TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30/PMK.08/2021
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN JAMINAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK
PERCEPATAN PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBERIAN JAMINAN PEMERINTAH PUSAT UNTUK PERCEPATAN PELAKSANAAN PROYEK STRATEGIS NASIONAL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | tindakan atau kegagalan untuk bertindak tanpa sebab yang sah oleh Pemerintah Pusat dalam hal yang menurut hukum atau peraturan perundang-undangan atau Pemerintah Pusat memiliki kewenangan atau otoritas untuk melakukan tindakan tersebut, termasuk atas tindakan atau kegagalan untuk bertindak tanpa sebab yang sah oleh Pemerintah Daerah; dan/atau |
2. | penerbitan, penerapan, atau pemberlakuan suatu peraturan, kebijakan atau persyaratan hukum kepada Badan Usaha atau Proyek Strategis Nasional oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah yang belum ada atau berlaku terhadap Badan Usaha atau Proyek Strategis Nasional pada tanggal penandatanganan Perjanjian Kerja Sama |
Pasal 2
Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat merupakan sarana fiskal yang disediakan untuk mendukung percepatan pembangunan proyek infrastruktur nasional.
Pasal 3
Jaminan Pemerintah Pusat diberikan dengan mempertimbangkan prinsip sebagai berikut:
BAB II
RUANG LINGKUP DAN PERSYARATAN UMUM
Pasal 4
(1) | Jaminan Pemerintah Pusat diberikan terhadap Risiko Politik yang dapat mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan dapat memberikan dampak finansial kepada Badan Usaha yang melaksanakan Proyek Strategis Nasional berdasarkan Perjanjian Kerja Sama dengan PJPSN. |
(2) | Risiko Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
Pasal 5
(1) | Proyek Strategis Nasional yang dapat memperoleh Jaminan Pemerintah Pusat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Program penjaminan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
|
BAB III
TATA CARA PEMBERIAN DAN BENTUK JAMINAN
PEMERINTAH PUSAT
Bagian Kesatu
Pengajuan Usulan Jaminan Pemerintah Pusat
Pasal 6
(1) | PJPSN mengajukan usulan Jaminan Pemerintah Pusat kepada Menteri melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. | ||||
(2) | Usulan Jaminan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang memuat jenis Risiko Politik yang dimintakan untuk dijamin, periode jaminan, dan pernyataan bahwa proyek infrastruktur yang diusulkan ditujukan untuk kepentingan umum. | ||||
(3) | Usulan Jaminan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan paling sedikit:
|
Bagian Kedua
Evaluasi Usulan Jaminan Pemerintah Pusat
Pasal 7
(1) | Berdasarkan usulan Jaminan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan melakukan evaluasi. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sejak permohonan Jaminan Pemerintah Pusat dan seluruh dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), telah diterima secara lengkap dan benar oleh Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan. |
(3) | Evaluasi dilakukan dengan cara memeriksa:
|
(4) | Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan mempertimbangkan batas maksimal penjaminan. |
(5) | Dalam melakukan evaluasi usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dapat berkoordinasi dengan unit terkait di lingkungan Kementerian Keuangan. |
(6) | Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersama dengan BUPI. |
Pasal 8
(1) | Dalam melakukan evaluasi bersama dengan BUPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menugaskan BUPI untuk menyiapkan analisis mengenai:
|
||||||
(2) | BUPI menyampaikan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan, dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permintaan analisis dari Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko diterima. | ||||||
(3) | Dalam rangka pelaksanaan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dan/atau BUPI dapat meminta keterangan a tau penjelasan dari PJPSN, Badan Usaha, dan/atau pihak terkait lainnya. |
Pasal 9
(1) | Berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan rekomendasi kepada Menteri untuk dapat memberikan:
|
(2) | Dalam hal usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diputuskan untuk dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri, Menteri melakukan Jaminan Pemerintah Pusat secara langsung. |
(3) | Dalam hal usulan pihak yang akan melakukan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diputuskan untuk melibatkan BUPI, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengusulkan konsep keputusan Menteri mengenai penugasan kepada BUPI untuk melakukan Jaminan Pemerintah Pusat atau penugasan kepada BUPI untuk melakukan Jaminan Pemerintah Pusat secara bersama dengan Pemerintah. |
(4) | Konsep keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit memuat:
|
(5) | Pembagian porsi risiko penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(6) | Tugas dan wewenang BUPI dalam melaksanakan penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e, terdiri atas:
|
Bagian Ketiga
Penyusunan Perjanjian Penjaminan Pemerintah Pusat
Pasal 10
(1) | Jaminan Pemerintah Pusat dilaksanakan berdasarkan perjanjian penjaminan. |
(2) | Perjanjian penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat paling sedikit:
|
Pasal 11
(1) | Dalam hal Jaminan Pemerintah Pusat dilakukan oleh Pemerintah melalui Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan menyusun konsep Perjanjian Penjaminan Pemerintah. |
(2) | Dalam hal Jaminan Pemerintah Pusat dilakukan oleh BUPI atau secara bersama dengan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), BUPI menyusun konsep Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan B UPI. |
(3) | Dalam menyusun Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BUPI dapat berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan unit terkait lainnya di lingkungan Kementerian Keuangan. |
(4) | Penyusunan Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan memperhatikan kelayakan jenis Risiko Politik yang akan dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). |
(5) | Dalam menyusun Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2), BUPI dapat meminta PJPSN untuk melakukan perubahan atas konsep Perjanjian Kerja Sama atau Perjanjian Kerja Sama yang telah ditandatangani. |
Bagian Keempat
Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Pemerintah
Pasal 12
(1) | Perjanjian Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atas nama Menteri. |
(2) | Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah konsep Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan konsep surat persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf i ditandatangani. |
Pasal 13
(1) | Konsep Perjanjian Penjaminan Bersama yang telah disusun oleh BUPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal ini Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan. |
(2) | Terhadap konsep Perjanjian Penjaminan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan melakukan:
|
(3) | Berdasarkan hasil evaluasi dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengajukan usulan persetujuan konsep Perjanjian Penjaminan Bersama kepada Menteri. |
(4) | Perjanjian Penjaminan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko atas nama Menteri dan pimpinan BUPI. |
(5) | Penandatanganan Perjanjian Penjaminan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau Perjanjian Penjaminan BUPI, dilakukan setelah konsep Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan konsep surat persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf i ditandatangani. |
Bagian Kelima
Masa Berlaku Jaminan Pemerintah Pusat
Pasal 14
(1) | Jaminan Pemerintah Pusat berlaku sejak perjanjian penjaminan ditandatangani sampai dengan berakhirnya Perjanjian Kerja Sama atau periode tertentu yang disepakati oleh Penjamin dan Penerima Jaminan. |
(2) | Dalam jangka waktu paling lama 9 (sembilan) bulan setelah Badan Usaha menandatangani Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan Usaha harus telah memperoleh pemenuhan pembiayaan (financial close) untuk pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. |
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh PJPSN apabila kegagalan pemenuhan pembiayaan (financial close) bukan disebabkan oleh kelalaian Badan Usaha, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh PJPSN. |
(4) | Kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: a. keadaan kahar; b. terjadi perubahan kebijakan Pemerintah; c. perubahan desain; d. terhambatnya pembebasan lahan; dan/atau e. pertimbangan lain yang dianggap krusial. |
(5) | Perpanjangan jangka waktu oleh PJPSN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan paling lama 3 (tiga) bulan. |
(6) | Dalam hal perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan untuk kedua kalinya, PJPSN harus mendapat persetujuan menteri koordinator yang membidangi perekonomian. |
(7) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau ayat (6) tidak dapat dipenuhi oleh Badan Usaha, Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir. |
(8) | Dengan berakhirnya Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (7), perjanjian penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak berlaku. |
(9) | Perjanjian penjaminan yang sudah tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak memiliki akibat hukum apapun. |
BAB IV
TATA CARA PENGALOKASIAN ANGGARAN KEWAJIBAN PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Alokasi Anggaran Kewajiban Penjaminan
Pasal 15
(1) | Dalam hal Perjanjian Penjaminan Pemerintah, Perjanjian Penjaminan Bersama atau Perjanjian Penjaminan BUPI telah ditandatangani, Pemerintah dan/atau BUPI menyiapkan:
|
(2) | Perhitungan alokasi Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh KPA Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah. |
(3) | Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipindahbukukan ke dalam rekening Dana Cadangan Penjaminan Pemerintah yang bersifat kumulatif. |
(4) | Pengusulan dan pengalokasian Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi bagian anggaran BUN dan pengesahan DIPA BUN. |
Bagian Kedua
Pelaksanaan Anggaran Kewajiban Penjaminan
Pemerintah Pusat
Pasal 16
(1) | Menteri selaku PA kewajiban penjaminan menunjuk KPA Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah dengan surat keputusan. |
(2) | KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menetapkan pejabat pembuat komitmen dan penandatangan SPM dengan surat keputusan. |
BAB V
KLAIM PENJAMINAN
Bagian Kesatu
Pengajuan Klaim
Pasal 17
(1) | Dalam hal telah terjadi Risiko Politik dan PJPSN tidak mampu melaksanakan kewajiban pembayaran kepada Badan Usaha sesuai dengan Perjanjian Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf f, Badan Usaha mengajukan klaim secara tertulis kepada:
|
(2) | Pengajuan klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat keterangan paling sedikit:
|
(3) | Klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan dokumen paling sedikit:
|
Bagian Kedua
Verifikasi Klaim
Pasal 18
(1) | verifikasi atas klaim yang diajukan oleh Badan Usaha dilakukan oleh:
|
(2) | Dalam rangka melakukan verifikasi atas klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pembuat komitmen dan/atau BUPI dapat berkoordinasi dengan unit terkait. |
(3) | Verifikasi atas klaim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memastikan:
|
(4) | Dalam rangka pelaksanaan verifikasi, Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dapat meminta bantuan BUPI. |
(5) | Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam berita acara verifikasi. |
(6) | Dalam hal terdapat bagian pembayaran klaim yang menjadi bagian Pemerintah, BUPI menyampaikan surat pemberitahuan bayar kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan melampirkan berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Pejabat pembuat komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melakukan verifikasi atas surat pemberitahuan bayar dan berita acara verifikasi yang disampaikan oleh BUPI sebagaimana dimaksud pada ayat (6) secara mutatis mutandis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (5). |
Bagian Ketiga
Pembayaran Klaim Penjaminan
Pasal 19
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, pembayaran atas klaim Jaminan Pemerintah Pusat dilakukan oleh KPA dan/atau BUPI. | ||||
(2) | Pembayaran klaim yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
|
||||
(3) | Pembayaran klaim penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, didasarkan pada hasil berita acara verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) dan Pasal 18 ayat (7). | ||||
(4) | Proses pembayaran klaim penjaminan yang menggunakan Anggaran Kewajiban Penjaminan Pemerintah melalui mekanisme pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengelolaan Dana Cadangan Penjaminan dalam rangka pelaksanaan anggaran kewajiban penjaminan pemerintah. |
BAB VI
PENYELESAIAN PIUTANG AKIBAT PELAKSANAAN
PEMBAYARAN JAMINAN
Bagian Kesatu
Penyelesaian Piutang
Pasal 20
(1) | Setiap pelaksanaan pembayaran klaim oleh Pemerintah dan/atau BUPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 mengakibatkan timbulnya piutang Pemerintah dan/atau piutang BUPI kepada PJPSN. |
(2) | Piutang Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku dalam hal PJPSN merupakan menteri/kepala lembaga. |
(3) | Penyelesaian atas pembayaran klaim oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa klaim terminasi, dilakukan melalui mekanisme pengakuan aset berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Penyelesaian status kepemilikan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Perjanjian Penyelesaian Utang
Pasal 21
(1) | Kesepakatan penyelesaian piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), dituangkan dalam Perjanjian Penyelesaian Utang. |
(2) | Penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebelum atau bersamaan dengan penandatanganan Perjanjian Penjaminan Pemerintah, Perjanjian Penjaminan Bersama, atau Perjanjian Penjaminan BUPI. |
(3) | Penandatanganan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat ketentuan paling sedikit:
|
Bagian Ketiga
Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Penyelesaian Utang
Pasal 22
(1) | Dalam hal Penjamin telah menyelesaikan pembayaran klaim kepada Badan Usaha berdasarkan perjanjian penjaminan, Penjamin segera menyampaikan surat pemberitahuan pelaksanaan penyelesaian utang kepada PJPSN berdasarkan perjanjian penyelesaian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). |
(2) | Surat pemberitahuan pelaksanaan penyelesaian utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berisi paling sedikit:
|
Pasal 23
(1) | Dalam hal PJPSN menyampaikan konfirmasi persetujuan atas surat pemberitahuan pelaksanaan penyelesaian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c, PJPSN wajib melaksanakan pembayaran utang kepada Penjamin sesuai dengan Perjanjian Penyelesaian Utang dan surat pemberitahuan pelaksanaan penyelesaian utang. |
(2) | Dalam hal PJPSN menyampaikan keberatan atau tidak menyampaikan konfirmasi dalam jangka waktu surat pemberitahuan pelaksanaan penyelesaian utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf c, maka:
|
(3) | Hasil perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang. |
(4) | Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) gagal menghasilkan kesepakatan, Pemerintah dalam hal ini Menteri melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau BUPI dan PJPSN menyelesaikan persoalan tersebut sesuai dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam Perjanjian Penyelesaian Utang. |
Bagian Keempat
Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang
Pasal 24
(1) | Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), memuat paling kurang ketentuan mengenai:
|
(2) | Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah pelaksanaan perundingan dilakukan. |
Bagian Kelima
Penyelesaian Piutang BUPI
Pasal 25
(1) | Penyelesaian utang menteri/kepala lembaga kepada BUPI dalam Surat Pemberitahuan Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dapat dilakukan melalui revisi anggaran sesuai Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara revisi anggaran. |
(2) | Penyelesaian utang menteri/kepala lembaga kepada BUPI berdasarkan Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dilakukan melalui pengusulan alokasi anggaran dalam APBN tahun berkenaan. |
Pasal 26
(1) | Dalam hal Pemerintah Daerah/BUMN penugasan selaku PJPSN tidak memenuhi Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, BUPI menyelesaikan penyelesaian utang tersebut dengan mekanisme penyelesaian sengketa pada Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang |
(2) | Dalam hal putusan yang dihasilkan dari penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan PJPSN membayar kepada BUPI, BUPI dapat mengusulkan kepada Menteri untuk mengambil alih hak yang dimilikinya terhadap PJPSN berdasarkan putusan lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dalam hal usulan BUPI kepada Menteri untuk mengambil alih hak yang dimiliki BUPI terhadap PJPSN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, Menteri akan menggantikan kedudukan BUPI dan memiliki segala hak yang semula dimiliki oleh BUPI berdasarkan Perubahan Perjanjian Penyelesaian Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau keputusan lembaga penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Berdasarkan pengambilalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan PJPSN menindaklanjuti dengan perjanjian utang. |
Bagian Keenam
Penyelesaian Tunggakan Kewajiban
PJPSN Pemerintah Daerah
Pasal 27
(1) | Dalam hal terdapat tunggakan kewajiban PJPSN Pemerintah Daerah kepada Menteri berdasarkan:
|
(2) | Penyelesaian tunggakan kewajiban PJPSN Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penyelesaian tunggakan pinjaman Pemerintah Daerah melalui pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil. |
Pasal 28
(1) | Dalam rangka penyelesaian tunggakan kewajiban PJPSN Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko menyampaikan surat permintaan pemotongan DAU dan/atau DBH kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. |
(2) | Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan pemotongan DAU dan/atau DBH sesuai ketentuan perundang-undangan. |
(3) | Berdasarkan hasil pemotongan DAU dan/atau DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan laporan pelaksanaan pemotongan DAU dan/atau DBH kepada Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dengan tembusan kepada Pemerintah Daerah. |
(4) | Dana Hasil pemotongan DAU dan/atau DBH disalurkan dari rekening kas umum negara ke rekening dana cadangan penjaminan pemerintah yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko. |
Bagian Ketujuh
Administrasi Piutang
Pasal 29
(1) | Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengadministrasikan piutang Pemerintah kepada PJPSN yang timbul karena pelaksanaan pembayaran klaim jaminan oleh Pemerintah. |
(2) | BUPI mengadministrasikan piutang BUPI kepada PJPSN yang timbul karena pelaksanaan pembayaran klaim jaminan oleh BUPI. |
BAB VII
IMBAL JASA PENJAMINAN
Pasal 30
(1) | BUPI dapat mengenakan imbal jasa penjaminan Proyek Strategis Nasional kepada pihak yang paling memiliki kepentingan dan/atau pihak yang paling membutuhkan penjaminan Proyek Strategis Nasional. |
(2) | Pengenaan imbal Jasa penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan dengan mempertimbangkan:
|
BAB VIII
PEMANTAUAN DAN PELAPORAN
Pasal 31
(1) | PJPSN dan/atau Badan Usaha wajib menyampaikan laporan secara periodik per triwulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya setelah akhir periode triwulan berkenaan dan pada saat diperlukan kepada:
|
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat paling sedikit:
|
Pasal 32
(1) | Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko melalui Direktorat Strategi dan Portofolio Pembiayaan dan/atau BUPI melaksanakan pemantauan terhadap potensi timbulnya Risiko Politik yang dijamin dan kelangsungan Proyek Strategis Nasional. |
(2) | Dalam melaksanakan dimaksud pada ayat pemantauan sebagaimana (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dapat membentuk komite koordinasi yang beranggotakan perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan/atau instansi terkait. |
(3) | Berdasarkan hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dan/atau BUPI menyampaikan laporan secara periodik per semester paling lambat pada akhir bulan ketiga berikutnya setelah akhir periode semester berkenaan dan/atau rekomendasi kepada Menteri untuk memberikan dukungan dan/atau melakukan tindakan sesuai dengan kewenangan Menteri dalam mencegah dan/atau mengurangi dampak Risiko Politik yang dijamin. |
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 33
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, seluruh usulan penjaminan yang sedang dalam proses penyelesaian, dilanjutkan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 34
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.08/2017 tentang Tata Cara Pemberian Jaminan Pemerintah Pusat untuk Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 672), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 35
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Maret 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 248