TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 171/PMK.04/2019
TENTANG
PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG
OLEH PEMERINTAH PUSAT ATAU PEMERINTAH DAERAH
YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG OLEH PEMERINTAH PUSAT ATAU PEMERINTAH DAERAH YANG DITUJUKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Atas impor barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk Kepentingan Umum dapat diberikan pembebasan bea masuk. |
(2) | Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan atas:
|
Pasal 3
Impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan:
Pasal 4
(1) | Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pihak Ketiga mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai. |
(2) | Contoh format surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang merupakan pembelian yang dibiayai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
|
(4) | Terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang merupakan Hibah, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus dilampiri dengan:
|
(5) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditandatangani oleh:
|
(6) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan oleh Pihak Ketiga, ditandatangani oleh pimpinan dari Pihak Ketiga dan dilampiri dengan perjanjian atau kontrak pengadaan barang antara Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dengan Pihak Ketiga. |
Pasal 5
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan pembebasan bea masuk. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang yang ditujukan untuk Kepentingan Umum. |
(3) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Jangka waktu pengimporan atas impor barang yang diberikan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan. |
(5) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
Pasal 6
(1) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dapat dilakukan perubahan jika:
|
(2) | Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang:
|
(3) | Untuk dapat melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pihak Ketiga mengajukan permohonan perubahan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dengan menyebutkan alasan dilakukan perubahan dan melampirkan dokumen pendukung alasan perubahan. |
(4) | Atas permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk dapat melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
(5) | Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
(6) | Dalam hal permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
Pasal 7
(1) | Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (3), serta hasil pindaian dari dokumen asli lampiran permohonan, disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window. |
(2) | Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Sistem Indonesia National Single Window mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai dengan:
|
(3) | Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (5), atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) dan Pasal 6 ayat (6), dilakukan paling lama:
|
Pasal 8
(1) | Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat dikecualikan dari ketentuan mengenai pembatasan impor berdasarkan rekomendasi dari kementerian/lembaga terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Tata cara pengeluaran barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau Kawasan Bebas. |
(3) | Tata cara pemindahtanganan barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pembebasan bea masuk. |
(4) | Tata cara penyelesaian impor sementara dengan tujuan dihibahkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara. |
Pasal 9
Terhadap barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa:
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
Pasal 10
Pelaksanaan Hibah dari barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang merupakan Hibah luar negeri yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hibah daerah.
Pasal 11
Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang digunakan tidak sesuai dengan tujuan pemberian pembebasan bea masuk, bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang wajib dibayar dan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sanksi administrasi di bidang kepabeanan dan/atau di bidang perpajakan.
Pasal 12
Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat diselesaikan kewajiban pabeannya dengan cara:
Pasal 13
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara dipindahtangankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, dilakukan dengan ketentuan:
|
(2) | Ketentuan mengenai jangka waktu pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak berlaku dalam hal:
|
Pasal 14
(1) | Terhadap pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, terutang bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. |
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika:
|
(3) | Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berupa kendaraan bermotor, pemindahtanganan yang dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang. |
(4) | Dalam hal barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terjadi keadaan kahar (force majeure) namun barang masih memiliki nilai ekonomis, pemindahtanganan yang dilakukan sampai dengan 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean disertai dengan kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang terutang. |
Pasal 15
(1) | Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atas:
|
(2) | Untuk mendapatkan persetujuan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai tempat pemasukan. |
(3) | Contoh format surat permohonan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara elektronik melalui Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Sistem Indonesia National Single Window. |
(5) | Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Sistem Indonesia National Single Window mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan secara tertulis dan disertai dengan:
|
Pasal 16
(1) | Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan permohonan pemindahtanganan. |
(2) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) disetujui, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan:
|
(3) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditolak, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan. |
(4) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan pemindahtanganan diterima. |
(5) | Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal ditetapkan. |
(6) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Contoh format Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 17
(1) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), dilaksanakan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) huruf a. |
(2) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan berdasarkan pada klasifikasi, pembebanan, dan nilai pabean dalam pemberitahuan pabean impor pada saat pemasukan. |
(3) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor berupa kendaraan bermotor, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang impor dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure), dilaksanakan berdasarkan pada tarif dan nilai pabean yang berlaku pada saat dipindahtangankan. |
(5) | Pemenuhan kewajiban kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di kantor pabean tempat pemasukan barang. |
Pasal 18
Pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a atas barang impor selain kendaraan bermotor yang dilakukan setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean dapat dilakukan tanpa persetujuan dari Menteri.
Pasal 19
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara ekspor kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, dilakukan dengan menggunakan pemberitahuan pabean ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ekspor. |
(2) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang melakukan ekspor kembali barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibebaskan dari kewajiban untuk membayar bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang. |
Pasal 20
(1) | Penyelesaian kewajiban pabean atas barang impor untuk Kepentingan Umum dengan cara pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, dapat dilakukan setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(2) | Ketentuan mengenai jangka waktu pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure). |
(3) | Barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah dilakukan pemusnahan dibebaskan dari kewajiban membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor. |
Pasal 21
Tata laksana pemindah tanganan, ekspor kembali, dan pemusnahan barang impor yang ditujukan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai barang milik negara.
Pasal 22
Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (5), dan Pasal 16 ayat (2), digunakan oleh direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang fasilitas kepabeanan untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian pembebasan bea masuk atas barang impor yang ditujukan untuk Kepentingan Umum.
Pasal 23
(1) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 5 ayat (5), Pasal 6 ayat (5), Pasal 6 ayat (6), Pasal 16 ayat (2), dan Pasal 16 ayat (3):
|
(2) | Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk. |
(3) | Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan. |
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
Pasal 25
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.04/2007 tentang Pemberian Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.011/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.04/2007 tentang Pemberian Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang Ditujukan untuk Kepentingan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 95), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 November 2019 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 November 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 1499