TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33/PMK.010/2020
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN PINJAMAN DARI PEMERINTAH KEPADA LEMBAGA
PENJAMIN SIMPANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1. | Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS. |
2. | Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. |
3. | Bank adalah bank umum dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan serta bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan syariah. |
4. | Likuiditas adalah kemampuan sumber daya keuangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dana yang diperlukan oleh LPS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah mengenai surplus dan tingkat likuiditas LPS serta pinjaman dari Pemerintah kepada LPS. |
5. | Laporan Tingkat Likuiditas adalah informasi perkiraan tingkat likuiditas LPS per bulan untuk jangka waktu 6 (enam) bulan kedepan. |
6. | Dana Pinjaman adalah piutang yang diberikan oleh Pemerintah kepada LPS untuk mengatasi kesulitan likuiditas yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan jangka waktu berlakunya. |
7. | Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN meliputi surat utang negara dan surat berharga syariah negara. |
8. | Perjanjian Pinjaman adalah kesepakatan tertulis antara Pemerintah c.q. Menteri Keuangan dan LPS mengenai pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS untuk mengatasi kesulitan likuiditas. |
9. | Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
10. | Menteri Keuangan yang selanjutnya disebut Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
11. | Ketua Dewan Komisioner LPS adalah ketua merangkap anggota Dewan Komisioner LPS. |
12. | Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disebut SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar untuk mencairkan dana yang bersumber dari Daftar lsian Pelaksanaan Anggaran dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/bendahara pengeluaran. |
13. | Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Komitmen, dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/bendahara pengeluaran. |
14. | Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Pemberian Pinjaman (BA 999.04) yang selanjutnya disebut BA 999.04 adalah subbagian anggaran bendahara umum negara yang menampung belanja pemerintah pusat untuk keperluan Pinjaman kepada BUMN/Pemerintah Daerah/Lembaga/Badan Lainnya. |
15. | Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PA BUN adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran BUN. |
16. | Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. |
17. | Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN. |
18. | Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN. |
19. | Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran. |
20. | Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi kuasa Bendahara Umum Negara. |
21. | Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN. |
BAB II
LAPORAN TINGKAT LIKUIDITAS LPS
Bagian Kesatu
Laporan Berkala Tingkat Likuiditas LPS
Pasal 2
(1) | LPS menyusun dan menyampaikan Laporan Tingkat Likuiditas kepada Menteri c.q. Kepala Badan Kebijakan Fiskal secara berkala periode semesteran sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah mengenai surplus dan tingkat likuiditas LPS serta pinjaman dari Pemerintah kepada LPS. | ||||
(2) | Laporan Tingkat Likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk periode:
|
Pasal 3
Laporan Tingkat Likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 paling sedikit memuat informasi:a. | Sumber daya keuangan:
|
||||||||||||||
b. | Total kebutuhan dana:
|
||||||||||||||
c. | Dana tersedia untuk reinvestasi. | ||||||||||||||
d. | Tingkat Likuiditas. |
Pasal 4
(1) | Tingkat likuiditas LPS merupakan persentase dari perbandingan antara kemampuan sumber daya keuangan yang tersedia dan kebutuhan dana yang diperlukan oleh LPS. |
(2) | LPS mengalami kesulitan likuiditas apabila tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kurang dari 100% (seratus persen). |
(3) | Dalam menghitung tingkat likuiditas LPS, sumber daya keuangan yang tersedia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan kebutuhan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b masing-masing dikurangkan terlebih dahulu dengan perkiraan biaya kegiatan operasional kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b angka 3. |
Bagian Kedua
Laporan Sewaktu-waktu Tingkat Likuiditas LPS
Pasal 5
Pasal 6
(1) | Kepala Badan Kebijakan Fiskal atas nama Menteri dapat meminta kepada Ketua Dewan Komisioner LPS c.q. Kepala Eksekutif LPS untuk menyampaikan Laporan Tingkat Likuiditas sewaktu-waktu dan/atau informasi tambahan apabila diperlukan. |
(2) | Ketua Dewan Komisioner LPS c.q. Kepala Eksekutif LPS menyampaikan Laporan Tingkat Likuiditas sewaktu-waktu dan/atau informasi tambahan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima. |
BAB III
KONSULTASI PELEPASAN SBN YANG DIMILIKI LPS
Pasal 7
(1) | Dengan memerhatikan tingkat likuiditas, LPS dapat melakukan pelepasan SBN yang dimilikinya dalam mendukung pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS. | ||||||||||||
(2) | Dalam hal pelepasan SBN berpotensi dapat mengganggu stabilitas pasar SBN, Ketua Dewan Komisioner LPS menyampaikan permohonan konsultasi kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal. | ||||||||||||
(3) | Permohonan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat informasi mengenai:
|
||||||||||||
(4) | Permohonan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan bersamaan dengan Laporan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dalam 2 (dua) surat terpisah. |
Pasal 8
Direktur Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko atas nama Menteri dapat meminta LPS untuk menyampaikan klariflkasi dan keterangan lebih lanjut dalam konsultasi pelepasan SBN.Pasal 9
Berdasarkan hasil konsultasi pelepasan SBN yang dimiliki LPS dengan Menteri, LPS dapat:a. | mengajukan permohonan kepada Menteri agar dapat membeli kembali SBN yang dimiliki LPS; dan/atau |
b. | melepas SBN kepada pihak lain selain Pemerintah. |
Pasal 10
Pelaksanaan pembelian kembali SBN yang dimiliki LPS oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai pembelian kembali SBN.BAB IV
PEMBERIAN PINJAMAN KEPADA LPS
Bagian Kesatu
Ketentuan Umum Pinjaman
Pasal 11
(1) | Dalam hal kebutuhan likuiditas LPS tidak dapat dipenuhi dengan pelepasan SBN yang dimilikinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, LPS dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Menteri. |
(2) | Menteri dapat memberikan pinjaman kepada LPS sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan. |
Bagian Kedua
Permohonan Pinjaman
Pasal 12
(1) | Permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Ketua Dewan Komisioner LPS kepada Menteri dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. | ||||||||||||||||
(2) | Dalam hal Ketua Dewan Komisioner LPS berhalangan, permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh anggota Dewan Komisioner LPS yang ditunjuk mewakili Dewan Komisioner LPS. | ||||||||||||||||
(3) | Permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan data dan dokumen yang paling sedikit memuat keterangan mengenai:
|
||||||||||||||||
(4) | Ketua Dewan Komisioner LPS atau anggota Dewan Komisioner LPS bertanggung jawab terhadap validitas data dan dokumen yang disampaikan dalam permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
Bagian Ketiga
Penilaian
Pasal 13
(1) | Penilaian permohonan pinjaman yang diajukan oleh LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dilakukan setelah dokumen pengajuan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) diterima secara lengkap. | ||||||||||
(2) | Penilaian permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal dengan memerhatikan:
|
||||||||||
(3) | Dalam melakukan penilaian permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Kebijakan Fiskal berkoordinasi dengan meminta masukan tertulis kepada:
|
||||||||||
(4) | Masukan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Kebijakan Fiskal paling lambat 4 (empat) hari kerja sejak permintaan masukan diterima. |
Pasal 14
Dalam melakukan penilaian permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Kepala Badan Kebijakan Fiskal atas nama Menteri dapat meminta masukan dari institusi di luar Kementerian Keuangan.Bagian Keempat
Penetapan Keputusan
Pasal 15
(1) | Berdasarkan hasil koordinasi penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepala Badan Kebijakan Fiskal mengusulkan penyelenggaraan rapat koordinasi. |
(2) | Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dihadiri paling sedikit oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Direktur Jenderal Anggaran, dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. |
(3) | Dalam hal pimpinan unit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhalangan hadir, kehadirannya dapat diwakili oleh paling sedikit pejabat satu tingkat di bawahnya. |
(4) | Rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan rekomendasi atas permohonan pemberian pinjaman kepada LPS. |
(5) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal kepada Menteri untuk dimintakan penetapan. |
(6) | Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri mempertimbangkan untuk menetapkan persetujuan atas seluruh atau sebagian atau menolak seluruh permohonan pinjaman. |
(7) | Penetapan permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam surat Menteri. |
(8) | Dalam hal Menteri menetapkan persetujuan atas seluruh atau sebagian permohonan pinjaman, surat Menteri paling sedikit memuat informasi mengenai jumlah pinjaman, tingkat bunga, dan jangka waktu pinjaman. |
(9) | Surat Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan kepada LPS paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah penetapan. |
(10) | Dalam hal rapat koordinasi dihadiri Menteri, penetapan atas permohonan pemberian pinjaman kepada LPS dilakukan oleh Menteri dalam rapat dimaksud. |
BAB V
PELAKSANAAN PINJAMAN
Bagian Kesatu
Penganggaran
Pasal 16
(1) | Berdasarkan surat Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (7), Menteri mengusulkan alokasi anggaran Dana Pinjaman dalam Rancangan APBN dan/atau Rancangan APBN-Perubahan. |
(2) | Pengalokasian anggaran Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bendahara umum negara, dan pengesahan DIPA BUN. |
Pasal 17
(1) | Berdasarkan alokasi Dana Pinjaman dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan diterbitkan DIPA BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran Dana Pinjaman. |
Pasal 18
(1) | Dalam hal persetujuan Menteri atas permohonan pinjaman LPS diberikan setelah Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan ditetapkan dan tidak terdapat rencana perubahan terhadap Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan, Menteri mengajukan permohonan persetujuan pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat |
(2) | Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan alokasi Dana Pinjaman. |
(3) | Dalam hal persetujuan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat karena suatu dan lain hal belum dapat ditetapkan dalam jangka waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam setelah permohonan persetujuan disampaikan Menteri kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan alokasi Dana Pinjaman. |
(4) | Kewenangan penetapan alokasi Dana Pinjaman oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN dan/atau APBN-Perubahan Tahun Anggaran berkenaan. |
(5) | Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui sebagian atau menolak permohonan persetujuan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil keputusan Dewan Perwakilan Rakyat tersebut kepada LPS secara tertulis. |
Pasal 19
(1) | Berdasarkan alokasi Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) atau Pasal 18 ayat (3) dilakukan revisi DIPA BUN. |
(2) | Revisi DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara revisi anggaran. |
(3) | DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran Dana Pinjaman. |
Bagian Kedua
Perjanjian
Pasal 20
(1) | Berdasarkan penetapan alokasi Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1), Kepala Badan Kebijakan Fiskal menyampaikan kelengkapan dokumen permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dan dokumen lainnya kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. | ||||||||
(2) | Dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
||||||||
(3) | Berdasarkan dokumen yang disampaikan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan bersama Kepala Eksekutif LPS menyusun Perjanjian Pinjaman dalam waktu 5 (lima) hari kerja setelah dokumen diterima secara lengkap. | ||||||||
(4) | Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani oleh Menteri dan Ketua Dewan Komisioner LPS. | ||||||||
(5) | Dalam hal Menteri berhalangan, Direktur Jenderal Perbendaharaan bertindak untuk dan atas nama Menteri menandatangani Perjanjian Pinjaman bersama dengan Ketua Dewan Komisioner LPS. | ||||||||
(6) | Dalam hal Ketua Dewan Komisioner LPS berhalangan, penandatanganan perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh anggota Dewan Komisioner LPS yang ditunjuk mewakili Ketua Dewan Komisioner LPS. | ||||||||
(7) | Penunjukan anggota Dewan Komisioner LPS yang mewakili Ketua Dewan Komisioner LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan berdasarkan surat keputusan/surat kuasa Ketua Dewan Komisioner LPS. |
Pasal 21
Perjanjian Pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 paling sedikit memuat pokok materi sebagai berikut:a. | identitas para pihak; |
b. | tujuan; |
c. | nilai pinjaman; |
d. | tingkat suku bunga; |
e. | jadwal pencairan; |
f. | hak dan kewajiban; |
g. | mekanisme pembayaran kewajiban; |
h. | ketentuan dan persyaratan pinjaman; |
i. | jaminan pinjaman; |
j. | jangka waktu pinjaman; |
k. | jangka waktu penarikan/pencairan pinjaman; |
l. | masa tenggang; |
m. | percepatan pembayaran; |
n. | denda; dan |
o. | keadaan kahar. |
Pasal 22
(1) | SBN yang dimiliki LPS merupakan jaminan atas pemberian pinjaman dari Pemerintah. |
(2) | SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung setelah dikurangi pajak penghasilan. |
(3) | Dalam hal diperlukan, Menteri dapat meminta jaminan lain/tambahan di luar jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Jaminan lain/tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berada dalam kondisi bebas dari segala perikatan, sengketa, sitaan, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain. |
(5) | LPS tidak dapat memperjualbelikan dan/atau menjaminkan kembali SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jaminan lain/tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak lain yang masih dalam status sebagai jaminan, selama masa pinjaman atau sampai adanya keterangan lunas atau dengan persetujuan dari Menteri. |
(6) | Ketentuan/kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dinyatakan dalam surat pernyataan kepada Menteri. |
(7) | Pelaksanaan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 23
(1) | Dana Pinjaman menggunakan mata uang Rupiah. | ||||||
(2) | Tingkat suku bunga pinjaman yang dikenakan atas Dana Pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada sumber dana pinjaman dengan ketentuan:
|
Pasal 24
Perubahan Perjanjian Pinjaman dapat dilakukan karena:a. | LPS mengajukan usulan perubahan dan mendapat persetujuan Menteri; |
b. | Menteri menganggap perlu untuk dilakukan perubahan; |
c. | kebijakan Pemerintah; dan/atau |
d. | ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 25
Ketentuan mengenai Perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 berlaku secara mutatis mutandis dalam hal terjadi perubahan Perjanjian Pinjaman.BAB VI
PENCAIRAN PINJAMAN
Bagian Kesatu
Pejabat Perbendaharaan
Pasal 26
(1) | Dalam pemberian Dana Pinjaman, Menteri selaku PA BUN menunjuk pimpinan unit eselon II yang mempunyai tugas dan fungsi penerusan pinjaman di lingkungan Direktorat Jenderal Perbendaharaan selaku KPA Penyalur Dana Pinjaman. |
(2) | KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menerbitkan keputusan untuk menunjuk PPK dan PPSPM. |
(3) | Salinan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Kepala KPPN mitra kerja selaku Kuasa Bendahara Umum Negara. |
(4) | Dalam hal tidak terdapat penggantian KPA, PPK, dan PPSPM pada Tahun Anggaran berikutnya, KPA BUN cukup menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala KPPN. |
Pasal 27
KPA BUN bertanggung jawab secara formal kepada Pengguna Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara atas:a. | penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara Dana Pinjaman; |
b. | penyaluran Dana Pinjaman kepada LPS; dan |
c. | penyelenggaraan akuntansi dan pelaporan keuangan penyaluran Dana Pinjaman. |
Pasal 28
PPK bertanggung jawab secara formal terhadap:a. | penyusunan rencana penarikan dana; | ||||||
b. | pengujian administrasi tagihan, meliputi:
|
||||||
c. | pengujian terhadap ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN; dan | ||||||
d. | penerbitan SPP-LS. |
Pasal 29
PPSPM bertanggung jawab secara formal terhadap:a. | pengujian administrasi kuitansi tagihan Dana Pinjaman dan surat pernyataan tanggung jawab pengeluaran pembiayaan yang tercantum dalam SPP-LS; |
b. | pengujian ketersediaan dan pembebanan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN; dan |
c. | penerbitan SPM-LS. |
Bagian Kedua
Pencairan
Paragraf I
Ketentuan Umum Pencairan
Pasal 30
(1) | LPS menyampaikan permohonan pencairan pinjaman kepada KPA Penyalur Dana Pinjaman dengan tembusan kepada Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan Direktur Jenderal Anggaran apabila kesulitan Likuiditas LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) akan terealisasi dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan ke depan. |
(2) | PPK dan PPSPM melakukan penilaian dalam bentuk pengujian terhadap administrasi tagihan dan ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN, dan pengujian terhadap SPP-LS. |
Pasal 31
Besaran pinjaman dari Pemerintah kepada LPS dapat dicairkan sesuai hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2).Pasal 32
Pencairan Dana Pinjaman Pemerintah kepada LPS dilakukan dengan cara transfer ke rekening LPS.Pasal 33
(1) | Berdasarkan DIPA BUN BA 999.04, LPS menyampaikan kepada KPA BUN:
|
||||
(2) | Dalam hal terjadi perubahan pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau nomor rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, LPS menyampaikan perubahan spesimen tanda tangan dan/atau nomor rekening kepada KPA BUN. |
Paragraf II
Pemrosesan Pencairan oleh KPA BUN
Pasal 34
(1) | Permohonan pencairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 disampaikan oleh Ketua Dewan Komisioner LPS kepada KPA BUN dalam bentuk surat tagihan. | ||||||||||
(2) | Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
|
||||||||||
(3) | KPA meneruskan surat tagihan kepada PPK. |
Paragraf III
Pemrosesan Pencairan oleh PPK dan PPSPM
Pasal 35
(1) | PPK melakukan pengujian terhadap administrasi tagihan dan ketersediaan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN berdasarkan surat tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). |
(2) | Dalam hal tagihan sudah dinyatakan lengkap dan benar, PPK menerbitkan SPP-LS dan menyusun Surat Pernyataan Tanggung Jawab Pengeluaran Pembiayaan (SPTPP) berdasarkan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang dibuat oleh Ketua Dewan Komisioner LPS, untuk ditandatangani KPA. |
(3) | SPTPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | PPK menyampaikan SPP-LS kepada PPSPM dengan dilampiri Kuitansi Tagihan Pemberian Dana Pinjaman dan SPTPP. |
Pasal 36
(1) | PPSPM melakukan pengujian atas SPP-LS yang diajukan PPK terhadap administrasi Kuitansi Tagihan Pemberian Dana Pinjaman dan SPTPP yang tercantum dalam SPP-LS serta ketersediaan dan pembebanan Dana Pinjaman dalam DIPA BUN. |
(2) | Berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPSPM membuat, menandatangani, dan menyampaikan SPM-LS dan SPTPP kepada Kepala KPPN. |
Bagian Ketiga
Penggunaan Dana Pinjaman
Pasal 37
Pasal 38
Pemberian Dana Pinjaman kepada LPS dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap dengan memerhatikan:a. | Rencana Penggunaan Dana Pinjaman yang memuat daftar kebutuhan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b; dan |
b. | ketersediaan kas pemerintah. |
Pasal 39
Tata cara pengajuan, penerbitan, dan pengujian SPM-LS serta penerbitan surat perintah pencairan dana mengacu pada Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan APBN atas beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada KPPN.Pasal 40
Dalam pengajuan usulan penggunaan anggaran, penyampaian tagihan, dan pelaporan atas penggunaan Dana Pinjaman, KPA BUN dapat berkoordinasi dengan LPS.Pasal 41
Ketentuan mengenai petunjuk teknis pelaksanaan kegiatan Dana Pinjaman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.BAB VII
PENAMBAHAN PINJAMAN DAN PEMBAYARAN KEMBALI
Bagian Kesatu
Penambahan Pinjaman
Pasal 42
Pasal 43
Ketentuan mengenai permohonan pinjaman dan penganggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini berlaku mutatis mutandis terhadap pengajuan penambahan jumlah pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.Bagian Kedua
Pembayaran Kembali
Pasal 44
Pasal 45
(1) | LPS dapat mengajukan usulan percepatan pembayaran kembali pinjaman kepada Menteri. |
(2) | Skema percepatan pembayaran kembali pinjaman LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. |
Pasal 46
Menteri memberikan surat keterangan lunas kepada LPS setelah pelunasan keseluruhan pinjaman kepada Menteri.BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PINJAMAN
Bagian Kesatu
Pelaporan
Pasal 47
(1) | Selama masa pelaksanaan pinjaman, Ketua Dewan Komisioner LPS menyampaikan laporan penggunaan Dana Pinjaman kepada Menteri dan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan dalam Perjanjian Pinjaman. |
Pasal 48
(1) | Terhadap penggunaan Dana Pinjaman dilakukan pemeriksaan oleh lembaga pemeriksa yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPS kepada Menteri. |
Pasal 49
(1) | Ketua Dewan Komisioner LPS selaku penanggung jawab kegiatan bertanggung jawab secara formal dan materiil terhadap:
|
||||||||
(2) | Tanggung jawab formal dan materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak oleh LPS. |
Bagian Kedua
Pemantauan dan Evaluasi
Pasal 50
(1) | Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap penarikan, penyaluran, penyerapan, dan pembayaran kembali pinjaman Pemerintah kepada LPS. | ||||||||||
(2) | Dalam melakukan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat berkoordinasi dengan unit terkait. | ||||||||||
(3) | Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perbendaharaan:
|
Bagian Ketiga
Penatausahaan
Pasal 51
(1) | Penatausahaan atas pinjaman kepada LPS dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan. | ||||
(2) | Penatausahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 April 2020 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 375