TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 179/PMK.04/2019
TENTANG
PATROLI LAUT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI
DALAM RANGKA PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan dan Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penindakan di Bidang Cukai, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Patroli Laut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka Penindakan di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PATROLI LAUT DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI DALAM RANGKA PENINDAKAN DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
Pasal 2
(1) | Untuk menjamin hak negara dan dipatuhinya ketentuan di bidang kepabeanan dan/atau cukai di wilayah perairan, Pejabat Bea dan Cukai melaksanakan pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut dan/atau sungai. |
(2) | Pengawasan terhadap sarana pengangkut di laut dan/atau sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan melakukan penindakan sebagai upaya untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran ketentuan di bidang kepabeanan dan/atau cukai. |
(3) | Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui Patroli Laut. |
Pasal 3
Untuk kepentingan penegakan hukum, kemanusiaan, atau kegiatan lain dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, Pejabat Bea dan Cukai dapat melaksanakan Patroli Laut untuk tujuan:
BAB II
WILAYAH DAN SKEMA PATROLI
Pasal 4
Patroli Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dilaksanakan di seluruh wilayah perairan di :
Pasal 5
(1) | Patroli Laut dilaksanakan dengan skema:
|
(2) | Skema mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan skema yang dilakukan oleh 1 (satu) Kantor Bea dan Cukai dalam :
|
(3) | Skema Bawah Kendali Operasi (BKO) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan skema yang dilakukan oleh 1 (satu) Kantor Bea dan Cukai dalam wilayah yang berada dalam pengawasannya dengan bantuan Sarana Operasi dan/atau pengoperasian Sarana Operasi dari Kantor Bea dan Cukai lainnya, berdasarkan persetujuan direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membidangi penindakan di bidang kepabeanan dan cukai. |
(4) | Skema terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, merupakan skema yang dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) Kantor Bea dan Cukai tanpa terbatas pada wilayah yang berada dalam pengawasannya berdasarkan Surat Perintah Direktur Jenderal. |
(5) | Skema terkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, merupakan skema yang dilakukan oleh Kantor Bea dan Cukai dalam rangka koordinasi yang meliputi :
|
(6) | Dalam hal terdapat informasi adanya dugaan pelanggaran di bidang kepabeanan dan cukai, direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membidangi penindakan di bidang kepabeanan dan cukai dapat melakukan Patroli Laut dengan tidak menggunakan skema sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
BAB III
SARANA OPERASI DAN SATUAN TUGAS PATROLI
Pasal 6
(1) | Kegiatan Patroli Laut dilaksanakan dengan menggunakan Kapal Patroli. |
(2) | Kegiatan Patroli Laut dapat dibantu dengan menggunakan Sarana Operasi pengawasan lainnya seperti radar, satelit, dan/atau pesawat udara atau helikopter yang dioperasikan tanpa awak atau pilot (drone). |
(3) | Kelas dan spesifikasi Kapal Patroli tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 7
(1) | Dalam rangka pelaksanaan Patroli Laut, Direktur Jenderal melalui direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membidangi penindakan di bidang kepabeanan dan cukai dan/atau Kepala Kantor Bea dan Cukai yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan pengelolaan dan pengoperasian Sarana Operasi. |
(2) | Pengelolaan dan pengoperasian Kapal Patroli di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai disesuaikan dengan Jenis kelas dan spesifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6. |
(3) | Termasuk dalam kegiatan pengelolaan Sarana Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu :
|
Pasal 8
Direktur Jenderal membentuk pusat komando dan pengendalian Patroli Laut dalam rangka mengintegrasikan Sarana Operasi pengawasan laut dan menunjang kegiatan Patroli Laut.
Pasal 9
Direktur Jenderal, direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang membidangi penindakan di bidang kepabeanan dan cukai, Kepala Kantor Bea dan Cukai, atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, menerbitkan Surat Perintah sebagai dasar pelaksanaan Patroli Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3, dan pergerakan Kapal Patroli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf b.
Pasal 10
(1) | Pelaksanaan kegiatan Patroli Laut dilakukan oleh Satuan Tugas dan dipimpin oleh seorang Komandan Patroli. |
(2) | Satuan Tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi :
|
(3) | Dalam hal terdapat kondisi tertentu yang memerlukan bantuan dari pihak di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah dapat menyertakan pihak lain selain pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada kegiatan Patroli Laut. |
BAB IV
PERSIAPAN PATROLI LAUT
Pasal 11
(1) | Pejabat Bea dan Cukai yang membidangi pengelolaan Sarana Operasi menentukan kesiapan Kapal Patroli sebelum pelaksanaan Patroli Laut. |
(2) | Penentuan kesiapan Kapal Patroli sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit dilakukan dengan cara memastikan :
|
BAB V
PELAKSANAAN PATROLI LAUT
Bagian Kesatu
Pelaporan dan Penentuan Sasaran Patroli Laut
Pasal 12
(1) | Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, menentukan sasaran pelaksanaan Patroli Laut yang ditujukan terhadap Sarana Pengangkut berbendera Indonesia, berbendera asing, atau tanpa bendera, yang berada di :
|
(2) | Sasaran pelaksanaan Patroli Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap :
|
(3) | Penentuan sasaran pelaksanaan Patroli Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan :
|
(4) | Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, melakukan pengamatan dan analisis untuk menentukan Sarana Pengangkut yang diduga melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai serta pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. |
Pasal 13
Komandan Patroli melaporkan pelaksanaan kegiatan Patroli Laut kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah melalui radio atau alat komunikasi lainnya secara periodik atau sesuai perintah Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah.
Bagian Kedua
Penghentian Sarana Pengangkut
Pasal 14
(1) | Satuan Tugas dapat memberikan perintah penghentian terhadap Sarana Pengangkut yang diduga melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai serta pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. |
(2) | Perintah penghentian Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memberikan tanda atau isyarat yang dapat dilihat atau didengar berupa :
|
(3) | Dalam hal Sarana Pengangkut tidak mematuhi perintah penghentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Tugas dapat melakukan upaya penghentian. |
(4) | Dalam upaya penghentian Sarana Pengangkut, Satuan Tugas dapat menggunakan senjata api. |
(5) | Tata cara penggunaan senjata api sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan senjata api di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
Pasal 15
(1) | Dalam hal terdapat pengejaran Sarana Pengangkut secara terus menerus (hot pursuit) hingga ke luar Daerah Pabean, Komandan Patroli melaporkan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk pada kesempatan pertama. |
(2) | Pengejaran secara terus menerus (hot pursuit) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ketentuan hukum laut internasional. |
Bagian Ketiga
Pemeriksaan sarana pengangkut
Pasal 16
(1) | Terhadap Sarana Pengangkut yang diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Satuan Tugas melakukan pemeriksaan terhadap Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya dalam rangka mencari dan menemukan dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai serta pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. |
(2) | Pemeriksaan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan di tempat penghentian Sarana Pengangkut. |
(3) | Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan di tempat penghentian, Komandan Patroli memerintahkan Sarana Pengangkut untuk menuju Kantor Bea dan Cukai terdekat, Kantor Bea dan Cukai tempat kedudukan Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah, atau ke tempat lain yang memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan. |
(4) | Dalam hal perintah untuk menuju tempat pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi oleh Sarana Pengangkut, Komandan Patroli dapat melakukan upaya untuk dapat dipenuhinya perintah dimaksud. |
Pasal 17
(1) | Pemeriksaan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), meliputi :
|
(2) | Atas permintaan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pengangkut wajib menyerahkan :
|
(3) | Dalam hal perintah untuk membuka Sarana Pengangkut dan/atau kemasan di atasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dipenuhi, Satuan Tugas membuka sendiri Sarana Pengangkut/bagiannya dan/atau kemasan barang di atasnya. |
(4) | Dalam hal diperlukan untuk keperluan pemeriksaan, selain meminta surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Satuan Tugas dapat meminta pengangkut untuk menyerahkan dokumen lainnya yang disyaratkan oleh ketentuan pengangkutan nasional maupun internasional antara lain berupa :
|
Pasal 18
(1) | Terhadap hasil pemeriksaan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 yang menunjukkan :
|
(2) | Hasil pemeriksaan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan. |
Bagian Keempat
Penegahan dan Penyegelan
Pasal 19
(1) | Penindakan lebih lanjut oleh Satuan Tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b meliputi :
|
(2) | Penegahan terhadap Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan dengan mencegah keberangkatan Sarana Pengangkut dan memerintahkan kepada pengangkut untuk membawa Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya ke Kantor Bea dan Cukai. |
(3) | Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya yang ditegah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diserahkan ke Kantor Bea dan Cukai terdekat atau Kantor Bea dan Cukai tempat Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah untuk penelitian lebih lanjut. |
(4) | Penyegelan terhadap Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan dengan mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan terhadap Sarana Pengangkut dan/atau barang yang diduga terkait pelanggaran. |
(5) | Selain dalam rangka penindakan lebih lanjut, penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dalam rangka :
|
(6) | Pelaksanaan penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penindakan di bidang kepabeanan. |
Pasal 20
(1) | Satuan Tugas membuat surat bukti penindakan dengan menyebutkan alasan penegahan terhadap pelaksanaan penegahan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya. |
(2) | Satuan Tugas membuat berita acara penyegelan terhadap pelaksanaan penyegelan Sarana Pengangkut dan/atau barang di atasnya. |
(3) | Tata laksana penegahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penegahan di bidang kepabeanan dan cukai. |
Bagian Kelima
Penyelamatan, Pengamanan, dan Pembelaan Diri
Pasal 21
(1) | Dalam hal terjadi keadaan darurat saat pelaksanaan Patroli Laut, Komandan Patroli memberikan perintah kepada Satuan Tugas untuk melakukan penyelamatan. |
(2) | Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengutamakan keselamatan :
|
(3) | Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika Kapal Patroli atau Sarana Pengangkut yang ditegah mengalami :
|
(4) | Dalam hal Komandan Patroli dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk memberikan perintah penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perintah penyelamatan disampaikan oleh perwira dengan hierarki tertinggi yang ada di Kapal Patroli berdasarkan Surat Perintah. |
Pasal 22
(1) | Komandan Patroli dapat memerintahkan Satuan Tugas untuk melakukan tindakan pengamanan dan/atau pembelaan diri sesuai tingkat ancaman yang dihadapi, dalam hal pada pelaksanaan Patroli Laut terdapat ancaman atau perlawanan dari awak Sarana Pengangkut atau pihak lain. |
(2) | Kegiatan pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan mengutamakan keselamatan Satuan Tugas dan Kapal Patroli. |
(3) | Kegiatan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan tujuan untuk mengamankan kondisi dalam melakukan upaya penindakan. |
(4) | Tindakan pengamanan dan pembelaan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan menggunakan senjata api dan/atau peralatan keamanan lainnya. |
(5) | Jenis dan tata cara penggunaan senjata api dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penggunaan senjata api di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
Pasal 23
Komandan Patroli melaporkan secara lisan pada kesempatan pertama dan membuat laporan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah atas pelaksanaan :
BAB VI
PENGAKHIRAN PATROLI LAUT
Pasal 24
(1) | Kegiatan Patroli Laut berakhir jika :
|
(2) | Apabila masa berlaku Surat Perintah akan berakhir namun Patroli Laut masih diperlukan, Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah dapat memperpanjang waktu pelaksanaan Patroli Laut. |
(3) | Perpanjangan waktu pelaksanaan Patroli Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan dengan menerbitkan Surat Perintah perpanjangan waktu pelaksanaan Patroli Laut dan menyampaikan Surat Perintah perpanjangan waktu pelaksanaan Patroli Laut tersebut kepada Satuan Tugas. |
(4) | Komandan Patroli membuat laporan secara tertulis mengenai pelaksanaan Patroli Laut kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Surat Perintah setelah kegiatan Patroli Laut berakhir. |
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Direktur Jenderal mengatur lebih lanjut ketentuan mengenai :
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Desember 2019 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Desember 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 1535