

 Pasal 129

 

(1) DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).
(2) Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota dalam kelompok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3).


 

 Pasal 130

 

(1) DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) dan Pasal 129 ayat (1) digunakan untuk memenuhi pencapaian standar pelayanan minimal berdasarkan tingkat capaian kinerja layanan Daerah.
(2) Penggunaan DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya dan bagian DAU yang ditentukan penggunaannya.
(3) Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan.


 

Bagian Kelima
DAK
 
 Pasal 131

 

(1) DAK dialokasikan sesuai dengan kebijakan Pemerintah untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu dengan tujuan:
a. mencapai prioritas nasional;
b. mempercepat pembangunan Daerah;
c. mengurangi kesenjangan layanan publik;
d. mendorong pertumbuhan perekonomian Daerah; dan/atau
e. mendukung operasionalisasi layanan publik.
(2) Kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. rencana pembangunan jangka menengah nasional;
b. rencana kerja pemerintah;
c. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal;
d. arahan Presiden; dan
e. ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. DAK fisik, yang digunakan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik Daerah;
b. DAK nonfisik, yang digunakan untuk mendukung operasionalisasi layanan publik Daerah; dan
c. hibah kepada Daerah, yang digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik Daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(4) Perencanaan dan pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disinergikan dengan pendanaan lainnya.
(5) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam Undang-Undang mengenai APBN sesuai dengan kemampuan Keuangan Negara.
(6) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk mencapai target kinerja Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(7) Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, yang bersumber dari luar negeri, dilakukan melalui Pemerintah.


 

Bagian Keenam
Dana Otonomi Khusus
 
 Pasal 132

 

(1) Dana Otonomi Khusus dialokasikan kepada Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
(2)
(2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi antara provinsi dan kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan secara adil dan transparan sesuai dengan Undang-Undang mengenai otonomi khusus.
(3) Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta target kinerja.


 

Bagian Ketujuh
Dana Keistimewaan
 
 Pasal 133

 

(1) Dana Keistimewaan dialokasikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
(2) Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diserahkan kepada kabupaten/kota di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sesuai dengan urusan keistimewaan Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
(3) Pendanaan atas urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan memperhatikan kebutuhan dan prioritas tiap-tiap kabupaten/kota.
(4) Pengelolaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan perencanaan yang mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana pembangunan jangka menengah Daerah serta target kinerja.



Bagian Kedelapan
Dana Desa
 
 Pasal 134

 

(1) Dana Desa merupakan pendapatan desa yang dananya bersumber dari APBN.
(2) Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dengan mempertimbangkan pemerataan dan keadilan yang dihitung berdasarkan kinerja desa, jumlah desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
(3) Pemerintah dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai perencanaan nasional dan alokasi TKD.
(4) Penganggaran, pengalokasian, pelaporan, pemantauan, dan evaluasi Dana Desa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Bagian Kesembilan
Insentif Fiskal
 
 Pasal 135

 

(1) Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal kepada Daerah atas pencapaian kinerja berdasarkan kriteria tertentu.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah, antara lain pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar.


 

Bagian Kesepuluh
TKD untuk Daerah Persiapan
 
 Pasal 136

 

(1) Menteri mengalokasikan bagian dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 huruf a dan huruf b untuk Daerah persiapan.
(2) Bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung secara proporsional dari alokasi dana TKD yang diterima Daerah induk berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, dan/atau lokasi.
(3) Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai dengan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai anggaran Belanja Daerah persiapan dalam APBD Daerah induk.
(4) Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi khusus atau yang memiliki keistimewaan, pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk bagian dana TKD yang dimaksud dalam Pasal 106 huruf d dan huruf e.
(5) Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

Bagian Kesebelas
TKD untuk Daerah Baru
 
 Pasal 137

 

(1) Dana TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 untuk Daerah baru dialokasikan secara mandiri pada tahun anggaran berikutnya sejak Undang-Undang pembentukan Daerah tersebut diundangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Daerah baru yang Undang-Undang pembentukannya diundangkan sebelum atau pada tanggal 30 Juni tahun berkenaan.
(3) Dalam hal Undang-Undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah tanggal 30 Juni tahun berkenaan, dana TKD untuk Daerah baru diperhitungkan secara proporsional dari dana TKD yang dialokasikan untuk Daerah induk.
(4) Proporsi dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), antara lain dihitung berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, lokasi, dan/atau status Daerah penghasil DBH.
(5) Dalam hal Undang-Undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan APBN tahun berikutnya, pembagian TKD antara Daerah induk dengan Daerah baru dituangkan dalam Peraturan Presiden.

 

 
Bagian Kedua Belas
Penyaluran TKD
 
 Pasal 138

 

(1) Penyaluran TKD dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas negara ke kas Daerah.
(2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dengan mempertimbangkan:
a. kemampuan Keuangan Negara;
b. kinerja pelaksanaan kegiatan di Daerah yang didanai dari Pajak dan dana TKD; dan/atau
c. kebijakan pengendalian Belanja Daerah dan kas Daerah,
dalam rangka sinergi pengelolaan fiskal nasional.


 

 Pasal 139

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme perencanaan, penganggaran, pengalokasian, penyaluran, penggunaan, pelaporan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 138 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.



BAB IV
PENGELOLAAN BELANJA DAERAH

Bagian Kesatu
Penganggaran Belanja Daerah

 Pasal 140

 

Belanja Daerah disusun dengan menggunakan pendekatan:

a. kerangka pengeluaran jangka menengah Daerah;
b. penganggaran terpadu; dan
c. penganggaran berbasis kinerja.

 


 

 Pasal 141

 

(1) Pemerintah Daerah menyusun program pembangunan Daerah sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik dan pencapaian sasaran pembangunan.
(2) Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinkronisasikan dan diharmonisasikan dengan program yang dilaksanakan oleh Pemerintah.

 

 
 Pasal 142

 

(1) Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah ditentukan berdasarkan target kinerja pelayanan publik tiap-tiap Urusan Pemerintahan.
(2) Alokasi anggaran untuk setiap perangkat Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan pemerataan antarperangkat Daerah atau berdasarkan alokasi anggaran pada tahun anggaran sebelumnya.
(3) Dalam rangka memfokuskan pencapaian target pelayanan publik, perangkat Daerah menganggarkan program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan skala prioritas.



 Pasal 143

 

(1) Belanja Daerah disusun berdasarkan standar harga dan analisis standar belanja.
(2) Standar harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar harga untuk belanja operasi dan standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintah Daerah.
(3) Standar harga untuk belanja operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan standar harga satuan regional dengan mempertimbangkan kebutuhan, kepatutan, dan kewajaran.
(4) Standar tunjangan kinerja aparatur sipil negara pada Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan paling sedikit mempertimbangkan capaian reformasi birokrasi Daerah, kelas jabatan, dan kemampuan Keuangan Daerah yang bersangkutan.
(5) Analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
(6) Pedoman mengenai standar harga dan analisis standar belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

 
 Pasal 144

 

(1) Belanja untuk pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan untuk pencapaian standar pelayanan minimal.
(2) Belanja Daerah dapat dialokasikan untuk pelaksanaan Urusan Pemerintahan wajib yang tidak terkait dengan pelayanan dasar dan Urusan Pemerintahan pilihan setelah mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).



 Pasal 145

 

(1) Daerah wajib mengalokasikan belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Belanja Daerah yang berasal dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya dianggarkan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 


 

 Pasal 146

 

(1) Daerah wajib mengalokasikan belanja pegawai Daerah di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari total belanja APBD.
(2) Dalam hal persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah melebihi 30% (tiga puluh persen), Daerah harus menyesuaikan porsi belanja pegawai paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Besaran persentase belanja pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan melalui keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi.


 

 Pasal 147

 

(1) Daerah wajib mengalokasikan belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total belanja APBD di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa.
(2) Belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal persentase belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum mencapai 40% (empat puluh persen), Daerah harus menyesuaikan porsi belanja infrastruktur pelayanan publik paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
(4) Besaran persentase belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disesuaikan melalui keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri teknis terkait dengan mempertimbangkan antara lain arah pembangunan infrastruktur nasional yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional.


 

 Pasal 148

 

Dalam hal Daerah tidak melaksanakan ketentuan alokasi Belanja Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 sampai dengan Pasal 147, Daerah dapat dikenai sanksi penundaan dan/atau pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya.

 

 

Bagian Kedua
Optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah
 
 Pasal 149

 

(1) Dalam hal terdapat SiLPA yang telah ditentukan penggunaannya berdasarkan peraturan perundang-undangan pada tahun anggaran sebelumnya, Daerah wajib menganggarkan SiLPA dimaksud sesuai dengan penggunaannya.
(2) Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan tinggi, SiLPA dapat diinvestasikan dan/atau digunakan untuk pembentukan Dana Abadi Daerah dengan memperhatikan kebutuhan yang menjadi prioritas Daerah yang harus dipenuhi.
(3) Dalam hal SiLPA Daerah tinggi dan kinerja layanan rendah, Pemerintah dapat mengarahkan penggunaan SiLPA dimaksud untuk belanja infrastruktur pelayanan publik Daerah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah.
(4) Penilaian kinerja layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menggunakan hasil penilaian kinerja yang berlaku untuk penghitungan DAU.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai optimalisasi SiLPA untuk Belanja Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
 


 

Bagian Ketiga
Pengembangan Aparatur Pengelola Keuangan Daerah
 
 Pasal 150

 

Pemerintah menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah dengan tujuan untuk memperbaiki kualitas pengelolaan Keuangan Daerah dan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan.



 Pasal 151

 

(1) Aparatur pengelola Keuangan Daerah harus mendapatkan sertifikasi yang diberikan oleh lembaga yang ditugaskan oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan pengembangan kapasitas aparatur pengelola Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150.
(2) Pelaksanaan kewajiban sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan masa transisi sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini diundangkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengembangan aparatur pengelola Keuangan Daerah dan standardisasinya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.



Bagian Keempat
Pengawasan APBD
 
 Pasal 152

 

(1) Pengawasan pengelolaan APBD dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dalam hal tertentu, melakukan pengawasan intern terhadap rancangan APBD ataupun pelaksanaan APBD dalam rangka memberikan masukan kepada Presiden.
(3) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(4) Kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri bekerja sama dengan lembaga pemerintahan yang membidangi pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden melakukan penguatan terhadap kapabilitas aparat pengawasan intern Pemerintah Daerah untuk mendukung peningkatan kualitas pengelolaan APBD.



 Pasal 153

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan Belanja Daerah dan pengawasan APBD diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

BAB V
PEMBIAYAAN UTANG DAERAH
 
 Pasal 154

 

(1) Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas:
a. Pinjaman Daerah
b. Obligasi Daerah; dan
c. Sukuk Daerah.
(2) Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(3) Pemerintah tidak memberikan jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah.
(4) Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri.
(5) Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD.
(6) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan pada saat pembahasan APBD.
(7) Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan.
(8) Pembiayaan Utang Daerah yang memenuhi persyaratan teknis dapat dilakukan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah setelah mendapat pertimbangan dari Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.


 

Bagian Kesatu
Pinjaman Daerah
 
 Pasal 155

 

(1) Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain;
c. lembaga keuangan bank; dan/atau
d. lembaga keuangan bukan bank.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui penugasan kepada lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank.
(4) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemberi pinjaman.
(5) Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah.



 Pasal 156

 

(1) Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka:
a. pengelolaan kas;
b. pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah;
c. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau
d. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD.
(2) Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan tidak dengan persetujuan DPRD.
(3) Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pinjaman Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan.
(5) Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa penugasan dari Pemerintah/Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.



Bagian Kedua
Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah
 
 Pasal 157

 

(1) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka:
a. pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah;
b. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau
c. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD atas dana hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(2) Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pasar modal domestik dan dalam mata uang Rupiah.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah.
(4) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(5) Penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat pernyataan kesesuaian Sukuk Daerah terhadap prinsip-prinsip syariah dari ahli syariah pasar modal.


 

 Pasal 158

 

(1) Barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah dapat digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah.
(2) Barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut sebagai aset Sukuk Daerah, dapat berupa:
a. tanah dan/atau bangunan; dan
b. selain tanah dan/atau bangunan.
(3) Aset Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk Daerah.


 

Bagian Ketiga
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
 
 Pasal 159

 

Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah.

 

 

 Pasal 160

 

(1) Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain.
(2) Barang milik Daerah tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk mendapatkan Pembiayaan Utang Daerah.



 Pasal 161

 

(1) Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo.
(2) Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban.
(3) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.


 

 Pasal 162

 

(1) Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah yang telah jatuh tempo, Menteri dapat melakukan pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya.
(2) Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


 

 Pasal 163

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan mekanisme Pembiayaan Utang Daerah serta barang milik Daerah dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 sampai dengan Pasal 162 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VI
PEMBENTUKAN DANA ABADI
 
 Pasal 164

 

(1) Daerah dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang ditetapkan dengan Perda.
(2) Pembentukan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan antara lain kapasitas fiskal Daerah dan pemenuhan kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik.
(3) Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
a. memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya;
b. memberikan sumbangan kepada penerimaan daerah; dan
c. menyelenggarakan kemanfaatan umum lintas generasi.


 

 Pasal 165

 

(1) Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (1) dikelola oleh bendahara umum Daerah atau badan layanan umum Daerah.
(2) Pengelolaan Dana Abadi Daerah dilakukan dalam investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai.
(3) Hasil pengelolaan Dana Abadi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi Pendapatan Daerah.



Pasal 166

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan Dana Abadi Daerah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

BAB VII
SINERGI PENDANAAN
 
 Pasal 167

 

(1) Dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dan/atau program prioritas lainnya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah, Pemerintah Daerah dapat melakukan Sinergi Pendanaan.
(2) Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui berbagai sumber pendanaan baik dari APBD maupun selain dari APBD.
(3) Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari PAD, TKD, dan/atau Pembiayaan Utang Daerah.
(4) Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa kerja sama dengan pihak swasta, badan usaha milik negara, BUMD, dan/atau Pemerintah Daerah lainnya.
(5) Dalam rangka mendukung Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat menyinergikan dengan belanja kementerian/lembaga dan/atau tugas pembantuan.


 

 Pasal 168

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.



BAB VIII
SINERGI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
 
 Pasal 169

 

(1) Pemerintah menyinergikan kebijakan fiskal nasional.
(2) Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah;
b. penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah;
c. pengendalian dalam kondisi darurat; dan
d. sinergi bagan akun standar.



 Pasal 170

 

(1) Pemerintah Daerah menyinergikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal Daerah dengan rencana pembangunan jangka menengah nasional, rencana kerja pemerintah, kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, arahan Presiden, dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat(2).
(2) Rencana pembangunan jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan berbagai usulan program strategis Daerah sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan mengenai sistem perencanaan pembangunan nasional.


 

 Pasal 171

 

Penyelarasan dengan rencana jangka menengah nasional dan rencana kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dilakukan melalui penyelarasan target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah dengan prioritas nasional.

 

 

 Pasal 172

 

Penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b dilakukan dengan ketentuan:

a. Menteri menetapkan batas maksimal kumulatif defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya, paling lama bulan Agustus tahun anggaran berjalan, dengan memperhatikan keadaan dan perkembangan perekonomian nasional;
b. jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan; dan
c. jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pembiayaan Utang Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan.


 

 Pasal 173

 

Pengendalian dalam kondisi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf c dilakukan dengan ketentuan:

a. Pemerintah dapat mewajibkan Daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD;
b. Pemerintah dapat melakukan penyesuaian besaran batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172; dan
c. ketentuan mengenai pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan perubahan penggunaan APBD sebagaimana dimaksud pada huruf a dan penyesuaian batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada huruf b, diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

 


 Pasal 174

 

Sinergi bagan akun standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf d dilakukan paling sedikit melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

 Pasal 175

 

Pemerintah dapat memberikan sanksi berupa penundaan dan/atau pemotongan TKD dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 sampai dengan Pasal 174.

 

 

 Pasal 176

 

Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 didukung dengan:

a. penyusunan konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah;
b. penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional; dan
c. pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi.



 Pasal 177

 

Pemerintah membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital yang terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional.

 

 

 Pasal 178

 

Dalam rangka penyajian informasi keuangan Daerah secara nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 huruf b, Pemerintah Daerah menyediakan informasi keuangan Daerah secara digital dalam jaringan.

 

 

 Pasal 179

 

(1) Pemerintah melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala paling sedikit terhadap:
a. pelaksanaan TKD; dan
b. pelaksanaan APBD.
(2) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan sistem informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177.
(3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah.


 

 Pasal 180

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 sampai dengan Pasal 179 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

 

 

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
 
 Pasal 181

 

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.


 

 Pasal 182

 

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.

 

 

 Pasal 183

 

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.

 

 

 Pasal 184

 

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.

 

 

 Pasal 185

 

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181, Pasal 183, dan Pasal 184 merupakan pendapatan negara.

 

 

BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN
 
 Pasal 186

 

Dalam hal terdapat beban Keuangan Negara akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah dan telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, tanggung jawab atas perbuatan hukum dimaksud diperhitungkan dengan pemotongan TKD.

 

 

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
 
 Pasal 187

 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Undang-Undang ini;
b. Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini;
c. khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini;
d. dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c tidak dapat dipenuhi, ketentuan mengenai Pajak dan Retribusi mengikuti ketentuan berdasarkan Undang-Undang ini;
e. penerapan DAU sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak boleh mengakibatkan penurunan alokasi DAU per daerah paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak diberlakukannya ketentuan mengenai alokasi DAU berdasarkan Undang-Undang ini; dan
f. ketentuan mengenai DBH sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua, dinyatakan tetap berlaku selama tidak diatur lain dalam Undang-Undang ini.
 



 Pasal 188

 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); dan
b. peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

   


BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
 
 Pasal 189

 

(1) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
b. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
c. Pasal 1 angka 30, Pasal 1 angka 38, Pasal 1 angka 47 sampai dengan angka 49, Pasal 245 sepanjang terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pasal 279, Pasal 285 ayat (2) huruf a angka 1 sampai dengan angka 4, Pasal 288 sampai dengan Pasal 291, Pasal 296, Pasal 302, Pasal 324, dan Pasal 325 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); dan
d. Pasal 114 dan Pasal 176 angka 4 ayat (4) dalam Pasal 252 dan angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(2) Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta Pajak dan Retribusi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.



 Pasal 190

 

Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 104, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.

 

 

 Pasal 191

 

(1) Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini mulai berlaku 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan mengenai alokasi atas DAU dan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dilaksanakan sepenuhnya mulai Tahun Anggaran 2023.



 Pasal 192

 

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

 

 Pasal 193

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada saat diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 
 
 
 







Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

ttd

YASONNA H. LAOLY
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 5 Januari 2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JOKO WIDODO














LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 4



 

PENJELASAN
ATAS
 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2022
 
TENTANG
 
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

 


I.   UMUM

  1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

    Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga Daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antarpemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang.
     
    Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Undang-Undang tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyusunan Undang-Undang ini juga didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
    Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
     
  2. Sistem Pajak dan Retribusi
     
    Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
     
    Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan).
     
    Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
     
    Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
     
    Penyelarasan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Perda mengenai Pajak dan Retribusi yang menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha.
     
  3. TKD
     
    TKD sebagai salah satu sumber Pendapatan Daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pusat dan Daerah (vertikal) dan ketimpangan fiskal antar-Daerah (horizontal), sekaligus mendorong kinerja Daerah dalam mewujudkan pemerataan pelayanan publik di seluruh Daerah. TKD meliputi DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Keistimewaan, serta Dana Desa.
     
    Dalam rangka mencapai tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal dan kesenjangan pelayanan antar-Daerah, pengelolaan TKD akan mengedepankan kinerja sehingga dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan di Daerah, sekaligus mendorong tanggung jawab Daerah dalam memberikan pelayanan yang lebih baik secara efisien dan disiplin. Untuk itu, DBH dialokasikan berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dua tahun sebelumnya dalam rangka memberikan kepastian penerimaan bagi Daerah. Selain itu, pengalokasian DBH akan memperhitungkan kinerja Daerah dalam memperkuat penerimaan negara yang dibagihasilkan ataupun perbaikan lingkungan yang terdampak akibat aktivitas eksploitasi.
     
    Reformulasi pengalokasian DAU dilakukan melalui penghitungan kebutuhan fiskal berdasarkan pada unit cost dan target layanan, serta penghitungan kapasitas fiskal sesuai dengan potensi pendapatan Daerah sehingga lebih mencerminkan kebutuhan dan kapasitas fiskal secara riil. Selain pada aspek pengalokasian, reformulasi DAU dilakukan pada aspek penggunaan yang ditujukan untuk mendorong kinerja pencapaian pelayanan dasar masyarakat. Sementara itu, DAK akan lebih difokuskan pada upaya mendukung Daerah dalam pencapaian prioritas nasional dengan berdasarkan pada target kinerja, sekaligus menjaga pemerataan serta keseimbangan tingkat layanan antar-Daerah.
     
    TKD juga memasukkan dana transfer yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya, yaitu Dana Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Papua Barat, Dana Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Dana Desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggabungkan dana-dana tersebut dalam taksonomi TKD secara utuh, sekaligus melakukan penguatan dalam rangka mendorong proses alokasi yang lebih tepat, transparan, dan akuntabel, serta mendorong perbaikan kinerja layanan masyarakat melalui penerapan target kinerja.
     
    Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal tertentu kepada Daerah tertentu, sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus merangsang kinerja Daerah dalam pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan pemerintahan umum, pelayanan dasar publik, dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
     
  4. Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan
     
    Kemampuan Keuangan Daerah masih relatif terbatas dalam mendanai penyediaan sarana dan prasarana publik. Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber-sumber Pembiayaan Utang Daerah, baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Skema Pinjaman Daerah akan didasarkan pada penggunaannya dan bukan pada periodisasi jangka waktu pinjaman, meliputi pinjaman untuk pengelolaan kas, pembiayaan pembangunan infrastruktur Daerah, pengelolaan portofolio utang Daerah, dan penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal BUMD. Selain itu, jenis Pinjaman Daerah akan diperluas, yaitu pinjaman tunai dan pinjaman kegiatan.
     
    Daerah juga diberi pilihan untuk mengakses Pembiayaan kreatif berupa Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah. Perluasan akses Pembiayaan bagi Daerah juga diikuti dengan penyederhanaan proses pelaksanaan Pembiayaan, antara lain melalui pengintegrasian persetujuan DPRD atas Pembiayaan Utang Daerah dalam proses pembahasan rancangan APBD. Selain itu, Pemerintah mendorong adanya sinergi pendanaan antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan Badan Usaha dalam rangka penguatan sumber pendanaan program/kegiatan agar memberikan manfaat yang lebih signifikan.
     
  5. Pengelolaan Belanja Daerah
     
    Selain perbaikan kebijakan dari aspek input, Undang-Undang ini mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah. Belanja Daerah masih didominasi oleh belanja aparatur dan belanja operasional rutin dan dikelola dengan kurang efisien, serta tidak didukung dengan sumber daya manusia pengelola Keuangan Daerah yang memadai. Belanja Daerah masih dianggarkan relatif minimal dalam mendukung belanja yang berorientasi pada layanan infrastruktur publik sehingga tidak dapat secara optimal mendukung pencapaian outcome pembangunan Daerah dan pertumbuhan ekonomi Daerah. Selain itu, Belanja Daerah sering kali masih berjalan sendiri-sendiri dengan program dan kegiatan kecil-kecil yang tidak fokus sehingga pada akhirnya output dan/atau outcome tidak memberikan dampak perbaikan yang signifikan bagi masyarakat, serta tidak terhubung dengan prioritas nasional dan arah kebijakan fiskal nasional.
     
    Untuk itu, diperlukan pengaturan dan penguatan disiplin Belanja Daerah dalam APBD. Perbaikan pengaturan tersebut dilakukan mulai dari penganggaran Belanja Daerah, simplifikasi dan sinkronisasi program prioritas Daerah dengan prioritas nasional, serta penyusunan Belanja Daerah yang didasarkan atas standar harga (belanja operasi dan tunjangan kinerja Daerah) dan analisis standar belanja. Selain itu, penguatan disiplin Belanja Daerah dilakukan dengan pengaturan alokasi Belanja Daerah, seperti kewajiban untuk memenuhi porsi tertentu atas jenis belanja tertentu, baik yang dimandatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dalam Undang-Undang ini, serta optimalisasi penggunaan SiLPA berbasis kinerja.
     
    Lebih lanjut, peningkatan kualitas Belanja Daerah juga dilakukan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah dan penguatan aspek pengawasan. Untuk itu, Undang-Undang ini juga memandatkan adanya sertifikasi bagi aparatur pengelola keuangan di Pemerintah Daerah, dan keterlibatan aparat pengawas intern Pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk melakukan pengawasan intern atas rancangan APBD ataupun pelaksanaan atas APBD, dan melakukan penguatan kapabilitas terhadap aparat pengawas intern Pemerintah Daerah.
     
    Undang-Undang ini juga memberikan ruang bagi daerah-daerah tertentu yang mempunyai kapasitas fiskal memadai dan telah menyelenggarakan dengan baik segala urusan wajib layanan dasar, untuk dapat membentuk Dana Abadi Daerah yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat yang bersifat lintas generasi.
     
  6. Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional

    Penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah tidak dapat berdiri sendiri untuk menjawab tantangan dalam mewujudkan tujuan bernegara. Kebijakan fiskal terdiri atas fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi sehingga pelaksanaan kebijakan fiskal di Daerah harus sinergis dengan kebijakan fiskal di Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan seluruh instrumen kebijakan fiskal dalam mencapai tujuan bernegara. Untuk itu, Undang-Undang ini juga mengatur bagaimana melaksanakan sinergi kebijakan fiskal nasional, yang dilakukan antara lain melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi bagan akun standar. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut didukung oleh sistem informasi yang dapat mengonsolidasikan laporan keuangan pemerintahan secara nasional sesuai dengan bagan akun standar yang terintegrasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional, serta menghasilkan kebijakan yang didasarkan pada pemantauan dan evaluasi atas Hubungan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang terukur dan terstruktur.
     
    Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan kepada masyarakat di seluruh pelosok nusantara dapat makin merata dan dengan kualitas yang memadai. Pengaturan-pengaturan yang terkait dengan pengelolaan perpajakan Daerah, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, dan pengendalian APBD diharapkan memberikan kemampuan kepada Pemerintah Daerah untuk secara bersama-sama dan sinergis dengan Pemerintah mencapai tujuan pembangunan nasional dalam mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.



II.   PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "potensinya kurang memadai" adalah potensi penerimaan dari suatu jenis Pajak yang nilainya terlalu kecil sehingga biaya operasional pemungutannya lebih besar dibandingkan dengan hasil pungutannya.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.

Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.

Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama Kendaraan Bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Pemasukan Kendaraan Bermotor untuk dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia merupakan impor sementara yang dimaksudkan untuk diekspor kembali sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, contoh:

  1. kendaraan yang dibawa oleh wisatawan;
  2. kendaraan yang digunakan teknisi, wartawan, tenaga ahli; dan
  3. kendaraan proyek yang digunakan sementara waktu yang pada saat pengimporannya telah jelas bahwa barang tersebut akan diekspor kembali.


Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 13

 

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Stabilisasi harga dilakukan dalam rangka pengendalian risiko fiskal dan ekonomi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Bobot Air Permukaan dihitung dengan menggunakan indikator-indikator yang menunjukkan dampak pengambilan/pemanfaatan Air Permukaan terhadap lingkungan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Ayat (1)

Huruf a

Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:

  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
  3.  
  4. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.


Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.

Huruf i

Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

 

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pemanfaatan" adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Huruf a

Penggunaan variabel lainnya dalam bagi hasil PBBKB dengan bobot paling tinggi sebesar 30% (tiga puluh persen) merupakan kewenangan Daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan Daerah.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Penambahan jenis Retribusi misalnya adalah pelayanan pengendalian perkebunan kelapa sawit.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.

Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.

Pasal 112

Ayat (1)

DBH dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pajak Penghasilan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri termasuk yang pemungutannya bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Ayat (1)

Penerimaan sumber daya alam kehutanan yang dibagihasilkan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi tempat pengusahaan hutan.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 116

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara. Pertambangan yang berada di atas 12 (dua belas) mil tidak dibagihasilkan mengingat kewenangan batas wilayah Daerah adalah sampai dengan 12 (dua belas) mil laut sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan mineral dan batu bara dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Ayat (5)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

 

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan minyak bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan gas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Ayat (5)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menghasilkan gas bumi berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertambangan minyak dan gas bumi.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 118

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Bagian dari 90% (sembilan puluh persen) DBH SDA tersebut, termasuk yang ditujukan untuk:

    1. a. kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang sama;
    1. b. kabupaten/kota yang berbatasan langsung baik dalam provinsi yang sama maupun berbeda;
    2. c. kabupaten/kota pengolah;


    1. dengan mempertimbangkan antara lain dampak eksternalitas.


  1. Kinerja Pemerintah Daerah merupakan kinerja Pemerintah Daerah dalam mendukung antara lain optimalisasi penerimaan negara, seperti pajak pusat dan penerimaan negara bukan pajak dan/atau kinerja pemeliharaan lingkungan, seperti pengelolaan lingkungan dan energi ramah lingkungan.


Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Ayat (1)

Jenis DBH lainnya antara lain dapat berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 124

Ayat (1)

Penghitungan kebutuhan pelayanan publik juga mempertimbangkan kesinergisan pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah dan Daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "karakteristik tertentu" adalah karakteristik kewilayahan, seperti letak geografis dan perekonomian Daerah.

Pasal 125

Ayat (1)

DAU = Celah Fiskal (CF)

Ayat (2)

Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - potensi pendapatan Daerah.

Ayat (3)

Penghitungan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan memperhitungkan antara lain kebutuhan penggajian aparatur sipil negara, baik PNS maupun PPPK.

Ayat (4)

Untuk provinsi, PAD tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota dan untuk kabupaten dan kota termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi. Alokasi DAK nonfisik yang diperhitungkan antara lain adalah bidang pendidikan dan kesehatan.

Pasal 126

Ayat (1)

Jumlah unit target layanan diperoleh dari lembaga statistik Pemerintah dan/atau lembaga Pemerintah yang berwenang menerbitkan data.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “biaya investasi” adalah rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah sektor tertentu dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun target layanan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Karakteristik wilayah misalnya Daerah yang berciri kepulauan dan Daerah dengan basis perekonomian tertentu seperti sektor pariwisata atau sektor pertanian dan perikanan yang mendukung ketahanan pangan.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Ayat (1)

DAU Provinsii = Bobot provinsii x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi.

Ayat (2)

di mana,

CF Provinsii = Celah Fiskal untuk provinsii.

ΣCF Provinsi = jumlah Celah Fiskal seluruh provinsi dalam kelompok provinsi.

Pasal 129

Ayat (1)

DAU kabupaten/kotai = Bobot kabupaten/kotai x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota.

Ayat (2)

di mana,

CF kabupaten/kotai = Celah Fiskal untuk kabupaten/kotai.

CF kabupaten dan kota = jumlah Celah Fiskal seluruh kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota.

Pasal 130

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Bagi Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH.

Pasal 131

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Penyinergian DAK dengan pendanaan lainnya bertujuan untuk mendukung pencapaian program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu.

Pendanaan lainnya dapat berasal dari TKD lainnya, Pembiayaan Utang Daerah, APBD, kerja sama pemerintah dan badan usaha, kerja sama antar-Daerah, dan belanja kementerian/lembaga.

Belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah dialihkan menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 132

Ayat (1)

Dana Otonomi Khusus bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan otonomi khusus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 133

Ayat (1)

Dana Keistimewaan bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 134

Ayat (1)

Dana Desa bertujuan untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan yang menjadi kewenangan desa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 135

Cukup jelas.

Pasal 136

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "lokasi" adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 137

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "dialokasikan secara mandiri" adalah alokasi TKD dalam statusnya sebagai daerah otonom baru yang perhitungannya sesuai dengan formula yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai TKD.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “lokasi” adalah letak pengusahaan hutan, tambang, kepala sumur minyak bumi atau gas bumi, dan/atau wilayah kerja panas bumi yang menjadi dasar penetapan Daerah penghasil sumber daya alam.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 138

Ayat (1)

Penyaluran TKD dapat dilakukan secara langsung ke rekening penerima manfaat, seperti desa dan/atau sekolah. Dalam hal penyaluran TKD dilaksanakan dengan mekanisme tersebut, transaksi dimaksud tetap tercatat dalam APBD.

Ayat (2)

Dalam rangka pengelolaan kas pemerintahan yang efektif dan efisien, penyaluran dilaksanakan dalam skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu. Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh Pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Cukup jelas.

Pasal 143

Cukup jelas.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Ayat (1)

Alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, dan alokasi dana desa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 146

Ayat (1)

Belanja pegawai Daerah termasuk di dalamnya aparatur sipil negara, Kepala Daerah, dan anggota DPRD. Belanja pegawai Daerah pada ayat ini tidak termasuk belanja untuk tambahan penghasilan guru, tunjangan khusus guru, tunjangan profesi guru, dan tunjangan sejenis lainnya yang bersumber dari TKD yang telah ditentukan penggunaannya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 147

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "belanja infrastruktur pelayanan publik" adalah belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar-Daerah.

Yang dimaksud dengan "belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa" adalah belanja bagi hasil dan/atau transfer yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain bagi hasil Pajak provinsi kepada kabupaten/kota, bagi hasil Pajak dan Retribusi kabupaten/kota kepada desa, dan transfer kepada desa yang berasal dari Dana Desa dan alokasi dana desa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 148

Cukup jelas.

Pasal 149

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah dalam rangka menjalankan arahan Presiden untuk kepentingan strategis nasional dan untuk memberikan masukan yang bersifat lintas sektor.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 153

Cukup jelas.

Pasal 154

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Yang dimaksud "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 155

 

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud "lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank" adalah lembaga keuangan yang dianggap mampu oleh Menteri.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

 

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah digunakan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan/atau memberikan manfaat bagi masyarakat.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 158

Ayat (1)

Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "selain tanah dan/atau bangunan" dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 159

Cukup jelas.

Pasal 160

Cukup jelas.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Cukup jelas.

Pasal 165

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal; fluktuasi hanya akan memengaruhi imbal hasil.

Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Cukup jelas.

Pasal 169

Ayat (1)

Sinergi dimaksud dalam rangka mendukung pengelolaan fiskal pusat dan Daerah yang terintegrasi antara lain adalah refocusing, penyesuaian Belanja Daerah dan belanja pusat, mendukung kebijakan anti-cyclical, serta penyelarasan kebijakan fiskal nasional dan target capaian pembangunan nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 170

Cukup jelas.

Pasal 171

Cukup jelas.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:
a. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
b. proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
c. adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Pasal 174

Sinergi bagan akun standar merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara bagan akun standar pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pasal 175

Cukup jelas.

Pasal 176

Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan bagan akun standar untuk Pemerintah Pusat, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan.

Pasal 177

Informasi lainnya antara lain adalah informasi kepegawaian dan layanan pengadaan barang dan jasa.

Pasal 178

Cukup jelas.

Pasal 179

Ayat (1)

Pelaksanaan Pemantauan dan evaluasi terhadap Pelaksanaan TKD dan pelaksanaan APBD setidaknya berfokus pada i) pelaksanaan belanja wajib (mandatory spending), seperti belanja pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur; ii) likuiditas Keuangan Daerah; iii) SiLPA; serta iv) pemantauan dan evaluasi terhadap pencapaian output atas program-program prioritas nasional dan Daerah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 180

Cukup jelas.

Pasal 181

Cukup jelas.

Pasal 182

Cukup jelas.

Pasal 183

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 185

Cukup jelas.

Pasal 186

Cukup jelas.

Pasal 187

Cukup jelas.

Pasal 188

Cukup jelas.

Pasal 189

Cukup jelas.

Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.

Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

 

 
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6757