Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.02/2020

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38/PMK.02/2020
 
TENTANG
 
PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA UNTUK PENANGANAN
PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU
MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN
NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

                                   

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (COVID-19) dan/atau an/atau Stabilitas Sistem Keuangan;

 

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485);
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 51);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);

     

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA UNTUK PENANGANAN PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) DAN/ATAU MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN.

 


BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
3. Lembaga adalah organisasi non Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
4. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
5. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) yang selanjutnya disebut BA 999.08 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan belanja pegawai, belanja bantuan sosial, belanja lain-lain yang pagu anggarannya tidak dialokasikan dalam bagian anggaran Kementerian/Lembaga.
6. Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran Kementerian/Lembaga.
7. Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
8. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disebut DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh PA/KPA atau PPA/KPA BUN.
9. Pagu Anggaran adalah alokasi anggaran yang ditetapkan dalam DIPA untuk mendanai belanja pemerintah pusat dan/atau pembiayaan anggaran dalam APBN.
10. Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian/Lembaga yang melaksanakan 1 (satu) atau beberapa program/kegiatan dan membebani dana APBN.
11. Program adalah penjabaran kebijakan sesuai dengan visi dan misi Kementerian/Lembaga yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi unit eselon I atau unit Kementerian/Lembaga yang berisi kegiatan untuk mencapai hasil (outcome) dengan indikator kinerja yang terukur.
12. Prioritas Nasional adalah Program/kegiatan/proyek untuk pencapaian Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
13. Kegiatan adalah penjabaran dari Program yang rumusannya mencerminkan tugas dan fungsi Satker atau penugasan tertentu Kementerian/Lembaga yang berisi komponen kegiatan untuk mencapai keluaran (output) dengan indikator kinerja yang terukur.
14. Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk penyusunan dan penelaahan rencana kerja dan anggaran Kementerian/Lembaga dan pengesahan DIPA, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai klasifikasi anggaran.
15. Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
16. Transfer ke Daerah adalah bagian dari belanja negara dalam rangka mendanai pelaksanaan desentralisasi fiskal berupa Dana Perimbangan, Dana Insentif Daerah, Dana Otonomi Khusus, dan Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
17. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat.
18. Pembiayaan Anggaran adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali, penerimaan kembali atas pengeluaran tahun-tahun anggaran sebelumnya, pengeluaran kembali atas penerimaan tahun-tahun anggaran sebelumnya, penggunaan saldo anggaran lebih, dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
19. Penyertaan Modal Negara yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari APBN untuk dijadikan sebagai modal Perusahaan Negara dan/atau Perseroan Terbatas lainnya serta lembaga/badan lainnya, yang pengelolaannya dilakukan secara korporasi.
20. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut sukuk negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
21. Surat Utang Negara yang selanjutnya disingkat SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya.
22. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
23. Badan Layanan Umum yang selanjutnya disingkat BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam Kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktifitas.
24. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS.
25. Kredit Usaha Rakyat yang selanjutnya disingkat KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup.
26. Saldo Anggaran Lebih yang selanjutnya disebut Sisa Anggaran Lebih atau disingkat SAL, adalah akumulasi neto dari sisa lebih pembiayaan anggaran dan sisa kurang pembiayaan anggaran tahun-tahun anggaran yang lalu dan tahun anggaran yang bersangkutan setelah ditutup, ditambah/dikurangi dengan koreksi pembukuan.
27. Akumulasi Dana Abadi Pendidikan adalah akumulasi dana abadi dari tahun tahun sebelumnya dan tidak termasuk porsi dana abadi pendidikan yang dialokasikan dalam APBN tahun berjalan.

     

 Pasal 2

Dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, dilakukan:

a. penetapan batasan defisit anggaran dengan ketentuan sebagai berikut:
1. melampaui 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022;
2. sejak Tahun Anggaran 2023 besaran defisit akan kembali menjadi paling tinggi sebesar 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB); dan
3. penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada angka 1 menjadi sebagaimana dimaksud pada angka 2 dilakukan secara bertahap.
b. penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan terkait;
c. pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram;
d. tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, serta menentukan proses dan metode pengadaan barang/jasa;
e. menggunakan anggaran yang bersumber dari:
1. SAL;
2. dana abadi dan Akumulasi Dana Abadi Pendidikan;
3. dana yang dikuasai negara dengan kriteria tertentu;
4. dana yang dikelola oleh BLU; dan/atau
5. dana yang berasal dari pengurangan PMN pada BUMN;
f. penerbitan SUN dan/atau SBSN dengan tujuan tertentu khususnya dalam rangka pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, BUMN, investor korporasi, dan/atau investor ritel;
g. penetapan sumber-sumber Pembiayaan Anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri;
h. pemberian pinjaman kepada LPS;
i. pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk Kegiatan tertentu (refocusing), penyesuaian alokasi, dan/atau pemotongan/penundaan penyaluran anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa, dengan kriteria tertentu;
j. pemberian hibah kepada Pemerintah Daerah; dan/atau
k. penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara.

 

     

BAB II
PELAKSANAAN KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA
 
Bagian Kesatu
Batasan Defisit Anggaran
 
 Pasal 3

(1) Besaran defisit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan, Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dan/atau APBN-Perubahan, dan/atau Peraturan Presiden mengenai perubahan postur dan rincian APBN.
(2) Terhadap besaran defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penyesuaian dalam hal terjadi:
a. pendapatan mengalami penurunan sedangkan pagu belanja tetap;
b. pendapatan tetap sedangkan pagu belanja mengalami peningkatan;
c. pendapatan mengalami penurunan sedangkan pagu belanja mengalami peningkatan;
d. pendapatan mengalami penurunan dan belanja mengalami penurunan; atau
e. pendapatan tetap sedangkan pagu belanja mengalami penurunan.
(3) Penyesuaian besaran defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan, Peraturan Presiden mengenai rincian APBN dan/atau APBN-Perubahan, dan/atau Peraturan Presiden mengenai perubahan postur dan rincian APBN.

     

Bagian Kedua
Penyesuaian Besaran Belanja Wajib (Mandatory Spending)
 
 Pasal 4

(1) Dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional, dilakukan penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) yang diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b tidak boleh mengurangi alokasi anggaran pendidikan sebesar 20% (dua puluh persen) dari total anggaran Belanja Negara dalam tahun berjalan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(3) Penyesuaian besaran belanja wajib (mandatory spending) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai APBN, Peraturan Presiden mengenai rincian APBN, dan/atau Peraturan Presiden mengenai perubahan postur dan rincian APBN.

     

Bagian Ketiga
Pergeseran Anggaran
 
 Pasal 5

(1) Pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, juga termasuk pergeseran anggaran antarsub BA BUN dan/atau antarpos dalam satu sub BA BUN yang DIPA-nya belum diterbitkan.
(2) Pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari keluaran (output) Prioritas Nasional sepanjang anggaran keluaran (output) non-Prioritas Nasional kurang/tidak mencukupi, dan/atau keluaran (output) Prioritas Nasional dimaksud terhambat pelaksanaannya sebagai akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), sehingga pelaksanaannya dapat ditunda ke tahun berikutnya, atau diperpanjang waktu penyelesaiannya.
(3) Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

     

 Pasal 6

Untuk memudahkan perencanaan Kegiatan, koordinasi pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi kinerja, termasuk pergeseran anggaran antarunit organisasi, antarfungsi, dan/atau antarprogram dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, pengalokasian dana penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dilakukan berdasarkan klasifikasi akun khusus COVID-19.

 



Bagian Keempat
Tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN
 
 Pasal 7

(1) Dalam rangka pelaksanaan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, Menteri Keuangan dapat melakukan penambahan alokasi anggaran yang digunakan untuk tambahan belanja dan Pembiayaan Anggaran yang diarahkan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(2) Tambahan alokasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk:
a. Intervensi penanggulangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
b. Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net),
c. Dukungan industri; dan/atau
d. Dukungan Pembiayaan Anggaran untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

          

 Pasal 8

(1) Intervensi penanggulangan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a digunakan untuk:
a. Bantuan iuran untuk penyesuaian iuran kelompok pekerja bukan penerima upah dan bukan pekerja sesuai sesuai Peraturan Presiden mengenai jaminan kesehatan nasional;
b. insentif tenaga kesehatan dan nonkesehatan yang terlibat dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), santunan kematian untuk tenaga kesehatan yang terlibat dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), biaya penggantian penanganan pasien pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19); dan/atau
c. belanja penanganan kesehatan lainnya.
(2) Belanja penanganan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi alat kesehatan, sarana dan prasarana kesehatan, dan dukungan sumber daya manusia.
(3) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Kementerian/Lembaga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat dengan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Bencana/Gugus Tugas Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(5) Dalam hal usulan Kementerian/Lembaga tersebut disetujui oleh Menteri Keuangan, maka akan dilakukan pergeseran anggaran dari BA BUN ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga terkait atau penerbitan DIPA BUN.

  

     

 Pasal 9

(1) Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b digunakan untuk:
a. Tambahan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net);
b. Cadangan untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan operasi pasar/logistik; dan/atau
c. Penyesuaian anggaran pendidikan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(2) Tambahan Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk:
a. penambahan penyaluran Program Keluarga Harapan (PKH) untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM);
b. tambahan sembako untuk Keluarga Penerima Manfaat (KPM);
c. tambahan kartu Pra Kerja;
d. pembebasan tarif listrik untuk R1-450 (empat ratus lima puluh) Volt Ampere (VA) dan diskon 50% (lima puluh persen) untuk R1-900 (sembilan ratus) Volt Ampere (VA) dengan mekanisme subsidi tanpa pengenaan Pajak Penerangan Jalan (PPJ), sesuai kebijakan pemerintah;
e. Tambahan insentif perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR); dan/atau
f. Program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net) lainnya.
(3) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf f adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
(4) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
(5) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(6) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
(7) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
(8) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan kebudayaan.
(9) Kementerian/Lembaga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (8) dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (8).
(10) Dalam hal usulan Kementerian/Lembaga tersebut disetujui oleh Menteri Keuangan, maka akan dilakukan pergeseran anggaran dari BA BUN ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga terkait atau penerbitan DIPA BUN.

     

 Pasal 10

(1) Dukungan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c digunakan untuk:
a. subsidi pajak;
b. fasilitas bea masuk;
c. stimulus KUR; dan/atau
d. stimulus lainnya.
(2) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf d, adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(3) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian dan/atau Badan Pengawas Obat dan Makanan.
(4) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi usaha mikro, kecil, dan menengah.
(5) Kementerian/Lembaga selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4).
(6) Dalam hal usulan Kementerian/Lembaga tersebut disetujui oleh Menteri Keuangan, maka akan dilakukan pergeseran anggaran dari BA BUN ke bagian anggaran Kementerian/Lembaga terkait atau penerbitan DIPA BUN.


 Pasal 11

(1) Dukungan Pembiayaan Anggaran untuk penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dalam rangka mendukung program pemulihan ekonomi nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dapat dilaksanakan melalui:
a. PMN;
b. penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah;
c. Kegiatan penjaminan dengan skema yang ditetapkan oleh Pemerintah; dan/atau
d. Pemberian Pinjaman.
(2) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN.
(3) Kementerian/Lembaga yang dapat mengusulkan untuk penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(4) Dalam hal usulan Kementerian/Lembaga tersebut disetujui oleh Menteri Keuangan, maka akan dilakukan pergeseran anggaran antarsub BA BUN dan/atau antarpos dalam satu sub BA BUN.

     

 Pasal 12

Tata cara pemberian jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

 


Pasal 13

(1) Kewenangan untuk melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia, dalam hal pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan upaya penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), diberikan kepada pejabat perbendaharaan dan pejabat pengadaan barang dan jasa pada Kementerian/Lembaga.
(2) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari kewenangan yang dapat dilakukan oleh semua Kementerian/Lembaga dan kewenangan yang hanya dapat dilakukan oleh Kementerian/Lembaga tertentu.

     

 Pasal 14

(1) Kewenangan yang dapat dilakukan oleh semua Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) hanya digunakan untuk tindakan yang mengakibatkan pergeseran dana antarkeluaran (output)/Kegiatan dalam satu Satker.
(2) Dalam hal pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terlampauinya pagu dana DIPA Satker, maka dibutuhkan persetujuan PA atau pejabat eselon I yang ditunjuk oleh PA.

     

 Pasal 15

(1) Kewenangan yang hanya dapat dilakukan oleh Kementerian/Lembaga tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) yaitu Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 9 ayat (3) sampai dengan ayat (9), Pasal 10 ayat (3) sampai dengan ayat (5), dan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terlampauinya pagu dana Kementerian/Lembaga, maka diperlukan komitmen persetujuan dari Menteri Keuangan.

     

 Pasal 16

(1) Pelaksanaan Kegiatan dan anggaran dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. KPA/PPK dapat melakukan tindakan dan/atau membuat perikatan dalam rangka pengadaan barang/jasa yang alokasi anggarannya belum tersedia/tidak cukup tersedia dalam DIPA.
b. Dalam hal tindakan dan/atau pembuatan perikatan sebagaimana dimaksud pada huruf mengakibatkan terlampauinya pagu DIPA Satker, maka harus mendapat persetujuan PA atau pejabat eselon I yang ditunjuk oleh PA.
c. Berdasarkan perikatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada huruf b, KPA segera melakukan penyediaan alokasi anggaran untuk Kegiatan tersebut melalui mekanisme revisi anggaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan Kegiatan dan anggaran atas tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tersendiri.


 Pasal 17

Pengadaan barang/jasa dalam rangka tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN, yang anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut belum tersedia atau tidak cukup tersedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah dalam keadaan darurat.

 


Bagian Kelima
Penggunaan Sumber-Sumber Pembiayaan
 
 Pasal 18

(1) Penggunaan SAL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e angka 1 diatur sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan dapat menetapkan penggunaan SAL;
b. Penggunaan SAL dengan terlebih dahulu memperhitungkan kebutuhan anggaran sampai dengan akhir tahun anggaran berjalan serta awal tahun anggaran berikutnya;
c. Besaran penggunaan SAL sesuai Peraturan Presiden mengenai Rincian APBN;
d. Dana SAL yang akan digunakan merupakan dana SAL yang disimpan dalam Rekening Kas SAL; dan
e. Penggunaan SAL dilaksanakan dengan memindahbukukan dana SAL dari Rekening Kas SAL ke Rekening Kas Umum Negara.
(2) Penggunaan dana abadi dan Akumulasi Dana Abadi Pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e angka 2 diatur sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana abadi dan Akumulasi Dana Abadi Pendidikan dan/atau pemindahan dana abadi dan Akumulasi Dana Abadi Pendidikan; dan
b. Mekanisme penarikan dan/atau pemindahan dana mengikuti mekanisme penarikan dan/atau pemindahan dana yang dikelola oleh BLU.
(3) Penggunaan dana yang dikuasai negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e angka 3, diatur sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang berasal dari dana yang dikuasai negara;
b. Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada huruf a dilaksanakan dengan kriteria tertentu yang akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan; dan
c. Dalam hal sangat dibutuhkan, Pemerintah dapat menggunakan Akumulasi Iuran Pensiun sebagai sumber pendanaan pembayaran manfaat pensiun.
(4) Penggunaan dana yang dikelola oleh BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e angka 4, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan dapat melakukan penarikan dana yang dikelola BLU dan/atau pemindahan dana yang dikelola BLU ke BLU lain;
b. Dana yang dikelola oleh BLU sebagaimana dimaksud pada huruf a meliputi surplus anggaran dan/atau dana kelolaan;
c. Penarikan dan/atau pemindahan dana sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penarikan/pemindahan dana tanpa pengembalian;
d. Untuk penarikan dan/atau pemindahan dana yang dikelola BLU sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri Keuangan melakukan penilaian atas pengelolaan surplus anggaran dan/atau dana kelolaan; dan
e. Untuk pemindahan dana yang dikelola BLU ke BLU lain sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan penilaian terhadap usulan BLU yang membutuhkan dana.
(5) Penggunaan dana yang berasal dari pengurangan PMN pada BUMN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e angka 5, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Menteri Keuangan melakukan penarikan dana yang berasal dari pengurangan PMN pada BUMN;
b. Dana PMN sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah PMN yang bersifat dana segar (fresh money);
c. Penarikan dana sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan penarikan tanpa pengembalian;
d. Untuk penarikan dana PMN sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan kriteria tertentu; dan
e. Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf d antara lain:
1) Sampai dengan per 1 Maret 2020 PMN belum digunakan dan belum ada kontrak;
2) Proyek yang dibiayai dengan PMN dimaksud secara teknis tidak menyebabkan berhentinya produksi/layanan utama; dan/atau
3) Kriteria lainnya yang ditetapkan Menteri Keuangan setelah dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang BUMN.
f. Penetapan pengurangan PMN dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

          

Bagian Keenam
Penerbitan SUN dan/atau SBSN
 
 Pasal 19

(1) Dalam rangka membiayai pengeluaran APBN, Pemerintah menerbitkan SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf f.
(2) Penerbitan SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibeli oleh Bank Indonesia, BUMN, investor korporasi, dan/atau investor ritel.
(3) Penjualan SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui lelang dan/atau tanpa lelang.
(4) Pembelian SUN dan/atau SBSN oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk Surat Perbendaharaan Negara dan/atau SBSN Jangka Pendek dan Obligasi Negara dan/atau SBSN Jangka Panjang.
(5) Pembelian SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) oleh Bank Indonesia dilakukan sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kondisi pasar SUN dan/atau SBSN;
b. pengaruh terhadap inflasi; dan
c. jenis SUN dan/atau SBSN.

          

 Pasal 20

(1) Penjualan SUN dan/atau SBSN melalui lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dapat dilakukan dengan penawaran pembelian kompetitif dan/atau penawaran pembelian nonkompetitif.
(2) Pembelian SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia hanya dapat dilakukan untuk penawaran pembelian nonkompetitif.
(3) Pembelian SUN dan/atau SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh BUMN, investor korporasi, dan/atau investor ritel dapat dilakukan dengan penawaran pembelian kompetitif dan/atau penawaran pembelian nonkompetitif melalui dealer utama sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai lelang SUN dan/atau SBSN, dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai dealer utama SBSN.
(4) Penawaran pembelian kompetitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan:
a. volume dan tingkat imbal hasil yang diinginkan penawar, dalam hal lelang dengan kupon tetap atau pembayaran bunga/imbalan secara diskonto; atau
b. volume dan harga yang diinginkan penawar, dalam hal lelang dengan kupon mengambang.
(5) Penawaran pembelian nonkompetitif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengajuan penawaran pembelian dengan mencantumkan:
a. volume tanpa tingkat imbal hasil yang diinginkan penawar, dalam hal lelang dengan kupon tetap atau pembayaran bunga/imbalan secara diskonto; atau
b. volume tanpa harga yang diinginkan penawar, dalam hal lelang dengan kupon mengambang.
(6) Dalam hal penjualan SUN dan/atau SBSN melalui lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi target maksimal yang telah ditentukan oleh Pemerintah, Pemerintah dapat membuka lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option).
(7) Lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pelaksanaan lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option) dapat dilakukan dengan persyaratan target maksimal lelang SUN atau SBSN tidak terpenuhi;
b. Lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option) dapat diikuti oleh Bank Indonesia, LPS, dan/atau dealer utama yang menyampaikan penawaran pembelian dalam lelang SUN dan/atau SBSN;
c. Pengajuan penawaran pembelian dalam lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option) hanya dapat dilakukan pada seri SUN dan/atau SBSN yang dilakukan penawaran sebelumnya dalam lelang SUN dan/atau SBSN; dan/atau
d. Penawaran pembelian oleh Bank Indonesia, LPS, dan/atau dealer utama dalam lelang SUN dan/atau SBSN tambahan (green shoe option), masing-masing disampaikan sebesar maksimal total penawaran pembelian yang disampaikan pada masing-masing seri SUN dan/atau SBSN yang ditawarkan pada lelang SUN dan/atau SBSN.
(8) Ketentuan pelaksanaan lelang dan tata cara pelaksanaan lelang SUN dan/atau SBSN sepanjang tidak dilakukan perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini tetap mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai lelang SUN dan/atau SBSN di pasar perdana domestik.

     

Pasal 21

(1) Penjualan SUN dan/atau SBSN melalui tanpa lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) dapat dilakukan dengan metode private placement.
(2) Pembelian SUN dan/atau SBSN dengan metode private placement sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Bank Indonesia, BUMN, dan/atau investor korporasi, dapat dilakukan secara langsung kepada Pemerintah atau melalui dealer utama.
(3) Tata cara transaksi SUN dan/atau SBSN dengan metode private placement antara pemerintah dengan Bank Indonesia dilaksanakan sesuai ketentuan yang disepakati oleh Pemerintah dan Bank Indonesia, tanpa melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penjualan SUN dengan cara private placement di pasar perdana domestik atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara penempatan langsung (private placement).
(4) Ketentuan dalam transaksi SUN dan/atau SBSN dengan metode private placement sepanjang tidak dilakukan perubahan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini tetap mengacu pada:
a. Peraturan Menteri Keuangan mengenai penjualan SUN dengan cara private placement di pasar perdana domestik atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara penempatan langsung (private placement);
b. Peraturan Menteri Keuangan mengenai penjualan dan pembelian kembali SUN dalam valuta asing di pasar internasional atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penerbitan dan penjualan SBSN dalam valuta asing di pasar perdana internasional; dan/atau
c. Keputusan bersama antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia, untuk transaksi yang dilakukan dengan Bank Indonesia.


Bagian Ketujuh
Sumber-Sumber Pembiayaan
dari Dalam dan/atau Luar Negeri
 
 Pasal 22

(1) Sumber-sumber Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf g berasal dari:
a. surat berharga negara; dan/atau
b. pinjaman.
(2) Menteri Keuangan menetapkan kebijakan, strategi, dan komposisi Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai bagian dari pengelolaan utang negara.
(3) Penetapan sumber-sumber Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengutamakan pembiayaan yang aman dan mempunyai biaya minimal serta risiko yang terkendali.
(4) Pengelolaan utang negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik, termasuk kesinambungan fiskal, dan mengedepankan prinsip transparansi, profesional, dan bertanggung jawab.

     

 Pasal 23

(1) Penerbitan surat berharga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b dapat berupa:
a. pinjaman dalam negeri; dan/atau
b. pinjaman luar negeri.
(3) Pinjaman dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan yang bersumber dari:
a. kreditor multilateral;
b. kreditor bilateral; dan
c. kreditor swasta asing.
(5) Pinjaman luar negeri yang bersumber dari kreditor multilateral dan kreditor bilateral sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pinjaman luar negeri berupa pinjaman tunai yang bersumber dari kreditor swasta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan melalui penunjukan langsung oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan mempertimbangkan biaya dan risiko.

     

Bagian Kedelapan
Penganggaran Pemberian Pinjaman kepada LPS
 
 Pasal 24

(1) Pemberian Pinjaman kepada LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h dapat dilakukan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk penanganan bank gagal.
(2) Ketentuan Pemberian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai persyaratan dan tata cara Pemberian Pinjaman oleh Pemerintah kepada LPS dalam penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan.


 Pasal 25

(1) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), Menteri Keuangan mengalokasikan Pemberian Pinjaman kepada LPS.
(2) Alokasi Pemberian Pinjaman kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari pergeseran alokasi pada BA BUN Pengelolaan Investasi Pemerintah (BA 999.03) dan/atau tambahan alokasi baru.
(3) Dalam hal diperlukan tambahan alokasi baru, Menteri Keuangan menetapkan sumber-sumber Pembiayaan Anggaran yang digunakan untuk membiayai tambahan alokasi tersebut.
(4) Alokasi Pemberian Pinjaman kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sumber-sumber Pembiayaan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam perubahan postur APBN.
(5) Perubahan postur APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(6) Dalam hal perubahan postur APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengubah postur APBN yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN, maka Menteri Keuangan berkonsultasi dengan Presiden.
(7) Penganggaran Pemberian Pinjaman kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     

Bagian Kesembilan
Refocusing, Penyesuaian Alokasi, dan Pergeseran
 
 Pasal 26

(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i, Menteri/Pimpinan Lembaga mengutamakan penggunaan anggaran yang tersedia dalam DIPA untuk Kegiatan yang mendukung percepatan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga.
(2) Kegiatan yang mendukung percepatan penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difokuskan pada:
a. Kegiatan bidang kesehatan;
b. pemberian Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net); dan
c. dukungan dunia usaha dan program pemulihan ekonomi nasional.
(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Satker pada Kementerian/Lembaga memperhatikan:
a. kesesuaian Kegiatan dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga;
b. jumlah dan harga yang efektif, efisien, dan akuntabel sesuai dengan perkembangan situasi kedaruratan; dan
c. arahan Presiden dan pimpinan Kementerian/Lembaga.
(4) Dalam rangka pendanaan Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan realokasi anggaran/penghematan yang berasal dari:
a. Belanja barang perjalanan dinas, biaya rapat, honorarium, dan belanja non-operasional, serta belanja barang lainnya yang terhambat akibat adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau dapat ditunda ke tahun berikutnya; dan
b. Belanja modal untuk proyek-proyek/Kegiatan yang tidak prioritas, yang terhambat akibat adanya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) atau dapat ditunda ke tahun berikutnya, atau diperpanjang waktu penyelesaiannya, sepanjang memungkinkan.
(5) Dalam rangka pendanaan Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan identifikasi dan reviu hal-hal sebagai berikut:
a. Belanja Operasional dan non-operasional yang bisa dihemat;
b. proyek-proyek yang dapat ditunda; dan
c. proyek multi years untuk dapat diperpanjang masa penyelesaiannya, sepanjang memungkinkan.
(6) Dalam rangka realokasi anggaran/penghematan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan self blocking.
(7) Menteri/Pimpinan Lembaga setelah melaksanakan refocusing dan self blocking agar segera mengusulkan revisi anggaran.

     

Bagian Kesepuluh
Penyesuaian Penyaluran Anggaran Transfer ke Daerah dan
Dana Desa

 
 Pasal 27

(1) Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf i dalam hal diperlukan Menteri Keuangan dapat menyesuaikan Pagu Anggaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang digunakan untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau kebijakan stimulus fiskal untuk mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi.
(2)  Dalam hal penyesuaian Pagu Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan penambahan Pagu Anggaran, Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan pergeseran anggaran belanja dari BA 999.08 ke BA BUN Pengelolaan Transfer ke Daerah (BA.999.05).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyesuaian Pagu Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta rincian alokasi per daerahnya berdasarkan kriteria tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

     

Bagian Kesebelas
Pemberian Hibah Kepada Pemerintah Daerah
 
 Pasal 28

(1) Pemberian hibah kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf j dilaksanakan dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau kebijakan stimulus fiskal untuk mengurangi dampak ekonomi akibat pandemi tersebut.
(2) Dalam hal diperlukan penambahan Pagu Anggaran hibah kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan selaku BUN melakukan pergeseran anggaran belanja dari BA 999.08 ke BA BUN Pengelolaan Hibah (BA 999.02).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian hibah kepada pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

     

Bagian Keduabelas
Penyederhanaan Mekanisme dan Simplifikasi Dokumen
di Bidang Keuangan Negara
 
 Pasal 29

(1) Penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf k dilakukan antara lain terhadap dokumen perencanaan anggaran dan/atau pelaksanaan anggaran.
(2) Penyederhanaan mekanisme dan simplifikasi dokumen di bidang keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur antara lain dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan dan pelaksanaan anggaran.

     

BAB III
KETENTUAN PENUTUP
 
 Pasal 30

Ketentuan teknis yang diperlukan untuk pelaksanaan Peraturan Menteri ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, dan/atau Kepala Badan Kebijakan Fiskal, sesuai dengan kewenangannya.

 


 Pasal 31

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 April 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 20 April 2020

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA

 



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 382