Peraturan Menteri Keuangan Nomor 140/PMK.03/2017

  • 23 Oktober 2017
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 140/PMK.03/2017

TENTANG

TATA CARA PENGECUALIAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS
HASIL INVESTASI ATAU PENGEMBANGAN DANA DARI
ASET DANA JAMINAN SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Program Jaminan Sosial yang Diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengecualian Pemotongan Pajak Penghasilan atas Hasil Investasi atau Pengembangan Dana dari Aset Dana Jaminan Sosial;



Mengingat :


Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan atas Program Jaminan Sosial yang Diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 326, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6007);

 


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGECUALIAN PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN ATAS HASIL INVESTASI ATAU PENGEMBANGAN DANA DARI ASET DANA JAMINAN SOSIAL.



Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

  1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disebut BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
  2. BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan.
  3. BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
  4. Dana Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat DJS adalah dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan Iuran beserta hasil pengembangannya yang dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat kepada peserta dan pembiayaan operasional penyelenggaraan program jaminan sosial.


Pasal 2

(1) BPJS terdiri atas :
  1. BPJS Kesehatan; dan
  2. BPJS Ketenagakerjaan
(2) BPJS Kesehatan mengelola aset jaminan sosial kesehatan yang terdiri atas:
  1. aset BPJS Kesehatan; dan
  2. aset DJS Kesehatan.
(3) Untuk kepentingan administrasi perpajakan, BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak yang berbeda, dengan nama:
  1. BPJS Kesehatan untuk BPJS sebagai pengelola aset BPJS Kesehatan; dan
  2. DJS Kesehatan untuk BPJS sebagai pengelola aset DJS Kesehatan.
(4) BPJS Ketenagakerjaan mengelola aset jaminan sosial ketenagakerjaan yang terdiri atas:
a. aset BPJS Ketenagakerjaan; dan
b. aset DJS Ketenagakerjaan yang terdiri atas aset dana:
  1. jaminan kecelakaan kerja;
  2. jaminan kematian;
  3. jaminan hari tua; dan
  4. jaminan pensiun.
(5) Untuk kepentingan administrasi perpajakan, BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak yang berbeda, dengan nama:
  1. BPJS Ketenagakerjaan untuk BPJS sebagai pengelola aset BPJS Ketenagakerjaan;
  2. DJS Ketenagakerjaan Program Jaminan Kecelakaan Kerja untuk BPJS sebagai pengelola aset DJS Jaminan Kecelakaan Kerja;
  3. DJS Ketenagakerjaan Program Jaminan Kematian untuk BPJS sebagai pengelola aset DJS Jaminan Kematian;
  4. DJS Ketenagakerjaan Program Jaminan Hari Tua untuk BPJS sebagai pengelola aset DJS Jaminan Hari Tua; dan
  5. DJS Ketenagakerjaan Program Jaminan Pensiun untuk BPJS sebagai pengelola aset DJS Jaminan Pensiun.
(6) Ketentuan mengenai penerbitan atau perubahan data Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 3

(1) Hasil investasi atau pengembangan dana dari aset DJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan aset DJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak yang membayarkan atau yang memberikan penghasilan.
(2) Untuk tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS harus menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dan ayat (5) huruf b sampai dengan huruf e.


Pasal 4

(1) BPJS harus melaporkan rincian hasil investasi atau pengembangan dana yang tidak dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat kantor pusat BPJS terdaftar.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan paling lambat:
  1. akhir bulan Juli untuk pelaporan periode bulan Januari sampai dengan bulan Juni; dan
  2. akhir bulan Januari tahun berikutnya untuk pelaporan periode bulan Juli sampai dengan bulan Desember.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 


Pasal 5

(1) Pajak Penghasilan yang telah dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang diterima atau diperoleh sejak tanggal 30 Desember 2016 sampai dengan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, serta telah disetor dan dilaporkan oleh pemotong Pajak Penghasilan, dapat dimintakan pengembalian oleh BPJS.
(2) Pengembalian Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan mekanisme pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 6

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Oktober 2017
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 24 Oktober 2017

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1462