TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 115/PMK.03/2021
TENTANG
TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA
PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS, TATA CARA PEMBAYARAN
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG
BERSIFAT STRATEGIS YANG TELAH DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI YANG DIGUNAKAN TIDAK SESUAI DENGAN TUJUAN
SEMULA ATAU DIPINDAHTANGANKAN, DAN PENGENAAN SANKSI ATAS
KETERLAMBATAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS, TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG TELAH DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI YANG DIGUNAKAN TIDAK SESUAI DENGAN TUJUAN SEMULA ATAU DIPINDAHTANGANKAN, DAN PENGENAAN SANKSI ATAS KETERLAMBATAN PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan PPN. |
(2) | Pembebasan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
(3) | SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan atas:
|
(4) | SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan kepada:
|
(5) | SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan kepada:
|
(6) | Atas SKB PPN yang telah diterbitkan kepada PKP yang menghasilkan BKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC, Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan:
|
(7) | Terhadap impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik yang telah memperoleh fasilitas pembebasan PPN dengan menggunakan SKB PPN, namun atas:
|
BAB II
TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS DIBEBASKAN DARI
PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR
DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU
YANG BERSIFAT STRATEGIS
Pasal 3
(1) | BKP tertentu yang bersifat strategis yang atas impornya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
|
(2) | BKP tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) meliputi:
|
Pasal 4
(1) | Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan menggunakan SKB PPN. |
(2) | Pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf j, serta Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan huruf l, dilakukan tanpa menggunakan SKB PPN. |
Pasal 5
(1) | Kriteria Mesin dan Peralatan pabrik yang atas impor dan/atau penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a, harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Suku cadang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan komponen dari Mesin atau Peralatan yang dicadangkan untuk perbaikan atau penggantian bagian Mesin atau Peralatan yang mengalami kerusakan. |
(3) | Termasuk dalam kriteria Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa unit pembangkit listrik yang merupakan bagian terintegrasi dari industri pengolahan yang sudah memiliki izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin pengoperasian yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(4) | Industri pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi, dan/atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir, termasuk jasa industri/maklun dan pekerjaan perakitan. |
Pasal 6
(1) | Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a dan Pasal 3 ayat (2) huruf a diberikan pembebasan dari pengenaan PPN dengan menggunakan SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dengan ketentuan Mesin dan Peralatan pabrik tersebut:
|
||||
(2) | Untuk memperoleh fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PKP atau Penyedia Pekerjaan EPC harus memiliki SKB PPN yang dilampiri RKIP yang telah disetujui:
|
||||
(3) | Dalam hal terdapat penerimaan pembayaran oleh PKP penjual yang terjadi sebelum penerbitan SKB PPN yang dilampiri RKIP yang telah disetujui atas penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN diberikan atas bagian PPN yang belum terutang. | ||||
(4) | Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2, harus diserahkan oleh Penyedia Pekerjaan EPC kepada Pemilik Proyek sesuai dengan ketentuan dalam kontrak Pekerjaan EPC, yang dibuktikan dengan berita acara serah terima dari Penyedia Pekerjaan EPC kepada Pemilik Proyek. | ||||
(5) | Dalam hal impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh Penyedia Pekerjaan EPC yang merupakan pihak yang melakukan transaksi dengan pihak penyedia di luar negeri atau PKP penjual, pembebasan pengenaan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2 dapat diberikan sepanjang dibuktikan dengan kontrak pembelian atau dokumen yang disamakan dengan kontrak pembelian antara Penyedia Pekerjaan EPC dan pihak penyedia di luar negeri atau PKP penjual. |
Pasal 7
(1) | Atas perolehan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b angka 2, Faktur Pajak dibuat dengan mencantumkan Penyedia Pekerjaan EPC sebagai pembeli BKP. |
(2) | Dalam hal Penyedia Pekerjaan EPC merupakan KSO, perolehan Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh anggota KSO atau KSO sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam kontrak Pekerjaan EPC. |
(3) | Atas perolehan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Faktur Pajak harus dibuat dengan mencantumkan anggota KSO yang melakukan perolehan atau KSO sebagai pembeli BKP. |
Pasal 8
(1) | Atas impor Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2 dan huruf b angka 2, Penyedia Pekerjaan EPC merupakan pemilik barang dalam pemberitahuan pabean dalam rangka impor. |
(2) | Dalam hal Penyedia Pekerjaan EPC merupakan KSO, impor Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh anggota KSO yang memiliki angka pengenal impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, yang diatur dalam kontrak Pekerjaan EPC. |
(3) | Atas impor Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
Pasal 9
(1) | Penyedia Pekerjaan EPC melakukan penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik yang:
|
(2) | Atas penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai PPN. |
(3) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung menggunakan dasar pengenaan pajak sebesar nilai impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik oleh Penyedia Pekerjaan EPC. |
(4) | Dalam hal terdapat margin dan nilai tambah lain yang diperoleh atau ditambahkan oleh Penyedia Pekerjaan EPC dalam fungsi pengadaan (procurement), margin dan nilai tambah lain tersebut diperhitungkan ke dalam tagihan Jasa. |
Pasal 10
(1) | Untuk memperoleh SKB PPN atas impor Mesin dan Peralatan pabrik yang juga diajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 1, PKP harus terlebih dahulu memiliki Masterlist. |
(2) | Dalam hal PKP merupakan Pemilik Proyek yang menunjuk Penyedia Pekerjaan EPC untuk melaksanakan Pekerjaan EPC sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a angka 2, Penyedia Pekerjaan EPC memperoleh SKB PPN atas impor atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik setelah Pemilik Proyek:
|
(3) | Masterlist sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf a diterbitkan berdasarkan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk atas impor Mesin dan Peralatan pabrik yang disampaikan PKP atau Pemilik Proyek secara elektronik melalui sistem informasi yang disediakan oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. |
(4) | PKP atau Pemilik Proyek yang telah memperoleh Masterlist dapat mengajukan permohonan SKB PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik melalui SINSW, segera setelah Masterlist diterbitkan melalui sistem informasi yang disediakan oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti apabila PKP:
|
(6) | Permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan dengan melengkapi informasi dan memilih Mesin dan Peralatan pabrik yang diajukan permohonan fasilitas pembebasan PPN dari Masterlist sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(7) | Dalam permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) atas impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal, PKP atau Pemilik Proyek harus melengkapi informasi dengan cara:
|
(8) | Dalam hal impor dan/atau penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh PKP atau Penyedia Pekerjaan EPC untuk industri pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum, PKP atau Pemilik Proyek harus menyampaikan tambahan informasi selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan cara mengunggah:
|
(9) | Dalam hal impor Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh Penyedia Pekerjaan EPC sebagai bagian dari kontrak Pekerjaan EPC dengan Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemilik Proyek menyampaikan informasi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Penyedia Pekerjaan EPC. |
(10) | Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) harus telah disampaikan pada saat pengajuan permohonan pembebasan fasilitas dibebaskan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(11) | Daftar Mesin dan Peralatan pabrik yang dipilih untuk diajukan permohonan fasilitas pembebasan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan RKIP yang menjadi satu kesatuan dengan permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
Pasal 11
(1) | Berdasarkan permohonan SKB PPN yang dilengkapi RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (11), Direktorat Jenderal Pajak secara otomatis melalui SINSW menerbitkan SKB PPN beserta RKIP yang telah disetujui bagi:
|
(2) | SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sampai dengan batas waktu berlakunya Masterlist. |
(3) | PKP atau Pemilik Proyek sebagai pihak yang memiliki SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus membuat Laporan Realisasi Impor dan Perolehan. |
(4) | Dalam hal terjadi perubahan lokasi proyek, SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tidak berlaku dan PKP atau Pemilik Proyek sebagai pihak yang memiliki SKB PPN harus mengajukan permohonan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru. |
(5) | Ketentuan untuk mengajukan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku dalam hal PKP atau Pemilik Proyek:
|
(6) | Dalam hal Mesin dan Peralatan pabrik yang telah diimpor atau diperoleh oleh Penyedia Pekerjaan EPC belum diserahkan kepada Pemilik Proyek dan masa berlaku SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b telah berakhir, Pemilik Proyek harus mengajukan permohon SKB PPN tanpa didahului dengan pengajuan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b angka 1. |
(7) | Ketentuan mengenai contoh format SKB PPN bagi PKP atau Pemilik Proyek yang juga mengajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 12
(1) | Setelah Pemilik Proyek memperoleh SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b, Penyedia Pekerjaan EPC selanjutnya dapat mengajukan permohonan SKB PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik melalui SINSW dengan:
|
(2) | Penyedia Pekerjaan EPC mengunduh RKIP Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan melengkapi dengan informasi:
|
(3) | Unduhan RKIP Pemilik Proyek yang sudah ditambahkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi RKIP yang merupakan satu kesatuan dengan permohonan SKB PPN dari Penyedia Pekerjaan EPC. |
(4) | Berdasarkan permohonan SKB PPN yang dilengkapi RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan secara elektronik melalui SINSW menerbitkan:
|
(5) | SKB PPN bagi Penyedia Pekerjaan EPC sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a berlaku terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal berakhirnya SKB PPN bagi Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b. |
(6) | Penyedia Pekerjaan EPC yang memperoleh SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus membuat:
|
(7) | Penyedia Pekerjaan EPC harus melakukan penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik kepada Pemilik Proyek sesuai dengan kontrak Pekerjaan EPC. |
(8) | Penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan penyerahan BKP yang dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(9) | Dalam hal terjadi perubahan lokasi proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), SKB PPN bagi Penyedia Pekerjaan EPC sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dinyatakan tidak berlaku, dan Penyedia Pekerjaan EPC harus mengajukan permohonan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru setelah Pemilik Proyek memiliki SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a di lokasi proyek yang baru. |
(10) | Ketentuan mengenai contoh format SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 13
(1) | Untuk memperoleh SKB PPN atas impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik yang tidak diajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, PKP atau Pemilik Proyek harus mengajukan permohonan SKB PPN yang dilampiri dengan RKIP kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik melalui SINSW. | ||||
(2) | Dalam hal impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh Penyedia Pekerjaan EPC sebagai bagian dari kontrak Pekerjaan EPC dengan Pemilik Proyek, Pemilik Proyek menyampaikan informasi berupa nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak Penyedia Pekerjaan EPC pada saat mengajukan permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(3) | RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi mengenai jumlah dan jenis Mesin dan Peralatan pabrik yang akan diimpor dan/atau diperoleh. | ||||
(4) | Dalam permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PKP atau Pemilik Proyek menyampaikan informasi dengan cara:
|
||||
(5) | Dalam hal impor dan/atau penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik dilakukan oleh PKP atau Penyedia Pekerjaan EPC untuk industri pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum, PKP atau Pemilik Proyek harus menyampaikan tambahan informasi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan cara mengunggah:
|
||||
(6) | Berdasarkan permohonan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan secara elektronik melalui SINSW menerbitkan:
|
||||
(7) | SKB PPN bagi PKP yang menghasilkan BKP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a angka 1 berlaku 1 (satu) tahun takwim, yaitu untuk periode:
|
||||
(8) | SKB PPN bagi Pemilik Proyek yang berkontrak dengan Penyedia Pekerjaan EPC sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a angka 2 berlaku 2 (dua) tahun takwim, yaitu untuk periode:
|
||||
(9) | PKP atau Pemilik Proyek sebagai pihak yang memiliki SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a harus membuat Laporan Realisasi Impor dan Perolehan. | ||||
(10) | Dalam hal terjadi perubahan lokasi proyek, SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dinyatakan tidak berlaku, dan PKP atau Pemilik Proyek sebagai pihak yang memiliki SKB PPN harus mengajukan permohonan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru. | ||||
(11) | Ketentuan untuk mengajukan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (10) tidak berlaku apabila PKP atau Pemilik Proyek:
|
||||
(12) | Ketentuan mengenai contoh format SKB PPN bagi PKP atau Pemilik Proyek yang tidak mengajukan permohonan fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 14
(1) | Setelah Pemilik Proyek memperoleh SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf a angka 2, Penyedia Pekerjaan EPC dapat mengajukan permohonan SKB PPN kepada Direktorat Jenderal Pajak secara elektronik melalui SINSW dengan:
|
(2) | Penyedia Pekerjaan EPC mengunduh RKIP Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan melengkapi dengan informasi:
|
(3) | Unduhan RKIP Pemilik Proyek yang sudah ditambahkan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi RKIP yang merupakan satu kesatuan dengan permohonan SKB PPN dari Penyedia Pekerjaan EPC. |
(4) | Berdasarkan permohonan SKB PPN yang dilengkapi RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak melakukan verifikasi kelengkapan dokumen dan secara elektronik melalui SINSW menerbitkan:
|
(5) | SKB PPN bagi Penyedia Pekerjaan EPC sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a berlaku terhitung sejak tanggal diterbitkan sampai dengan tanggal berakhirnya SKB PPN bagi Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf a angka 2. |
(6) | Penyedia Pekerjaan EPC yang memperoleh SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus membuat:
|
(7) | Penyedia Pekerjaan EPC harus melakukan penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik kepada Pemilik Proyek sesuai dengan kontrak Pekerjaan EPC. |
(8) | Penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(9) | Dalam hal terjadi perubahan lokasi proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (10), SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dinyatakan tidak berlaku, dan Penyedia Pekerjaan EPC harus mengajukan permohonan SKB PPN kembali di lokasi proyek yang baru setelah Pemilik Proyek memiliki SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf a angka 2 di lokasi proyek yang baru. |
Pasal 15
(1) | Atas impor Mesin dan Peralatan pabrik, PKP yang melakukan impor menyatakan dalam RKIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (11), Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (2) yang disampaikan secara elektronik bahwa Mesin dan Peralatan pabrik diimpor secara utuh atau dalam keadaan terlepas. |
(2) | Dalam hal Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diimpor atau diperoleh secara utuh, jenis barang dalam RKIP diisi dengan informasi berupa jenis Mesin dan Peralatan pabrik. |
(3) | Dalam hal Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diimpor atau diperoleh dalam keadaan terlepas, jenis barang dalam RKIP diisi dengan informasi berupa:
|
(4) | Dalam hal Mesin dan Peralatan pabrik diimpor dalam keadaan terlepas tanpa disertai jenis barang komponen dari Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), SKB PPN tidak dapat digunakan untuk memperoleh fasilitas pembebasan PPN. |
(5) | Atas impor Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap terutang PPN dan harus dilakukan pemungutan PPN. |
(6) | Ketentuan mengenai contoh format RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 16
(1) | PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP |
(2) | PKP atau Pemilik Proyek yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dengan SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP dalam hal terdapat perubahan berupa penambahan pada:
|
(3) | PKP atau Pemilik Proyek yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dengan SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) huruf a dapat mengajukan permohonan perubahan RKIP, dalam hal terdapat perubahan berupa penambahan pada:
|
(4) | Penyedia Pekerjaan EPC mengajukan permohonan perubahan RKIP atas:
|
(5) | Dalam pengajuan permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, PKP atau Pemilik Proyek harus mengunggah dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dan ayat (5) melalui SINSW. |
(6) | Berdasarkan permohonan perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Direktur Jenderal Pajak secara otomatis memberikan persetujuan RKIP secara elektronik melalui SINSW. |
(7) | Ketentuan mengenai contoh format perubahan RKIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 17
(1) | PKP, Pemilik Proyek, dan Penyedia Pekerjaan EPC yang mendapatkan fasilitas SKB PPN harus menyampaikan Laporan Realisasi Impor dan Perolehan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), Pasal 12 ayat (6) huruf a, Pasal 13 ayat (9), dan Pasal 14 ayat (6) huruf a setiap tahun, paling lama akhir bulan Januari setelah tahun takwim yang bersangkutan. |
(2) | Atas RKIP yang merupakan lampiran dari SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (11), Pasal 12 ayat (3), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 14 ayat (3), pemanfaatan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dilakukan dengan:
|
(3) | Realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan realisasi perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan dasar penyusunan Laporan Realisasi Impor dan Perolehan oleh PKP. |
(4) | PKP melengkapi data realisasi impor dan perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan mengunggah realisasi impor dan perolehan tersebut melalui SINSW. |
(5) | Unggahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Laporan Realisasi Impor dan Perolehan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(6) | Atas Laporan Realisasi Impor dan Perolehan Mesin dan Peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan tanda terima secara elektronik. |
(7) | Penyedia Pekerjaan EPC harus membuat laporan realisasi penyerahan Mesin dan Peralatan pabrik kepada Pemilik Proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (6) huruf b dan Pasal 14 ayat (6) huruf b setiap tahun, paling lama akhir bulan Januari setelah tahun takwim yang bersangkutan. |
(8) | Ketentuan mengenai contoh format:
|
Pasal 18
(1) | Pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j diberikan kepada Orang Pribadi. |
(2) | Untuk mendapatkan pembebasan dari pengenaan PPN atas penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Orang Pribadi harus menyampaikan pernyataan kepada PKP yang melakukan penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebelum:
|
(3) | Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus sudah memiliki kode identifikasi rumah dalam sistem aplikasi informasi pengembang perumahan yang disediakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(4) | Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(5) | Unit hunian pertama yang dimiliki sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf b merupakan unit hunian pertama yang dimiliki oleh Orang Pribadi:
|
(6) | Ketentuan mengenai contoh format surat pernyataan bermeterai:
|
Pasal 19
(1) | PKP yang melakukan impor Mesin dan Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, harus mencantumkan informasi nomor SKB PPN yang menjadi dasar pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dalam pemberitahuan pabean dalam rangka impor barang. |
(2) | PKP yang melakukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, wajib menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat:
|
(4) | Dalam hal keterangan "PPN DIBEBASKAN SESUAI PP NOMOR 81 TAHUN 2015 SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PP 48 TAHUN 2020" belum tersedia dalam aplikasi pembuatan Faktur Pajak, PKP dapat melakukan pembaharuan atas keterangan yang dapat dicantumkan di Faktur Pajak melalui aplikasi dimaksud. |
(5) | Terhadap Faktur Pajak yang dibuat atas penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(6) | Dalam hal Faktur Pajak atau dokumen yang dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis diperlakukan sebagai impor dan/atau penyerahan yang tidak memperoleh fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN. |
(7) | Ketentuan mengenai contoh transaksi dan pembuatan Faktur Pajak bagi Penyedia Pekerjaan EPC pada saat penyerahan kepada Pemilik Proyek atas Mesin dan Peralatan pabrik yang memperoleh fasilitas pembebasan PPN dan Jasa yang tidak mendapatkan fasilitas pembebasan PPN, tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
BAB III
TATA CARA PENGGANTIAN, PEMBATALAN, DAN
PENCABUTAN SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI SERTA PEMBAYARAN KEMBALI,
PENGKREDITAN, DAN PENGENAAN SANKSI
Pasal 20
(1) | Kepala kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKB PPN Pengganti dalam hal terdapat kesalahan penerbitan SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (4) huruf a, Pasal 13 ayat (6) huruf a, dan Pasal 14 ayat (4) huruf a. |
(2) | Penerbitan SKB PPN Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara jabatan atau berdasarkan permohonan PKP yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui SINSW. |
(3) | Kesalahan penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Kepala kantor pelayanan pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian dan memberikan keputusan berupa penerbitan:
|
(5) | SKB PPN Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku terhitung sejak tanggal mulai berlakunya SKB PPN yang dilakukan penggantian. |
(6) | Ketentuan mengenai contoh format SKB PPN Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 21
(1) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC tidak berhak mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (4) huruf a, Pasal 13 ayat (6) huruf a, dan Pasal 14 ayat (4) huruf a, kepala kantor pelayanan pajak tempat PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC dikukuhkan atas nama Direktur Jenderal Pajak membatalkan pemberian fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN dengan menerbitkan surat keterangan pembatalan SKB PPN disertai alasan tertulis pembatalan SKB PPN. |
(2) | Dalam hal diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Mesin dan Peralatan pabrik tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, baik sebagian maupun seluruhnya, kepala kantor pelayanan pajak tempat PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC dikukuhkan atas nama Direktur Jenderal Pajak:
|
(3) | Atas pembatalan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b, PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC wajib membayar PPN yang dibebaskan dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara paling lama 1 (satu) bulan sejak surat keterangan pembatalan SKB PPN diterbitkan. |
(4) | Atas imbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC wajib membayar PPN yang dibebaskan dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara paling lama 1 (satu) bulan sejak dikirimkannya imbauan. |
(5) | Dalam hal PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC tidak melakukan pembayaran PPN yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), kantor pelayanan pajak tempat PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC dikukuhkan mengusulkan dilakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(6) | PPN yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | Ketentuan mengenai contoh format surat keterangan pembatalan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 22
(1) | Dalam hal dilakukan pencabutan pengukuhan PKP terhadap PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC dalam periode masa berlakunya SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Pasal 12 ayat (5), Pasal 13 ayat (7) dan ayat (8), dan Pasal 14 ayat (5), kepala kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keterangan pencabutan SKB PPN yang berlaku terhitung sejak tanggal pencabutan pengukuhan PKP. |
(2) | Sisa kuota yang belum direalisasikan dari SKB PPN yang telah dilakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan untuk memperoleh fasilitas pembebasan dari pengenaan PPN. |
(3) | PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC wajib membayar PPN terutang yang telah diberikan pembebasan PPN setelah penerbitan surat keterangan pencabutan SKB PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Dalam hal pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena tempat terutang PPN tersebut telah dipusatkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai pemusatan tempat PPN terutang, kepala kantor pelayanan pajak tempat pemusatan PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC menerbitkan SKB PPN baru secarajabatan atas sisa kuota. |
Pasal 23
(1) | PPN terutang atas impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik yang telah mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dengan menggunakan SKB PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (4) huruf a, Pasal 13 ayat (6) huruf a, dan Pasal 14 ayat (4) huruf a wajib dibayar, apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terhitung sejak saat impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik tersebut:
|
(2) | Dikecualikan dari kewajiban membayar kembali PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam hal Mesin dan Peralatan pabrik tersebut dipindahtangankan oleh PKP pusat ke PKP cabang atau sebaliknya dan/atau antar PKP cabang dari Wajib Pajak sepanjang digunakan sesuai dengan tujuan semula. |
(3) | PPN yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terutang pada saat impor dan/atau penyerahan yaitu pada saat Faktur Pajak atau dokumen yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dibuat. |
(4) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh PKP yang menghasilkan BKP atau Pemilik Proyek yang melakukan impor dan/atau perolehan Mesin dan Peralatan pabrik dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak Mesin dan Peralatan pabrik digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan kepada pihak lain sebagian atau seluruhnya. |
(5) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara. |
(6) | Atas keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenai sanksi administrasi berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | PPN yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dikreditkan. |
Pasal 24
(1) | PKP, Pemilik Proyek, atau Penyedia Pekerjaan EPC wajib membayar PPN terutang yang tidak atau kurang dibayar, dalam hal:
|
(2) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, huruf f, dan huruf g terutang pada saat dilakukannya impor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d terutang pada saat Mesin dan Peralatan pabrik yang diserahkan kepada pihak selain Pemilik Proyek diimpor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(4) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak saat Mesin dan Peralatan pabrik diimpor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak saat Mesin dan Peralatan pabrik diserahkan kepada pihak selain Pemilik Proyek diimpor atau saat terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(6) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(7) | PPN yang sudah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(8) | Pengkreditan PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan pada Masa Pajak dilakukannya pembayaran. |
Pasal 25
(1) | PPN terutang atas perolehan Rumah Susun Sederhana Milik yang telah dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, wajib dibayar apabila diperoleh data dan/atau informasi yang menunjukkan bahwa Orang Pribadi tidak berhak memperoleh fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atas penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j. |
(2) | Kepala kantor pelayanan pajak tempat Orang Pribadi diadministrasikan dalam hal Orang Pribadi memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak atau kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi domisili Orang Pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas nama Direktur Jenderal Pajak mengimbau Orang Pribadi untuk membayar PPN terutang atas perolehan Rumah Susun Sederhana Milik yang tidak berhak memperoleh fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
(3) | Saat terutangnya PPN yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada saat penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf j. |
(4) | Pembayaran atas PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Orang Pribadi meskipun tidak dilakukan imbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalamjangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak imbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan. |
(6) | PPN terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara. |
Pasal 26
(1) | PPN terutang atas perolehan Rumah Susun Sederhana Milik yang telah mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 wajib dibayar, apabila dalam jangka waktu 4 (empat) tahun terhitung sejak saat perolehan Rumah Susun Sederhana Milik tersebut:
|
(2) | PPN yang wajib dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar keseluruhan PPN dan terutang pada saat penyerahan Rumah Susun Sederhana Milik dari PKP penjual kepada pembeli. |
(3) | Pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetorkan ke kas negara dengan menggunakan surat setoran pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat setoran pajak berupa bukti penerimaan negara paling lama akhir bulan berikutnya terhitung sejak Rumah Susun Sederhana Milik tersebut:
|
(4) | Atas keterlambatan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administrasi berupa bunga terhitung sejak saat terutang hingga dilakukannya pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | PPN yang telah dibayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dikreditkan. |
Pasal 27
Kepala kantor pelayanan pajak, menerbitkan:
Pasal 28
Pajak masukan yang berkaitan dengan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak dapat dikreditkan.
Pasal 29
Dalam hal PPN yang terutang atas impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 telah dipungut atau dibayar, berlaku ketentuan sebagai berikut:
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 30
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 31
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 268/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemberian Fasilitas Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis dan Tata Cara Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Telah Dibebaskan Serta Pengenaan Sanksi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2066), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 32
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 2021.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 31 Agustus 2021 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. BENNY RIYANTO |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Agustus 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI |
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 987