Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014

  • 23 Desember 2014
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 242/PMK.03/2014

TENTANG

TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

  1. bahwa ketentuan mengenai penentuan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak, penentuan tempat pembayaran pajak, dan tata cara pembayaran pajak, penyetoran dan pelaporan  pajak, serta tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran pajak telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010;
  2. bahwa ketentuan mengenai jangka waktu pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan  Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2007;
  3. bahwa ketentuan mengenai tata cara pembayaran pajak melalui pemindahbukuan telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 88/KMK.04/1991;
  4. bahwa ketentuan mengenai penunjukan tempat dan tata cara pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007;
  5. bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan dan menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak;
  6. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 9 ayat (1), ayat (3a), ayat (4), Pasal 10 ayat (1),  ayat (1a), dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, serta Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak;

               

Mengingat :

  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) ;

               

MEMUTUSKAN :

               

Menetapkan :    


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK.

 


BAB I
KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
  4. Undang-Undang Bea Meterai adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
  5. Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
  6. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  7. Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  8. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disebut PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
  9. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Bea Meterai.
  10. Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat PBB adalah pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
  11. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  12. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
  13. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  14. Nomor Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NOP adalah nomor identitas objek pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan.
  15. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar pengeluaran negara.
  16. Modul Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat MPN adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari sistem penerimaan dan anggaran negara.
  17. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan bukan pajak.
  18. Bank Devisa Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara dalam rangka ekspor dan impor.
  19. Bank Persepsi Mata Uang Asing adalah bank devisa yang ditunjuk oleh BUN/Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara dalam mata uang asing.
  20. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
  21. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor bukti transaksi penerimaan yang diterbitkan melalui MPN.
  22. Nomor Transaksi Bank yang selanjutnya disingkat NTB adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank Persepsi atau Bank Devisa Persepsi.
  23. Nomor Transaksi Pos yang selanjutnya disingkat NTP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos Persepsi.
  24. Nomor Penerimaan Potongan yang selanjutnya disingkat NPP adalah nomor bukti transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan Surat Perintah Membayar (SPM).
  25. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan NTPN dan NTB/NTP serta elemen lainnya yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM yang mencantumkan NTPN dan NPP.
  26. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  27. Surat Setoran Pabean, Cukai, dan Pajak dalam rangka impor yang selanjutnya disebut SSPCP adalah surat setoran atas penerimaan negara dalam rangka impor berupa bea masuk, denda administrasi, penerimaan pabean lainnya, cukai, penerimaan cukai lainnya, jasa pekerjaan, bunga dan PPh Pasal 22 Impor, PPN Impor, serta PPnBM Impor.
  28. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
  29. Bukti Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.

               

BAB II
JANGKA WAKTU PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK
 
Pasal 2


(1) PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong Pajak Penghasilan harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(2)  PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
(3)  PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dipotong/dipungut atau yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak, harus disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
(4)  PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(5) PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(6) PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(7) PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(8)  PPh Pasal 25 harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(9) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor.
(10) PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, harus disetor dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak.
(11) PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh kuasa pengguna anggaran atau pejabat penanda tangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPh Pasal 22, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak rekanan pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
(12)  PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran, harus disetor paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
(13)  PPh Pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak harus disetor paling lama tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(14)  PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
(15)  PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.
(16) PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri harus disetor oleh orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(17)  PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN, harus disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
(18)  PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN, harus disetor paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara.
(19) PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN yang ditunjuk selain Bendahara Pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
(20) PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa, harus dibayar paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir.
 (21) Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (20) harus dibayar paling lama sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak.



              

Pasal 3

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan tetapi tidak melebihi batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.

 


Pasal 4

Bea Meterai harus dilunasi pada saat terutang Bea Meterai.



Pasal 5


(1) Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang harus dilunasi paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang oleh Wajib Pajak.
(2)  Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Pajak PBB oleh Wajib Pajak.
(3)  Pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak PBB oleh Wajib Pajak



Pasal 6


(1) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(2)  Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(3)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk jumlah pajak yang tidak disetujui dalam hasil pembahasan akhir hasil pemeriksaan baik sebagian atau seluruhnya, namun tidak diajukan keberatan, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya.
(4)  Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan untuk Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.


           

Pasal 7


(1) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diperpanjang menjadi paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan.
(2)  Wajib Pajak usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Wajib Pajak orang pribadi dan Wajib Pajak badan.
(3)  Wajib Pajak orang pribadi usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


a. Wajib Pajak orang pribadi; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.


(4)  Wajib Pajak badan usaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:


a. Wajib Pajak badan tidak termasuk BUT; dan
b. menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.


(5) Untuk mendapatkan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak usaha kecil atau Wajib Pajak di daerah tertentu harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan kepada Direktur Jenderal Pajak, paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran dengan menggunakan surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan.
(6) Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
(7) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa:
a.    menyetujui; atau
b.    menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(9) Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak.
(10) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak dianggap diterima.


           


Pasal 8

Ketentuan mengenai Wajib Pajak di daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

 


Pasal 9


(1) Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertepatan dengan hari libur, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(2)  Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional.


    


BAB III
TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

Bagian Kesatu
Tempat dan Sarana Pembayaran dan Penyetoran Pajak

Pasal 10

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui:

a.  layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau

b.  layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya,

pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing.



Pasal 11


(1) Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.
(2)  Pembayaran dan penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran dan penyetoran PPh, PPN, PPnBM, Bea Meterai, dan PBB.
(3)  Sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


a. BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi
b. SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
c. Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan; atau
d. bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(4)  SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan NTPN.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk.
(6)  Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada SSP atau sarana administrasi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


            

               

Pasal 12


(1) Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran:


a. 1 (satu) jenis pajak,
b. 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak, dan
c. 1 (satu) surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB,


dengan menggunakan 1 (satu) kode akun pajak dan 1 (satu) kode jenis setoran.
(2)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (3a) Undang-Undang KUP yang dapat membayar PPh Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak dalam satu SSP.
(3) Ketentuan mengenai bentuk, isi, dan tata cara pengisian formulir SSP diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


              

 

Pasal 13


(1) Wajib Pajak melakukan pembayaran dan penyetoran pajak dalam rangka impor dan PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri, termasuk penyetoran kekurangan pembayaran pajak atas impor selain yang ditagih dengan Surat Tagihan Pajak atau surat ketetapan pajak, dengan menggunakan formulir SSPCP.
(2)  Ketentuan mengenai bentuk dan tata cara pembayaran dan penyetoran dengan menggunakan formulir SSPCP mengikuti ketentuan Kepabeanan dan Cukai yang berlaku.


    

               

Pasal 14


(1) Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dalam mata uang Rupiah.
(2)  Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29, dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak serta surat ketapan pajak dan Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat.
 (3) Termasuk dalam pengertian Wajib Pajak yang telah mendapat izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan secara tertulis penyelenggaraan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat sesuai yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(4)   Pembayaran pajak dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ke kas negara melalui Bank Persepsi Mata Uang Asing.
(5)  Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29 dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam mata uang Rupiah.
(6)  Dalam hal pembayaran pajak dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak harus mengkonversikan pembayaran dalam satuan mata uang Rupiah tersebut ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran.
(7) Ketentuan mengenai tata cara pembayaran PPh dalam mata uang Dollar Amerika Serikat diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan, baik secara bersama-sama maupun secara sendiri-sendiri sesuai dengan kewenangannya.



Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak Melalui
Sistem Pembayaran Pajak Secara Elektronik

Pasal 15


(1) Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik diberikan BPN.
(2)  BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen bukti pembayaran yang diberikan oleh tempat pembayaran, termasuk dokumen bukti pembayaran dalam format elektronik atau dokumen lain yang dipersamakan dengan BPN.
(3)  Ketentuan mengenai tata cara penerapan sistem pembayaran pajak secara elektronik diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


               

Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Melalui Pemindahbukuan

Pasal 16


(1) Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran atau penyetoran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan Pemindahbukuan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(2)  Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:


a. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian formulir SSP, SSPCP, baik menyangkut Wajib Pajak sendiri maupun Wajib Pajak lain;
b. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang dilakukan melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik sebagaimana tertera dalam BPN;
c. Pemindahbukuan karena adanya kesalahan perekaman atas SSP, SSPCP, yang dilakukan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
d. Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak;
e. Pemindahbukuan dalam rangka pemecahan setoran pajak dalam SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk menjadi beberapa jenis pajak atau setoran beberapa Wajib Pajak, dan/atau objek pajak PBB;
f. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSP, BPN, atau Bukti Pbk lebih besar daripada pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB;
g. Pemindahbukuan karena jumlah pembayaran pada SSPCP atau Bukti Pbk lebih besar daripada pajak yang terutang dalam pemberitahuan pabean impor, dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan; dan
h. Pemindahbukuan karena sebab lain yang diatur oleh Direktur Jenderal Pajak.


(3) Kesalahan dalam pengisian formulir SSP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa kesalahan dalam pengisian NPWP dan/atau nama Wajib Pajak, NOP dan/atau letak objek pajak, kode akun pajak dan/atau kode jenis setoran, Masa Pajak dan/atau Tahun Pajak, nomor ketetapan, dan/atau jumlah pembayaran.
(4) Kesalahan dalam pengisian formulir SSPCP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa kesalahan dalam pengisian NPWP pemilik barang di dalam Daerah Pabean, Masa Pajak dan/atau Tahun Pajak, atau jumlah pembayaran pajak.
(5) Kesalahan dalam pengisian data pembayaran pajak yang tertera dalam BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa kesalahan dalam pengisian NPWP dan/atau nama Wajib Pajak, NOP dan/atau letak objek pajak, kode akun pajak dan/atau kode jenis setoran, Masa Pajak dan/atau Tahun Pajak, nomor ketetapan, dan/atau jumlah pembayaran.
(6) Kesalahan perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terjadi apabila data yang tertera pada lembar asli SSP, SSPCP, berbeda dengan data pembayaran yang telah divalidasi oleh Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing.
(7) Kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk oleh petugas Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terjadi dalam hal data yang tertera dalam Bukti Pbk berbeda dengan permohonan Pemindahbukuan Wajib Pajak.
(8)  Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk dapat dilakukan ke pembayaran PPh, PPN, PPnBM, PBB, dan Bea Meterai.
(9) Pemindahbukuan atas pembayaran pajak dengan SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk tidak dapat dilakukan dalam hal:


a. Pemindahbukuan atas SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang PPN;
b. Pemindahbukuan ke pembayaran PPN atas objek pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan SSP yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; atau
c. Pemindahbukuan ke pelunasan Bea Meterai yang dilakukan dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai digital.


(10) Pemindahbukuan bagi Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dalam mata uang Dollar Amerika Serikat hanya dapat dilakukan antar pembayaran pajak yang dilakukan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2).


   


Pasal 17


(1) Permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diajukan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat pembayaran diadministrasikan menggunakan surat permohonan Pemindahbukuan.
(2) 

Permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan:


a. secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pembayaran diadministrasikan; atau
b. melalui pos atau jasa pengiriman dengan bukti pengiriman surat ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pembayaran diadministrasikan.



(3) Permohonan Pemindahbukuan karena kesalahan pembayaran atau penyetoran diajukan oleh Wajib Pajak penyetor.
(4) Pemindahbukuan karena kesalahan perekaman atau pengisian Bukti Pbk, dapat dilakukan secara jabatan oleh Pejabat yang melaksanakan Pemindahbukuan atau dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang semula mengajukan permohonan Pemindahbukuan.
(5) Permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk yang mencantumkan NPWP dari Wajib Pajak cabang yang telah dihapus dapat diajukan oleh Wajib Pajak pusat.
(6) Permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, dan Bukti Pbk yang mencantumkan NPWP dari Wajib Pajak yang melakukan penggabungan usaha (merger) diajukan oleh surviving company, entitas baru hasil merger, atau pihak yang menerima penggabungan.
(7) Pembayaran pajak yang tercantum dalam SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk dapat diajukan permohonan Pemindahbukuan dalam hal pembayaran tersebut belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang dalam Surat Pemberitahuan, Surat Tagihan Pajak dan/atau surat ketetapan pajak, Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Tagihan Pajak PBB dan/atau Surat Ketetapan Pajak PBB, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), dokumen cukai, atau surat tagihan/surat penetapan.
(8) Surat permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:


a. asli SSP (lembar ke-1), asli SSPCP (lembar ke-1), asli Bukti Pbk (lembar ke-1), dokumen BPN, atau asli bukti pembayaran Pajak Penghasilan Dalam Mata Uang Dollar Amerika Serikat yang dimohonkan untuk dipindahbukukan;
b. asli surat pernyataan kesalahan perekaman dari pimpinan Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing tempat pembayaran dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan karena kesalahan perekaman oleh petugas Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing;
c. asli pemberitahuan pabean impor, asli dokumen cukai, atau asli surat tagihan/surat penetapan dalam hal permohonan Pemindahbukuan diajukan atas SSPCP;
d. fotokopi Kartu Tanda Penduduk penyetor atau pihak penerima Pemindahbukuan, dalam hal permohonan Pemindahbukuan yang diajukan atas SSP, SSPCP, BPN, atau Bukti Pbk yang tidak mencantumkan NPWP atau mencantumkan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama NPWP;
e. fotokopi dokumen identitas penyetor atau dokumen identitas wakil badan dalam hal penyetor melakukan kesalahan pengisian NPWP; dan
f. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang nama dan NPWP-nya tercantum dalam SSP, yang menyatakan bahwa SSP tersebut sebenarnya bukan pembayaran pajak untuk kepentingannya sendiri dan tidak keberatan dipindahbukukan dalam hal nama dan NPWP pemegang asli SSP (yang mengajukan permohonan Pemindahbukuan) tidak sama dengan nama dan NPWP yang tercantum dalam SSP.



    

                         

Pasal 18


(1) Dalam hal permohonan Pemindahbukuan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Bukti Pbk.
(2)  Tanggal pembayaran pajak yang berlaku dalam Bukti Pbk mengacu pada tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6) yang tertera pada SSP, SPPCP, atau BPN yang diajukan Pemindahbukuan.
(3)  Asli SSP, SSPCP, atau Bukti Pbk yang telah dipindahbukukan harus dibubuhi cap dan ditandatangani oleh kepala kantor Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan Pemindahbukuan.
(4) Bukti Pbk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar penyesuaian atas pembayaran dan penyetoran pajak yang dilakukan Wajib Pajak.
(5) Bentuk, isi, dan tata cara penerbitan Bukti Pbk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.


     

               

Pasal 19

Dalam hal permohonan Pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan Bukti Pbk dan memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.



BAB IV
PENGANGSURAN DAN PENUNDAAN PEMBAYARAN PAJAK

Pasal 20

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), yang selanjutnya disebut utang pajak, dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.

          


Pasal 21

Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan, dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:


a. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. surat permohonan mencantumkan:


1. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan besarnya angsuran; atau
2. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.


c. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, selain memenuhi persyaratan huruf a dan b, Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan permohonan dimaksud juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.


    


Pasal 22


(1) Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.
(2)  Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengangsuran pembayaran pajak setelah melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 harus memberikan jaminan berupa garansi bank sebesar utang pajak yang dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu pengangsuran.


         

Pasal 23


(1) Setelah mempertimbangkan alasan dan bukti pendukung yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterima permohonan
(2)  Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:


a. menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.


(3)  Dalam hal permohonan Wajib Pajak disetujui, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak.
(4)  Dalam hal permohonan Wajib Pajak ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan penolakan angsuran/penundaan pembayaran pajak.
(5) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.


             

               

Pasal 24


(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak belum diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)  Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak yang diajukan permohonan pengangsuran atau penundaan, jumlah utang pajak yang dipertimbangkan untuk diberikan keputusan pengangsuran atau keputusan penundaan adalah jumlah utang pajak setelah dikurangi dengan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


               

Pasal 25


(1) Pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dapat diberikan untuk:


a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
c. paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.


(2)  Penundaan atas kekurangan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, atau pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberikan untuk:


a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
c. paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.




Pasal 26


(1) Besarnya pembayaran angsuran atas utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ditetapkan dalam jumlah yang sama besar untuk setiap angsuran.
(2)  Besarnya pelunasan atas penundaan utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) ditetapkan sejumlah utang pajak yang ditunda pelunasannya.
(3) Sanksi administrasi berupa bunga yang timbul akibat angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan saldo utang pajak.
(4) Sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran, jatuh tempo penundaan, atau pada tanggal pembayaran.
(5) Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas pembayaran Surat Tagihan Pajak.


               

Pasal 27



(1) Dalam hal permohonan Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sudah diterbitkan suatu keputusan, dan kepada Wajib Pajak dimaksud diterbitkan surat ketetapan/keputusan/putusan yang mengakibatkan kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga, kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu harus diperhitungkan dengan sisa utang pajak yang belum diangsur atau yang ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2)  Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil daripada utang pajak yang belum diangsur, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:


a. jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disepakati.


(3) Penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan prosedur:


a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang perubahan saldo utang pajak serta permintaan usulan perubahan angsuran;
b. Wajib Pajak harus menyampaikan secara tertulis usulan perubahan angsuran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterima surat pemberitahuan;
c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak yang juga berfungsi sebagai pembatalan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak sebelumnya berdasarkan surat usulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal surat usulan diterima.


(4) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerima usulan perubahan angsuran dari Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak dengan:


a. nilai angsuran adalah sebesar sisa utang pajak dibagi dengan sisa masa angsuran; dan
b. masa angsuran adalah sisa masa angsuran yang telah disetujui sebelumnya.


(5)  Keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berfungsi sebagai pembatalan atas keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak sebelumnya.
(6) Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak yang ditunda, wajib Pajak tetap berhak melunasi sisa utang pajak tersebut paling lama sesuai dengan jangka waktu penundaan




 


Pasal 28


(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk diangsur atau ditunda, Wajib Pajak wajib melunasi seluruh pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum keberatan diajukan.
(2)  Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan ayat (5) menjadi tidak berlaku.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda, persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, pengurangan, pembetulan, banding, atau peninjauan kembali atas ketetapan atau keputusan terkait utang pajak PBB yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda, persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.



Pasal 29


(1) Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang telah mendapat persetujuan untuk diangsur pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:


a. jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.


(2)  Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang telah mendapat persetujuan untuk diangsur pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:


a. jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.


(3) Dalam hal terhadap utang pajak PBB yang telah mendapat persetujuan untuk diangsur pembayarannya diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan utang pajak PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:


a. jumlah pokok dan denda administrasi setiap angsuran disesuaikan; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.


(4)  Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang telah mendapat persetujuan untuk ditunda pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, Wajib Pajak tetap wajib melunasi utang pajak tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.
(5) Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang telah mendapat persetujuan untuk ditunda pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, Wajib pajak tetap wajib melunasi utang pajak tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.
(6) Dalam hal terhadap utang pajak PBB yang telah mendapat persetujuan untuk ditunda pembayarannya diterbitkan suatu keputusan atau putusan yang menyebabkan utang pajak PBB menjadi lebih besar atau lebih kecil, Wajib Pajak tetap wajib melunasi utang pajak PBB tersebut sesuai dengan jangka waktu penundaan.


 

                         

Pasal 30


(1) Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut tidak berkaitan dengan Surat Tagihan Pajak, SPPT, dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang KUP, yang dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2)  Dalam hal Wajib Pajak disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a dan huruf b dan persetujuan yang diberikan tersebut berkaitan dengan SPPT dan STP PBB, Wajib Pajak dikenai denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang PBB yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.


  

               

BAB V
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 31



(1) Data pembayaran dan penyetoran pajak diadministrasikan sebagai penerimaan pajak dalam Modul Penerimaan Negara.
(2)  Atas data penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan penyesuaian berdasarkan suatu dokumen sumber penyesuaian.
(3) Termasuk penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain berupa:


a. Pemindahbukuan atas SSP, SSPCP, BPN atau Bukti Pbk;
b. pengembalian kelebihan pembayaran pajak; dan
c. koreksi lain atas penerimaan pajak.


(4) Data penerimaan pajak yang telah dilakukan penyesuaian oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sumber data bagi Direktorat Jenderal Pajak dalam pengawasan pemenuhan kewajiban pembayaran dan penyetoran pajak Wajib Pajak.




  

      

Pasal 32


(1) Dokumen berupa:


a. surat permohonan perpanjangan jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5);
b. keputusan persetujuan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8); dan
c. keputusan penolakan perpanjangan jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (9),
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


(2)  Dokumen berupa:


a. surat permohonan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1);
b. surat pernyataan kesalahan perekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (8) huruf b; dan
c. bukti Pbk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1),


dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
(3) Dokumen berupa:


a. surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
b. surat permohonan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21;
c. keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (5);
d. keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) dan pasal 23 ayat (5); dan
e. surat penolakan angsuran/penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4),


dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


   


BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 33

Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, atas perintah Kuasa Bendahara Umum Negara terhadap saldo penerimaan PBB pada:

a.    Bank/Pos Persepsi dan Bank/Pos Persepsi Elektronik; dan

b.    Bank Operasional III,

dilimpahkan ke kas negara paling lama 1 (satu) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri ini.



BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 34

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 88/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Melalui Pemindahbukuan;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.03/2007 tentang Jangka Waktu Pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang Menyebabkan Jumlah Pajak yang Harus Dibayar Bertambah Bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Wajib Pajak di Daerah Tertentu;
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 167/PMK.03/2007 tentang Penunjukan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran Pajak, Penentuan Tempat Pembayaran Pajak, dan Tata Cara Pembayaran Pajak, Penyetoran dan Pelaporan Pajak, serta Tata Cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak; dan
  6. Ketentuan mengenai penggunaan Surat Setoran Pajak PBB untuk pembayaran PBB Migas dan PBB Panas Bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (5) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2013 tentang Penatausahaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi,

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 35

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

               



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

 ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 24 Desember 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

 

 ttd.

 

YASONNA H. LAOLY

 




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1973