TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 41/PMK.03/2020
TENTANG
PERSYARATAN DAN TATA CARA IMPOR DAN PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN
TERTENTU SERTA PENYERAHAN DAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK
TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU YANG TIDAK DIPUNGUT
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019 tentang Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Persyaratan dan Tata Cara Impor dan Penyerahan Alat Angkutan Tertentu serta Penyerahan dan Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Terkait Alat Angkutan Tertentu yang Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA IMPOR DAN PENYERAHAN ALAT ANGKUTAN TERTENTU SERTA PENYERAHAN DAN PEMANFAATAN JASA KENA PAJAK TERKAIT ALAT ANGKUTAN TERTENTU YANG TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
PERSYARATAN
Pasal 2
Alat angkutan tertentu yang atas impornya tidak dipungut PPN meliputi:
a. | alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; | ||||||||
b. | alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diimpor oleh pihak lain yang ditunjuk oleh kementerian yang menyelenggarakan urusam pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melakukan impor tersebut; | ||||||||
c. | kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, yang diimpor dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; | ||||||||
d. | pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional; | ||||||||
e. | suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan pesawat udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional; | ||||||||
f. | kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diimpor dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan | ||||||||
g. | komponen atau bahan yang diimpor oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
|
Pasal 3
Alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya tidak dipungut PPN meliputi:
a. | alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, dan kereta api, serta suku cadangnya, dan alat keselamatan pelayaran dan alat keselamatan manusia, alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; | ||||||||
b. | kapal angkutan laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal penangkap ikan, kapal pandu, kapal tunda, kapal tongkang, serta suku cadangnya, alat perlengkapan kapal, alat keselamatan pelayaran, dan alat keselamatan manusia, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, sesuai dengan kegiatan usahanya; | ||||||||
c. | pesawat udara dan suku cadangnya serta alat keselamatan penerbangan dan alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional; | ||||||||
d. | suku cadang pesawat udara serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan pesawat udara, yang diperoleh oleh pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional, yang digunakan dalam rangka pemberian jasa perawatan dan perbaikan Pesawat Udara kepada Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional; | ||||||||
e. | kereta api dan suku cadangnya serta peralatan untuk perbaikan dan pemeliharaan serta prasarana perkeretaapian, yang diserahkan kepada dan digunakan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum; dan | ||||||||
f. | komponen atau bahan yang diserahkan kepada pihak yang ditunjuk oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum dan/atau Badan Usaha Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum, yang digunakan untuk pembuatan:
|
Pasal 4
Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang atas penyerahannya di dalam Daerah Pabean tidak dipungut PPN meliputi:
a. | jasa yang diterima oleh Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional, Perusahaan Penangkapan Ikan Nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, dan Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional yang meliputi:
|
||||||
b. | jasa yang diterima oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
|
||||||
c. | jasa perawatan dan perbaikan kereta api yang diterima oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana Perkeretaapian Umum. |
Pasal 5
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu yang atas pemanfaatannya tidak dipungut PPN meliputi jasa persewaan pesawat udara yang dimanfaatkan oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional.
Pasal 6
(1) | Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
|
(2) | SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan. |
(3) | Fasilitas tidak dipungut PPN atas:
|
(4) | SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan SKTD yang berlaku untuk periode:
|
(5) | SKTD untuk pemberian fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilampiri dengan RKIP. |
(6) | Wajib Pajak yang melakukan impor atau menerima penyerahan alat angkutan tertentu, atau yang melakukan pemanfaatan atau menerima penyerahan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu harus memiliki SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor, menerima penyerahan, dan/atau melakukan pemanfaatan. |
Pasal 7
(1) | Wajib Pajak diberikan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (3), dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemohon SKTD merupakan Wajib Pajak ¡sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, dan huruf c. |
BAB III
TATA CARA
Pasal 8
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf m mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat informasi:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
|
||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. | ||||||||||||||||||||||||
(5) | Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD yang berlaku untuk setiap impor atau penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||||||||||||||||||||||
(7) | Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dianggap sah apabila ditandatangani oleh:
|
||||||||||||||||||||||||
(8) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (b), Kepala Kantor Pelayanan Pajak:
|
||||||||||||||||||||||||
(9) | SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (8) huruf a diterbitkan atas sebagian atau seluruh alat angkutan tertentu sebagaimana yang dimohonkan, yang disetujui untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN. | ||||||||||||||||||||||||
(10) | Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan alat angkutan tertentu, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut. | ||||||||||||||||||||||||
(11) | Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6). |
Pasal 9
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf e sampai dengan huruf l, mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Dalam hal permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, permohonan SKTD dilampiri dengan RKIP. |
(3) | Permohonan SKTD yang disampaikan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memuat informasi:
|
(4) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak:
|
(5) | Terhadap SKTD yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Wajib Pajak harus menyampaikan dokumen pendukung secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat terdaftar dengan menunjukkan asli dokumen, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a. |
(6) | Dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berupa:
|
(7) | Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dengan melampirkan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) | Permohonan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dianggap sah apabila ditandatangani oleh pengurus atau kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(9) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar:
|
(10) | Dalam hal permohonan SKTD diajukan atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan huruf b, SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan ayat (9) huruf a diterbitkan dengan dilampiri RKIP atas seluruh atau sebagian alat angkutan tertentu yang terdapat dalam RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diberikan persetujuan untuk diberikan fasilitas tidak dipungut PPN. |
(11) | Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran yang terjadi sebelum penerbitan SKTD atas penyerahan dan/atau pemanfaatan, SKTD diterbitkan atas bagian PPN yang belum dipungut. |
(12) | Wajib Pajak harus bertanggung jawab terhadap kebenaran informasi yang diisi atau disampaikan dalam permohonan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7). |
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak dapat menyampaikan dokumen pendukung melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), dalam hal terjadi keadaan kahar antara lain peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan bencana lainnya yang harus dinyatakan oleh pejabat atau instansi yang berwenang. |
(2) | Kewajiban penyampaian dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah berakhirnya penetapan keadaan kahar atau penetapan keadaan tanggap darurat. |
Pasal 11
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP yang menjadi lampiran SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), kepada Direktur Jenderal Pajak melalui saluran elektronik pada laman Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP, dalam hal terdapat:
|
(3) | Berdasarkan permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak:
|
(4) | Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak. |
(5) | Berdasarkan, permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
|
(6) | RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a harus dimiliki sebelum pengajuan pemberitahuan pabean impor dan/atau menerima penyerahan. |
(7) | RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan ayat (5) huruf a:
|
(8) | Penerbitan RKIP perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dilakukan tanpa mengubah SKTD yang masih berlaku. |
Pasal 12
(1) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang telah diterbitkan SKTD yang dilampiri RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10), harus menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Dalam hal laman Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau tidak dapat diakses, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. |
(3) | Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat untuk periode sesuai dengan masa berlakunya SKTD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (4), dan disampaikan paling lambat akhir bulan Januari tahun takwim berikutnya. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak melakukan impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN, Laporan Realisasi Impor dan/atau Perolehan tetap harus disampaikan. |
Pasal 13
(1) | Dalami hal terdapat kesalahan penerbitan SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKTD Pengganti. |
(2) | Penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak. |
(3) | Kesalahan penerbitan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(4) | Permohonan penggantian SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan langsung kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar secara tertulis, dengan disertai alasan penggantian dan harus dilampiri SKTD yang telah diterbitkan. |
(5) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
|
(6) | SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sejak tanggal mulai berlakunya SKTD yang dilakukan penggantian. |
(7) | Atas penerbitan SKTD Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal terdapat kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan pada saat penerbitan SKTD. |
(8) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(9) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(10) | PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan. |
Pasal 14
(1) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan namun tidak lengkap dokumen pendukung permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan Pasal 9 ayat (5), Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD. |
(2) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak tidak berhak memperoleh fasilitas tidak dipungut PPN yang terdapat dalam SKTD, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKTD. |
(3) | Atas pembatalan SKTD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang. |
(4) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan. |
Pasal 15
(1) | PPN terutang atas impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu yang telah mendapat fasilitas tidak dipungut PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g, dan Pasal 3 huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f wajib dibayar, apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak saat impor dan/atau perolehan alat angkutan tertentu tersebut:
|
(2) | Dikecualikan dari kewajiban membayar kembali PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal:
|
(3) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya. |
(4) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh:
|
(5) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak alat angkutan tertentu digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya. |
(6) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | PPN yang dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tidak dapat dikreditkan. |
(8) | Kewajiban pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal pemindah tangan an dilakukan dalam keadaan kahar yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang. |
Pasal 16
(1) | Wajib Pajak wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal:
|
(2) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disetorkan ke Kas Negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa Bukti Penerimaan Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan, pada Masa Pajak dilakukannya impor atau penyerahan. |
Pasal 17
Kepala Kantor Pelayanan Pajak, menerbitkan:
Pasal 18
(1) | Wajib Pajak yang melakukan impor alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN pada dokumen pemberitahuan pabean di bidang impor. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak yang melakukan:
|
(3) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mencantumkan informasi nomor SKTD yang menjadi dasar pemberian fasilitas tidak dipungut PPN dan diberikan keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI DENGAN PP NOMOR 50 TAHUN 2019”. |
(4) | Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memastikan bahwa alat angkutan tertentu dan/atau Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu yang diserahkan terdapat dalam SKTD yang dimiliki oleh pihak yang menerima penyerahan. |
(5) | Pengusaha yang telah mendapatkan SKTD dan melakukan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, tidak wajib memungut dan menyetor PPN terutang atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut. |
Pasal 19
(1) | Alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf f, serta Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf e, yaitu sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) | Dokumen berupa contoh format:
|
(3) | Tata cara pengisian Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (9), Pasal 14 ayat (5), Pasal 15 ayat (6), dan Pasal 16 ayat (3), tercantum dalam Lampiran huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 20
Permohonan SKTD yang telah diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, namun belum diselesaikan sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015.
Pasal 21
(1) | SKTD yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, tetap dapat digunakan sampai dengan berakhirnya masa berlaku SKTD tersebut. |
(2) | Terhadap SKTD yang telah diterbitkan dan berlaku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, ketentuan terkait penggantian atau pembatalan SKTD mengikuti ketentuan dalam Peraturan Menteri ini. |
Pasal 22
(1) | Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, penyelesaian permohonannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 193/PMK.03/2015. |
(2) | Wajib Pajak yang sebelumnya telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dan mengajukan permohonan perubahan RKIP setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, pengajuan dan penyelesaian permohonan perubahan RKIP dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini. |
(3) | Wajib Pajak yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, menyampaikan laporan RKIP sesuai dengan Peraturan Menteri ini. |
Pasal 23
Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Nasional yang telah memiliki SKTD yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 2020 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.03/2015, dianggap sudah mengajukan permohonan SKTD atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak terkait alat angkutan tertentu dan diberikan fasilitas tidak dipungut PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean terkait alat angkutan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, sampai dengan tanggal 31 Desember 2020.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 25
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 23 April 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 April 2020
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 407