Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.06/2016

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21/PMK.06/2016

TENTANG

PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa dalam rangka optimalisasi pengurusan Piutang Negara, perlu melakukan penyempurnaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.06/2014;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  3. Peraturan Presiden Nomor 89 Tahun 2006 tentang Panitia Urusan Piutang Negara;
  4. Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 51);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.06/2014;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 128/PMK.06/2007 TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.



Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.06/2007 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan 48/PMK.06/2014, diubah sebagai berikut:


1. Ketentuan angka 2, angka 3, angka 6, angka 7, angka 10, angka 21, angka 24, angka 26, dan angka 27 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
  2. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Direktorat Jenderal, adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Direktur Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Direktur Jenderal, adalah salah satu pejabat unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang barang milik negara, kekayaan negara dipisahkan, kekayaan negara lain-lain, penilaian, piutang negara, dan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.
  5. Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal.
  6. Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal.
  7. Kantor Pelayanan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kantor Wilayah.
  8. Channeling adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah menanggung risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
  9. Risk sharing adalah pola penyaluran dana oleh pemerintah kepada masyarakat melalui perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan dimana pemerintah dan perbankan atau lembaga pembiayaan non perbankan berbagi risiko kerugian apabila terjadi kemacetan.
  10. Penyerah Piutang adalah Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.
  11. Penanggung Hutang adalah badan/atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan/atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang.
  12. Penjamin Hutang adalah badan/atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.
  13. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara, yang untuk selanjutnya disebut SP3N, adalah surat yang diterbitkan oleh Panitia, berisi pernyataan menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.
  14. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.
  15. Surat Keputusan Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Panitia, yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.
  16. Pencegahan adalah larangan bepergian ke luar dari wilayah Republik Indonesia.
  17. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.
  18. Juru Sita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab kejurusitaan.
  19. Barang Jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan/atau Penjamin Hutang yang diserahkan sebagai jaminan penyelesaian hutang.
  20. Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak diikat sebagai jaminan hutang namun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang.
  21. Penilai Pemerintah Di Lingkungan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, yang selanjutnya disebut Penilai Direktorat Jenderal, adalah penilai Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh kuasa Menteri yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian termasuk atas hasil penilaiannya secara independen.
  22. Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak dalam waktu yang cukup, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.
  23. Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.
  24. Nilai Limit adalah nilai terendah atas pelepasan barang dalam Lelang.
  25. Nilai Pembebanan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotek/crediet verband/hak tanggungan/fidusia.
  26. Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  27. Penjualan tanpa melalui lelang adalah penjualan barang yang dilakukan oleh Penanggung hutang atau Penjamin Hutang dengan persetujuan Panitia Cabang.
  28. Penebusan adalah pembayaran yang dilakukan oleh Penjamin Hutang untuk mengambil kembali Barang Jaminan.
  29. Pemeriksaan adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh Pemeriksa guna memperoleh informasi dan/atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.
  30. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan.
  31. Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus bertanggung jawab.
  32. Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan.
   
2. Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
3. Ketentuan Pasal 3 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, Instansi Pemerintah termasuk Badan Layanan Umum (BLU)/Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Lembaga Negara, Komisi Negara, Badan Hukum lainnya yang dibentuk dengan peraturan perundang-undangan, atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyalurkan dana yang berasal dari Instansi Pemerintah melalui pola channeling atau risk sharing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.
   
4. Ketentuan huruf d dan huruf e Pasal 20 diubah, dan ditambahkan 1 (satu) huruf, yakni huruf g, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

SP3N memuat paling kurang:
  1. nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  2. identitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang;
  3. pernyataan menerima pengurusan Piutang Negara;
  4. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 18;
  5. uraian barang jaminan, jika ada;
  6. tanda tangan Panitia Cabang; dan
  7. klausula bahwa piutang dimaksud tetap dicatat dalam neraca Penyerah Piutang.
   
5. Ketentuan Pasal 32 ditambahkan huruf g, sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 32

Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal:
  1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
  2. piutang terkait dengan perkara pidana;
  3. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif;
  4. terdapat putusan Lembaga Peradilan dalam perkara perdata maupun tata usaha negara yang telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  5. dihapus;
  6. Piutang Negara yang diserahkan, terjadi atau disalurkan di eks-Provinsi Timor-Timur; atau
  7. Penyerah Piutang meminta kembali pengurusan Piutang Negara yang bersumber dari perjanjian penerusan pinjaman luar negeri, rekening pembangunan daerah, dan rekening dana investasi pada Perusahaan Daerah Air Minum.
   
6. Ketentuan Pasal 37 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf f, hanya dapat dilaksanakan apabila:
  1. terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan
  2. pengembalian dilaksanakan untuk keperluan penghapusan secara bersyarat dan/atau penghapusan secara mutlak.
   
7. Di antara Pasal 37 dan Pasal 38, disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 37A, sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37A

Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf g, hanya dapat dilaksanakan apabila:
  1. terdapat permintaan secara tertulis dari Penyerah Piutang; dan
  2. dipergunakan untuk penyelesaian Piutang Negara oleh Penyerah Piutang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian Piutang Negara yang bersumber dari perjanjian penerusan pinjaman luar negeri, rekening pembangunan daerah, dan rekening dana investasi pada Perusahaan Daerah Air Minum.
   
8. Ketentuan Pasal 62A dihapus.
   
9. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 94 diubah, sehingga Pasal 94 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94

(1) Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasabah dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan untuk mendapatkan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal/Panitia Pusat berdasarkan usulan Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah.
   
10. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 95 diubah, sehingga Pasal 95 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95

(1) Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Permohonan untuk mendapatkan izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Direktur Jenderal/Panitia Pusat berdasarkan usulan Kepala Kantor Pelayanan melalui Kepala Kantor Wilayah.
   
11. Ketentuan ayat (1a) Pasal 106 diubah, dan di antara ayat (1a) dan ayat (2) Pasal 106 disisipkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (1b), sehingga Pasal 106 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106

(1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari Kantor Pelayanan.
(1a) Dalam hal pada Kantor Pelayanan belum terdapat Pemeriksa, pemeriksaan dapat dilakukan oleh Pemeriksa pada Kantor Wilayah setelah Kepala Kantor Pelayanan meminta bantuan kepada Kepala Kantor Wilayah.
(1b) Dalam hal pada Kantor Pelayanan jumlah Pemeriksa tidak cukup, pemeriksaan dapat melibatkan Pemeriksa pada Kantor Wilayah setelah Kepala Kantor Pelayanan meminta bantuan kepada Kepala Kantor Wilayah.
(2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang.
   
12. Ketentuan angka 3 huruf b Pasal 281 diubah, dan di antara ketentuan angka 2 dan angka 3 huruf b Pasal 281 disisipkan 1 (satu) angka, yakni angka 2a, sehingga Pasal 281 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 281

Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (1a) dan Pasal 280, penetapan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan dalam hal:
a. Piutang Negara berasal dari Instansi Pemerintah dan telah mendapat rekomendasi penghapusan dari Badan Pemeriksa Keuangan.
b. Piutang Negara dengan sisa hutang paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) yang dilengkapi dokumen berupa:
1. Kartu Keluarga Miskin;
2. surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menyatakan Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan atau tidak diketahui tempat tinggalnya untuk menyelesaikan hutangnya;
2a. surat keterangan/pernyataan pimpinan Penyerah Piutang yang menyatakan Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan atau tidak diketahui tempat tinggalnya untuk menyelesaikan hutangnya; atau
3. bukti penerima asuransi kesehatan bagi masyarakat miskin.
c. Piutang BUMN yang selanjutnya berubah menjadi piutang Instansi Pemerintah dan telah dilakukan penelitian bersama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

  


Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Februari 2016
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAMBANG P. S. BRODJONEGORO


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 18 Februari 2016

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 254