Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 TAHUN 2024

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2024


TENTANG
KETENTUAN PERPAJAKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
                 

Menimbang

a. bahwa untuk melaksanakan pembaruan sistem administrasi perpajakan yang lebih transparan, efektif, efisien, akuntabel, dan fleksibel, perlu dilakukan penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum guna meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung perekonomian nasional;
b. bahwa penataan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dilakukan dalam lingkup proses bisnis, serta teknologi informasi dan basis data di antaranya melalui penyesuaian pengaturan pendaftaran wajib pajak dan pengukuhan pengusaha kena pajak, pembayaran dan penyetoran pajak, pelaporan pajak, serta layanan administrasi perpajakan;
c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan;
                 

Mengingat

1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 240, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6571);
8. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5696);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Partisipasi Interes pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6717);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
12. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 660) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 983);
                 
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KETENTUAN PERPAJAKAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN SISTEM INTI ADMINISTRASI PERPAJAKAN.
                 
BAB IKETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang­-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
4. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai.
6. Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
7. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
8. Pajak Penghasilan Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
9. Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak pertambahan nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
10. Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pajak penjualan atas barang mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
11. Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan selain pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan.
12. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Bea Meterai.
13. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.
14. Pajak Penjualan adalah pajak yang dipungut atas penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pengusaha di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perobahan/Tambahan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951.
15. Pajak Dalam Rangka Impor adalah Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
16. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak, ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan/atau ekspor jasa kena pajak.
17. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh pengusaha kena pajak karena perolehan barang kena pajak dan/atau perolehan jasa kena pajak dan/atau pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor barang kena pajak.
18. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
19. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
20. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
21. Portal Wajib Pajak adalah sarana Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
22. Contact Center adalah saluran interaksi antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik yang dikelola unit tertentu di Direktorat Jenderal Pajak dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
23. Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
24. Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
25. Waktu Indonesia Barat adalah waktu Indonesia barat sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden tentang pembagian wilayah Republik Indonesia menjadi 3 (tiga) wilayah waktu.
26. Akun Wajib Pajak adalah tempat pencatatan, penyimpanan, dan penyampaian dokumen, data, dan/atau informasi terkait pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak maupun dari pelaksanaan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak, yang diidentifikasi menggunakan nomor pokok wajib pajak.
27. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange, surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
28. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
29. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi surat ketetapan pajak kurang bayar, surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, surat ketetapan pajak nihil, atau surat ketetapan pajak lebih bayar.
30. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
31. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
32. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
33. Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggungjawab penggunaan anggaran.
34. Kode Otorisasi adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
35. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha tetap, serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
36. Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi adalah Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
37. Instansi Pemerintah Pusat adalah satuan kerja pada kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, kesekretariatan lembaga negara, dan kesekretariatan lembaga nonstruktural, termasuk badan layanan umum, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja negara yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
38. Instansi Pemerintah Daerah adalah satuan kerja perangkat daerah provinsi dan satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota, termasuk badan layanan umum daerah, selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja daerah yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
39. Instansi Pemerintah Desa adalah unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa selaku pengguna anggaran pendapatan dan belanja desa yang wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
40. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
41. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
42. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
43. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
44. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah Surat Ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
45. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya pokok Pajak Bumi dan Bangunan atau selisih pokok Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya denda administratif, dan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar.
46. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan adalah Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
47. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, surat keputusan pengurangan sanksi administratif, surat keputusan penghapusan sanksi administratif, surat keputusan pengurangan ketetapan pajak, surat keputusan pembatalan ketetapan pajak, surat keputusan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, surat keputusan pemberian imbalan bunga, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, surat keputusan pengurangan denda administrasi Pajak Bumi dan Bangunan, atau surat keputusan persetujuan bersama.
48. Surat Keputusan Persetujuan Bersama adalah surat keputusan yang diterbitkan untuk menindaklanjuti kesepakatan dalam persetujuan bersama.
49. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, surat pemberitahuan pajak terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, pemotongan pajak oleh pihak ketiga, atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga.
50. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
  a. pengurangan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
  b. penolakan atas permohonan pengurangan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
51. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
  a. penghapusan sanksi administratif sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atau Surat Tagihan Pajak; atau
  b. penolakan atas permohonan penghapusan sanksi administratif yang diajukan oleh Wajib Pajak.
52. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
  a. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  b. penolakan atas permohonan pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
53. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
  a. pengurangan atas materi penetapan yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Tagihan Pajak;
  b. pengurangan atas jumlah pajak yang tidak benar dalam surat pemberitahuan pajak terutang;
  c. pengurangan jumlah pokok pajak, jumlah selisih pokok pajak, dan/atau denda administratif yang tidak benar dalam Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  d. penolakan atas permohonan pengurangan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
54. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang kepada Wajib Pajak.
55. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
  a. pembatalan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  b. penolakan atas permohonan pembatalan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
56. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
57. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
58. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak adalah surat keputusan yang digunakan sebagai dasar untuk menerbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak.
59. Segel Elektronik adalah data elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik untuk menjamin asal, integritas, dan keutuhan dari Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang digunakan oleh badan usaha atau instansi.
60. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
61. Warga Negara Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli atau orang bangsa lain yang telah disahkan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewarganegaraan Republik Indonesia.
62. Penduduk adalah Warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
63. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa, tidak termasuk jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, pada 1 (satu) atau lebih tempat kegiatan usaha yang berbeda dengan tempat tinggal Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
64. Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha adalah nomor identitas yang diberikan untuk setiap tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, termasuk tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
65. Nomor Induk Kependudukan adalah nomor identitas Penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai Penduduk Indonesia.
66. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali untuk Pajak Penghasilan dapat menggunakan tahun buku dalam hal Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
67. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
68. Wajib Pajak Nonaktif adalah Wajib Pajak yang tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif namun belum dilakukan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
69. Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Warga Negara Indonesia memenuhi persyaratan menjadi subjek pajak luar negeri.
70. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak adalah tindakan menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
71. Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
72. Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) adalah prosedur administratif yang diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
73. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
74. Pengusaha adalah orang pribadi atau Badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
75. Kantor Virtual (virtual office) atau Kantor Bersama (co­-working space), yang selanjutnya disebut Kantor Virtual, adalah suatu kantor yang memiliki ruangan fisik dan dilengkapi dengan layanan pendukung kantor yang disediakan oleh Pengusaha jasa kantor virtual untuk dapat digunakan sebagai tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha, atau korespondensi secara bersama-sama oleh 2 (dua) atau lebih Pengusaha yang atas pemanfaatan kantor dimaksud terdapat pembayaran dalam bentuk apapun, tidak termasuk jasa persewaan gedung dan jasa persewaan kantor (serviced office).
76. Warga Negara Asing adalah setiap orang yang bukan Warga Negara Indonesia.
77. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak atau penyerahan jasa kena pajak.
78. Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak adalah tindakan mencabut pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dari administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
79. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
80. Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
81. Kontrak Kerja Sama adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
82. Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagai pemberitahuan bahwa objek pajak dan Wajib Pajak telah terdaftar dalam sistem administrasi perpajakan Direktorat Jenderal Pajak.
83. Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan satuan kerja khusus pelaksana kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau badan pengelola migas Aceh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
84. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara Online Single Submission yang selanjutnya disebut Lembaga Online Single Submission adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
85. Nomor Objek Pajak adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
86. Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Objek Pajak adalah bumi dan/atau bangunan yang merupakan objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
87. Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak menurut ketentuan Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang dilampiri dengan lampiran surat pemberitahuan Objek Pajak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan surat pemberitahuan Objek Pajak.
88. Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik adalah Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
89. Pendataan adalah kegiatan Direktorat Jenderal Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan.
90. Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
91. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak Pertambahan Nilai, objek Pajak Pertambahan Nilai dan/atau bukan objek Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk suatu Masa Pajak.
92. Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
93. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
94. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, Badan, atau Instansi Pemerintah tersebut.
95. Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
96. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
97. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
98. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan pemeriksa pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administratif.
99. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau putusan gugatan dari badan peradilan pajak.
100. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dihasilkan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
101. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
102. Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valas yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara.
103. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
104. Meterai adalah label atau carik dalam bentuk tempel, elektronik, atau bentuk lainnya yang memiliki ciri dan mengandung unsur pengaman yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, yang digunakan untuk membayar pajak atas dokumen.
105. Bukti Penerimaan Negara adalah dokumen yang diterbitkan oleh Collecting Agent atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan nomor transaksi penerimaan negara dan nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
106. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga dan Pajak Penghasilan Pasal 22 Impor, Pajak Pertambahan Nilai Impor, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah Impor.
107. Bukti Pemindahbukuan adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan pemindahbukuan.
108. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
109. Surat Perintah Pencairan Dana adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku kuasa bendahara umum negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara berdasarkan surat perintah membayar kelebihan pajak atau surat perintah membayar imbalan bunga.
110. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi adalah satuan kerja penyelenggara pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang dibentuk sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
111. Badan Pengelola Migas Aceh adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 s.d. 12 mil laut).
112. Deposit Pajak adalah pembayaran pajak yang belum merujuk pada kewajiban pajak tertentu.
113. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau Jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
114. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
115. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
116. Bank Persepsi Valas adalah bank devisa yang ditunjuk oleh kuasa bendahara umum negara pusat untuk menerima setoran penerimaan negara dalam mata uang asing dari dalam negeri dan/atau luar negeri.
117. Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak adalah surat perintah dari Kepala Kantor Pelayanan Pajak kepada kantor pelayanan perbendaharaan negara untuk menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana sebagai dasar kompensasi Utang Pajak dan/atau dasar pembayaran kembali kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak.
118. Penghasilan Bruto adalah semua penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha, setelah dikurangi dengan retur dan pengurangan penjualan serta potongan tunai dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.
119. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
120. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
121. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
122. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor adalah formulir penagihan untuk menagih bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor yang tidak atau kurang dibayar oleh importir, pengangkut, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, atau pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, yang diterbitkan oleh pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penagihan piutang bea masuk, cukai, denda administrasi, bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor.
123. Surat Penetapan Pabean adalah surat penetapan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administratif, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
124. Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh pejabat berwenang dari pemerintah Indonesia dan pejabat berwenang dari pemerintah mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda sehubungan dengan Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang telah dilaksanakan.
125. Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di bidang perpajakan (competent authority) atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berisi status domisili (resident) subjek pajak luar negeri dengan menggunakan formulir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
126. Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri untuk membayar imbalan bunga kepada Wajib Pajak.
127. Arsip Data Komputer adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
128. Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari bendahara umum negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa bendahara umum negara.
129. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
130. Lifting adalah sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi yang tersedia untuk dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
131. Real Estat adalah tanah secara fisik dan bangunan yang ada di atasnya.
132. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak investasi kolektif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pasar modal.
133. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak berjalan untuk suatu bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang­-Undang Pajak Penghasilan.
134. Penelitian Surat Pemberitahuan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran­-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan perhitungannya.
135. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
136. Special Purpose Company adalah perseroan terbatas yang sahamnya dimiliki oleh dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan persen) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan dana investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif.
137. Dana Investasi Real Estat adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
138. Surat Keterangan Fiskal adalah informasi mengenai kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
139. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan badan pelaksana.
140. Uplift adalah imbalan yang diterima oleh Kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi Kontraktor lain, yang ada dalam satu Kontrak Kerja Sama, dalam pembiayaan.
141. Partisipasi Interes adalah hak, kepentingan, dan kewajiban kontraktor berdasarkan Kontrak Kerja Sama di bidang minyak dan gas bumi.
142. Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan, serta kegiatan lain yang mendukungnya.
143. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah kerja yang ditentukan.
144. Uang Persediaan adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada bendahara pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari satuan kerja atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme pembayaran langsung.
145. Wajib Pajak Baru adalah Wajib Pajak orang pribadi dan Badan yang baru terdaftar pada suatu Tahun Pajak, termasuk Wajib Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pengambilalihan usaha dan/atau perubahan bentuk badan usaha.
146. Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Lainnya adalah Wajib Pajak yang melaksanakan kegiatan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang­-undangan.
147. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.
148. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
149. Perseroan adalah perseroan terbatas dalam negeri yang sahamnya diperjualbelikan oleh pemegang saham Wajib Pajak luar negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
150. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
151. Dividen adalah bagian laba yang diterima atau diperoleh pemegang saham.
152. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.
153. Harga Minyak Mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh pemerintah dengan suatu formula dalam rangka pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/atau gas bumi serta penjualan minyak mentah bagian pemerintah yang berasal dari pelaksanaan Kontrak Kerja Sama minyak bumi dan/atau gas bumi.
154. Overlifting Kontraktor adalah kelebihan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
155. Underlifting Kontraktor adalah kekurangan pengambilan minyak dan/atau gas bumi oleh Kontraktor dibandingkan dengan haknya yang diatur dalam Kontrak Kerja Sama pada periode tertentu.
156. Nomor Transaksi Penerimaan Negara adalah nomor unik tanda bukti pembayaran/penyetoran ke Kas Negara yang diterbitkan sistem settlement terdiri dari kombinasi huruf dan angka.
157. Nomor Transaksi Bank adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan bank persepsi atau Bank Persepsi Valas.
158. Operator adalah Kontraktor atau dalam hal Kontraktor terdiri atas beberapa pemegang Partisipasi Interes, salah satu pemegang Partisipasi Interes yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang Partisipasi Interes lainnya sesuai dengan Kontrak Kerja Sama.
159. Partner adalah Kontraktor yang memiliki Partisipasi Interes dalam suatu Wilayah Kerja dan tidak bertindak sebagai Operator.
160. Barang Bawaan adalah Barang Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dibeli oleh turis asing dari Pengusaha Kena Pajak toko retail dan dibawa keluar Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan oleh yang bersangkutan dengan menggunakan moda transportasi pesawat udara.
161. Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri yang selanjutnya disebut Turis Asing adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain.
162. Pengusaha Kena Pajak Toko Retail adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak melalui toko retail.
163. Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara adalah unit khusus dari Kantor Pelayanan Pajak, yang lokasi kerjanya meliputi suatu tempat sebelum check in counter di bandar udara dan bertugas memproses permintaan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
164. Konter Pemeriksaan Barang Bawaan yang selanjutnya disebut Konter Pemeriksaan adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas memeriksa Barang Bawaan.
165. Formulir Permintaan Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai adalah formulir yang digunakan oleh Turis Asing untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian Barang Bawaan.
166. Bendahara Pengeluaran Pembantu adalah pegawai yang ditunjuk untuk membantu bendahara pengeluaran untuk melaksanakan pembayaran kepada yang berhak guna kelancaran pelaksanaan kegiatan tertentu.
167. Pemegang Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah:
  a. bendahara pengeluaran; atau
  b. Bendahara Pengeluaran Pembantu pada Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang melakukan pembayaran­-pengembalian Pajak Pertambahan Nilai.
168. Konter Pembayaran adalah bagian dari Unit Pelaksana Restitusi Pajak Pertambahan Nilai Bandar Udara yang bertugas mengembalikan Pajak Pertambahan Nilai yang bernilai kurang dari atau sama dengan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang telah dibayar oleh Turis Asing.
169. Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
170. Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
171. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan Uang Persediaan.
172. Surat Perintah Membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
173. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar dengan membebani daftar isian pelaksanaan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan Uang Persediaan yang telah dipakai.
174. Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang diterbitkan untuk menggantikan Uang Persediaan Pengembalian Pajak yang telah digunakan.
175. Bendahara Pengeluaran adalah pegawai yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada kantor/satuan kerja kementerian negara/lembaga pemerintah nonkementerian.
176. Tambahan Uang Persediaan adalah uang muka kerja yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu Uang Persediaan yang telah ditetapkan.
177. Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Tambahan Uang Persediaan untuk membayar pengembalian Pajak Pertambahan Nilai bagi Turis Asing.
178. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan tambahan Uang Persediaan.
179. Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak adalah Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang diterbitkan untuk membayar Tambahan Uang Persediaan Pengembalian Pajak.
180. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan oleh penerima ekspor Jasa Kena Pajak di luar Daerah Pabean.
181. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, Ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak tidak berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh penerima jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
182. Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan perikatan dan menerima manfaat langsung atas Ekspor Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, dan merupakan Wajib Pajak luar negeri yang tidak mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
183. Penerima Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
184. Pengembalian Barang Kena Pajak adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh pembeli Barang Kena Pajak.
185. Pembatalan Jasa Kena Pajak adalah pembatalan Jasa Kena Pajak baik sebagian maupun seluruh hak atau fasilitas atau kemudahan oleh Penerima Jasa.
186. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
187. Perusahaan Asuransi Syariah adalah Perusahaan Asuransi umum syariah dan Perusahaan Asuransi jiwa syariah.
188. Pelaku Usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang terdiri dari pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik luar negeri, dan/atau penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dalam negeri.
189. Pedagang Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat barang di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
190. Penyedia Jasa Luar Negeri adalah orang pribadi atau Badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean yang melakukan transaksi dengan pemanfaat Jasa di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
191. Pemanfaat Barang adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Barang Kena Pajak tidak berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
192. Pemanfaat Jasa adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui sistem elektronik.
193. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
194. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
195. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean.
196. Barang Digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk Informasi Elektronik atau digital meliputi baik barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada peranti lunak, multimedia, dan/atau data elektronik.
197. Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi untuk jangka waktu tertentu melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
198. Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik, bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi, termasuk tetapi tidak terbatas pada layanan jasa berbasis peranti lunak.
199. Aset Kripto adalah komoditi tidak berwujud yang berbentuk digital, menggunakan kriptografi, jaringan informasi teknologi, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak lain.
200. Sarana Elektronik adalah sarana komunikasi melalui sistem elektronik yang digunakan dalam perdagangan Aset Kripto, diantaranya mencakup pernyataan, deklarasi, permintaan, pemberitahuan atau permohonan, konfirmasi, penawaran atau penerimaan terhadap penawaran, yang memuat kesepakatan para pihak untuk pembentukan atau pelaksanaan perjanjian.
201. Penjual Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan dan/atau pertukaran Aset Kripto.
202. Penambang Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan kegiatan verifikasi transaksi Aset Kripto untuk mendapatkan imbalan berupa Aset Kripto, baik sendiri-sendiri maupun dalam kelompok penambang Aset Kripto (mining pool).
203. Pedagang Fisik Aset Kripto adalah pihak yang telah memperoleh persetujuan dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan yang mengatur mengenai perdagangan berjangka komoditi, untuk melakukan transaksi Aset Kripto baik atas nama diri sendiri dan/atau memfasilitasi transaksi Penjual Aset Kripto atau pembeli Aset Kripto.
204. Pembeli Aset Kripto adalah orang pribadi atau Badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Aset Kripto dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Aset Kripto tersebut.
205. Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen berupa formulir kertas atau Dokumen Elektronik yang memuat data atau informasi pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan tertentu dan kedudukannya dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan unifikasi berformat standar.
206. Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi adalah dokumen dalam format standar atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan dan menunjukkan besarnya Pajak Penghasilan yang telah dipotong/dipungut.
207. Bidang-bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
208. Bidang-bidang Usaha Tertentu dan di Daerah-daerah Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi dan daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
209. Aktiva Tetap Berwujud adalah aktiva berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang diperoleh dalam bentuk siap pakai atau dibangun dan/atau dirakit lebih dahulu, yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
210. Aktiva Tak Berwujud adalah aktiva tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang digunakan dalam operasi perusahaan, dan tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan atau dipindahtangankan.
211. Kegiatan Usaha Utama adalah bidang usaha dan jenis produksi sebagaimana tercantum dalam izin prinsip, izin investasi, pendaftaran Penanaman Modal, atau perizinan berusaha pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau fasilitas Pajak Penghasilan.
212. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem Online Single Submission adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga Online Single Submission untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
213. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi atau Jasa dari Kegiatan Usaha Utama dijual atau diserahkan, atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.
214. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
215. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut metodologi ilmiah untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman tentang fenomena alam dan/atau sosial, pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis, dan penarikan kesimpulan ilmiah.
216. Pengembangan adalah kegiatan untuk peningkatan manfaat dan daya dukung ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah terbukti kebenaran dan keamanannya untuk meningkatkan fungsi dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi.
217. Kekayaan Intelektual adalah kekayaan yang timbul karena hasil olah pikir manusia yang menghasilkan suatu produk atau proses yang berguna bagi kehidupan manusia.
218. Hak Perlindungan Varietas Tanaman adalah hak khusus yang diberikan negara kepada pemulia dan/atau pemegang hak perlindungan varietas tanaman untuk menggunakan sendiri varietas hasil pemuliaannya atau memberi persetujuan kepada orang atau Badan hukum lain untuk menggunakannya selama waktu tertentu.
219. Komersialisasi adalah kegiatan produksi di Indonesia dan penjualan atas barang dan/atau jasa hasil Penelitian dan Pengembangan.
220. Pemberi Kerja adalah Badan hukum atau Badan-Badan lainnya yang mempekerjakan Warga Negara Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
221. Norma Penghitungan Penghasilan Neto adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang dibuat dan disempurnakan secara terus menerus serta diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
222. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
                 
BAB IIRUANG LINGKUP 

Pasal 2

Ruang lingkup dalam Peraturan Menteri ini:
a. tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan dan penerbitan, penandatanganan, serta pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik;
b. tata cara pendaftaran Wajib Pajak, pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dan pendaftaran Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
c. tata cara pembayaran dan penyetoran pajak, pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, imbalan bunga, serta pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
d. tata cara penyampaian dan pengolahan Surat Pemberitahuan;
e. tata cara pemberian pelayanan administrasi perpajakan;
f. ketentuan teknis pelaksanaan sistem inti administrasi perpajakan; dan
g. contoh format dokumen dan contoh penghitungan, pemungutan, dan/atau pelaporan.
                 
BAB IIITATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN DAN PENERBITAN, PENANDATANGANAN, SERTA PENGIRIMAN KEPUTUSAN DAN DOKUMEN ELEKTRONIK 

Pasal 3

Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 4

(1) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh Wajib Pajak dilaksanakan secara elektronik.
(2) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  a. Portal Wajib Pajak;
  b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak; dan/atau
  c. Contact Center.
(3) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik melalui Contact Center sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang persyaratannya dapat dikonfirmasi secara langsung oleh petugas Contact Center.
(4) Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan:
  a. secara langsung; atau
  b. melalui pos, perusahaan jasa ekspedisi, atau jasa kurir,
  ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penyebab pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan tidak dapat dilakukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
  a. infrastruktur yang belum tersedia di daerah tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak;
  b. sistem atau fasilitas komunikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak mengalami gangguan teknis; dan
  c. terdapat bencana.
                 

Pasal 5

Waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan standar Waktu Indonesia Barat.
                 

Pasal 6

(1) Untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menyediakan Akun Wajib Pajak untuk setiap Wajib Pajak.
(2) Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Wajib Pajak dengan melakukan aktivasi Akun Wajib Pajak.
(3) Pengajuan aktivasi Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara:
  a. elektronik melalui Portal Wajib Pajak; atau
  b. langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan.
(4) Pengajuan aktivasi Akun Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disetujui sepanjang alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler Wajib Pajak telah tervalidasi.
                 

Pasal 7

(1) Dokumen yang digunakan dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) atau dokumen kertas untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(2) Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh kuasa Wajib Pajak, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Atas penyampaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan bukti penerimaan dalam hal dokumen telah diterima secara lengkap oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan merupakan tanggal diterimanya dokumen.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), tanda bukti dan tanggal pengiriman surat merupakan tanda bukti dan tanggal penerimaan atas penyampaian dokumen kertas melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b terkait dengan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan berupa:
  a. penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  b. permohonan pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  c. pengajuan keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 15 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
  d. permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  e. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  f. permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  g. permohonan pembatalan Surat Ketetapan Pajak hasil Pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  h. penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
  i. permohonan pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan; dan
  j. permintaan pengurangan denda administratif pajak bumi dan bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
(6) Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan Dokumen Elektronik dan/atau dokumen kertas yang sama untuk pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan yang sama, dokumen yang diakui sebagai pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan merupakan dokumen yang pertama kali terekam dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(7) Bukti penerimaan atau bukti pengiriman surat atas dokumen yang pertama kali terekam ke dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi tanda bukti penerimaan dokumen.
(8) Tanggal yang tercantum dalam tanda bukti penerimaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan tanggal dokumen diterima oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(9) Dokumen yang telah diterbitkan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (5), dan ayat (7) ditindaklanjuti oleh:
  a. sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
  b. pejabat atau pegawai Direktorat Jenderal Pajak; atau
  c. pejabat atau pegawai di kementerian atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                 

Pasal 8

(1) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yang harus ditandatangani oleh Wajib Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dilaksanakan dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik.
(2) Tanda Tangan Elektronik meliputi:
  a. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi; dan
  b. Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi,
  sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
(3) Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan Tanda Tangan Elektronik yang dibuat dengan menggunakan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh:
  a. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik instansi, untuk Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang diwakili oleh aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan secara elektronik; atau
  b. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik noninstansi dalam hal Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(4) Penyelenggara Sertifikasi Elektronik merupakan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik yang:
  a. sudah diakui oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika; dan
  b. ditunjuk oleh Menteri.
(5) Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi merupakan Tanda Tangan Elektronik yang dibuat dengan menggunakan Kode Otorisasi.
(6) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Kode Otorisasi bersamaan dengan persetujuan dan aktivasi Akun Wajib Pajak.
(7) Dokumen Elektronik yang disampaikan melalui Contact Center sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c, dianggap telah ditandatangani setelah Wajib Pajak menjawab pertanyaan validasi identitas dan menyampaikan afirmasi kepada petugas Contact Center.
                 

Pasal 9

(1) Untuk memperoleh Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Elektronik kepada Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4).
(2) Tata cara pengajuan permohonan penerbitan dan masa berlaku Sertifikat Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
                 

Pasal 10

(1) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk Wajib Pajak orang pribadi dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
  a. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan;
  b. wali atau pengampu, bagi anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan; atau
  c. orang pribadi yang ditunjuk oleh Wajib Pajak orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
(2) Penandatanganan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk Wajib Pajak Badan, Wajib Pajak Instansi Pemerintah, dan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dilakukan dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
  a. orang pribadi yang merupakan wakil Wajib Pajak; atau
  b. orang pribadi selain wakil Wajib Pajak yang ditunjuk oleh wakil Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
(3) Wakil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
  a. pengurus, bagi Wajib Pajak Badan;
  b. kurator, bagi Wajib Pajak Badan yang dinyatakan pailit;
  c. orang atau orang pribadi yang mewakili Badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, bagi Wajib Pajak Badan dalam pembubaran;
  d. likuidator, bagi Wajib Pajak Badan dalam likuidasi;
  e. salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan, bagi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
  f. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, kepala badan layanan umum atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
  g. kepala Instansi Pemerintah Daerah pengguna anggaran, kepala badan layanan umum daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
  h. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(4) Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa, kuasa Wajib Pajak menandatangani Dokumen Elektronik dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi yang dimiliki oleh kuasa Wajib Pajak tersebut.
(5) Dokumen Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan dokumen kertas.
                 

Pasal 11

(1) Menteri, Direktur Jenderal Pajak, dan pejabat tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi kewenangan berdasarkan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan dapat menerbitkan keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik.
(2) Keputusan dalam bentuk elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  a. Surat Tagihan Pajak;
  b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  d. Surat Ketetapan Pajak Nihil;
  e. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  f. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  g. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  h. Surat Keputusan Pembetulan;
  i Surat Keputusan Persetujuan Bersama;
  j. Surat Keputusan Keberatan;
  k. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
  l. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  m. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  n. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
  o. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, termasuk pengurangan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  p. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, termasuk pembatalan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  q. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
  r. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
  s. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak;
  t. Surat Keputusan Penghitungan Pemberian Imbalan Bunga;
  u. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang;
  v. Surat Keputusan Pemberlakuan Kesepakatan Harga Transfer;
  w. surat pemberitahuan;
  x. surat teguran;
  y. surat peringatan;
  z. surat keterangan;
  aa. surat persetujuan; dan
  bb. surat penolakan.
(3) Keputusan dalam bentuk elektronik diberikan:
  a. Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi; atau
  b. Segel Elektronik tersertifikasi.
(4) Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik tersertifikasi yang dibuat dengan menggunakan Sertifikat Elektronik yang diterbitkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik instansi.
(5) Dalam hal penerbitan keputusan diproses oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak atau sistem yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, penandatanganan dilakukan menggunakan Segel Elektronik.
(6) Selain keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tanda Tangan Elektronik dan Segel Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk menandatangani Dokumen Elektronik dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan, dapat berupa:
  a. surat permintaan;
  b. surat undangan;
  c. berita acara;
  d. risalah; dan
  e. nota penghitungan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat jumlah pajak yang masih harus dibayar atau pajak yang lebih dibayar atau seharusnya tidak terutang, dibuat dengan ketentuan sebagai berikut:
  a. dalam hal pajak dihitung dengan menggunakan mata uang rupiah, keputusan atau Dokumen Elektronik dibuat dalam satuan mata uang rupiah penuh dengan pembulatan ke bawah; atau
  b. dalam hal pajak dihitung dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, keputusan atau Dokumen Elektronik dibuat dalam satuan mata uang dolar Amerika Serikat dengan pembulatan ke bawah hingga 2 (dua) desimal.
(8) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berkekuatan hukum sama dengan keputusan dan dokumen dalam bentuk kertas.
(9) Dalam hal keputusan dan dokumen diterbitkan dalam bentuk elektronik, tidak diterbitkan keputusan dan dokumen dalam bentuk kertas.
                 

Pasal 12

(1) Direktur Jenderal Pajak mengirim keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) kepada Wajib Pajak dalam bentuk elektronik melalui Akun Wajib Pajak dan/atau pos elektronik Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, kecuali keputusan dan Dokumen Elektronik yang harus dikirimkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam bentuk kertas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal terdapat permintaan dari Wajib Pajak atau berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat mengirim kertas hasil cetakan dari keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  a. secara langsung;
  b. melalui faksimile dengan bukti pengiriman faksimile; atau
  c. melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.
(3) Waktu pengiriman keputusan dalam bentuk elektronik dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan standar Waktu Indonesia Barat.
(4) Tanggal pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Akun Wajib Pajak atau pos elektronik Wajib Pajak juga merupakan tanggal keputusan berbentuk elektronik dan Dokumen Elektronik dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal keputusan dan Dokumen Elektronik diterima oleh Wajib Pajak.
(5) Tanggal pengiriman keputusan dan Dokumen Elektronik dalam bentuk kertas hasil cetakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal diterimanya oleh Wajib Pajak merupakan tanggal:
  a. keputusan disampaikan atau diterima, dalam hal disampaikan secara langsung;
  b. bukti pengiriman faksimile, dalam hal disampaikan melalui faksimile; atau
  c. bukti pengiriman surat, dalam hal dikirimkan melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.
(6) Dalam hal suatu keputusan atau Dokumen Elektronik disampaikan melalui lebih dari 1 (satu) saluran penyampaian, tanggal dikirim oleh Direktur Jenderal Pajak dan tanggal diterimanya oleh Wajib Pajak yang berlaku yaitu:
  a. dalam hal Wajib Pajak telah memberikan persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak sebagai sarana penerimaan keputusan dan dokumen perpajakan, tanggal pengiriman ke Akun Wajib Pajak; atau
  b. dalam hal Wajib Pajak belum memberikan persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak, tanggal yang lebih dahulu antara:
    1. tanggal pengiriman melalui pos elektronik Wajib Pajak yang terdaftar dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
    2. tanggal disampaikan secara langsung;
    3. tanggal pengiriman faksimile; atau
    4. tanggal pengiriman yang tercantum pada bukti pengiriman surat.
(7) Persetujuan untuk menggunakan Akun Wajib Pajak sebagai sarana penerimaan keputusan dan dokumen perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan secara elektronik pada saat aktivasi Wajib Pajak.
                 

Pasal 13

(1) Menteri dapat melakukan kerja sama dengan Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain untuk menyediakan fasilitas pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, melalui sistem administrasi yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  a. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak;
  b. pemberian konfirmasi status Wajib Pajak;
  c. penyelenggaraan bukti pemotongan elektronik dan Faktur Pajak elektronik; dan
  d. penyelenggaraan pembayaran pajak dan/atau pelaporan Surat Pemberitahuan elektronik.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan melalui perjanjian kerja sama atau penunjukan.
                 

Pasal 14

(1) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi untuk menunjuk Penyelenggara Sertifikasi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk membuat dan melaksanakan perjanjian kerja sama dan penunjukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(3) Menteri dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi atau mandat untuk menerbitkan keputusan kepada:
  a. pejabat atau pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
  b. menteri atau kepala lembaga lain.
(4) Direktur Jenderal Pajak dapat melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi atau mandat untuk menerbitkan keputusan kepada pejabat atau pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
                 
BAB IVTATA CARA PENDAFTARAN WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, DAN PENDAFTARAN OBJEK PAJAK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN Bagian KesatuTata Cara Pendaftaran Wajib Pajak 

Pasal 15

(1) Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak atau tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan:
  a. tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi atau tempat kedudukan Wajib Pajak Badan, dalam hal orang pribadi atau Badan memiliki lebih dari satu tempat tinggal atau tempat kedudukan;
  b. tempat terdaftar bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu pada Kantor Pelayanan Pajak tertentu; dan
  c. tempat pendaftaran tertentu sebagai tempat pendaftaran Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(4) Persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang­-Undang Pajak Penghasilan.
(5) Persyaratan objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. Wajib Pajak orang pribadi;
  b. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
  c. Wajib Pajak Badan; dan
  d. Instansi Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
(7) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 16

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf a wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
(2) Nomor Pokok Wajib Pajak yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  a. Nomor Induk Kependudukan yang telah diaktivasi sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak dalam administrasi perpajakan, bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk; dan
  b. nomor dengan format 16 (enam belas) digit yang dihasilkan oleh sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk.
(3) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk dan bukan Penduduk yang:
  a. melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu; dan
  b. tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak.
(4) Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(5) Kewajiban mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
  a. hidup berpisah berdasarkan putusan hakim;
  b. menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
  c. memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya.
(6) Orang pribadi yang:
  a. belum memenuhi persyaratan objektif sebagai Wajib Pajak;
  b. tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri; atau
  c. tidak termasuk subjek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan,
  dapat diberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak untuk kepentingan administrasi perpajakan.
(7) Orang pribadi yang belum memenuhi persyaratan objektif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi tersebut.
(8) Orang pribadi yang tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri dan tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan huruf c diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 17

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf a, wajib mendaftarkan diri paling lama 1 (satu) bulan setelah kegiatan usaha atau pekerjaan bebas mulai dilakukan.
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menerima atau memperoleh penghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) huruf b, wajib mendaftarkan diri paling lambat akhir bulan berikutnya setelah diterimanya penghasilan yang menyebabkan akumulasi penghasilan pada Tahun Pajak berjalan sama dengan atau melebihi penghasilan tidak kena pajak.
                 

Pasal 18

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang merupakan Penduduk dan menerima atau memperoleh penghasilan dengan akumulasi belum melebihi penghasilan tidak kena pajak, orang pribadi dimaksud menggunakan Nomor Induk Kependudukan yang tervalidasi sebagai identitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a.
(2) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) yang merupakan bukan Penduduk dan menerima atau memperoleh penghasilan dengan akumulasi belum melebihi penghasilan tidak kena pajak, orang pribadi dimaksud menggunakan nomor identitas perpajakan dengan format 16 (enam belas) digit setelah mendaftarkan identitasnya dalam administrasi perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) huruf a.
                 

Pasal 19

Pendaftaran Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 20

(1) Untuk Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilakukan dengan mengisi formulir permohonan pendaftaran Wajib Pajak.
(2) Untuk Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3), permohonan pendaftaran Wajib Pajak dilakukan dengan mengisi formulir permohonan pendaftaran dan dilampiri dokumen sebagai berikut:
  a. salinan paspor;
  b. pasfoto berwarna Wajib Pajak yang bersangkutan; dan
  c. pasfoto berwarna Wajib Pajak yang bersangkutan dengan memegang paspor.
                 

Pasal 21

Berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 22

(1) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
                 

Pasal 23

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 24

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak orang pribadi dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak orang pribadi terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 25

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak orang pribadi sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi:
  a. melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena menghentikan usahanya atau pekerjaan bebasnya;
  b. tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas namun tidak memenuhi syarat objektif karena belum atau tidak memperoleh penghasilan, atau memiliki penghasilan di bawah penghasilan tidak kena pajak;
  c. Warga Negara Indonesia berstatus sebagai Penduduk yang berniat menjadi subjek pajak luar negeri namun belum memenuhi syarat sebagai subjek pajak luar negeri;
  d. Warga Negara Indonesia berstatus sebagai Penduduk yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif;
  e. wanita kawin yang telah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang kemudian memilih untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya; atau
  f. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak orang pribadi.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.
                 

Pasal 26

(1) Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d yang:
  a. memenuhi persyaratan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri, diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) atas penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Nonaktif sebagai pengganti Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri; atau
  b. tidak memenuhi persyaratan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri, diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) atas penolakan penetapan Wajib Pajak sebagai Wajib Pajak Nonaktif sebagai pengganti surat penolakan atas permohonan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri,
  sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Persyaratan dan tata cara penyelesaian permohonan penetapan status Warga Negara Indonesia sebagai subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain mengenai jangka waktu penyelesaian, dilaksanakan berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai Pelaksanaan Undang­-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 27

Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf c di kemudian hari tidak memenuhi persyaratan atau tidak mengajukan permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Warga Negara Indonesia Memenuhi Persyaratan Menjadi Subjek Pajak Luar Negeri, terhadap Wajib Pajak orang pribadi dimaksud:
a. penetapan sebagai Wajib Pajak Nonaktif menjadi batal;
b. tetap merupakan subjek pajak dalam negeri; dan
c. dikenai pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku bagi subjek pajak dalam negeri.
                 

Pasal 28

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak orang pribadi atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
  a. Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
  b. Wajib Pajak orang pribadi:
    1. telah meninggalkan Indonesia untuk selama­-lamanya dan tidak lagi berstatus sebagai Penduduk, bagi orang pribadi yang semula berstatus sebagai Penduduk; atau
    2. telah meninggalkan Indonesia untuk selama­-lamanya, bagi orang pribadi yang berstatus bukan Penduduk; atau
  c. Wajib Pajak orang pribadi memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 29

(1) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen pendukung yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak orang pribadi tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif, berupa:
  a. bagi Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf a, yaitu dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak orang pribadi sudah meninggal dunia beserta surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris;
  b. bagi Wajib Pajak orang pribadi yang semula berstatus sebagai Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b angka 1:
    1. dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak orang pribadi telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; dan/atau
    2. dokumen yang menunjukkan Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan Penduduk sebagai Warga Negara Indonesia sudah tidak berstatus sebagai Penduduk karena kehilangan kewarganegaraan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kependudukan; dan
  c. bagi Wajib Pajak orang pribadi bukan Penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b angka 2, yaitu dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
(3) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak orang pribadi diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak orang pribadi dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
                 

Pasal 30

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:
  a. Wajib Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
  b. Wajib Pajak orang pribadi memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
  c. Wajib Pajak orang pribadi dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 31

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak orang pribadi memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
  1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. pengajuan keberatan;
  3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
  5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
  6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
  7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
  9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
  11. gugatan;
  12. banding; dan/atau
  13. peninjauan kembali.
                 

Pasal 32

(1) Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut.
(2) Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, dan dari warisan tersebut diterima atau diperoleh penghasilan, wakil dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi wajib mendaftarkan Warisan Belum Terbagi pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal orang pribadi yang meninggalkan warisan untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Wakil dari Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usaha Warisan Belum Terbagi ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(4) Pendaftaran diri oleh wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan tersebut meninggal dunia.
(5) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
  a. salah seorang ahli waris;
  b. pelaksana wasiat; atau
  c. pihak yang mengurus harta peninggalan,
  dari Wajib Pajak orang pribadi yang meninggalkan warisan.
(6) Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
                 

Pasal 33

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi diterima secara lengkap.
                 

Pasal 34

(1) Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
                 

Pasal 35

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi, dalam hal:
  a. data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya; dan
  b. perubahan data dimaksud tidak mengakibatkan pemindahan tempat Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi terdaftar.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 36

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal warisan sudah selesai dibagi.
(3) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa warisan sudah selesai dibagi kepada seluruh ahli waris.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(5) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi diterima secara lengkap.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
                 

Pasal 37

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi yang memenuhi kriteria tertentu.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 38

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
  1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. pengajuan keberatan;
  3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
  5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
  6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
  7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
  9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
  11. gugatan;
  12. banding; dan/atau
  13. peninjauan kembali.
                 

Pasal 39

(1) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf c wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. Wajib Pajak Badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak; dan
  b. Wajib Pajak Badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak.
(3) Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diharuskan untuk melaporkan tempat kegiatan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap tempat kegiatan usaha.
(4) Badan yang:
  a. tidak memenuhi persyaratan subjektif sebagai subjek pajak dalam negeri; atau
  b. tidak termasuk subjek pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
  dapat diberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak untuk kepentingan administrasi perpajakan.
(5) Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diadministrasikan pada Kantor Pelayanan Pajak yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 40

Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah saat didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
                 

Pasal 41

(1) Pendaftaran Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya.
(3) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 42

(1) Dalam hal Wajib Pajak Badan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
                 

Pasal 43

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Badan dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Badan.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 44

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak Badan dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat kedudukan Wajib Pajak yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 45

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak Badan sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Badan:
  a. tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun masih dalam proses atau belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
  b. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Badan.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Badan tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.
                 

Pasal 46

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Badan atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Badan yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
  a. Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
  b. Wajib Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
  c. Wajib Pajak Badan memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 47

(1) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Badan telah dilikuidasi atau dibubarkan; atau
  b. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
(3) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Badan diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Badan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
                 

Pasal 48

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Badan yang memenuhi kriteria tertentu.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 49

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Badan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure);
d. tidak sedang dalam proses penyelesaian kesepakatan harga transfer (advance pricing agreement); dan
e. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
  1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. pengajuan keberatan;
  3. pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
  5. pengurangan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan;
  6. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
  7. pengurangan atau pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  8. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
  9. pembatalan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tidak benar;
  10. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
  11. gugatan;
  12. banding; dan/atau
  13. peninjauan kembali.
                 

Pasal 50

(1) Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) huruf d wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak.
(2) Pendaftaran diri Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat sebelum melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak.
(3) Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diharuskan untuk melaporkan subunit organisasinya ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Instansi Pemerintah terdaftar untuk memperoleh Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha bagi setiap subunit organisasinya.
                 

Pasal 51

(1) Pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang disyaratkan.
(2) Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  a. kepala Instansi Pemerintah Pusat, kuasa pengguna anggaran, kepala badan layanan umum atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada Instansi Pemerintah Pusat, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
  b. kepala Instansi Pemerintah Daerah, pengguna anggaran, kepala badan layanan umum daerah atau pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada satuan kerja perangkat daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah; atau
  c. kepala desa atau perangkat desa yang melaksanakan pengelolaan keuangan desa berdasarkan keputusan kepala desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(3) Dokumen yang disyaratkan sebagai lampiran permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  a. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan satuan kerja yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyusun daftar isian pelaksanaan anggaran serta wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, untuk Instansi Pemerintah Pusat;
  b. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan satuan kerja perangkat daerah provinsi dan kabupaten/kota yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyusun dokumen pelaksanaan anggaran serta wajib menyelenggarakan akuntansi dan menyusun laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara, untuk Instansi Pemerintah Daerah;
  c. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum, untuk Instansi Pemerintah Pusat berbentuk badan layanan umum;
  d. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah, untuk Instansi Pemerintah Daerah berbentuk badan layanan umum daerah; atau
  e. dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah merupakan unit organisasi penyelenggara pemerintahan desa yang bertindak selaku pengguna Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, untuk Instansi Pemerintah Desa.
(4) Berdasarkan permohonan pendaftaran Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 52

(1) Dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan.
(2) Penerbitan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil penelitian administrasi sesuai data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
                 

Pasal 53

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya.
(2) Permohonan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(3) Setelah melakukan penelitian atas permohonan perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 54

(1) Selain dalam hal data dan/atau informasi yang terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1), perubahan data Wajib Pajak Instansi Pemerintah dilakukan dalam hal terdapat perubahan alamat tempat kedudukan Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang menyebabkan pemindahan wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Setelah melakukan penelitian atas permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak Instansi Pemerintah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 55

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat menetapkan Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagai Wajib Pajak Nonaktif.
(2) Penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah:
  a. tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak namun belum dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
  b. memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah memenuhi kriteria Wajib Pajak Nonaktif.
(4) Setelah melakukan penelitian atas permohonan penetapan Wajib Pajak Nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan dan memberitahukannya kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah.
(5) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak lagi memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat mengaktifkan kembali Wajib Pajak Nonaktif.
                 

Pasal 56

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah atau secara jabatan dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Wajib Pajak Instansi Pemerintah:
  a. tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
  b. memiliki lebih dari 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak.
(3) Permohonan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak Instansi Pemerintah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(5) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah diterima secara lengkap.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak Instansi Pemerintah dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berakhir.
                 

Pasal 57

(1) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dilakukan Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(3) Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak juga dapat melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan melalui penelitian administrasi terhadap Wajib Pajak Instansi Pemerintah dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penerbitan keputusan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak.
                 

Pasal 58

Selain memperhatikan pemenuhan persyaratan subjektif dan/atau objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1), Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan sepanjang Wajib Pajak Instansi Pemerintah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak mempunyai utang pajak;
b. tidak sedang dilakukan tindakan:
  1. Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan;
  2. pemeriksaan bukti permulaan;
  3. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  4. penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
c. tidak sedang dalam proses penyelesaian upaya administratif dan upaya hukum, berupa:
  1. pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  2. pengajuan keberatan;
  3. pengurangan atau penghapusan sanksi administratif;
  4. pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang tidak benar;
  5. pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar;
  6. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan;
  7. gugatan;
  8. banding; dan/atau
  9. peninjauan kembali.
                 

Pasal 59

Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat:
a. menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pasal 17 ayat (2), Pasal 32 ayat (4), Pasal 40, dan Pasal 50 ayat (2);
b. memberikan nomor identitas perpajakan dalam bentuk Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan Pasal 39 ayat (4); dan
c. melakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak terhadap Wajib Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan,
untuk memberikan kemudahan dalam administrasi perpajakan.
                 
Bagian KeduaTata Cara Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak 

Pasal 60

(1) Pengusaha yang melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Ketentuan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memilih untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak kecuali yang diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4) Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan dan/atau ekspor sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Kewajiban melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai kewajiban pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(6) Pengusaha yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 61

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) melaporkan usahanya pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1).
(2) Dalam hal Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) memiliki:
  a. tempat tinggal atau tempat kedudukan yang berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; dan
  b. tempat kegiatan usaha di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,
  Pengusaha dimaksud harus menentukan tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam huruf b sebagai tempat pelaporan usaha.
(3) Dalam hal Pengusaha memiliki lebih dari 1 (satu) tempat kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pengusaha harus menentukan salah satu tempat kegiatan usaha sebagai tempat pelaporan usaha.
(4) Dalam hal tempat kedudukan Pengusaha Badan menggunakan Kantor Virtual, Kantor Virtual tersebut dapat digunakan sebagai tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sepanjang Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual memenuhi ketentuan:
  a. telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  b. menyediakan ruangan fisik untuk tempat melakukan kegiatan usaha bagi Pengusaha yang akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; dan
  c. secara nyata melakukan kegiatan layanan pendukung kantor.
(5) Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual harus memiliki:
  a. dokumen yang menunjukkan adanya kontrak, perjanjian, atau dokumen sejenis yang masih berlaku antara Pengusaha yang menyediakan jasa Kantor Virtual dan Pengusaha; dan
  b. dokumen yang menunjukkan adanya pemberian izin, keterangan usaha, atau keterangan kegiatan dari pejabat atau instansi yang berwenang, yaitu nomor induk berusaha atau dokumen lain yang sejenis.
(6) Dalam hal tempat kedudukan Pengusaha Badan berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dan memilih untuk menggunakan tempat kegiatan usaha berupa Kantor Virtual di luar kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagai tempat pelaporan usaha, ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) berlaku juga bagi Kantor Virtual tersebut.
                 

Pasal 62

(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dengan menyampaikan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(2) Dalam hal Pengusaha menggunakan Kantor Virtual sebagai tempat pelaporan usaha, Pengusaha harus memberikan pernyataan tentang kegiatan usaha dan tempat kegiatan usaha yang sebenarnya.
(3) Permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 63

(1) Berdasarkan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha terdaftar:
  a. menerbitkan surat keterangan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan
  b. melakukan penelitian atas permohonan Pengusaha.
(2) Surat keterangan permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diterima lengkap.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
  a. penelitian atas kelengkapan data dan/atau dokumen yang terkait dengan identitas, pendirian, dan/atau kegiatan usaha;
  b. penelitian atas kesesuaian kegiatan usaha di tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha Pengusaha dengan kelengkapan data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
  c. penelitian atas ketentuan penggunaan Kantor Virtual sebagai tempat pelaporan usaha dan pernyataan Pengusaha mengenai kegiatan usaha serta tempat kegiatan usaha yang sebenarnya, dalam hal Pengusaha menggunakan jasa Kantor Virtual.
(4) Penelitian terhadap data dan/atau dokumen atas identitas, pendirian, dan/atau kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan dengan meneliti data dan/atau dokumen yang tersedia dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, meliputi:
  a. untuk Pengusaha orang pribadi dapat berupa data dan/atau dokumen identitas diri Pengusaha untuk Warga Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing; dan
  b. untuk Pengusaha Badan dapat berupa:
    1. data dan/atau dokumen yang menunjukkan pendirian atau pembentukan Badan dan perubahannya; dan
    2. data dan/atau dokumen yang menunjukkan identitas diri seluruh pengurus atau penanggung jawab Pengusaha.
(5) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha diadministrasikan memberikan keputusan berupa:
  a. menerima permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal permohonan memenuhi ketentuan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau
  b. menolak permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(6) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
                 

Pasal 64

(1) Dalam hal permohonan Pengusaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) huruf a, Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan akses pembuatan Faktur Pajak.
(2) Akses pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan oleh Pengusaha sejak tanggal dimulainya kewajiban sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana tercantum dalam keputusan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
                 

Pasal 65

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak terhadap:
  a. Pengusaha Kena Pajak yang terindikasi menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan Pengusaha Kena Pajak; dan/atau
  b. Pengusaha Kena Pajak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Terhadap penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat menyampaikan klarifikasi kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal berdasarkan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau data dan/atau informasi yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi kriteria penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak, Direktur Jenderal Pajak mengaktifkan kembali akses pembuatan Faktur Pajak.
(4) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak menyampaikan klarifikasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penonaktifan akses pembuatan Faktur Pajak atau klarifikasi Pengusaha Kena Pajak ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan.
(5) Pengusaha yang telah dilakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikukuhkan kembali sebagai Pengusaha Kena Pajak sepanjang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
                 

Pasal 66

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam hal Pengusaha tidak melaksanakan kewajiban pelaporan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(2) Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi, sesuai dengan data dan/atau informasi yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak, termasuk data dan/atau informasi yang diperoleh dari kegiatan ekstensifikasi.
(3) Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberikan keputusan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dan akses pembuatan Faktur Pajak kepada Pengusaha yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
                 

Pasal 67

Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.
                 

Pasal 68

(1) Pengusaha Kena Pajak menyampaikan permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, serta dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(3) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan.
(4) Berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan atas permohonan tersebut paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Pengusaha Kena Pajak diterima secara lengkap.
(5) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat keputusan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir.
                 

Pasal 69

(1) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60.
(2) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau hasil penelitian administrasi.
(3) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan melalui penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
  a. Pengusaha Kena Pajak dengan status Wajib Pajak Nonaktif;
  b. Pengusaha Kena Pajak telah dinonaktifkan akses pembuatan Faktur Pajak dan tidak melakukan klarifikasi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak penonaktifan atau klarifikasinya ditolak;
  c. Pengusaha Kena Pajak menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  d. Pengusaha Kena Pajak orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
  e. Pengusaha Kena Pajak bentuk usaha tetap telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia; dan/atau
  f. Pengusaha Kena Pajak dengan keadaan tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penerbitan keputusan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
(5) Berdasarkan pertimbangan kemudahan administratif, Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
                 

Pasal 70

(1) Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum dan/atau setelah Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal setelah Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh Wajib Pajak.
(4) Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang terkait dengan kewajiban perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam hal perhitungan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan menerapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak terlebih dahulu.
(6) Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk kepentingan administrasi perpajakan serta tidak menghilangkan hak dan kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan oleh Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan.
                 
Bagian KetigaTata Cara Pendaftaran, Pelaporan, dan Pendataan Objek Pajak Bumi dan Bangunan 

Pasal 71

(1) Setiap Wajib Pajak wajib melakukan pendaftaran pada Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terpenuhinya persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan untuk diberikan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Saat terpenuhinya persyaratan subjektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. tanggal izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;
  b. tanggal penugasan atau tanggal izin usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;
  c. tanggal efektif berlakunya Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama atau tanggal Kontrak Kerja Sama ditandatangani dalam hal tidak terdapat tanggal efektif berlakunya kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
  d. tanggal izin, kuasa, atau penugasan, yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak ditandatangani, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
  e. tanggal izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal kontrak atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau
  f. tanggal izin usaha perikanan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau tanggal izin perairan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat identitas Objek Pajak berupa Nomor Objek Pajak.
                 

Pasal 72

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dilakukan dengan mengajukan permohonan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 73

(1) Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dilampiri dokumen Objek Pajak.
(2) Dokumen Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan;
  b. dokumen penugasan atau izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan;
  c. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi;
  d. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
  e. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak, atau perjanjian, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara; atau
  f. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau di bidang perhubungan, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya.
                 

Pasal 74

(1) Berdasarkan permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72, Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:
  a. menerima permohonan dengan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  b. menolak permohonan dengan menerbitkan surat penolakan permohonan pendaftaran Objek Pajak,
  paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dianggap dikabulkan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.
                 

Pasal 75

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan kewajiban pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak melakukan Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(2) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan.
(3) Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
                 

Pasal 76

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan perubahan data objek pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Permohonan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 77

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan dapat melakukan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Objek Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(3) Permohonan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), yang sudah berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan masa berlakunya.
(4) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berdasarkan data dan/atau informasi perpajakan yang dimiliki atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan atas permohonan Wajib Pajak atau berdasarkan kewenangan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi.
(6) Berdasarkan hasil Pemeriksaan atau penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan berupa:
  a. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  b. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan surat penolakan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diterbitkan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap.
(8) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerbitkan keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan.
(9) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus menerbitkan surat keputusan pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berakhir.
                 

Pasal 78

(1) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan untuk Tahun Pajak sebelum Wajib Pajak diberikan atau diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan dan/atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebelum dan/atau setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, apabila setelah pencabutan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya kewajiban perpajakan Pajak Bumi dan Bangunan yang belum dipenuhi Wajib Pajak.
(3) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang dan/atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah saat berakhirnya Tahun Pajak.
                 

Pasal 79

(1) Wajib Pajak wajib melakukan pelaporan atas Objek Pajak yang telah terdaftar dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk setiap Tahun Pajak.
(3) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak oleh Wajib Pajak, meliputi:
  a. tanggal 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
  b. tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang, untuk Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, dan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya; atau
  c. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan setelah 1 Februari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang Pajak Bumi dan Bangunan menurut keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
                 

Pasal 80

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) merupakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik.
(2) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(3) Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik kepada Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui:
  a. Portal Wajib Pajak; atau
  b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(5) Tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan tanggal yang tercantum dalam bukti penerimaan elektronik.
                 

Pasal 81

(1) Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) wajib diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Jelas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa pengisian data dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri.
(3) Benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(4) Lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berarti bahwa Surat Pemberitahuan Objek Pajak memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
                 

Pasal 82

(1) Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) tidak dapat dipenuhi, Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.
(3) Penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) berakhir.
                 

Pasal 83

(1) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), dan Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak belum disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak melalui Akun Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Tanggal diterimanya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat teguran ke Akun Wajib Pajak.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor Pelayanan Pajak membuat analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.
                 

Pasal 84

(1) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan, meliputi:
  a. dokumen izin usaha perkebunan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission dan/atau hak guna usaha yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan; dan
  b. laporan perkembangan usaha perkebunan dan peta tahun tanam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.
(2) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor perhutanan, meliputi:
  a. dokumen izin atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan atau Lembaga Online Single Submission;
  b. rencana kerja usaha Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang; dan
  c. rencana kerja tahunan beserta peta kerja Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang atau tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang dalam format tertentu.
(3) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan minyak dan gas bumi, meliputi:
  a. dokumen Kontrak Kerja Sama yang ditandatangani oleh pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama;
  b. peta wilayah kerja minyak dan gas bumi dalam format tertentu;
  c. authorization for expenditure, dan financial quarterly report triwulan IV tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang; dan
  d. dokumen kontrak atau perjanjian jual beli gas untuk pertambangan gas bumi tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(4) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, meliputi:
  a. dokumen izin, kuasa, atau penugasan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau Lembaga Online Single Submission, atau dokumen kontrak;
  b. peta wilayah kerja panas bumi dalam format tertentu; dan
  c. rencana kerja dan anggaran biaya Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(5) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan mineral atau batubara, meliputi:
  a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau pemerintah daerah atau Lembaga Online Single Submission, dokumen kontrak atau perjanjian; dan
  b. rencana kerja dan anggaran biaya tahun terakhir sebelum Tahun Pajak Pajak Bumi dan Bangunan terutang.
(6) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) untuk Pajak Bumi dan Bangunan sektor lainnya, meliputi:
  a. dokumen izin yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Lembaga Online Single Submission, atau bidang perhubungan; dan
  b. dokumen lain yang menjadi dasar pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(7) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika sudah dilampirkan pada saat pendaftaran atau sudah dilaporkan pada saat pelaporan data Objek Pajak pada Tahun Pajak sebelumnya.
(8) Dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (3) huruf a dan huruf b, ayat (4) huruf a dan huruf b, ayat (5) huruf a, dan ayat (6) huruf a, tidak harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak jika tidak ada perubahan.
(9) Dalam hal terdapat dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) yang belum dapat dilampirkan, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap lengkap sepanjang Wajib Pajak melampirkan pernyataan tertulis yang:
  a. ditandatangani oleh Wajib Pajak;
  b. mencantumkan jenis dokumen yang belum dapat dilampirkan;
  c. menjelaskan alasan belum dapat dilampirkannya dokumen dimaksud; dan
  d. menyatakan akan menyampaikan dokumen dimaksud paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak:
    1. berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1);
    2. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak melalui penundaan penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak; atau
    3. Surat Pemberitahuan Objek Pajak disampaikan oleh Wajib Pajak setelah diterbitkan surat teguran penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
                 

Pasal 85

(1) Direktorat Jenderal Pajak melakukan penelitian formal terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak, atas:
  a. kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak;
  b. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak;
  c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang dilengkapi dengan dokumen pendukung isian Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84; dan
  d. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pasal 82 ayat (3), atau Pasal 83 ayat (3).
(2) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan bukti penerimaan elektronik.
(3) Dalam hal hasil penelitian formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, Surat Pemberitahuan Objek Pajak dianggap tidak disampaikan.
                 

Pasal 86

(1) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar melakukan penelitian material terhadap Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak dan telah dilakukan penelitian formal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1).
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian material sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat indikasi kewajiban perpajakan dalam pengisian Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar dapat meminta klarifikasi kepada Wajib Pajak.
(3) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan dan menyampaikan surat permintaan klarifikasi.
(4) Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilanjutkan dengan melakukan peninjauan Objek Pajak.
(5) Berdasarkan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak menanggapi dengan:
  a. membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi; dan/atau
  b. melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(6) Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Objek Pajak terdaftar membuat laporan pelaksanaan klarifikasi berdasarkan hasil klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(7) Laporan pelaksanaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat digunakan sebagai bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan dalam hal:
  a. Wajib Pajak tidak membuat surat tanggapan atas surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;
  b. Wajib Pajak tidak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b; atau
  c. Wajib Pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b tetapi tidak sesuai dengan surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
                 

Pasal 87

(1) Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang telah disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan.
(2) Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari setelah berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1).
(3) Dalam hal surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak setelah jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (5) huruf b disampaikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi.
(4) Tanggal diterimanya surat permintaan klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tanggal dikirimnya surat permintaan klarifikasi ke Akun Wajib Pajak.
                 

Pasal 88

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Objek Pajak harus menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan disampaikan Wajib Pajak melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surat Pemberitahuan Objek Pajak pembetulan dianggap tidak disampaikan.
                 

Pasal 89

(1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pendataan terhadap Objek Pajak yang telah terdaftar.
(2) Jenis Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. Pendataan kantor; dan/atau
  b. Pendataan lapangan.
(3) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas Pendataan.
(4) Hasil Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.
                 

Pasal 90

(1) Pendataan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengolah data Objek Pajak yang dilaporkan oleh Wajib Pajak melalui Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dan/atau mengolah data dan informasi yang terdapat dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Ruang lingkup Pendataan kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. pengumpulan data; dan
  b. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan yang meliputi:
  a. pengumpulan data Objek Pajak yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1); dan
  b. pengolahan data Objek Pajak yang bersumber dari Instansi Pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberian dan penghimpunan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan.
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengkonversian peta Objek Pajak, yang meliputi:
  a. transformasi antar sistem proyeksi; dan/atau
  b. digitasi peta analog ke peta digital.
                 

Pasal 91

(1) Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara melakukan peninjauan pada lokasi fisik Objek Pajak dan/atau lokasi lain di luar lokasi fisik Objek Pajak, atas data Objek Pajak yang seharusnya dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(2) Ruang lingkup Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. pengumpulan data; dan
  b. pemetaan.
(3) Pengumpulan data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan pengumpulan data Objek Pajak yang tidak atau belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1).
(4) Pemetaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengukuran Objek Pajak, yang meliputi:
  a. pengukuran menggunakan sistem pengukuran berbasis satelit;
  b. pengukuran dengan bantuan data penginderaan jauh; dan/atau
  c. pengukuran dengan alat ukur manual.
                 

Pasal 92

(1) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), petugas Pendataan membuat berita acara penolakan Pendataan yang ditandatangani oleh petugas Pendataan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak menyatakan menolak untuk dilakukan Pendataan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), petugas Pendataan tetap melakukan Pendataan berdasarkan data dan/atau informasi yang dimiliki dan/atau diperoleh Direktorat Jenderal Pajak.
(4) Pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam bentuk laporan hasil Pendataan.
                 

Pasal 93

Laporan hasil Pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) dan Pasal 92 ayat (4) merupakan dokumen yang dapat digunakan sebagai:
a. bahan penelitian material sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1); atau
b. bahan analisis risiko untuk usulan Pemeriksaan.
                 
BAB VTATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK, PENGEMBALIAN ATAS KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG SEHARUSNYA TIDAK TERUTANG, IMBALAN BUNGA, SERTA PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK Bagian KesatuTata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak 

Pasal 94

(1) Pajak yang terutang wajib dibayar dan disetor sebelum melewati tanggal jatuh tempo.
(2) Pembayaran dan penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir meliputi:
  a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2);
  b. Pajak Penghasilan Pasal 15;
  c. Pajak Penghasilan Pasal 21;
  d. Pajak Penghasilan Pasal 22;
  e. Pajak Penghasilan Pasal 23;
  f. Pajak Penghasilan Pasal 25;
  g. Pajak Penghasilan Pasal 26;
  h. Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi yang dibayarkan setiap Masa Pajak;
  i Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
  j. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri;
  k. Bea Meterai yang dipungut oleh pemungut Bea Meterai;
  l. Pajak Penjualan; dan
  m. Pajak Karbon yang dipungut oleh pemungut Pajak Karbon.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pembayaran dan penyetoran pajak atas:
  a. Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor yang:
    1. disetor sendiri oleh Wajib Pajak/importir wajib dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk, dalam hal bea masuk ditunda atau dibebaskan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor wajib dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor; dan
    2. dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak;
  b. Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa wajib dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir;
  c. Pembayaran masa selain Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf b wajib dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak;
  d. Tambahan Pajak Penghasilan atas saham pendiri yang dipungut oleh emiten, wajib disetorkan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan;
  e. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam satu Masa Pajak wajib disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan; dan
  f. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain wajib disetor paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 95

(1) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan untuk Pajak Penghasilan dan Pajak Karbon, wajib dibayar secara lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 96

(1) Bea Meterai wajib dibayar secara lunas pada saat terutang Bea Meterai.
(2) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 97

(1) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terutang oleh Wajib Pajak.
(2) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak.
(3) Pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan oleh Wajib Pajak.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
                 

Pasal 98

(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, wajib dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak mengajukan keberatan, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan baik sebagian atau seluruhnya wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan banding, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar sampai dengan diterbitkan Surat Keputusan Keberatan wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Surat Keputusan Keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, atas jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan belum dibayar sampai dengan diterbitkan Putusan Banding wajib dilunasi paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Putusan Banding dengan memperhitungkan jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding.
(5) Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar wajib dilakukan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(6) Jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) juga berlaku atas sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(7) Tanggal diterbitkannya Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggal Putusan Banding dan Putusan Peninjauan Kembali diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.
(8) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 99

(1) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
(2) Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan.
(3) Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  a. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas; dan
  b. memiliki peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(4) Wajib Pajak Badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  a. Wajib Pajak Badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
  b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
(5) Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
(6) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa:
  a. menyetujui; atau
  b. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(10) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.
(11) Keputusan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.
                 

Pasal 100

(1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau hari yang ditetapkan sebagai cuti bersama secara nasional.
                 

Pasal 101

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
                 

Pasal 102

(1) Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan:
  a. Surat Setoran Pajak;
  b. Meterai, untuk pembayaran Bea Meterai; atau
  c. sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(2) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Bumi Bangunan, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon.
(3) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang wajib melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dipungut atau dipotong sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan di bidang perpajakan.
(4) Sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa:
  a. Bukti Penerimaan Negara atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;
  b. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak atas pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor serta Pajak Pertambahan Nilai hasil tembakau buatan dalam negeri;
  c. Bukti Pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan;
  d. Surat Perintah Pencairan Dana atas pembayaran pajak; dan
  e. bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Surat Setoran Pajak dan sarana administrasi lain berupa Bukti Penerimaan Negara dan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara.
(6) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diakui sebagai bukti pembayaran yang sah dalam hal telah divalidasi oleh pejabat yang ditunjuk pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, atau Badan Pengelola Migas Aceh.
(7) Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pemindahbukuan.
(8) Surat Perintah Pencairan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi oleh sistem perbendaharaan dan anggaran negara.
(9) Bukti penerimaan pajak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi oleh sistem atau pejabat yang berwenang mengesahkan bukti penerimaan dimaksud sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
(10) Tanggal pembayaran dan penyetoran pajak diakui sesuai dengan:
  a. tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara;
  b. tanggal pembubuhan Meterai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pembayaran bea meterai;
  c. tanggal bayar yang tertera pada Bukti Pemindahbukuan;
  d. tanggal terbit Surat Perintah Pencairan Dana, untuk pembayaran dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  e. tanggal terbit Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, untuk pelunasan Utang Pajak melalui perhitungan kelebihan pembayaran pajak; atau
  f. tanggal bayar berdasarkan validasi pada sarana administrasi lain.
                 

Pasal 103

(1) Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak.
(2) Pembayaran dan penyetoran pajak menggunakan Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Pemindahbukuan.
(3) Pengisian Deposit Pajak dilakukan dengan:
  a. pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik;
  b. permohonan Pemindahbukuan; atau
  c. permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga setelah diperhitungkan dengan Utang Pajak.
(4) Tanggal pengisian Deposit Pajak yang dilakukan dengan:
  a. pembayaran melalui sistem penerimaan negara secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara;
  b. permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada Bukti Pemindahbukuan; dan
  c. permohonan atas sisa kelebihan pembayaran pajak atau sisa imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diakui sebagai tanggal pembayaran dan penyetoran pajak sesuai tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
                 

Pasal 104

(1) 1 (satu) Surat Setoran Pajak dapat digunakan untuk pembayaran dan penyetoran 1 (satu) atau beberapa:
  a. jenis pajak;
  b. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak; atau
  c. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berisi:
  a. Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (3);
  b. kode akun pajak;
  c. kode jenis setoran;
  d. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak; dan
  e. nominal yang disetor atau dibayar.
(3) Dalam hal Surat Setoran Pajak digunakan untuk pembayaran atas:
  a. Surat Tagihan Pajak;
  b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  d. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  e. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  f. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang; dan
  g. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah,
  Surat Setoran Pajak harus memuat nomor ketetapan, keputusan, atau putusan.
                 

Pasal 105

(1) Tata cara pembayaran dan penyetoran Pajak Dalam Rangka Impor yang diadministrasikan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembayaran dan penyetoran Pajak Dalam Rangka Impor.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan untuk penyetoran kekurangan Pajak Dalam Rangka Impor yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 106

(1) Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dilakukan dalam mata uang rupiah.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak yang:
  a. telah mendapatkan izin menyelenggarakan Pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat melalui permohonan atau pemberitahuan secara tertulis harus melakukan pembayaran:
    1. Pajak Penghasilan Pasal 25;
    2. Pajak Penghasilan Pasal 29;
    3. Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah yang diterbitkan dalam mata uang dolar Amerika Serikat; dan
    4. Deposit Pajak yang digunakan untuk pembayaran sebagaimana dimaksud dalam angka 1 sampai dengan angka 3,
    dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat; dan
  b. ditunjuk sebagai Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean dan memilih untuk melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan atas Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, harus melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang dipungut dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat.
(3) Pembayaran pajak dalam mata uang dolar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke Kas Negara dilakukan melalui Bank Persepsi Valas atau lembaga persepsi lainnya valas.
(4) Dalam hal pembayaran dilakukan atas ketetapan, keputusan, atau putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3 melalui potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, pembayaran tersebut dilakukan dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri yang berlaku pada tanggal:
  a. diterbitkannya ketetapan;
  b. diterbitkannya keputusan; atau
  c. diterimanya putusan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.
                 

Pasal 107

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik diberikan Bukti Penerimaan Negara.
(2) Bukti Penerimaan Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen bukti pembayaran yang diberikan oleh tempat pembayaran, termasuk dokumen bukti pembayaran dalam format elektronik atau dokumen lain yang disamakan dengan Bukti Penerimaan Negara.
                 

Pasal 108

Pemindahbukuan dapat dilakukan:
a. berdasarkan permohonan Wajib Pajak; atau
b. secara jabatan.
                 

Pasal 109

(1) Pemindahbukuan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf a diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas:
  a. penggunaan Deposit Pajak;
  b. pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang belum dilakukan penelitian untuk penerbitan surat keterangan penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran Pajak Penghasilan;
  c. penyetoran di muka Bea Meterai yang belum digunakan untuk menambah saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital; dan
  d. jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang.
(2) Pemindahbukuan dapat dilakukan untuk pembayaran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon.
(3) Pemindahbukuan atas jumlah pembayaran yang lebih besar daripada pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak dapat diajukan dalam hal pembayaran dimaksud merupakan:
  a. pembayaran melalui Surat Setoran Pajak yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
  b. pembayaran atas penyetoran Bea Meterai atau pembayaran untuk penyetoran Bea Meterai dalam rangka:
    1. pendistribusian Meterai elektronik kepada badan usaha yang bekerja sama dengan Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia untuk melaksanakan pendistribusian Meterai elektronik; dan
    2. penjualan Meterai tempel yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero);
  c. pembayaran pajak yang kode billing-nya diterbitkan oleh sistem billing selain yang diadministrasikan Direktorat Jenderal Pajak;
  d. pembayaran pajak yang dianggap sebagai penyampaian Surat Pemberitahuan Masa;
  e. pembayaran pajak sebagai satu kesatuan dengan penyampaian Surat Pemberitahuan; atau
  f. pembayaran pajak yang sudah diperhitungkan dengan pajak terutang dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Persetujuan Bersama, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(4) Pemindahbukuan hanya dapat dilakukan antarpembayaran pajak dalam mata uang yang sama.
(5) Permohonan Pemindahbukuan diajukan oleh Wajib Pajak yang identitasnya tertera dalam bukti pembayaran.
(6) Tata cara penyampaian permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
(7) Dalam hal Wajib Pajak melakukan penggabungan usaha, permohonan Pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak yang mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha diajukan paling lama sebelum Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha.
(8) Permohonan Pemindahbukuan atas kesalahan pembayaran atau penyetoran atas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan harus dilampiri dengan dokumen yang menunjukkan adanya pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
                 

Pasal 110

Pemindahbukuan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 huruf b dilakukan atas:
a. Bukti Pemindahbukuan yang terdapat kesalahan dalam penerbitan;
b. pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang berdasarkan data dan informasi perlu dilakukan Pemindahbukuan;
c. Deposit Pajak untuk melunasi Utang Pajak yang masih tersisa pada saat dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
d. Deposit Pajak Wajib Pajak yang dilakukan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak karena penggabungan usaha ke Wajib Pajak hasil penggabungan usaha;
e. pembayaran dan/atau penyetoran pajak yang terdapat perbaikan data penerimaan dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan
f. pembayaran dan/atau penyetoran pajak sebagai tindak lanjut atas pelaksanaan penyitaan oleh juru sita.
                 

Pasal 111

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
  a. Bukti Pemindahbukuan dalam hal permohonan Pemindahbukuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 atau Pemindahbukuan secara jabatan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110; atau
  b. surat pemberitahuan penolakan permohonan Pemindahbukuan dalam hal permohonan Pemindahbukuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109.
(2) Tanggal pembayaran pajak yang tertera dalam Bukti Pemindahbukuan mengacu pada tanggal pembayaran pajak dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang diajukan Pemindahbukuan atau tanggal pengisian Deposit Pajak yang diajukan Pemindahbukuan.
(3) Bukti Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan dasar penyesuaian atas pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan Wajib Pajak.
                 

Pasal 112

(1) Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) huruf b berupa:
  a. Meterai tempel;
  b. Meterai elektronik; atau
  c. Meterai dalam bentuk lain.
(2) Meterai dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
  a. Meterai teraan;
  b. Meterai komputerisasi;
  c. Meterai percetakan; dan
  d. Meterai teraan digital.
(3) Dalam pembayaran Bea Meterai menggunakan Meterai teraan, Wajib Pajak yang telah memperoleh izin pembuatan Meterai teraan harus:
  a. melakukan penyetoran di muka Bea Meterai; dan
  b. mengajukan permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital,
  sebelum membubuhkan Meterai teraan.
(4) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital dilakukan dengan ketentuan:
  a. mencantumkan nomor seri mesin yang akan dilakukan penambahan saldo deposit; dan
  b. nilai nominal penambahan saldo deposit sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) atau kelipatannya.
(5) Berdasarkan permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak akan memperoleh:
  a. tambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital; atau
  b. kode yang harus diinput untuk menambah saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital,
  dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak bukti penerimaan diterbitkan.
(6) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mengakibatkan sistem Meterai teraan gagal menghasilkan tambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital atau kode sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan penambahan saldo deposit pada mesin teraan Meterai digital disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 113

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak atas:
a. kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1); dan
b. pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) dan kewajiban pelunasan Pasal 98 ayat (1),
dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
                 

Pasal 114

(1) Permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf a harus disampaikan menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atau surat permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  a. Wajib Pajak telah menyampaikan:
    1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
    2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
    yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  b. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
    1. alasan pengajuan permohonan karena kesulitan likuiditas; dan
    2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
  c. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilampiri dokumen berupa:
    1. laporan keuangan interim atau laporan keuangan untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan Pembukuan; atau
    2. catatan tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau Penghasilan Bruto untuk Wajib Pajak yang melakukan pencatatan,
    untuk Tahun Pajak yang diajukan pengangsuran atau penundaan; dan
  d. Wajib Pajak memberikan jaminan berupa dokumen aset berwujud, dengan kriteria:
    1. merupakan milik Wajib Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
    2. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  a. Wajib Pajak telah menyampaikan:
    1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
    2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir,
    yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  b. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
    1. alasan pengajuan permohonan karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), dan
    2. jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah kekurangan pembayaran pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
  c. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilampiri dokumen berupa surat keterangan bahwa Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) dari pihak yang berwenang;
    dan
  d. Wajib Pajak memberikan jaminan berupa dokumen aset berwujud, dengan kriteria:
    1. merupakan milik Wajib Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
    2. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(4) Surat permohonan pengangsuran pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 atau surat permohonan penundaan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan dan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengangsuran dan penundaan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 115

(1) Permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b harus diajukan menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran utang pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran utang pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  a. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
    1. alasan pengajuan permohonan karena kesulitan likuiditas; dan
    2. jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
  b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dokumen berupa:
    1. surat pernyataan Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas; dan
    2. rekening koran 3 (tiga) bulan terakhir;
    dan
  c. Wajib Pajak memberikan jaminan aset berwujud, dengan kriteria:
    1. minimal sebesar pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang dibuktikan dengan dokumen yang menyatakan nilai dari aset tersebut;
    2. merupakan milik Penanggung Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
    3. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  a. Wajib Pajak menyampaikan surat permohonan yang mencantumkan:
    1. alasan pengajuan permohonan karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur);
    2. jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran atau jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan;
  b. surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilampiri dokumen berupa surat keterangan bahwa Wajib Pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeur) dari pihak yang berwenang;
    dan
  c. Wajib Pajak memberikan jaminan aset berwujud, dengan kriteria:
    1. minimal sebesar pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak yang dibuktikan dengan dokumen yang menyatakan nilai dari aset tersebut;
    2. merupakan milik Penanggung Pajak pemohon yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atas aset berwujud tersebut; dan
    3. tidak sedang dijadikan jaminan atas utang.
(4) Dalam hal permohonan diajukan atas pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan, selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) juga harus dilampiri salinan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak.
(5) Dalam hal dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah tersedia dan tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dokumen dimaksud tidak harus dilampirkan sebagai lampiran permohonan.
(6) Dalam hal permohonan diajukan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) berlaku ketentuan:
  a. Wajib Pajak menyetujui seluruh nilai pajak yang masih harus dibayar dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
  b. terdapat nilai yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan keberatan sampai dengan jatuh tempo pengajuan keberatan; atau
  c. Wajib Pajak mengajukan permohonan keberatan tetapi tidak mengajukan banding.
(7) Jaminan aset berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf c diserahkan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah permohonan disampaikan.
(8) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama sebelum permohonan lelang atas barang sitaan untuk pelunasan utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b diajukan secara tertulis oleh pejabat untuk penagihan pajak pusat kepada Instansi Pemerintah yang berwenang menyelenggarakan lelang.
(9) Dalam hal pejabat untuk penagihan pajak pusat telah mengajukan permohonan lelang atas barang sitaan dan setelah dilakukan pelaksanaan lelang untuk pelunasan utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b masih terdapat sisa utang pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan atas sisa utang pajak tersebut.
(10) Tata cara penyampaian permohonan pengangsuran dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 116

(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b, jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan yang menjadi dasar pemberian keputusan pengangsuran atau penundaan yaitu jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
                 

Pasal 117

(1) Berdasarkan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dan Pasal 115.
(2) Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama:
  a. 3 (tiga) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan untuk permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1); dan
  b. 7 (tujuh) hari kerja setelah bukti penerimaan diterbitkan untuk permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (1).
(3) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa persetujuan atau penolakan permohonan.
(4) Persetujuan berupa surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama:
  a. sampai dengan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak berikutnya, untuk keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114; atau
  b. 24 (dua puluh empat) bulan sejak diterbitkannya surat persetujuan pengangsuran atau penundaan untuk keputusan atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115.
(5) Besarnya pembayaran atas angsuran pembayaran pajak dalam surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran per bulan.
(6) Besarnya pelunasan atas penundaan pembayaran pajak dalam surat keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sejumlah pembayaran pajak yang ditunda pelunasannya.
(7) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus diterbitkan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah jangka waktu tersebut berakhir.
(8) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
                 

Pasal 118

Surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 menjadi tidak berlaku dan dilakukan tindakan penagihan pajak dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi pembayaran pajak berdasarkan:
a. surat keputusan persetujuan pengangsuran paling banyak 2 (dua) kali; atau
b. surat keputusan persetujuan penundaan sesuai lamanya penundaan.
                 

Pasal 119

(1) Dalam hal setelah diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115, diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang belum diangsur atau ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Dalam hal pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b telah diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak dan terhadap pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan tersebut:
  a. diperhitungkan dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih terdapat sisa pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan; atau
  b. diterbitkan keputusan atau putusan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan berkurang,
  Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat penetapan kembali keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
(3) Surat penetapan kembali keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
                 

Pasal 120

(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk diangsur atau ditunda, Wajib Pajak wajib melunasi seluruh pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, sebelum keberatan diajukan.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 menjadi tidak berlaku.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait Pajak Bumi dan Bangunan yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.
                 

Pasal 121

(1) Dalam hal Wajib Pajak diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam:
  a. Pasal 114; dan
  b. Pasal 115 atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah,
  Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran atau pelunasan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak diterbitkan surat keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 terkait Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Wajib Pajak dikenai denda administratif sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan.
(3) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung dari saat jatuh tempo Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) sampai dengan tanggal pelunasan atas pengangsuran atau penundaan.
(4) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melampaui jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak jatuh tempo Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2).
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang timbul akibat diterbitkan:
  a. surat keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak dihitung berdasarkan saldo pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang diajukan permohonan pengangsuran pada setiap periode pembayaran angsuran; atau
  b. surat keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak dihitung berdasarkan jumlah pajak yang masih harus dibayar atau kewajiban pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 huruf b yang diajukan permohonan penundaan.
(6) Pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk penghitungan denda administratif Pajak Bumi dan Bangunan merupakan jumlah Pajak Bumi dan Bangunan terutang yang masih harus dibayar dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(7) Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak.
(8) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(9) Sanksi administratif berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas Surat Tagihan Pajak.
(10) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas pembayaran Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang hanya memuat denda administratif.
                 
Bagian KeduaTata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang 

Pasal 122

(1) Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dapat diajukan dalam hal:
  a. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
  b. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan Pajak Dalam Rangka Impor;
  c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
  d. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang:
    1) bukan merupakan objek pajak; atau
    2) objek pajak dan/atau subjek pajak yang mendapatkan fasilitas perpajakan;
    atau
  e. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi subjek pajak luar negeri.
(2) Jenis pajak yang dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  a. Pajak Penghasilan;
  b. Pajak Pertambahan Nilai;
  c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  d. Pajak Bumi dan Bangunan;
  e. Bea Meterai;
  f. Pajak Penjualan; dan
  g. Pajak Karbon.
(3) Selain jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran Deposit Pajak yang tidak digunakan untuk pelunasan pajak yang terutang juga dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
                 

Pasal 123

Pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf a dapat berupa:
a. pembayaran pajak yang lebih besar dari pajak yang terutang;
b. pembayaran pajak atas transaksi yang dibatalkan;
c. pembayaran pajak yang seharusnya tidak dibayar;
d. pembayaran pajak dalam rangka pelunasan sebagaimana diatur dalam Pasal 44B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang:
  1. masih terdapat kelebihan pembayaran pajak setelah terdapat keputusan penghentian penyidikan;
  2. tidak diakui sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  3. tidak diakui sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; dan/atau
  4. menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak selain Nomor Pokok Wajib Pajak tersangka setelah dilakukan penetapan tersangka sepanjang belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti ke penuntut umum.
e. pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu yang seharusnya tidak dikenai Pajak Penghasilan; atau
f. penyetoran di muka Bea Meterai yang belum digunakan dan/atau masih tersisa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Bea Meterai.
                 

Pasal 124

(1) Pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 dapat diminta kembali oleh pihak pembayar yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
(2) Pihak pembayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
  b. Wajib Pajak Badan termasuk Instansi Pemerintah.
(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(4) Permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan huruf f harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan/atau
  b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(5) Permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  c. surat keterangan dari penyidik dan surat pemberitahuan penghentian penyidikan untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 1;
  d. surat keterangan dari penyidik dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 2 dan/atau butir 3; dan/atau
  e. surat keterangan dari penyidik yang menyatakan bahwa telah terjadi kesalahan pembayaran dan belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti ke penuntut umum untuk permohonan pengembalian pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 huruf d butir 4.
(6) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian atas pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 125

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar ke Kas Negara; dan
  b. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
   

Pasal 126

Kelebihan pembayaran pajak yang terkait dengan Pajak Dalam Rangka Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf b meliputi Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, Pajak Pertambahan Nilai impor, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor yang telah dibayar dan tercantum dalam:
a. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean atau Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean;
b. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan;
c. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan dan putusan banding;
d. Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, atau Surat Penetapan Pabean yang telah diterbitkan keputusan keberatan, putusan banding, dan putusan peninjauan kembali;
e. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean yang telah diterbitkan putusan banding;
f. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean yang telah diterbitkan putusan banding dan putusan peninjauan kembali; dan
g. dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang,
yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran pajak.
                 

Pasal 127

(1) Kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan mengajukan permohonan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak Badan termasuk Instansi Pemerintah.
(3) Permohonan pengembalian diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(4) Permohonan pengembalian harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. salinan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak;
  b. salinan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Pabean, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;
  c. salinan keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, Surat Penetapan Pabean, dalam hal diajukan keberatan, banding, dan/atau peninjauan kembali terhadap Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean, Surat Pemberitahuan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, Denda Administrasi, Bunga, dan Pajak Dalam Rangka Impor, dan/atau Surat Penetapan Pabean;
  d. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  e. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 128

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah dibayar atau disetor ke Kas Negara;
  b. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Penghasilan Pasal 22 impor, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
  c. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai impor dan Surat Pemberitahuan Tahunan Tahun Pajak terjadinya pembayaran telah dilaporkan, pajak tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan; dan
  d. dalam hal pajak yang telah dibayar atau disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah impor, pajak tersebut tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
                 

Pasal 129

(1) Kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf c dapat berupa:
  a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada Pajak Penghasilan yang seharusnya dipotong atau dipungut;
  b. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang diterima oleh bukan subjek pajak;
  c. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut;
  d. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipungut; atau
  e. pemungutan Bea Meterai yang lebih besar daripada Bea Meterai yang seharusnya dipungut.
(2) Kesalahan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf d dapat berupa:
  a. pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut;
  b. pemungutan Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya tidak dipungut; atau
  c. pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut, termasuk:
    1) diberikan pembebasan atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau
    2) ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehannya telah dibayar.
                 

Pasal 130

(1) Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 yang terkait dengan Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pemotong atau pemungut pajak dengan mengajukan permohonan.
(2) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 yang terkait dengan Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(3) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dianggap telah diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(4) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum:
  a. dikreditkan sebagai Pajak Masukan;
  b. dibebankan sebagai biaya; dan
  c. dikapitalisasi dalam harga perolehan,
  dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan penyerahan sudah tidak dapat dibetulkan, Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(5) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(6) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah diperhitungkan dengan Pajak Keluaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai yang merupakan Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dianggap telah diminta kembali oleh pihak yang terpungut.
(7) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai oleh Pihak Lain, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Pihak Lain dengan mengajukan permohonan.
(8) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum:
  a. dikreditkan sebagai Pajak Masukan;
  b. dibebankan sebagai biaya; dan
  c. dikapitalisasi dalam harga perolehan,
  dan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pihak yang melakukan penyerahan sudah tidak dapat dibetulkan, Pajak Pertambahan Nilai yang salah dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut dengan mengajukan permohonan.
(9) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang menerima perolehan.
(10) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan pajak terkait dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali melalui pengajuan permohonan oleh:
  a. pihak yang melakukan penyerahan;
  b. pihak yang menerima perolehan; atau
  c. pihak yang melakukan ekspor,
  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(11) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  a. tidak dapat ditemukan yang dapat berupa pembubaran usaha; atau
  b. tidak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan,
  permohonan diajukan oleh pihak yang dipotong atau dipungut.
(12) Surat Pemberitahuan yang tidak dapat dibetulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (8), dan ayat (11) meliputi:
  a. Surat Pemberitahuan telah dilakukan tindakan Pemeriksaan; dan
  b. Surat Pemberitahuan rugi atau lebih bayar yang disampaikan melebihi jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 131

(1) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 diajukan secara tertulis atau secara elektronik dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan pengembalian yang diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan pihak yang dipotong atau dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (11) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  c. bukti pemotongan atau pemungutan pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan;
  d. surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut dalam hal permohonan diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak; dan
  e. surat pernyataan subjek pajak luar negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri, dalam hal kesalahan pemotongan pemungutan dilakukan terhadap subjek pajak luar negeri.
(3) Permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), ayat (9), dan ayat (10) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  c. Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang dipersamakan dengan Faktur Pajak yang merupakan bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
  d. dokumen ekspor dalam hal ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; dan
  e. dokumen lain sesuai dengan peraturan Menteri yang mengatur mengenai pembebasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(4) Dalam hal dokumen yang disyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah tersedia dan tervalidasi dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, dokumen dimaksud tidak harus dilampirkan sebagai lampiran permohonan.
(5) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 132

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dan ayat (11) diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
  b. dalam hal pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a terkait dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final, Pajak Penghasilan tersebut tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut;
  c. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan oleh pemotong atau pemungut pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak;
  d. pajak yang dipotong atau dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  e. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diperhitungkan dengan pajak subjek pajak luar negeri yang terutang di luar negeri dan tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak subjek pajak luar negeri di luar negeri dalam hal pihak yang dipotong atau dipungut subjek pajak luar negeri.
(4) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) diberikan dalam hal:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
  b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, tidak dibebankan sebagai biaya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
  c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak, Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, atau Pihak Lain dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Wajib Pajak Pemungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pihak Lain;
  d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  e. memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri mengenai pembebasan Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Hasil penelitian berupa pengembalian terkait dengan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (10) diberikan dalam hal:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
  b. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dibiayakan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang dipungut atau tidak dikapitalisasi dalam harga perolehan;
  c. pajak yang dipungut telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak;
  d. pajak yang dipungut tidak diajukan keberatan oleh Wajib Pajak yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) huruf e Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; dan
  e. memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam peraturan Menteri mengenai pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atau pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(6) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(7) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(8) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada pemohon sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(9) Dalam hal atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terhadap subjek pajak luar negeri, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan informasi kepada otoritas perpajakan negara domisili subjek pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 133

Kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda bagi subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (1) huruf e disebabkan:
a. kesalahan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
b. keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif untuk menerapkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda setelah terjadi pemotongan atau pemungutan; atau
c. Persetujuan Bersama.
                 

Pasal 134

(1) Dalam hal terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terhadap subjek pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak dengan mengajukan permohonan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  a. tidak dapat ditemukan yang dapat berupa pembubaran usaha; atau
  b. tidak dapat melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan,
  permohonan diajukan oleh subjek pajak luar negeri.
                 

Pasal 135

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) dan ayat (2) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen berupa:
  a. penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  b. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  c. bukti pemotongan atau pemungutan pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan bukti pemotongan atau pemungutan;
  d. surat kuasa dari subjek pajak luar negeri yang dipotong atau dipungut dalam hal permohonan diajukan oleh pemotong atau pemungut pajak;
  e. surat pernyataan subjek pajak luar negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri;
  f. Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  g. salinan Surat Keputusan Persetujuan Bersama, dalam hal kelebihan pemotongan atau pemungutan disebabkan adanya Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf c; dan
  h. dokumen pendukung bagi subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
(3) Tata cara penyampaian permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 136

(1) Direktur Jenderal Pajak meneliti kebenaran pembayaran pajak berdasarkan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135.
(2) Dalam rangka meneliti kebenaran pembayaran pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen dan/atau keterangan kepada pemohon.
(3) Hasil penelitian berupa pengembalian diberikan dalam hal memenuhi ketentuan:
  a. pajak yang seharusnya tidak terutang telah disetor ke Kas Negara;
  b. pajak yang dipotong atau dipungut telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Wajib Pajak pemotong atau pemungut pajak;
  c. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak diperhitungkan dengan pajak subjek pajak luar negeri yang terutang di luar negeri;
  d. pajak yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak subjek pajak luar negeri di luar negeri; dan
  e. tidak ditemukan adanya penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda oleh subjek pajak luar negeri, dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 huruf a dan huruf b.
(4) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
(5) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(6) Dalam hal berdasarkan laporan hasil penelitian tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
(7) Dalam hal atas permohonan kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak mengirimkan informasi kepada otoritas perpajakan negara domisili subjek pajak luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 137

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
  a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (5), Pasal 128 ayat (5), Pasal 132 ayat (7), dan Pasal 136 ayat (5); atau
  b. surat pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (6), Pasal 128 ayat (6), Pasal 132 ayat (8), dan Pasal 136 ayat (6),
  paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang diterima.
(2) Dalam hal sampai dengan berakhirnya batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau pemberitahuan penolakan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Direktur Jenderal Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berakhirnya batas waktu penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
                 
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian Imbalan Bunga
 

Pasal 138

(1) Imbalan bunga yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:
  a. keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  b. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  c. keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  d. kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana diatur dalam Pasal 27B ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
  e. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 27B ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, kecuali:
    1. kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan yang terkait dengan Persetujuan Bersama; atau
    2. kelebihan pembayaran pajak karena surat keputusan pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
  a. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
  b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
  c. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
  d. Surat Ketetapan Pajak Nihil.
(3) Jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan jumlah lebih bayar menurut Wajib Pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
(4) Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
(5) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak karena diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang berasal dari pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, baik yang disetujui maupun tidak disetujui Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.
                 

Pasal 139

(1) Imbalan bunga yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
(2) Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atas:
  a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  b. Surat Keputusan Keberatan;
  c. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
  f. Surat Keputusan Pembetulan;
  g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  h. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  i. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
     

Pasal 140

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf a diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(3) Batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
  a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  b. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) atau Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  c. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak untuk Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dan Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
  d. diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak; atau
  e. diterima Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Pengadilan, yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 141

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf b diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berakhir sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 142

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf c diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima secara lengkap berakhir sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 143

(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang terkait dengan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf d diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan:
  a. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan; dan/atau
  b. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 144

(1) Imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf e diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak:
  a. tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak;
  b. tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak; atau
  c. tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.
(3) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(4) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 145

(1) Imbalan bunga karena keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (1) diberikan dengan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak.
(2) Jumlah bulan sebagai dasar pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
(3) Batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) bulan sejak:
  a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  b. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan;
  c. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  d. diterbitkannya Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
  e. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan;
  f. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
  g. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  h. diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  i. diterbitkannya Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, atau Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
(4) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
                 

Pasal 146

(1) Dalam hal terdapat imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 dan Pasal 139, Wajib Pajak mengajukan permohonan pemberian imbalan bunga kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(2) Penyampaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 147

(1) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga jika permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 memenuhi ketentuan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 atau Pasal 139;
(2) Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan pemberian imbalan bunga atas kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf d, dapat dilakukan jika:
  a. Surat Keputusan Keberatan tidak diajukan permohonan banding ke Pengadilan Pajak;
  b. Putusan Banding telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga; atau
  c. Putusan Peninjauan Kembali telah diterima oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memberikan imbalan bunga.
(3) Dalam hal Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan karena permohonan pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan kepada Wajib Pajak.
(4) Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pemberitahuan Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pemberian imbalan bunga diterima secara lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak.
(5) Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan nota penghitungan pemberian imbalan bunga, yang memuat penghitungan besarnya imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak.
(6) Bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan Pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat, pemberian imbalan bunga terkait pajak yang terutang dalam mata uang dolar Amerika Serikat diberikan dalam mata uang rupiah, yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat:
  a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  b. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan atau diucapkannya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  c. diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan;
  d. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Ketetapan Pajak; atau
  e. diterbitkannya surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak.
                 

Pasal 148

Pembayaran imbalan bunga merupakan bagian dari pengurang penerimaan pajak.
                 

Pasal 149

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf h Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan untuk menagih kembali imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal diterbitkan keputusan, diterima putusan, atau ditemukan data atau informasi, yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.
                 
Bagian KeempatTata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak 

Pasal 150

Wajib Pajak memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak dalam hal:
a. terdapat kelebihan pembayaran pajak; dan
b. diberikan imbalan bunga,
yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon berdasarkan peraturan perundang-undangan.
                 

Pasal 151

Kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf a yang terkait dengan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan Pajak Karbon dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
a. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
b. pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
c. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana diatur dalam Pasal 17B Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
d. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17C Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
e. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 17D Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
f. pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 17E Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Pasal 16E Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
g. pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
h. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
i. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
j. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
k. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
l. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
m. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
n. pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 27C ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 152

Kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf a yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
a. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
b. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan;
c. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
d. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan;
f. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
g. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
h. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
i. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
j. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; atau
k. Pajak Bumi dan Bangunan yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 153

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 huruf b diberikan dalam hal diterbitkan:
a. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; dan
b. Surat Keputusan Pembetulan atas Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang menambah jumlah imbalan bunga.
                 

Pasal 154

(1) Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dan Pasal 152 serta imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 harus diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana tercantum dalam:
  a. Surat Tagihan Pajak, kecuali Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak yang tidak disetujui dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan atas Surat Ketetapan Pajak tersebut diajukan keberatan dan/atau banding sampai dengan diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan/atau Putusan Banding;
  b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atas jumlah yang disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
  c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, atas jumlah yang tidak disetujui oleh Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, yang:
    1. tidak diajukan keberatan;
    2. diajukan keberatan tetapi Surat Keputusan Keberatan mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut tidak diajukan banding; atau
    3. diajukan keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut diajukan banding tetapi Putusan Banding mengabulkan sebagian, menolak, atau menambah jumlah pajak terutang;
  d. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang;
  e. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  f. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  g. Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah tetapi tidak diajukan banding;
  h. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
  i. Surat Keputusan Persetujuan Bersama yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
  j. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
(2) Jika setelah dilakukan perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, sisa kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan kepada Wajib Pajak atau dapat digunakan untuk:
  a. membayar Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain; dan/atau
  b. mengisi Deposit Pajak atas nama Wajib Pajak,
  berdasarkan persetujuan Wajib Pajak.
(3) Persetujuan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal Direktorat Jenderal Pajak mengirimkan permintaan konfirmasi kompensasi kelebihan pembayaran pajak ke Utang Pajak Wajib Pajak lain dan/atau Deposit Pajak.
(4) Persetujuan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam jangka waktu paling lama:
  a. 7 (tujuh) hari sejak permintaan konfirmasi disampaikan; atau
  b. 1 (satu) hari sebelum jatuh tempo penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak,
  tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
(5) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan persetujuan atas konfirmasi dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sisa kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak.
                 

Pasal 155

(1) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan menggunakan nomor rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak yang tersedia pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(2) Dalam hal nomor rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak belum tersedia pada profil Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta Wajib Pajak melakukan pemutakhiran nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Dikecualikan dari penggunaan rekening dalam negeri atas nama Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
  a. pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf f, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama Turis Asing;
  b. pengembalian kepada perwakilan negara asing/badan internasional atau pejabatnya, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama perwakilan negara asing/badan internasional atau pejabatnya;
  c. pengembalian kepada subjek pajak luar negeri yang pemotong atau pemungut pajak tidak dapat ditemukan atau pengembalian yang dapat diajukan sendiri oleh subjek pajak luar negeri, dapat menggunakan rekening luar negeri atas nama subjek pajak luar negeri yang berkenaan atau rekening dalam negeri orang pribadi atau Badan yang ditunjuk oleh subjek pajak luar negeri;
  d. pengembalian kepada Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha atau peleburan usaha, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama entitas yang menerima penggabungan usaha atau entitas baru hasil peleburan usaha;
  e. pengembalian kepada penanggung pajak atas pembayaran Utang Pajak Wajib Pajak yang tidak seharusnya dibayar, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama penanggung pajak;
  f. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dinyatakan pailit, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama kurator;
  g. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dalam pembubaran, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama orang atau Badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
  h. pengembalian kepada Wajib Pajak yang dilikuidasi, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama likuidator;
  i. pengembalian kepada Wajib Pajak warisan yang belum terbagi, dapat menggunakan rekening dalam negeri atas nama salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya, atau yang mengurusi harta peninggalannya; dan
  j. pengembalian lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 156

(1) Perhitungan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang atau Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2) dituangkan dalam nota penghitungan kelebihan pembayaran pajak.
(2) Dalam hal kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, pengembalian pembayaran pajak diberikan dalam satuan mata uang rupiah yang dihitung menggunakan nilai tukar atau kurs yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat:
  a. diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a, huruf b, dan huruf c;
  b. diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d dan huruf e;
  c. diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h;
  d. diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali; atau
  e. diterbitkannya surat keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, huruf m, dan huruf n.
                 

Pasal 157

(1) Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berdasarkan nota penghitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1).
(2) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  a. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dengan nomor rekening, dalam hal terdapat nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan; atau
  b. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak tanpa nomor rekening, dalam hal tidak terdapat nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Tanggal penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sebagai tanggal:
  a. pelunasan Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1); dan
  b. pelunasan Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain dan/atau pengisian Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2).
(4) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Meterai, Pajak Penjualan, dan/atau Pajak Karbon diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
  a. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sehubungan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf a diterima;
  b. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b atau huruf c diterbitkan;
  c. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf d, huruf e, atau huruf g diterbitkan;
  d. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h diterbitkan;
  e. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf h diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  f. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf i diterbitkan;
  g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf j diterbitkan;
  h. Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf k diterbitkan;
  i. Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf l diterbitkan;
  j. Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf m diterbitkan; atau
  k. Surat Keputusan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf n diterbitkan.
(5) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
  a. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf a diterbitkan;
  b. Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf b diterbitkan;
  c. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf c diterima kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali;
  d. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf d diterbitkan;
  e. Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf e diterbitkan;
  f. Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf f diterbitkan;
  g. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf g diterbitkan;
  h. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf h diterbitkan; atau
  i. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf i diterbitkan;
  j. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf j diterbitkan; atau
  k. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 huruf k diterbitkan.
(6) Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pemberian imbalan bunga diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak diterbitkan:
  a. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga; atau
  b. Surat Keputusan Pembetulan atas Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga yang menambah jumlah imbalan bunga.
                 

Pasal 158

(1) Atas dasar Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri:
  a. menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan dengan nomor rekening; atau
  b. tidak menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan tanpa nomor rekening.
(2) Dalam hal tidak diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
  a. menyampaikan pemberitahuan kepada Wajib Pajak bahwa Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga tidak diterbitkan; dan
  b. meminta Wajib Pajak melakukan pemutakhiran nomor rekening pada profil Wajib Pajak dalam basis data perpajakan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak telah melakukan pemutakhiran nomor rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
  a. melengkapi Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak dengan rekening yang diberitahukan oleh Wajib Pajak; dan
  b. menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga.
(4) Dalam hal terdapat kesalahan dalam penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Menteri membetulkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak atau Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sepanjang belum diterbitkan Surat Perintah Pencairan Dana.
(5) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak:
  a. diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan dengan nomor rekening; atau
  b. Wajib Pajak menyampaikan nomor rekening, dalam hal Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak diterbitkan tanpa nomor rekening.
                 

Pasal 159

(1) Perhitungan kelebihan pembayaran pajak atau pemberian imbalan bunga untuk:
  a. pelunasan Utang Pajak Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1); dan/atau
  b. pelunasan Utang Pajak atas nama Wajib Pajak lain dan/atau pengisian Deposit Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (2),
  ditindaklanjuti dengan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak.
(2) Kompensasi kelebihan pembayaran pajak atau pemberian imbalan bunga ke Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan persetujuan Wajib Pajak.
(3) Dalam hal tidak dilakukan kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak:
  a. seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan; atau
  b. seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak bersangkutan.
(4) Kompensasi ke Utang Pajak dan/atau Deposit Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga.
(5) Potongan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga dianggap sah dalam hal telah mendapatkan nomor Surat Perintah Pencairan Dana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan.
(6) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga dibebankan pada akun pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, yaitu pada akun yang sama dengan akun pada saat diakuinya pendapatan pajak semula.
(7) Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, dan Arsip Data Komputer disampaikan ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara secara elektronik atau secara langsung oleh petugas yang ditunjuk.
(8) Berdasarkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara atas nama Menteri menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana.
                 

Pasal 160

(1) Pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setiap awal tahun anggaran.
(2) Dalam hal terjadi perubahan pejabat yang berwenang menandatangani Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak, dan Surat Perintah Membayar Imbalan Bunga, pejabat pengganti harus menyampaikan spesimen tanda tangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara sejak yang bersangkutan menjabat.
                 
BAB VITATA CARA PENYAMPAIAN DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN Bagian KesatuSurat Pemberitahuan 

Pasal 161

(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan Pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat.
(3) Wajib Pajak yang ditunjuk sebagai Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean dan memilih melaksanakan kewajiban pembayaran dan pelaporan atas Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat, wajib mengisi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai menggunakan satuan mata uang dolar Amerika Serikat.
                 

Pasal 162

(1) Surat Pemberitahuan meliputi:
  a. Surat Pemberitahuan Masa, yang terdiri atas:
    1. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan:
      a) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26;
      b) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi;
      c) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih;
      d) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela; dan
      e) laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi;
    2. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai:
      a) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak;
      b) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan;
      c) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak; dan
      d) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik;
    3. Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai; dan
    4. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon.
  b. Surat Pemberitahuan Tahunan, yang terdiri atas:
    1. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak;
    2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak; dan
    3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon;
    dan
  c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
  a. Dokumen Elektronik; atau
  b. formulir kertas (hardcopy).
(3) Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  a. menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
  b. menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
  c. menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.
                 

Pasal 163

(1) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 wajib disampaikan oleh pemotong pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(2) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang melakukan pemotongan, pemungutan, pembayaran sendiri, dan/atau penyetoran sendiri, dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela wajib disampaikan oleh Wajib Pajak peserta program pengungkapan sukarela yang tidak memenuhi ketentuan realisasi pengalihan harta bersih dan/atau investasi dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(5) Laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak wajib disampaikan oleh setiap Pengusaha Kena Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan wajib disampaikan antara lain oleh:
  a. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (9a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; dan
  b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai peredaran usaha tidak melebihi jumlah tertentu,
  dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak wajib disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik oleh:
  a. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
  b. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
  yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
(9) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik wajib disampaikan oleh Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean, dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(10) Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai wajib disampaikan oleh setiap pemungut Bea Meterai dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(11) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon wajib disampaikan oleh setiap pemungut Pajak Karbon dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(12) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan wajib disampaikan oleh Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik, sepanjang Wajib Pajak memenuhi kriteria:
  a. merupakan Wajib Pajak Badan;
  b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang disampaikan berstatus lebih bayar;
  c. diwajibkan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa dalam bentuk Dokumen Elektronik;
  d. pernah menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam bentuk Dokumen Elektronik;
  e. terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak selain Kantor Pelayanan Pajak pratama;
  f. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
  g. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.
(13) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon wajib disampaikan oleh setiap Wajib Pajak dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(14) Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan Wajib Pajak tertentu selain Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (13) untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik atau dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(15) Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik, tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tetap menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy), Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
(16) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (15) dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
(17) Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (13), dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (2) huruf b.
                 

Pasal 164

(1) Surat Pemberitahuan paling sedikit berisi:
  a. jenis pajak;
  b. nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  c. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
  d. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah peredaran usaha;
  b. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
  c. jumlah penghasilan kena pajak;
  d. jumlah pajak yang terutang;
  e. jumlah kredit pajak;
  f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  g. jumlah harta dan kewajiban; dan
  h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah dasar pengenaan pajak;
  b. jumlah pajak yang terutang dan/atau jumlah pajak dibayar; dan
  c. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
(4) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah penyerahan;
  b. jumlah perolehan;
  c. jumlah dasar pengenaan pajak;
  d. jumlah Pajak Keluaran;
  e. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
  f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  g. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean; dan
  h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(5) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah penyerahan;
  b. jumlah perolehan;
  c. jumlah dasar pengenaan pajak;
  d. jumlah Pajak Keluaran;
  e. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
  f. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak; dan
  g. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak.
(6) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah dasar pengenaan pajak;
  b. jumlah pajak yang dipungut;
  c. jumlah pajak yang disetor;
  d. tanggal pemungutan; dan
  e. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
  a. daftar rincian harta;
  b. daftar rincian utang; dan
  c. penghitungan Pajak Penghasilan final terutang.
(8) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
  a. daftar rincian harta bersih yang tidak dialihkan dan/atau diinvestasikan; dan
  b. penghitungan tambahan Pajak Penghasilan final terutang.
(9) Laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), memuat data mengenai:
  a. Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi;
  b. equity to be split; dan
  c. bagian negara.
(10) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah Pemanfaat Barang dan/atau Pemanfaat Jasa;
  b. jumlah pembayaran transaksi, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
  c. jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; dan
  d. rincian transaksi Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut.
(11) Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dipungut serta jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dibebaskan, berdasarkan objek Bea Meterai;
  b. jumlah dokumen dan Bea Meterai yang dipungut berdasarkan cara pemungutan;
  c. jumlah penyetoran Bea Meterai; dan
  d. data lainnya terkait dengan pemungutan Bea Meterai.
(12) Surat Pemberitahuan Objek Pajak selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. Nomor Objek Pajak;
  b. sektor;
  c. jenis/subsektor;
  d. data lokasi Objek Pajak;
  e. data Wajib Pajak;
  f. data luas bumi dan luas bangunan;
  g. data pendapatan; dan
  h. data lainnya yang terkait dengan kegiatan pengusahaan Objek Pajak.
(13) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. perhitungan Pajak Karbon terutang;
  b. perhitungan pengurang Pajak Karbon; dan
  c. Pajak Karbon yang harus dibayar.
(14) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat data mengenai:
  a. nilai penjualan barang mengandung karbon;
  b. dasar pengenaan Pajak Karbon; dan
  c. Pajak Karbon yang dipungut dan disetor.
                 

Pasal 165

(1) Surat Pemberitahuan terdiri dari Surat Pemberitahuan induk dan lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
(2) Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan Pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi, serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
(4) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diaudit oleh akuntan publik, Wajib Pajak harus melampirkan laporan keuangan yang telah diaudit.
(5) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan secara elektronik, laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dalam bentuk elektronik sesuai dengan format dan sarana yang ditetapkan atau disediakan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(6) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan laporan keuangan masing-masing Wajib Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak merupakan perusahaan induk, selain menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Wajib Pajak juga harus melampirkan laporan keuangan konsolidasi.
                 

Pasal 166

(1) Surat Pemberitahuan berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Surat Pemberitahuan berbentuk Dokumen Elektronik dapat diakses atau diunduh oleh Wajib Pajak melalui:
  a. Portal Wajib Pajak; atau
  b. laman atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
                 

Pasal 167

(1) Surat Pemberitahuan yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, Surat Pemberitahuan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Penandatanganan Surat Pemberitahuan dilakukan dengan cara:
  a. tanda tangan biasa; atau
  b. Tanda Tangan Elektronik.
(4) Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b mempunyai kekuatan hukum yang sama.
                 

Pasal 168

(1) Penyampaian Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak dapat dilakukan:
  a. secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak atau aplikasi lain yang terintegrasi dengan sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
  b. secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
  c. melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan bukti penerimaan.
(3) Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163 wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(4) Terhadap Wajib Pajak yang diwajibkan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetapi Wajib Pajak yang bersangkutan tetap menyampaikan Surat Pemberitahuan selain dengan cara elektronik, Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
(5) Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan.
                 

Pasal 169

(1) Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.
(3) Wajib Pajak Pajak Karbon wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun kalender.
                 

Pasal 170

(1) Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
(2) Wajib Pajak Badan yang memiliki kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan untuk Bagian Tahun Pajak, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan tersebut paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Bagian Tahun Pajak.
                 

Pasal 171

(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai pemotong atau pemungut Pajak Penghasilan, wajib melaporkan:
  a. Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang dipotong, dipungut, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri;
  b. Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dipotong, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri;
  c. Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong;
  d. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut dan/atau disetor sendiri;
  e. Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dipotong;
  f. Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayar sendiri; dan/atau
  g. Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dan/atau dipungut,
  paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Kewajiban melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi dengan menyampaikan:
  a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi; dan
  b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang dipotong, dipungut, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 15 yang dipotong, dibayar sendiri, dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut dan/atau disetor sendiri, Pajak Penghasilan Pasal 23 yang dipotong, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipotong dan/atau dipungut yang tidak berhubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi.
(3) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah mendapat validasi pembayaran pajak atas:
  a. penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya; dan
  b. penghasilan dari pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu,
  dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Wajib Pajak yang telah melakukan penyetoran sendiri Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan telah mendapatkan validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku:
  a. sepanjang terdapat pembayaran penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan orang pribadi, untuk Masa Pajak selain Masa Pajak terakhir; dan
  b. untuk Masa Pajak terakhir.
(6) Masa pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu masa Desember, Masa Pajak tertentu yang terdapat pegawai tetap berhenti bekerja, atau Masa Pajak tertentu yang terdapat pensiunan berhenti menerima uang terkait pensiun.
(7) Pensiunan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yaitu orang pribadi atau ahli warisnya, termasuk janda, duda, anak, dan/atau ahli waris lainnya, yang menerima atau memperoleh imbalan secara periodik berupa uang pensiun, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, jaminan hari tua, untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu.
(8) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku dalam hal tidak terdapat transaksi yang wajib:
  a. diterbitkan bukti pemotongan atau bukti pemungutan; dan
  b. dilakukan penyetoran sendiri,
  Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dalam Masa Pajak yang bersangkutan.
(9) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d tidak berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang atau ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, oleh Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(10) Wajib Pajak yang telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 dan telah mendapatkan validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(11) Ketentuan mengenai kewajiban melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayar sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Wajib Pajak dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 nihil.
(12) Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan laporan penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi tidak berlaku bagi Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar nihil.
(13) Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam satu Masa Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan Pajak Pertambahan Nilai kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan:
  a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak; atau
  b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan,
  paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(14) Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dipungut paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan:
  a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pengusaha Kena Pajak untuk Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain, yang merupakan Pengusaha Kena Pajak; atau
  b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak untuk:
    1. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
    2. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
    yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak
(15) Dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka:
  a. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai; dan
  b. Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean,
  yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (14) huruf b dikecualikan dari kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pihak Lain yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
(16) Pihak Lain yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(17) Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (13), ayat (14) huruf a, dan ayat (16) tetap berlaku dalam hal tidak terdapat pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam suatu Masa Pajak.
(18) Pemungut Bea Meterai wajib melaporkan Bea Meterai yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Bea Meterai paling lama 15 (lima belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(19) Pemungut Pajak Karbon wajib melaporkan Pajak Karbon yang telah dipungut dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Karbon paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
                 

Pasal 172

(1) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri paling lambat akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas kegiatan membangun sendiri dan telah mendapat validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, paling lambat akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
(4) Orang pribadi atau Badan, yang bukan Pengusaha Kena Pajak, yang melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan telah mendapat validasi pembayaran pajak, dianggap telah memenuhi kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
                 

Pasal 173

(1) Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 dan Pasal 172 bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2) Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum, atau hari yang ditetapkan sebagai cuti bersama secara nasional.
                 

Pasal 174

(1) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian:
  a. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
  b. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon,
  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan.
(2) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik atau dalam bentuk formulir kertas (hardcopy).
(3) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disampaikan dalam bentuk Dokumen Elektronik.
                 

Pasal 175

(1) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf a disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan berakhir, dengan dilampiri:
  a. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
  b. perhitungan sementara Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) untuk Wajib Pajak bentuk usaha tetap;
  c. laporan keuangan sementara;
  d. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak; dan
  e. surat pernyataan dari akuntan publik yang menyatakan audit laporan keuangan belum selesai, dalam hal laporan keuangan diaudit oleh akuntan publik.
(2) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) huruf b disampaikan ke Direktur Jenderal Pajak sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Karbon berakhir, dengan dilampiri:
  a. penghitungan sementara pajak terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak yang batas waktu penyampaiannya diperpanjang;
  b. laporan emisi karbon sementara;
  c. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, dalam hal terdapat kekurangan pembayaran pajak; dan
  d. surat pernyataan dari verifikator independen yang menyatakan proses verifikasi laporan emisi karbon belum selesai.
(3) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
(4) Dalam hal pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(5) Dalam hal Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak telah tervalidasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak, pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
                 

Pasal 176

Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1) disampaikan sesuai dengan ketentuan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
                 

Pasal 177

(1) Pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 dan Pasal 176 dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 ayat (1).
(2) Apabila pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan dianggap bukan pemberitahuan perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
                 

Pasal 178

(1) Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam batas waktu perpanjangan sebagaimana tertera dalam pemberitahuan tersebut.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan nilai Pajak Penghasilan kurang bayar yang lebih kecil dari nilai pajak yang telah disetor dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1), atas kelebihan pembayaran tersebut dapat:
  a. diajukan permohonan Pemindahbukuan; atau
  b. diminta kembali melalui permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
                 

Pasal 179

(1) Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(2) Dikecualikan dari pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi:
  a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final pengungkapan harta bersih;
  b. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan final dalam rangka program pengungkapan sukarela; dan
  c. Surat Pemberitahuan Objek Pajak.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
  a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan yang belum terbagi;
  b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
  c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai Warga Negara Asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia dan/atau tidak berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
  d. bentuk usaha tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
  e. Wajib Pajak Badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  f. Instansi Pemerintah yang tidak melakukan pembayaran lagi;
  g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri; atau
  h. Wajib Pajak lain.
(4) Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h adalah Wajib Pajak yang tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena:
  a. kerusuhan massal;
  b. kebakaran;
  c. ledakan bom atau aksi terorisme;
  d. perang antarsuku;
  e. kegagalan sistem administrasi penerimaan negara atau perpajakan; atau
  f. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
(5) Penetapan Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 180

(1) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan.
(2) Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
                 

Pasal 181

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
  a. surat pemberitahuan Pemeriksaan; atau
  b. surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka,
  kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(2) Pernyataan tertulis dalam pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam Surat Pemberitahuan yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan Surat Pemberitahuan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan.
(4) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(5) Dalam hal Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
(6) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 182

Terhadap Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak dilakukan pengolahan yang meliputi:
a. Penelitian Surat Pemberitahuan; dan
b. perekaman Surat Pemberitahuan.
                 

Pasal 183

(1) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan Masa dan Surat Pemberitahuan Tahunan, dilakukan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagai berikut:
  a. Surat Pemberitahuan ditandatangani oleh Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  b. Surat Pemberitahuan disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri untuk menyelenggarakan Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain rupiah;
  c. Surat Pemberitahuan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
  d. Surat Pemberitahuan lebih bayar disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
  e. Surat Pemberitahuan disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan Surat Ketetapan Pajak.
(2) Ketentuan telah ditegur secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, tidak berlaku atas Surat Pemberitahuan lebih bayar untuk Masa, Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak pada saat:
  a. Wajib Pajak belum terdaftar;
  b. Wajib Pajak merupakan Wajib Pajak Nonaktif; atau
  c. Wajib Pajak dikecualikan dari kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan.
(3) Terhadap Surat Pemberitahuan yang dilakukan pembetulan, selain dilakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga dilakukan penelitian atas pemenuhan ketentuan pembetulan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi atau lebih bayar harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dimulai pada tanggal surat pemberitahuan Pemeriksaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(5) Pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dimulai pada tanggal surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan bukti permulaan.
(6) Atas penyampaian Surat Pemberitahuan Objek Pajak, dilakukan Penelitian Surat Pemberitahuan sesuai dengan Pasal 85.
                 

Pasal 184

Atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf a yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan.
                 

Pasal 185

Berdasarkan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, atas penyampaian Surat Pemberitahuan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan, atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Pemberitahuan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan; atau
b. dalam hal Surat Pemberitahuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan dikembalikan kepada Wajib Pajak.
                 

Pasal 186

Berdasarkan Penelitian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, atas penyampaian Surat Pemberitahuan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf c, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Pemberitahuan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, tanda bukti dan tanggal pengiriman surat dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan; atau
b. dalam hal Surat Pemberitahuan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.
                 

Pasal 187

(1) Selain terhadap Surat Pemberitahuan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183, Surat Pemberitahuan yang disampaikan melalui pos atau perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) huruf c dianggap tidak disampaikan dalam hal:
  a. Nomor Pokok Wajib Pajak tidak valid;
  b. Surat Pemberitahuan sudah disampaikan sebelumnya;
  c. isi amplop bukan Surat Pemberitahuan;
  d. dalam satu amplop terdapat lebih dari satu Surat Pemberitahuan;
  e. tidak terdapat pembayaran untuk Surat Pemberitahuan berstatus kurang bayar;
  f. terdapat kesalahan penghitungan dan/atau jumlah pajak yang dibayar tidak sama dengan jumlah kurang bayar dalam Surat Pemberitahuan; dan/atau
  g. Wajib Pajak seharusnya menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bentuk Dokumen Elektronik.
(2) Atas Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan surat pemberitahuan Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan kepada Wajib Pajak.
                 

Pasal 188

Surat Pemberitahuan yang:
a. telah diberikan bukti penerimaan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 dan Pasal 185 atau bukti pengiriman surat yang dianggap sebagai tanda bukti penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186; dan
b. tidak diterbitkan surat pemberitahuan bahwa Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187 ayat (2),
direkam ke dalam sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak.
                 

Pasal 189

Dalam hal Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak merupakan Surat Pemberitahuan dengan status lebih bayar dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan diterima lengkap.
                 

Pasal 190

Dalam hal penyampaian Surat Pemberitahuan tidak dapat dilakukan melalui sistem administrasi Direktorat Jenderal Pajak, Direktur Jenderal Pajak menetapkan prosedur tertentu dalam rangka penyampaian Surat Pemberitahuan dimaksud.
                 
Bagian KeduaTata Cara Penyetoran, Pelaporan, dan Pengecualian Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli atas Tanah dan/atau Bangunan Beserta Perubahannya 

Pasal 191

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau Badan dari:
  a. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
  b. perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya,
  terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan semua hak atas tanah dan/atau bangunan antara lain dapat berupa:
  a. hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai, sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai peraturan dasar pokok-pokok agraria; dan
  b. hak milik atas satuan rumah susun dan kepemilikan bangunan gedung satuan rumah susun sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai rumah susun.
(3) Perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kesepakatan jual beli antara para pihak yang dapat berupa surat perjanjian pengikatan jual beli, surat pemesanan unit, kuitansi pembayaran uang muka, atau bentuk kesepakatan lainnya antara pihak yang menjual atau bermaksud menjual tanah dan/atau bangunan dan pihak yang membeli atau bermaksud membeli tanah dan/atau bangunan.
(4) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan melalui penjualan, tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(5) Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penghasilan yang diterima atau diperoleh:
  a. pihak penjual yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli pada saat perjanjian dimaksud pertama kali ditandatangani; atau
  b. pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli, dalam hal terjadi perubahan pihak pembeli dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut.
                 

Pasal 192

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a sebesar:
  a. 0% (nol persen) atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah, Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah, atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah, sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
  b. 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; atau
  c. 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, selain pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
(2) Nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
  a. nilai berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang, dalam hal pengalihan hak kepada pemerintah;
  b. nilai menurut risalah lelang, dalam hal pengalihan hak sesuai dengan peraturan lelang (Vendu Reglement Staatsblad Tahun 1908 Nomor 189 beserta perubahannya);
  c. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
  d. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, selain pengalihan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b; atau
  e. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh berdasarkan harga pasar, dalam hal pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui tukar menukar, pelepasan hak, penyerahan hak, hibah, waris, atau cara lain yang disepakati antara para pihak.
(3) Besarnya Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari jumlah bruto, yaitu:
  a. nilai yang sesungguhnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa; atau
  b. nilai yang seharusnya diterima atau diperoleh, dalam hal pengalihan tanah dan/atau bangunan dilakukan melalui pengalihan yang dipengaruhi hubungan istimewa.
(4) Rumah sederhana dan rumah susun sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai dengan kriteria rumah sederhana dan rumah susun sederhana yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
(5) Termasuk sebagai Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Wajib Pajak yang dalam kegiatan usahanya mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan.
                 

Pasal 193

(1) Orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a, wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf b dan huruf c ke Kas Negara, sebelum akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a, orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a tidak perlu mengisi Surat Setoran Pajak.
(3) Bagi orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a, Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(4) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(5) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dibayar oleh orang pribadi atau Badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(6) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilakukan untuk setiap pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(7) Pejabat yang berwenang hanya menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan jika kepadanya dibuktikan oleh orang pribadi atau Badan bahwa kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi.
(8) Pemenuhan kewajiban pihak pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuktikan dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(9) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi pejabat pembuat akta tanah, pejabat lelang, atau pejabat lain yang diberi wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(10) Orang pribadi atau Badan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 194

(1) Orang pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a kepada pemerintah, dipungut Pajak Penghasilan oleh Instansi Pemerintah.
(2) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyetor Pajak Penghasilan yang telah dipungut ke Kas Negara, sebelum melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang berhak menerimanya atau sebelum tukar menukar dilaksanakan.
(3) Penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas nama Instansi Pemerintah.
(4) Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 195

(1) Pelunasan Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf b wajib dilakukan melalui penyetoran sendiri ke Kas Negara oleh orang pribadi atau Badan yang merupakan:
  a. pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a; atau
  b. pihak pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf b.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran.
(3) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar oleh orang pribadi atau Badan yang bersangkutan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.
(6) Dalam hal penjual telah melakukan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya, pembayaran dimaksud diperhitungkan dalam pelunasan Pajak Penghasilan terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf b dan huruf c sepanjang perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan dimaksud diakhiri dengan pembuatan akta pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
(7) Pihak penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a hanya menandatangani perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli jika kepadanya dibuktikan bahwa kewajiban pihak pembeli yang namanya tercantum dalam perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya perubahan atau adendum atas perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf b telah dipenuhi.
(8) Pemenuhan kewajiban pihak pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuktikan dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau hasil cetakan sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang bersangkutan yang telah dilakukan penelitian oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(9) Orang pribadi atau Badan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 196

Pembayaran dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dan ayat (5), Pasal 194 ayat (2), serta Pasal 195 ayat (4) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
                 

Pasal 197

(1) Bagi orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) terutang di tempat tinggal orang pribadi yang bersangkutan atau tempat kedudukan Badan di mana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau Badan yang bersangkutan diadministrasikan.
(2) Dalam hal orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan kepada Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) terutang di tempat kedudukan Wajib Pajak Instansi Pemerintah diadministrasikan.
                 

Pasal 198

(1) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) harus membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Instansi Pemerintah unit yang bersangkutan terdaftar.
(2) Badan Usaha Milik Negara yang mendapat penugasan khusus dari pemerintah atau badan usaha milik daerah yang mendapat penugasan khusus dari kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a harus:
  a. membuat daftar pihak yang mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan dan tanah dan/atau bangunan yang akan dialihkan dimaksud disertai dengan salinan surat penugasan dimaksud dan menyampaikan kepada pejabat yang berwenang menandatangani akta pengalihan hak sebagai pengganti Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (7); dan
  b. membuat dan menyampaikan laporan mengenai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka penugasan dimaksud paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Badan Usaha Milik Negara atau badan usaha milik daerah yang bersangkutan terdaftar.
(3) Pejabat yang berwenang menandatangani akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (7) harus menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya pengalihan hak dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan terdaftar.
(4) Penjual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (5) huruf a harus menyampaikan laporan mengenai perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli atas pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya perubahan atau adendum perjanjian pengikatan jual beli dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat penjual terdaftar.
(5) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti pemenuhan kewajiban Pajak Penghasilan bagi pihak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang penghasilannya dikenai tarif 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) huruf a.
                 

Pasal 199

(1) Penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang telah disetor sendiri, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) yang telah dipungut atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya wajib dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi oleh:
  a. orang pribadi atau Badan yang wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang; atau
  b. Instansi Pemerintah yang wajib melakukan pemotongan Pajak Penghasilan yang terutang,
  paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(2) Orang pribadi atau Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah dilakukan penelitian pembayaran pajak dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(3) Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b wajib menerbitkan bukti pemungutan dan menyampaikannya kepada pihak yang menerima atau memperoleh penghasilan.
(4) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap berlaku dalam hal penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Instansi Pemerintah dikenai tarif 0% (nol persen).
(5) Orang pribadi atau Badan dan Instansi Pemerintah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 200

(1) Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 192 ayat (1) dan ayat (3) yaitu:
  a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
  b. orang pribadi yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  c. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
  d. pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan karena waris;
  e. Badan yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang telah ditetapkan oleh Menteri untuk menggunakan nilai buku;
  f. orang pribadi atau Badan yang melakukan pengalihan harta berupa bangunan dalam rangka melaksanakan perjanjian bangun guna serah, bangun serah guna, atau pemanfaatan barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan; atau
  g. orang pribadi atau Badan yang tidak termasuk subjek pajak yang melakukan pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan.
(2) Pengecualian dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan penerbitan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
                 
Bagian KetigaTata Cara Pembayaran dan Pelaporan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Real Estat dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu 

Pasal 201

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2) Skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu skema investasi dalam bentuk Kontrak Investasi Kolektif dengan wadah Dana Investasi Real Estat dengan atau tanpa menggunakan Special Purpose Company.
                 

Pasal 202

(1) Besarnya Pajak Penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1) adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat.
(2) Jumlah bruto nilai pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  a. seluruh jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif atas pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu, dalam hal Wajib Pajak tidak memiliki hubungan istimewa dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif; atau
  b. seluruh jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif atas pengalihan Real Estat dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu dalam hal Wajib Pajak memiliki hubungan istimewa dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif.
                 

Pasal 203

(1) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat ke Kas Negara sebelum akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat diterimanya sebagian atau seluruh pembayaran atas pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu.
(3) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan jumlah setiap pembayaran termasuk uang muka, bunga, pungutan, dan pembayaran tambahan lainnya, sehubungan dengan pengalihan Real Estat tersebut.
(4) Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dibayar paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran.
(5) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(6) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 204

Wajib Pajak yang melakukan pengalihan Real Estat dan dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) wajib:
a. menyampaikan surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu yang dilengkapi dengan dokumen:
  1. salinan surat pemberitahuan efektifnya pernyataan pendaftaran Dana Investasi Real Estat berbentuk Kontrak Investasi Kolektif yang diterbitkan dan telah dilegalisasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  2. keterangan dari Otoritas Jasa Keuangan bahwa Wajib Pajak yang mengalihkan Real Estat bertransaksi dengan Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu;
  3. surat pernyataan bermeterai yang menyatakan bahwa Wajib Pajak melakukan pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu; dan
  4. salinan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu;
  dan
b. memenuhi persyaratan untuk diberikan Surat Keterangan Fiskal sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian Surat Keterangan Fiskal.
                 

Pasal 205

Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (1), Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) terutang di tempat terdaftar Wajib Pajak, di mana Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak diadministrasikan.
                 

Pasal 206

(1) Wajib Pajak yang wajib membayar sendiri Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) wajib melaporkan penghasilan yang diterima atau diperoleh dan Pajak Penghasilan yang telah dibayar dalam suatu Masa Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  a. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi; dan
  b. surat pemberitahuan mengenai adanya pengalihan Real Estat kepada Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif dalam skema Kontrak Investasi Kolektif tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 huruf a,
  paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah melakukan penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) dan telah dilakukan penelitian pembayaran pajak, dianggap telah menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan tanggal pembayaran yang tercantum dalam Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(4) Wajib Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 207

(1) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat menandatangani akta, keputusan, perjanjian, atau kesepakatan atas pengalihan Real Estat apabila kepadanya telah dibuktikan bahwa:
  a. Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) telah dibayar dengan menyerahkan salinan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak bersangkutan yang telah dilakukan penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat, dengan menunjukkan aslinya; dan
  b. kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 204 telah dipenuhi, dengan menyerahkan salinan surat dan/atau dokumen bersangkutan serta salinan tanda bukti penerimaan surat dari Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan laporan bulanan mengenai penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah bulan dilakukannya penerbitan akta, keputusan, kesepakatan, atau risalah lelang atas pengalihan Real Estat dimaksud ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pejabat yang bersangkutan terdaftar.
(4) Tata cara penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan Real Estat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai tata cara penelitian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan.
                 
Bagian KeempatTata Cara Pemotongan dan Pembayaran Pajak Penghasilan atas Penghasilan Lain Kontraktor Berupa Uplift atau Imbalan Lain yang Sejenis dan/atau Penghasilan Kontraktor dari Pengalihan Partisipasi Interes 

Pasal 208

(1) Atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di luar Kontrak Kerja Sama berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
(2) Atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi di luar Kontrak Kerja Sama berupa pengalihan Partisipasi Interes dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar:
  a. 5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes selama masa Eksplorasi; atau
  b. 7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan Partisipasi Interes selama masa Eksploitasi.
(3) Masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terhitung sejak tanggal efektif Kontrak Kerja Sama sampai dengan tanggal persetujuan rencana pengembangan lapangan pertama pada suatu Wilayah Kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi.
(4) Masa Eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terhitung dari berakhirnya masa Eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan tanggal berakhirnya Kontrak Kerja Sama.
                 

Pasal 209

(1) Dalam rangka membagi risiko dalam masa Eksplorasi, pengalihan Partisipasi Interes dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) huruf a, dalam hal memenuhi kriteria:
  a. tidak mengalihkan seluruh Partisipasi Interes yang dimilikinya;
  b. Partisipasi Interes telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
  c. di Wilayah Kerja telah dilakukan Eksplorasi dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi telah mengeluarkan investasi untuk melaksanakan Eksplorasi dimaksud; dan
  d. pengalihan Partisipasi Interes oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
(2) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan Partisipasi Interes sesuai Kontrak Kerja Sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam Kontrak Kerja Sama.
   

Pasal 210

Dasar pengenaan pajak untuk Pajak Penghasilan atas pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yaitu:
a. jumlah yang sesungguhnya diterima atau diperoleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi; atau
b. jumlah yang seharusnya diterima atau diperoleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi, dalam hal terdapat hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara pihak-pihak yang melakukan pengalihan Partisipasi Interes.
                 

Pasal 211

(1) Dalam hal terjadi pengalihan Partisipasi Interes, Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi wajib melaporkan nilai pengalihan Partisipasi Interes dimaksud kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi terdaftar disertai dengan dokumen tertulis berupa perjanjian pengalihan Partisipasi Interes dan financial quarterly report (FQR) triwulan terakhir sebelum terjadinya pengalihan Partisipasi Interes.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan secara jabatan besarnya nilai pengalihan Partisipasi Interes.
(3) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
  a. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes dalam hal penerima pengalihan Partisipasi Interes sudah terdaftar sebagai Wajib Pajak; atau
  b. Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang mengalihkan Partisipasi Interes dalam hal penerima pengalihan Partisipasi Interes belum terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(4) Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus melaporkan nilai pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak perjanjian pengalihan Partisipasi Interes ditandatangani.
                 

Pasal 212

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) yaitu pada saat penghasilan berupa Uplift atau imbalan lain yang sejenis dibayar atau diakui sebagai biaya, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) wajib dipotong oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang melakukan pembayaran Uplift atau imbalan lain yang sejenis dengan menerbitkan bukti pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
                 

Pasal 213

(1) Saat terutangnya Pajak Penghasilan atas penghasilan dari pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) yaitu pada saat pembayaran, pada saat pengalihan Partisipasi Interes, atau pada saat diberikannya persetujuan pengalihan Partisipasi Interes oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, tergantung peristiwa mana yang lebih dahulu terjadi.
(2) Atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2) wajib dipotong oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes dengan menerbitkan bukti pemotongan/pemungutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dipenuhi karena Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes belum terdaftar sebagai Wajib Pajak, Pajak Penghasilan yang terutang dimaksud wajib dipotong, disetorkan, dan dilaporkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang menerima pengalihan Partisipasi Interes pada saat setelah terdaftar sebagai Wajib Pajak.
(4) Dalam hal pengalihan Partisipasi Interes dilakukan secara tidak langsung dan tidak mengubah Nomor Pokok Wajib Pajak, Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang mengalihkan Partisipasi Interes wajib menyetor sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
                 

Pasal 214

Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) dan/atau Pasal 213 ayat (2), dan ayat (4), wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (2).
                 

Pasal 215

(1) Pajak Penghasilan yang disetorkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 wajib dilaporkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang melakukan pemotongan atau penyetoran sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(3) Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2), Pasal 213 ayat (2), Pasal 213 ayat (3), Pasal 213 ayat (4), Pasal 214, dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 216

(1) Atas penghasilan kena pajak sesudah dikurangi Pajak Penghasilan yang bersifat final yang berasal dari Uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan/atau penghasilan Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi dari pengalihan Partisipasi Interes sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (2), terutang Pajak Penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
(2) Perlakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan lain Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) dan ayat (2) berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan yang berlaku secara umum.
                 
Bagian KelimaPemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sehubungan dengan Pembayaran atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain 

Pasal 217

(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu:
  a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
    1. impor barang; dan
    2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam yang dilakukan oleh eksportir, kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya.
  b. Instansi Pemerintah berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang, yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan atau mekanisme pembayaran langsung;
  c. badan usaha tertentu meliputi:
    1. Badan Usaha Milik Negara;
    2. badan usaha dan Badan Usaha Milik Negara yang merupakan hasil dari restrukturisasi yang dilakukan oleh pemerintah, dan restrukturisasi tersebut dilakukan melalui pengalihan saham milik negara kepada Badan Usaha Milik Negara lainnya; dan
    3. badan usaha tertentu yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, meliputi PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kalimantan Timur, PT Pupuk Iskandar Muda, PT Telekomunikasi Selular, PT Indonesia Power, PT Pembangkitan Jawa-Bali, PT Semen Padang, PT Semen Tonasa, PT Elnusa Tbk, PT Krakatau Wajatama, PT Rajawali Nusindo, PT Wijaya Karya Beton Tbk, PT Kimia Farma Apotek, PT Kimia Farma Trading & Distribution, PT Badak Natural Gas Liquefaction, PT Tambang Timah, PT Terminal Petikemas Surabaya, PT Indonesia Comnets Plus, PT Bank Syariah Indonesia Tbk, 
    berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usahanya;
  d. badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil produksinya kepada distributor di dalam negeri;
  e. agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri;
  f. produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas, atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
  g. badan usaha industri atau eksportir yang melakukan pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur, untuk keperluan industrinya atau ekspornya; dan
  h. badan usaha yang melakukan pembelian komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan.
(2) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 melakukan perubahan nama badan usaha, badan usaha tertentu tersebut tetap ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(3) Dalam hal badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 3 tidak lagi dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha tertentu dimaksud tidak lagi ditunjuk sebagai pemungut pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(4) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d adalah industri baja yang merupakan industri hulu, termasuk industri hulu yang terintegrasi dengan industri antara dan industri hilir.
(5) Izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h adalah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.
                 

Pasal 218

(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:
  a. untuk pemungutan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas:
    1. impor:
      a) barang tertentu sebesar 10% (sepuluh persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;
      b) barang tertentu lainnya sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor dengan atau tanpa menggunakan angka pengenal impor;
      c) barang berupa kedelai, gandum, dan tepung terigu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai impor dengan menggunakan angka pengenal impor;
      d) barang selain barang sebagaimana dimaksud dalam huruf a), huruf b), dan huruf c) yang menggunakan angka pengenal impor, sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari nilai impor;
      e) barang sebagaimana dimaksud dalam huruf c) dan huruf d) yang tidak menggunakan angka pengenal impor, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari nilai impor; dan
      f) barang yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari harga jual lelang;
      dan
    2. ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, sesuai uraian barang dan pos tarif/harmonized system oleh eksportir kecuali yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang terikat dalam perjanjian kerja sama pengusahaan pertambangan dan kontrak karya, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor;
  b. atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c, sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
  c. atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas adalah sebagai berikut:
    1. bahan bakar minyak sebesar:
      a) 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero);
      b) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum yang menjual bahan bakar minyak yang dibeli selain dari PT Pertamina (Persero) atau anak usaha PT Pertamina (Persero); dan
      c) 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada pihak selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a) dan huruf b);
    2. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan
    3. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai;
  d. atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi:
    1. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen);
    2. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
    3. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
    4. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen); dan
    5. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen), dari dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai;
  e. atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, tidak termasuk alat berat, sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai;
  f. atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha industri atau eksportir sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; dan
  g. atas pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan oleh industri atau badan usaha sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk yaitu cost insurance and freight ditambah dengan bea masuk dan pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(3) Nilai ekspor sebagaimana tercantum dalam pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 adalah nilai free on board yang tercantum pada pemberitahuan pabean ekspor, termasuk pemberitahuan pabean ekspor yang nilai ekspornya telah dibetulkan.
(4) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c yang merupakan badan usaha industri atau eksportir dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f.
                 

Pasal 219

(1) Dikecualikan dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22:
  a. impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
  b. impor barang yang dibebaskan dari pungutan bea masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai berupa:
    1. barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik;
    2. barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar dalam Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pemberian pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan badan internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
    3. barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana;
    4. barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum;
    5. barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
    6. barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya;
    7. peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
    8. barang pindahan;
    9. barang yang diimpor oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
    10. persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
    11. barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
    12. vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program pekan imunisasi nasional;
    13. buku ilmu pengetahuan dan teknologi, buku pelajaran umum, kitab suci, buku pelajaran agama, dan buku ilmu pengetahuan lainnya;
    14. kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadangnya, serta alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya;
    15. pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional, dan suku cadangnya, serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan pesawat udara yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan reparasi pesawat udara kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional;
    16. kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian yang diimpor dan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum, dan komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana perkeretaapian yang akan digunakan oleh badan usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum dan/atau badan usaha penyelenggara prasarana perkeretaapian umum;
    17. peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional, yang diimpor oleh Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia atau pihak yang ditunjuk oleh Kementerian Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia;
    18. barang untuk kegiatan hulu minyak dan gas bumi yang importasinya dilakukan oleh kontraktor kontrak kerja sama; dan
    19. barang untuk kegiatan usaha panas bumi;
  c. impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk diekspor kembali; 
  d. impor kembali, yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; 
  e. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf g, dan huruf h berkenaan dengan:
    1. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b:
      a. yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
      b. pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit Instansi Pemerintah;
      c. pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda pos atau pemakaian air dan listrik;
      d. pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana bantuan operasional sekolah, bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, atau bantuan operasional penyelenggaraan pendidikan lainnya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan;
      e. pembayaran untuk pembelian gabah dan/atau beras;
      f. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang memiliki dan menyerahkan salinan surat keterangan yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu;
      g. pembayaran kepada rekanan pemerintah yang dapat menyerahkan salinan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara pengajuan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan; atau
      h. pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan atas pembelian barang yang dilakukan melalui Pihak Lain dalam sistem administrasi pengadaan pemerintah, yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain;
    2. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
    3. pembayaran untuk:
      a. pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas, benda-benda pos; dan
      b. pemakaian air dan listrik;
    4. pembayaran untuk pembelian minyak bumi, gas bumi, dan/atau produk sampingan dari kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi yang dihasilkan di Indonesia dari:
      a. kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama;
      b. kantor pusat kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama; atau
      c. trading arms kontraktor yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi berdasarkan kontrak kerja sama.
    5. pembayaran untuk pembelian panas bumi atau listrik hasil pengusahaan panas bumi dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang usaha panas bumi berdasarkan kontrak kerja sama pengusahaan sumber daya panas bumi;
    6. pembelian bahan-bahan berupa hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, dan perikanan yang belum melalui proses industri manufaktur untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf g yang jumlahnya paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dalam satu Masa Pajak; dan
    7. pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dari Badan atau orang pribadi pemegang izin usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf h yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha oleh badan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c;
  f. impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor;
  g. penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri yang dilakukan oleh industri otomotif, agen tunggal pemegang merek, agen pemegang merek, dan importir umum kendaraan bermotor, yang telah dikenai pemungutan Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaannya;
  h. pembelian gabah dan/atau beras oleh perusahaan umum badan urusan logistik; dan
  i. pembelian bahan pangan pokok dalam rangka menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan oleh perusahaan umum badan urusan logistik atau Badan Usaha Milik Negara lain yang mendapatkan penugasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tetap berlaku dalam hal barang impor tersebut:
  a. dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen); atau
  b. tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f dinyatakan dengan surat keterangan bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(4) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf g, huruf h, dan huruf i dilakukan tanpa surat keterangan bebas.
                 

Pasal 220

(1) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang, terutang dan dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran bea masuk.
(2) Dalam hal pembayaran bea masuk ditunda atau dibebaskan dan tidak termasuk dalam pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) huruf b, Pajak Penghasilan Pasal 22 terutang dan dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas impor.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam terutang dan disetorkan bersamaan dengan saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean atas ekspor.
(4) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b dan pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf c terutang dan dipungut pada saat pembayaran.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan hasil produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf d dan penjualan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf e terutang dan dipungut pada saat penjualan.
(6) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f terutang dan dipungut pada saat penerbitan surat perintah pengeluaran barang.
(7) Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian bahan-bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf g dan pembelian batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf h terutang dan dipungut pada saat pembelian.
                 

Pasal 221

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh:
  a. importir yang bersangkutan; atau
  b. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
  ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas ekspor komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam dilaksanakan dengan cara penyetoran oleh eksportir yang bersangkutan ke Kas Negara melalui Collecting Agent.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h, wajib disetor oleh pemungut pajak ke Kas Negara dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak pemungut pajak.
(4) Penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ke Kas Negara dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh Collecting Agent sesuai dengan ketentuan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(5) Terhadap bukti penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan formal atas bukti penyetoran pajak tersebut sebagai dokumen pelengkap pemberitahuan pabean ekspor dan dijadikan dasar pelayanan ekspor.
(6) Pemeriksaan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau sistem komputer pelayanan.
                 

Pasal 222

(1) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh importir, eksportir komoditas tambang batubara, mineral logam, dan mineral bukan logam, dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf a berlaku sebagai bukti pemungutan pajak dalam hal telah mendapatkan validasi pembayaran pajak.
(2) Dalam hal Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan secara digunggung, Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi pihak yang dipungut dengan menggunakan dokumen berupa surat penetapan pembayaran bea masuk cukai dan/atau pajak, bukti pembayaran, consignment note, atau dokumen lain yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, sebagai dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan/pemungutan, sepanjang Pajak Penghasilan Pasal 22 yang terutang telah disetorkan ke Kas Negara.
(3) Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang disetorkan secara digunggung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku sebagai bukti pemungutan pajak.
                 

Pasal 223

(1) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf h, wajib memungut dan membuat bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Wajib Pajak yang dipungut.
(3) Pembuatan bukti pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (2) sesuai dengan ketentuan mengenai pembuatan bukti pemungutan Pajak Penghasilan.
(4) Pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
                 

Pasal 224

(1) Penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 dan pelaporan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171.
(2) Pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 dan Pasal 223 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 225

(1) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf g, dan huruf h, bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(2) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f atas penjualan bahan bakar minyak dan bahan bakar gas kepada:
  a. penyalur/agen bersifat final; dan
  b. selain penyalur/agen bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
(3) Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (1) huruf f atas penjualan pelumas bersifat tidak final dan dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang dipungut.
                 
Bagian KeenamPenghitungan Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala dan Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu 

Pasal 226

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Tahun Pajak yang lalu dikurangi dengan:
  a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan
  b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 Undang-Undang Pajak Penghasilan,
  dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam Bagian Tahun Pajak.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk penghitungan besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi:
  a. Wajib Pajak Baru;
  b. bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya; dan
  c. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
                 

Pasal 227

(1) Dasar untuk penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank yaitu laporan keuangan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak bank dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan:
  a. Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak yang dilaporkan; dan
  b. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak sebelum Masa Pajak yang dilaporkan.
(3) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk:
  a. penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; dan
  b. penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
                 

Pasal 228

(1) Dasar untuk penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi:
  a. Wajib Pajak Lainnya; dan
  b. Wajib Pajak masuk bursa selain Wajib Pajak bank,
  yaitu laporan keuangan yang disampaikan setiap 3 (tiga) bulan kepada bursa dan/atau Otoritas Jasa Keuangan yang terdiri dari laporan posisi keuangan dan laporan laba rugi sejak awal Tahun Pajak sampai dengan periode yang dilaporkan.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak sebagaimana diatur pada ayat (1) dihitung berdasarkan penerapan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto berdasarkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangi dengan:
  a. Pajak Penghasilan yang dipotong dan/atau dipungut sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan; dan
  b. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang seharusnya dibayar sejak awal Tahun Pajak sampai dengan Masa Pajak periode yang dilaporkan.
(3) Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk:
  a. penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak; dan
  b. penghasilan dan biaya sebagai pengurang penghasilan neto yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan/atau bukan objek Pajak Penghasilan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki kerugian yang dapat dikompensasikan, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk 3 (tiga) Masa Pajak setelah periode yang dilaporkan.
                 

Pasal 229

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun selain:
  a. Wajib Pajak bank;
  b. Wajib Pajak masuk bursa; dan/atau
  c. Wajib Pajak Lainnya,
  dihitung berdasarkan penerapan tarif Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan atas penghasilan neto fiskal berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan Tahun Pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham dikurangi dengan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri Tahun Pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
(2) Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan tidak lewat dari batas waktu pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak pertama Tahun Pajak berjalan.
                 

Pasal 230

(1) Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) dan Pasal 228 ayat (1) belum dilaporkan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 Masa Pajak sebelumnya.
(2) Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) belum disahkan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir Tahun Pajak sebelumnya.
(3) Dalam hal Wajib Pajak telah menyampaikan:
  a. laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); atau
  b. Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah mendapatkan pengesahan,
  besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan mulai batas waktu penyampaian laporan sampai dengan bulan sebelum disampaikan laporan tersebut dihitung kembali dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 227, Pasal 228, dan Pasal 229 terhitung mulai batas waktu penyampaian laporan.
(4) Apabila besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih besar, atas kekurangan setoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25:
  a. wajib disetor pada Masa Pajak saat laporan keuangan dan/atau Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan; dan
  b. Wajib Pajak dikenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(5) Apabila besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih kecil, atas kelebihan setoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dapat dimintakan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atau dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
                 

Pasal 231

(1) Bagi Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227, dalam hal laporan keuangan tahunan belum tersedia sampai dengan batas waktu penyetoran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku karena masih dalam proses audit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir dalam tahun buku sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak sebelumnya.
(2) Bagi Wajib Pajak Lainnya dan Wajib Pajak masuk bursa selain Wajib Pajak bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 yang tidak memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan triwulan keempat, besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dibayarkan untuk Masa Pajak triwulan pertama tahun berjalan sama dengan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Masa Pajak terakhir Tahun Pajak sebelumnya.
                 

Pasal 232

(1) Bagi Wajib Pajak masuk bursa yang Tahun Pajak sebelumnya mendapatkan fasilitas pengurangan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2b) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 menggunakan tarif Tahun Pajak sebelumnya.
(2) Bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang mendapatkan fasilitas pengurangan penghasilan neto sebagaimana diatur dalam:
  a. Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan;
  b. Pasal 29A Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan; dan/atau
  c. Pasal 78 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus,
  penghasilan neto yang menjadi dasar penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yaitu penghasilan neto dikurangi jumlah fasilitas yang diterima tersebut.
(3) Bagi Wajib Pajak bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang mendapatkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan Badan sebagaimana diatur dalam:
  a. Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Pajak Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan;
  b. Pasal 75 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus; dan/atau
  c. Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, dan Pasal 35, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara,
  Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang terutang memperhitungkan fasilitas pembebasan atau pengurangan Pajak Penghasilan tersebut.
(4) Bagi Wajib Pajak yang mendapat fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana diatur dalam Pasal 31E ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan pada Tahun Pajak sebelumnya, Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang terutang memperhitungkan fasilitas pengurangan tarif tersebut.
                 

Pasal 233

Bank, Badan Usaha Milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak Lainnya harus menyampaikan laporan penghitungan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya periode pelaporan.
                 

Pasal 234

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha termasuk tempat usaha yang berada di tempat tinggal Wajib Pajak.
(2) Pembayaran Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari masing-masing tempat usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kredit pajak atas Pajak Penghasilan yang terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan.
                 

Pasal 235

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan:
a. Wajib Pajak bank;
b. Wajib Pajak masuk bursa;
c. Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara;
d. Wajib Pajak badan usaha milik daerah;
e. Wajib Pajak Lainnya; dan/atau
f. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu,
mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227, Pasal 228, Pasal 229, dan Pasal 231.
                 

Pasal 236

(1) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru dalam rangka penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha pada sisa Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar penjumlahan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 dari seluruh Wajib Pajak yang terkait sebelum penggabungan, peleburan, dan/atau pengambilalihan usaha.
(2) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak dalam rangka pemekaran usaha, jumlah Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk seluruh Wajib Pajak hasil pemekaran usaha ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebelum pemekaran usaha.
(3) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing Wajib Pajak hasil pemekaran usaha dihitung berdasarkan persentase nilai harta yang dialihkan.
(4) Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru yang merupakan hasil perubahan bentuk badan usaha pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan sebesar Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir sebelum terjadinya perubahan bentuk badan usaha.
(5) Dalam hal Wajib Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 huruf a sampai dengan huruf e merupakan Wajib Pajak Baru hasil penggabungan, peleburan, pengambilalihan usaha, dan/atau pemekaran usaha, penghitungan Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
                 

Pasal 237

Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak Baru selain Wajib Pajak Baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 dan Pasal 236 pada Tahun Pajak berjalan ditetapkan nihil.
                 
Bagian KetujuhPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri selain Bentuk Usaha Tetap atas Penghasilan Berupa Keuntungan dari Penjualan Saham 

Pasal 238

(1) Atas penghasilan dari penjualan saham Perseroan yang diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Terhadap Wajib Pajak luar negeri berkedudukan di negara-negara yang telah mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan Indonesia, pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan jika berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku, hak pemajakannya ada pada pihak Indonesia.
(3) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu 25% (dua puluh lima persen) dari harga jual, sehingga besarnya Pajak Penghasilan Pasal 26 yaitu 20% x 25% atau 5% (lima persen) dari harga jual.
(4) Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final.
                 

Pasal 239

(1) Penghasilan dari penjualan saham di dalam negeri yang diperoleh atau diterima Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (1), dipotong pajak oleh pembeli.
(2) Pembeli sebagai pemotong pajak membuat bukti pemotongan dan menyampaikannya kepada pihak yang dipotong.
(3) Pembeli sebagai pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang terutang paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak melalui Collecting Agent dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(4) Dalam hal pembeli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Wajib Pajak luar negeri, Perseroan ditunjuk sebagai pemungut pajak.
(5) Perseroan sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) membuat bukti pemungutan dan menyampaikannya kepada pihak yang dipungut.
(6) Perseroan sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menyetorkan Pajak Penghasilan Pasal 26 yang dipungut paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan saat terutangnya pajak melalui Collecting Agent dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
                 

Pasal 240

(1) Perseroan hanya mencatat akta pemindahan hak atas saham dari penjualan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) apabila Wajib Pajak luar negeri telah membuktikan bahwa Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (1) yang terutang telah dibayar lunas dengan menyerahkan salinan bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan.
(2) Pemotong atau pemungut pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 
Bagian KedelapanPemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan Berupa Premi Asuransi dan Premi Reasuransi yang Dibayar kepada Perusahaan Asuransi di Luar Negeri 

Pasal 241

(1) Atas pembayaran premi asuransi dan premi reasuransi kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri dikenakan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto.
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
  a. atas premi dibayar tertanggung kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  b. atas premi yang dibayar oleh Perusahaan Asuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah premi yang dibayar;
  c. atas premi yang dibayar oleh perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia kepada Perusahaan Asuransi di luar negeri baik secara langsung maupun melalui pialang, sebesar 5% (lima persen) dari jumlah premi yang dibayar.
                 

Pasal 242

Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) dilakukan oleh:
a. tertanggung, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf a;
b. Perusahaan Asuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf b;
c. perusahaan reasuransi yang berkedudukan di Indonesia, dalam hal dilakukan pembayaran premi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (2) huruf c.
                 

Pasal 243

(1) Pajak Penghasilan Pasal 26 atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran premi atau pada akhir bulan terutangnya premi asuransi tersebut.
(2) Pemotong pajak wajib memotong dan membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26.
(3) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan bukti pemotongan Penghasilan Pasal 26 kepada pihak yang dipotong.
(4) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menyetor pajak Penghasilan Pasal 26 paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
(5) Pemotong pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan Pajak Penghasilan Pasal 26 kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 20 (dua puluh) hari setelah saat terutangnya pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(6) Pemotong pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 
Bagian KesembilanPelaksanaan Pemungutan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Transaksi Penjualan Saham di Bursa Efek 

Pasal 244

Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau Badan dari transaksi penjualan saham di bursa efek dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan saham.
                 

Pasal 245

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dilakukan dengan cara pemotongan oleh penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek pada saat pelunasan transaksi penjualan saham.
(2) Penyelenggara bursa efek melalui perantara pedagang efek sebagai pemotong wajib membuat bukti pemotongan atas pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menyampaikan bukti pemotongan kepada pihak yang dipotong.
(3) Bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan.
(4) Pembuatan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembuatan bukti pemotongan Pajak Penghasilan.
(5) Penyelenggara bursa efek wajib melakukan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6) Penyelenggara bursa efek wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(7) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusun berdasarkan data dan informasi dalam konfirmasi transaksi yang wajib disampaikan oleh perantara pedagang efek kepada penyelenggara bursa efek.
(8) Penyelenggara bursa efek yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (5), dan ayat (6) dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 246

(1) Pemilik saham pendiri dikenakan tambahan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai saham.
(2) Saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu saham yang dimiliki oleh pendiri pada saat penawaran umum perdana.
(3) Termasuk dalam pengertian saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
  a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari kapitalisasi agio yang dikeluarkan setelah penawaran umum perdana; dan
  b. saham yang berasal dari pemecahan saham pendiri.
(4) Tidak termasuk dalam pengertian saham pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
  a. saham yang diperoleh pendiri yang berasal dari pembagian Dividen dalam bentuk saham;
  b. saham yang diperoleh pendiri setelah penawaran umum perdana yang berasal dari pelaksanaan hak pemesanan efek terlebih dahulu, waran, obligasi konversi dan efek konversi lainnya; dan
  c. saham yang diperoleh pendiri perusahaan reksa dana.
(5) Nilai saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
  a. nilai saham pada saat penutupan bursa di akhir tahun 1996 atau pada tanggal 30 Desember 1996, apabila saham tersebut telah diperdagangkan di bursa efek dalam tahun 1996 atau sebelumnya; atau
  b. nilai saham perusahaan pada saat penawaran umum perdana, apabila saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek pada atau setelah 1 Januari 1997.
                 

Pasal 247

(1) Pendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (2) yaitu orang pribadi atau Badan yang namanya tercatat dalam daftar pemegang saham perseroan terbatas atau tercantum dalam anggaran dasar perseroan terbatas sebelum pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penawaran umum perdana menjadi efektif.
(2) Termasuk dalam pengertian pendiri yaitu orang pribadi atau Badan yang menerima pengalihan saham dari pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena:
  a. warisan;
  b. hibah yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a angka 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan; dan
  c. cara lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan pada saat pengalihan tersebut.
                 

Pasal 248

(1) Tambahan Pajak Penghasilan sebesar 0,5% (nol koma lima persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) dikenakan terhadap pemilik saham pendiri dan terutang pada saat saham perusahaan diperdagangkan di bursa efek.
(2) Pengenaan tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
  a. pengenaan tambahan Pajak Penghasilan dilakukan melalui pemungutan oleh emiten;
  b. pemungutan dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
  c. emiten menerbitkan dan menyerahkan bukti pemungutan kepada pemilik saham pendiri.
(3) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
  a. disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak emiten paling lama 1 (satu) bulan setelah saat terutangnya tambahan Pajak Penghasilan; dan
  b. dilaporkan ke Direktur Jenderal Pajak melalui Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
(4) Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan sebagai biaya bagi emiten.
(5) Emiten yang telah menyetorkan Pajak Penghasilan ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
                 

Pasal 249

Tambahan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) yang pemungutannya dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (1) dan ayat (3) huruf a, atas penghasilan dari transaksi penjualan saham pendiri dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
                 
Bagian KesepuluhTata Cara Penyetoran dan Pelaporan Penerimaan Negara dari Kegiatan Usaha Hulu Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi dan Penghitungan Pajak Penghasilan untuk Keperluan Pembayaran Pajak Penghasilan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi Berupa Volume Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi 

Pasal 250

(1) Penerimaan negara dari kegiatan usaha hulu minyak bumi dan/atau gas bumi merupakan penerimaan yang berasal dari hasil Kontrak Kerja Sama dari Wilayah Kerja pertambangan minyak bumi dan/atau gas bumi, yang terdiri atas:
  a. bagian negara; dan
  b. Pajak Penghasilan minyak bumi dan/atau gas bumi.
(2) Minyak bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
(3) Gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan minyak dan gas bumi.
                 

Pasal 251

(1) Bagian negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 ayat (1) huruf a meliputi Lifting yang merupakan hak negara yang berasal dari total Lifting minyak bumi dan/atau gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(2) Total Lifting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah keseluruhan minyak bumi dan/atau gas bumi yang terdiri dari jumlah Lifting dari suatu Wilayah Kerja yang merupakan hak negara dan hak Kontraktor.
(3) Lifting yang merupakan hak negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi sejumlah minyak bumi dan/atau gas bumi bagian Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau Badan Pengelola Migas Aceh sebagaimana diatur dalam Kontrak Kerja Sama.