TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 144/PMK.04/2022
TENTANG
NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG NILAI PABEAN UNTUK PENGHITUNGAN BEA MASUK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan. | ||||||||||||||||
2. | Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. | ||||||||||||||||
3. | Orang Saling Berhubungan adalah:
|
||||||||||||||||
4. | Importir adalah orang perseorangan, lembaga, atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum, maupun bukan badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean. | ||||||||||||||||
5. | Pemilik Barang adalah Importir atau Orang yang meminta Importir mengimpor barang untuk dan atas kepentingannya dan diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor. | ||||||||||||||||
6. | Penjual adalah Orang yang mempertukarkan barang dengan imbalan pembayaran. | ||||||||||||||||
7. | Pembeli adalah Orang yang memperoleh barang sebagai imbalan atas pembayaran. | ||||||||||||||||
8. | Dua Barang Dianggap Identik yang selanjutnya disebut Barang Identik adalah apabila keduanya sama dalam segala hal, paling tidak karakter fisik, kualitas, dan reputasinya sama, serta:
|
||||||||||||||||
9. | Dua Barang Dianggap Serupa yang selanjutnya disebut Barang Serupa adalah apabila keduanya memiliki karakteristik dan komponen material yang sama sehingga dapat menjalankan fungsi yang sama dan secara komersial dapat dipertukarkan, serta:
|
||||||||||||||||
10. | Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur adalah bukti atau data berdasarkan dokumen yang benar-benar tersedia dan pada dokumen tersebut terdapat besaran, nilai, atau ukuran tertentu dalam bentuk angka, kata, dan/atau kalimat serta dapat dilakukan verifikasi. | ||||||||||||||||
11. | Tingkat Perdagangan (commercial level) adalah tingkatan atau status transaksi barang impor yang bersangkutan oleh Pembeli misalnya: grosir (wholesaler), pengecer (retailer), dan pengguna akhir (end user). | ||||||||||||||||
12. | Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan. | ||||||||||||||||
13. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. | ||||||||||||||||
14. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. | ||||||||||||||||
15. | Konfirmasi Nilai Pabean yang selanjutnya disingkat KNP adalah kegiatan klarifikasi atau permintaan penjelasan lebih lanjut dari Pejabat Bea dan Cukai kepada Importir dan/atau Pemilik Barang untuk kepentingan penelitian nilai pabean atas barang yang diimpor, baik tatap muka secara langsung maupun melalui sarana dalam jaringan, dan/atau media komunikasi lainnya. | ||||||||||||||||
16. | Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang impor. | ||||||||||||||||
17. | Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. |
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) | Nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk merupakan nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan yang memenuhi syarat tertentu. |
(2) | Nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai pabean dalam international commercial terms (incoterms) cost, insurance, dan freight (CIF). |
Pasal 3
(1) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), nilai pabean ditentukan berdasarkan nilai transaksi Barang Identik. |
(2) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean ditentukan berdasarkan nilai transaksi Barang Serupa. |
(3) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan nilai transaksi Barang Serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), nilai pabean ditentukan berdasarkan metode deduksi. |
(4) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai transaksi Barang Serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), nilai pabean ditentukan berdasarkan metode komputasi. |
(5) | Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai transaksi Barang Serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean ditentukan berdasarkan metode pengulangan (fallback method). |
(6) | Penentuan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diterapkan secara berurutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 4
Atas permintaan Importir, penentuan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk berdasarkan metode komputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dapat digunakan mendahului metode deduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
BAB III
METODE PENENTUAN NILAI PABEAN
Bagian Kesatu
Nilai Transaksi Barang Impor yang Bersangkutan
Pasal 5
(1) | Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh Pembeli kepada Penjual atas barang yang dijual untuk diekspor ke dalam Daerah Pabean ditambah dengan biaya dan/atau nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya dan/atau nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar. | ||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berasal dari suatu transaksi jual beli. | ||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan total pembayaran yang telah dibayar atau akan dibayar atas barang yang diimpor oleh Pembeli kepada Penjual atau untuk kepentingan Penjual. | ||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperhitungkan unsur diskon dan/atau garansi yang berlaku umum dalam perdagangan. | ||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Biaya dan/atau nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Nilai dari barang dan jasa (assist) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang barang dan jasa (assist) tersebut:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Tata cara penentuan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi dari barang impor yang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Contoh penghitungan Bea Masuk yang mengandung assist sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b yang berasal dari dalam Daerah Pabean sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 6
(1) | Biaya dan/atau nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), harus:
|
||||
(2) | Biaya dan/atau nilai selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), tidak ditambahkan dalam nilai transaksi. |
Pasal 7
(1) | Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diterima sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(2) | Tata cara penelitian pengaruh hubungan antara Penjual dan Pembeli yang mempengaruhi harga barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 8
(1) | Dalam hal biaya transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf e belum termasuk dalam nilai transaksi dan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur mengenai besaran biaya transportasi tidak tersedia, besaran biaya transportasi yang digunakan dalam penentuan nilai pabean ditentukan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal terdapat lebih dari satu jenis barang dalam satu pemberitahuan pabean impor, besaran biaya transportasi untuk setiap jenis barang ditentukan dengan cara sebagai berikut:
|
Pasal 9
(1) | Dalam hal biaya asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf g belum termasuk dalam nilai transaksi dan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur mengenai besaran biaya asuransi tidak tersedia, besaran biaya asuransi yang digunakan dalam penentuan nilai pabean sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari nilai cost and freight (CFR). | ||||
(2) | Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) jenis barang dalam 1 (satu) pemberitahuan pabean impor, besaran biaya asuransi untuk setiap jenis barang ditentukan dengan cara sebagai berikut:
|
||||
(3) | Dalam hal biaya asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5) huruf g ditutup di dalam Daerah Pabean dengan didasarkan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur, besaran biaya asuransi yang digunakan dalam penentuan nilai pabean dianggap 0 (nol). |
Bagian Kedua
Nilai Transaksi Barang Identik
Pasal 10
(1) | Nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) digunakan sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi kriteria paling sedikit:
|
||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) nilai transaksi Barang Identik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penentuan nilai pabean dilakukan dengan menggunakan nilai transaksi Barang Identik yang paling rendah. | ||||||||||
(4) | Pemberitahuan pabean impor yang digunakan sebagai pembanding Barang Identik, dapat menggunakan pemberitahuan pabean impor dari Kantor Pabean selain tempat penyerahan pemberitahuan pabean impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya. |
Pasal 11
(1) | Dalam hal tidak terdapat data Barang Identik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c, digunakan data Barang Identik dengan kondisi lain sepanjang dilakukan penyesuaian terhadap:
|
||||||
(2) | Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tersedia dan memungkinkan terlaksananya penyesuaian secara wajar dan tepat. | ||||||
(3) | Dalam hal Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tidak tersedia, penyesuaian tidak dilakukan dan dianggap nilai transaksi Barang Identik tidak dipengaruhi oleh Tingkat Perdagangan dan jumlah barang. | ||||||
(4) | Contoh penyesuaian Tingkat Perdagangan dan/atau jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Ketiga
Nilai Transaksi Barang Serupa
Pasal 12
(1) | Nilai transaksi Barang Serupa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) digunakan sebagai nilai pabean sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi kriteria paling sedikit:
|
||||||||||
(3) | Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) nilai transaksi Barang Serupa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penentuan nilai pabean dilakukan dengan menggunakan nilai transaksi Barang Serupa yang paling rendah. | ||||||||||
(4) | Pemberitahuan pabean impor yang digunakan sebagai pembanding Barang Serupa, dapat menggunakan pemberitahuan pabean impor dari Kantor Pabean selain tempat penyerahan pemberitahuan pabean impor yang sedang ditentukan nilai pabeannya. |
Pasal 13
(1) | Dalam hal tidak terdapat data Barang Serupa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c, digunakan data Barang Serupa dengan kondisi lain sepanjang dilakukan penyesuaian terhadap:
|
||||||
(2) | Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tersedia dan memungkinkan terlaksananya penyesuaian secara wajar dan tepat. | ||||||
(3) | Dalam hal Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tidak tersedia, penyesuaian tidak dilakukan dan dianggap nilai transaksi Barang Serupa tidak dipengaruhi oleh Tingkat Perdagangan dan jumlah barang. | ||||||
(4) | Contoh penyesuaian Tingkat Perdagangan dan/atau jumlah barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Keempat
Metode Deduksi
Pasal 14
Metode deduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) merupakan metode penentuan nilai pabean barang impor berdasarkan harga satuan yang terjadi dari penjualan oleh Importir di pasar dalam Daerah Pabean atas:
a. | barang impor yang bersangkutan; |
b. | Barang Identik; atau |
c. | Barang Serupa, |
dengan kondisi sebagaimana saat diimpor, serta dikurangi biaya yang terjadi setelah pengimporan.
Pasal 15
(1) | Harga satuan yang digunakan sebagai dasar penghitungan metode deduksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Dalam hal tidak terdapat harga satuan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), metode deduksi tidak dapat digunakan sebagai nilai pabean dari barang impor yang bersangkutan. |
Pasal 16
(1) | Nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ditentukan dengan mengurangi harga satuan dengan biaya tertentu yang terjadi setelah impor, berupa:
|
||||||
(2) | Biaya yang terjadi setelah impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diperoleh dari Pembeli, kecuali dalam hal biaya tersebut tidak sesuai dengan kelaziman yang berlaku di dalam Daerah Pabean. | ||||||
(3) | Dalam hal biaya yang terjadi setelah impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperoleh, Pejabat Bea dan Cukai menggunakan data/informasi mengenai biaya yang tersedia di dalam Daerah Pabean. |
Pasal 17
(1) | Dalam hal tidak terdapat:
|
||||||
(2) | Penentuan Nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhitungkan unsur pengurang berupa:
|
||||||
(3) | Tata cara penentuan jumlah terbesar dan biaya pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Kelim
Metode Komputasi
Pasal 18
(1) | Metode komputasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) merupakan metode penentuan nilai pabean dengan cara menjumlahkan unsur pembentuk nilai pabean dari barang impor yang bersangkutan, berupa:
|
||||||
(2) | Metode komputasi digunakan dalam hal Penjual dan Pembeli merupakan Orang Saling Berhubungan, dan produsen atau kuasanya bersedia memberikan informasi kepada Pejabat Bea dan Cukai mengenai unsur pembentuk nilai pabean dan bersedia memberikan fasilitas untuk pemeriksaan lebih lanjut apabila diperlukan. | ||||||
(3) | Ketentuan mengenai unsur-unsur pembentuk nilai pabean berdasarkan metode komputasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Bagian Keenam
Metode Pengulangan (Fallback Method)
Pasal 19
(1) | Metode pengulangan (fallback method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) merupakan metode penentuan nilai pabean dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten, yang diterapkan sesuai dengan kondisi yang ada dan berdasarkan data yang tersedia di dalam Daerah Pabean dengan pembatasan tertentu. |
(2) | Metode pengulangan (fallback method) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengulang kembali prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 10, Pasal 12, Pasal 14, dan metode lainnya sepanjang didukung dengan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur. |
(3) | Tata cara penggunaan metode pengulangan (fallback method) sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 20
(1) | Metode pengulangan (fallback method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, tidak diizinkan dengan mendasarkan pada:
|
||||||||||||||
(2) | Metode pengulangan (fallback method) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat menggunakan data yang berasal dari luar Daerah Pabean, sepanjang data tersebut telah tersedia di dalam Daerah Pabean berdasarkan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur. |
BAB IV
PENENTUAN NILAI PABEAN
Bagian Kesatu
Penentuan Nilai Pabean oleh Importir atau Pemilik Barang
Pasal 21
(1) | Importir atau Pemilik Barang menentukan secara mandiri nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. | ||||||||
(2) | Penentuan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan faktor yang menentukan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan, berupa:
|
||||||||
(3) | Penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus berdasarkan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur serta memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3. | ||||||||
(4) | Selain menentukan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Importir atau Pemilik Barang menentukan secara mandiri nilai impor untuk penghitungan pajak dalam rangka impor berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 22
(1) | Importir atau Pemilik Barang menentukan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan apabila nilai transaksi memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. |
(2) | Dalam hal nilai transaksi tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7, Importir atau Pemilik Barang menentukan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi Barang Identik sampai dengan metode pengulangan (fallback method) yang diterapkan secara berurutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (6). |
(3) | Importir atau Pemilik Barang menentukan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur yang dimilikinya. |
Bagian Kedua
Deklarasi Nilai Pabean
Pasal 23
(1) | Importir mendeklarasikan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dalam pemberitahuan pabean impor. |
(2) | Dalam hal Importir bukan merupakan Pemilik Barang, data mengenai Pemilik Barang harus diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor. |
(3) | Tata cara pengisian pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean. |
BAB V
RISK ASSESSMENT DAN PENELITIAN NILAI PABEAN
Bagian Kesatu
Risk Assessment Nilai Pabean
Pasal 24
(1) | Terhadap deklarasi nilai pabean dalam pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dilakukan risk assessment. |
(2) | Risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keseluruhan proses identifikasi risiko, analisis risiko, dan evaluasi risiko. |
(3) | Risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh SKP. |
(4) | Dalam hal SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dioperasikan, mengalami gangguan operasional, atau mengalami keadaan kahar, risk assessment sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan. |
Bagian Kedua
Penelitian Nilai Pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai
Pasal 25
(1) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap nilai pabean yang dideklarasikan dalam pemberitahuan pabean impor dan semua dokumen yang menjadi lampirannya berdasarkan:
|
||||||||||||
(2) | Penelitian nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||||||
(3) | Dalam hal hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e tidak dapat digunakan untuk melakukan penelitian nilai pabean, Pejabat Bea dan Cukai mengembalikan hasil pemeriksaan fisik tersebut kepada pemeriksa barang untuk dilengkapi dengan data mengenai jenis, spesifikasi, satuan, dan jumlah barang dengan jelas. | ||||||||||||
(4) | Penelitian nilai pabean berdasarkan nilai transaksi Barang Identik, Barang Serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau metode pengulangan (fallback method) yang diterapkan secara berurutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
|
||||||||||||
(5) | Penelitian nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap pemberitahuan pabean impor yang diajukan oleh:
|
||||||||||||
(6) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian nilai pabean terhadap importasi yang dilakukan oleh Importir dan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal:
|
||||||||||||
(7) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap nilai pabean yang diberitahukan dengan memperhatikan hasil risk assessment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24. | ||||||||||||
(8) | Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan penelitian nilai pabean melalui penelitian ulang atau audit kepabeanan berdasarkan manajemen risiko terhadap pemberitahuan pabean impor yang disampaikan oleh Importir dan instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
Pasal 26
Dalam hal diperlukan atau dengan memperhatikan hasil risk assessment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pejabat Bea dan Cukai dapat:
a. | menerbitkan nota permintaan data dan/atau dokumen dalam hal memerlukan Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tambahan; |
b. | menerbitkan permintaan KNP; dan/atau |
c. | mengakses informasi terkait transaksi impor, informasi keuangan dan informasi lainnya dengan memanfaatkan data atau aplikasi yang tersedia di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun di instansi terkait lainnya. |
Pasal 27
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dapat menerbitkan dan mengirimkan nota permintaan data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a melalui SKP kepada:
|
||||
(2) | Dalam hal SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diterapkan, tidak dapat dioperasikan, mengalami gangguan operasional, atau mengalami keadaan kahar, penerbitan dan pengiriman data dan/atau dokumen disampaikan melalui media penyimpanan data elektronik atau melalui surat elektronik. | ||||
(3) | Importir dan/atau Pemilik Barang harus menyerahkan semua Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur tambahan yang diminta dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah diterbitkannya nota permintaan data dan/atau dokumen oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(4) | Dalam hal Importir dan/atau Pemilik Barang tidak menyerahkan semua Bukti Nyata atau Data yang Objektif dan Terukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Bea dan Cukai menggunakan seluruh informasi terkait transaksi impor, informasi keuangan dan informasi lainnya dengan memanfaatkan data atau aplikasi yang tersedia di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun di instansi terkait sebagai referensi untuk melakukan penelitian nilai pabean. | ||||
(5) | Nota permintaan data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 28
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dapat menerbitkan dan mengirimkan permintaan KNP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b melalui SKP kepada:
|
||||
(2) | Dalam hal SKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat diterapkan, tidak dapat dioperasikan, mengalami gangguan operasional, atau mengalami keadaan kahar, penerbitan dan pengiriman data dan/atau dokumen disampaikan melalui media penyimpanan data elektronik atau melalui surat elektronik. | ||||
(3) | Importir dan/atau Pemilik Barang harus hadir dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah diterbitkannya permintaan KNP oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(4) | Importir dan/atau Pemilik Barang memberikan penjelasan terkait dengan transaksi yang bersangkutan dan hasilnya dituangkan dalam berita acara KNP. | ||||
(5) | Dalam hal Importir dan/atau Pemilik Barang tidak hadir dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat Bea dan Cukai menggunakan seluruh informasi terkait transaksi impor, informasi keuangan dan informasi lainnya dengan memanfaatkan data atau aplikasi yang tersedia di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai maupun di instansi terkait sebagai referensi untuk melakukan penelitian nilai pabean. | ||||
(6) | Penerbitan KNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan berita acara KNP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), disusun dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 29
Pelaksanaan penerbitan nota permintaan data dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan KNP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 oleh Pejabat Bea dan Cukai tetap mempertimbangkan jangka waktu penetapan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan.
Pasal 30
Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap data dan/atau informasi yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 untuk mendukung penelitian nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
BAB VI
PENETAPAN NILAI PABEAN
Pasal 31
(1) | Pejabat Bea dan Cukai menetapkan nilai pabean dengan mempertimbangkan:
|
||||||||||
(2) | Pejabat Bea dan Cukai menetapkan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan, dalam hal nilai pabean memenuhi persyaratan dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 25. | ||||||||||
(3) | Pejabat Bea dan Cukai menetapkan nilai pabean berdasarkan nilai transaksi Barang Identik, nilai transaksi Barang Serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau metode pengulangan (fallback method) yang diterapkan secara berurutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dalam hal:
|
Pasal 32
(1) | Penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai untuk penghitungan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pemberitahuan pabean impor mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran. | ||||||
(2) | Hasil penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||
(3) | Hasil penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, dituangkan dalam bentuk tertulis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai. | ||||||
(4) | Dalam hal hasil penetapan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai tidak mengakibatkan kekurangan atau kelebihan Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c:
|
||||||
(5) | Dalam hal pemberitahuan pabean impor tidak dilakukan penelitian nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (5):
|
Pasal 33
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dalam melakukan penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a dan huruf b, harus mengisi lembar penelitian dan penetapan. |
(2) | Lembar penelitian dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kertas kerja penetapan nilai pabean yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai. |
Pasal 34
(1) | Direktur Jenderal dapat melakukan penetapan kembali nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak pemberitahuan pabean impor mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran. | ||||||
(2) | Dalam rangka penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penelitian ulang atau pelaksanaan audit kepabeanan mengenai nilai pabean. | ||||||
(3) | Direktur Jenderal melakukan penetapan kembali nilai pabean berdasarkan nilai transaksi barang impor yang bersangkutan, dalam hal nilai pabean memenuhi persyaratan dan/atau kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7. | ||||||
(4) | Direktur Jenderal melakukan penetapan kembali nilai pabean berdasarkan nilai transaksi Barang Identik, nilai transaksi Barang Serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau metode pengulangan (fallback method) yang diterapkan secara berurutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dalam hal:
|
||||||
(5) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian ulang atau pelaksanaan audit kepabeanan mengenai nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditemukan nilai pabean yang berbeda dengan nilai pabean hasil penetapan Pejabat Bea dan Cukai dan mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran Bea Masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan nilai pabean, penetapan kembali nilai pabean oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada Importir. | ||||||
(6) | Tata cara penelitian ulang atau audit kepabeanan mengenai nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penelitian ulang atau audit kepabeanan. |
BAB VII
TANGGUNG JAWAB IMPORTIR
Pasal 35
(1) | Importir bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan dari informasi yang disampaikan pada pemberitahuan pabean impor termasuk seluruh lampiran yang disertakan dan dokumen pendukungnya. |
(2) | Importir bertanggung jawab untuk menyediakan informasi dan/atau dokumen tambahan yang diperlukan dalam rangka penetapan nilai pabean. |
BAB VIII
KERAHASIAAN DATA
Pasal 36
Semua informasi atau data yang berhubungan dengan nilai pabean yang bersifat rahasia tidak diizinkan untuk disebarluaskan tanpa persetujuan pemberi informasi atau data, kecuali diperlukan untuk proses peradilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 37
(1) | Pemberitahuan pabean impor yang diatur dalam Peraturan Menteri ini merupakan pemberitahuan impor barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengeluaran barang impor untuk dipakai. |
(2) | Pejabat Bea dan Cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan Bea Masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean impor. |
Pasal 38
Direktur Jenderal menetapkan petunjuk pelaksanaan mengenai:
(1) | tata cara penyusunan, pemutakhiran, dan pengelolaan risk assessment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dan |
(2) | pelaksanaan mekanisme pengisian lembar penelitian dan penetapan oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33. |
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap pemberitahuan pabean impor yang telah diajukan dan mendapatkan tanggal pendaftaran sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dilakukan penelitian dan penetapan nilai pabean untuk penghitungan Bea Masuk sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean Untuk Perhitungan Bea Masuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 433) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.04/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 777).
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Perhitungan Bea Masuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 433) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62/PMK.04/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 777), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2023.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2022 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 Oktober 2022
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2022 NOMOR 1082