Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.04/2019

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11/PMK.04/2019

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 229/PMK.04/2017 TENTANG TATA CARA PENGENAAN TARIF
BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR BERDASARKAN PERJANJIAN ATAU
KESEPAKATAN INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa untuk melaksanakan Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang berasal dari Wilayah Palestina (Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The State of Palestine on Trade Facilitation for Certain Products Originating from Palestinian Territories) yang telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2018, perlu menetapkan tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berupa produk tertentu dari wilayah Palestina;
  2. bahwa untuk melaksanakan First Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New-Zealand Free Trade Area (Protokol Perubahan Pertama terhadap Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru) yang telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2018, perlu melakukan penyempurnaan terhadap tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New-Zealand Free Trade Area;
  3. bahwa ketentuan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 nomor 75 Tambahan lembaran negara nomor 3612);
  2. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2018 tentang Memorandum Saling Pengertian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Palestina tentang Fasilitasi Perdagangan untuk Produk Tertentu yang berasal dari Wilayah Palestina (Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The State of Palestine on Trade Facilitation for Certain Products Originating from Palestinian Territories) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 58);
  3. Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2018 tentang Pengesahan First Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New-Zealand Free Trade Area (Protokol Perubahan Pertama terhadap Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 202);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1980);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 229/PMK.04/2017 TENTANG TATA CARA PENGENAAN TARIF BEA MASUK ATAS BARANG IMPOR BERDASARKAN PERJANJIAN ATAU KESEPAKATAN INTERNASIONAL.



Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1980), diubah sebagai berikut:


1. Ketentuan angka 22 Pasal 1 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
  2. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
  3. Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  4. Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
  5. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan.
  6. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  7. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
  8. Tempat Penimbunan Berikat yang selanjutnya disingkat TPB adalah bangunan, tempat, atau kawasan, yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
  9. Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah TPB untuk menimbun barang asal luar Daerah Pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai dengan 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
  10. Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan TPB.
  11. Importir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang melakukan kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean.
  12. Penyelenggara/Pengusaha TPB adalah:
    1. penyelenggara kawasan berikat sekaligus pengusaha kawasan berikat;
    2. pengusaha di kawasan berikat merangkap penyelenggara di kawasan berikat;
    3. penyelenggara gudang berikat sekaligus pengusaha gudang berikat; atau
    4. pengusaha di gudang berikat merangkap penyelenggara di gudang berikat.
  13. Penyelenggara/Pengusaha PLB adalah:
    1. penyelenggara PLB;
    2. penyelenggara PLB sekaligus pengusaha PLB; atau
    3. pengusaha di PLB merangkap sebagai penyelenggara di PLB.
  14. Tarif Preferensi adalah tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional yang besarnya ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
  15. Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA adalah dokumen pelengkap pabean yang digunakan sebagai dokumen pendukung dalam penelitian SKA, yaitu invoice, packing list, Bill of Lading/Airway Bill, dan dokumen lain yang dipersyaratkan untuk pemenuhan ketentuan asal barang dalam rangka pengenaan Tarif Preferensi.
  16. PPFTZ dengan Kode 01 yang selanjutnya disebut PPFTZ-01 adalah pemberitahuan pabean untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dari dan ke luar Daerah Pabean, dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke TLDDP.
  17. Harmonized Commodity Description and Coding System yang selanjutnya disebut Harmonized System (HS) adalah standar internasional atas sistem penamaan dan penomoran yang digunakan untuk pengklasifikasian produk perdagangan dan turunannya yang dikelola oleh World Customs Organization (WCO).
  18. Penelitian Ulang adalah penelitian kembali atas tarif dan/atau nilai pabean yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean impor dan penelitian kembali atas tarif, harga, jenis, dan/atau jumlah barang yang diberitahukan dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor melalui pengujian dengan data, informasi dan dokumen lain terkait.
  19. Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
  20. Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
  21. Ketentuan Asal Barang (Rules of Origin) yang selanjutnya disebut Ketentuan Asal Barang adalah ketentuan khusus yang ditetapkan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional yang diterapkan oleh suatu negara untuk menentukan negara asal barang.
  22. Aturan Khusus Produk (Product Specific Rules) yang selanjutnya disebut PSR adalah aturan yang merinci mengenai:
    1. proses produksi suatu barang yang menggunakan bahan non-originating, di mana bahan non-originating tersebut telah mengalami perubahan klasifikasi;
    2. barang yang proses produksinya menggunakan bahan non-originating yang memenuhi kriteria kandungan regional atau bilateral sejumlah nilai tertentu yang dinyatakan dalam persentase;
    3. barang yang mengalami suatu proses operasional tertentu; atau
    4. kombinasi dari setiap kriteria tersebut.
  23. Negara Anggota adalah negara yang menandatangani perjanjian atau kesepakatan internasional dalam rangka perdagangan barang.
  24. Bahan Originating adalah bahan yang memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai dengan masing-masing perjanjian atau kesepakatan internasional yang disepakati.
  25. Barang Originating adalah barang yang memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai dengan masing-masing perjanjian atau kesepakatan internasional yang disepakati.
  26. Bahan Non-Originating adalah bahan yang berasal dari luar Negara Anggota atau bahan yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai dengan masing-masing perjanjian atau kesepakatan internasional yang disepakati.
  27. Barang Non-Originating adalah barang yang berasal dari luar Negara Anggota atau barang yang tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang sesuai masing-masing perjanjian atau kesepakatan internasional yang disepakati.
  28. Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) yang selanjutnya disebut SKA adalah dokumen pelengkap pabean yang diterbitkan oleh Instansi Penerbit SKA yang menyatakan bahwa barang yang akan memasuki Daerah Pabean dapat diberikan Tarif Preferensi.
  29. Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal yang selanjutnya disebut Instansi Penerbit SKA adalah instansi pemerintah atau institusi yang ditunjuk pemerintah di Negara Anggota pengekspor yang diberi kewenangan untuk menerbitkan SKA atas barang yang akan diekspor.
  30. Overleaf Notes adalah halaman sebalik SKA yang berisi ketentuan mengenai pengisian SKA dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SKA.
  31. Eksportir Bersertifikat (Certified Exporter) yang selanjutnya disebut Eksportir Bersertifikat adalah eksportir produsen yang berhak untuk menerbitkan invoice declaration, di mana eksportir tersebut telah disertifikasi oleh Instansi Penerbit SKA yang juga memiliki kewenangan untuk menerbitkan sertifikasi mandiri.
  32. Sertifikasi Mandiri (Self Certification) yang selanjutnya disebut Sertifikasi Mandiri adalah skema pernyataan asal barang dalam bentuk invoice yang dibuat oleh Eksportir Bersertifikat, yang di dalamnya terdapat pernyataan bahwa barang yang akan memasuki Daerah Pabean dapat diberikan Tarif Preferensi.
  33. Invoice Declaration adalah pernyataan dari Eksportir Bersertifikat yang menyatakan bahwa barang di dalam invoice dapat diberikan Tarif Preferensi.
  34. ASEAN Single Window yang selanjutnya disingkat ASW adalah suatu lingkungan (environment) di mana sistem National Single Window dari Negara Anggota ASEAN dioperasikan dan diintegrasikan sehingga mampu meningkatkan kinerja penanganan atas lalu lintas barang antar Negara Anggota ASEAN, untuk mendorong percepatan proses customs clearance dan cargo release.
  35. Surat Keterangan Asal Elektronik Form D yang selanjutnya disebut e-Form D adalah SKA Form D yang disusun sesuai dengan e-ATIGA Form D Process Specification and Message Implementation Guideline, dan dikirim secara elektronik antar Negara Anggota ASEAN melalui ASW sesuai dengan ketentuan mengenai keamanan dan kerahasiaan informasi.
  36. Penerbitan Invoice dari Negara/Pihak Ketiga (Third Country Invoicing/Third Party Invoicing) yang selanjutnya disebut Third Country Invoicing/Third Party Invoicing adalah penerbitan invoice oleh perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga (baik Negara Anggota atau bukan Negara Anggota) atau yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA.
  37. Surat Keterangan Asal Back-to-Back (Back-to-Back Certificate of Origin) atau Movement Certificate yang selanjutnya disebut SKA Back-to-Back adalah SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor kedua berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
  38. Tanggal Pengapalan atau Tanggal Eksportasi adalah tanggal Bill of Lading untuk moda pengangkutan laut, tanggal Airway Bill untuk moda pengangkutan udara, atau tanggal dokumen pengangkutan darat untuk moda pengangkutan darat.
  39. Permintaan Retroactive Check adalah permintaan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada Instansi Penerbit SKA untuk mendapatkan informasi mengenai keasalan barang, baik terkait dengan Kriteria Asal Barang, tata cara pengisian SKA, dan/atau keabsahan SKA.
  40. Verification Visit adalah kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai di negara penerbit SKA untuk memperoleh data atau informasi mengenai validitas keasalan barang.
  41. Negara Anggota Peserta MOU 2nd SCPP adalah Negara Anggota yang berpartisipasi dalam pilot project kedua sistem Sertifikasi Mandiri skema ATIGA.
   
2. Ketentuan ayat (2) Pasal 2 diubah, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

(1) Barang impor dapat dikenakan Tarif Preferensi yang besarnya dapat berbeda dari tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN).
(2) Pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam skema:
  1. ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA);
  2. ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA);
  3. ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA);
  4. Indonesia-Japan    Economic Partnership Agreement (IJEPA);
  5. ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA);
  6. ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA);
  7. Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IPPTA);
  8. ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP); dan
  9. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The State of Palestine on Trade Facilitation for Certain Products Originating from Palestinian Territories.
(3) Besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
(4) Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap:
  1. impor barang untuk dipakai yang menggunakan pemberitahuan pabean impor berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
  2. impor barang untuk dipakai yang menggunakan pemberitahuan pabean impor berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari TPB, yang pada saat pemasukan barang ke TPB telah mendapatkan persetujuan untuk menggunakan Tarif Preferensi;
  3. impor barang untuk dipakai yang menggunakan pemberitahuan pabean impor berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dari PLB, yang pada saat pemasukan barang ke PLB telah mendapatkan persetujuan untuk menggunakan Tarif Preferensi; atau
  4. pengeluaran barang hasil produksi dari Kawasan Bebas ke TLDDP, sepanjang:
    1. bahan baku dan/atau bahan penolong berasal dari luar Daerah Pabean;
    2. pada saat pemasukan barang ke Kawasan Bebas telah mendapat persetujuan penggunaan Tarif Preferensi; dan
    3. dilakukan oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang telah memenuhi persyaratan sebagai pengusaha yang dapat menggunakan Tarif Preferensi.
(5) Pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d angka 3, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. memiliki izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan;
  2. melakukan pemasukan bahan baku dan/atau bahan penolong, dan sekaligus melakukan pengeluaran barang hasil produksi ke TLDDP;
  3. memiliki dan menerapkan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) yang dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara online dan realtime dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi;
  4. memiliki akses kepabeanan; dan
  5. menyampaikan konversi bahan baku menjadi barang jadi dan blueprint proses produksi yang telah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean yang mengawasi, pada saat barang akan dikeluarkan ke TLDDP.
   
3. Ketentuan ayat (3) Pasal 3 diubah, sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Untuk dapat diberikan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, barang yang diimpor harus memenuhi Ketentuan Asal Barang.
(2) Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:
  1. kriteria asal barang (origin criteria);
  2. kriteria pengiriman (consignment criteria); dan
  3. ketentuan prosedural (procedural provisions).
(3) Rincian lebih lanjut mengenai pemenuhan Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam skema:
  1. ASEAN Trade In Goods Agreement (ATIGA) tercantum dalam Lampiran I huruf A;
  2. ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) tercantum dalam Lampiran I huruf B;
  3. ASEAN-Korea Free Trade Area (AKFTA) tercantum dalam Lampiran I huruf C;
  4. Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) tercantum dalam Lampiran I huruf D;
  5. ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) tercantum dalam Lampiran I huruf E;
  6. ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) tercantum dalam Lampiran I huruf F;
  7. Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (IPPTA) tercantum dalam Lampiran I huruf G;
  8. ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) tercantum dalam Lampiran I huruf H; dan
  9. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The State of Palestine on Trade Facilitation for Certain Products Originating from Palestinian Territories tercantum dalam Lampiran I huruf I;
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
4. Ketentuan ayat (2) huruf a Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Negara Anggota pengekspor kedua dapat menerbitkan SKA Back-to-Back berdasarkan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
(2) SKA Back-to-Back sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. SKA Back-to-Back harus berisi informasi yang sama dengan SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama, kecuali jumlah barang dan nilai Free-on-Board (FOB);
  2. total jumlah barang yang tercantum pada SKA Back-to-Back tidak boleh melebihi jumlah barang yang tercantum pada SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama;
  3. masa berlaku SKA Back-to-Back tidak boleh melebihi masa berlaku SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama; dan
  4. nama eksportir yang tercantum dalam SKA Back-to-Back harus sama dengan nama Importir yang tercantum dalam SKA yang diterbitkan oleh Negara Anggota pengekspor pertama.
(3) Dalam hal informasi pada SKA Back-to-Back diragukan atau tidak lengkap, Pejabat Bea dan Cukai dapat meminta Importir untuk menyerahkan copy atau pindaian SKA atau hasil cetak e-Form D dari Negara Anggota pengekspor pertama.
   
5. Ketentuan ayat (3) dan ayat (4) Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Perusahaan lain yang berlokasi di negara ketiga atau perusahaan lain yang berlokasi di negara yang sama dengan negara tempat diterbitkannya SKA, dapat menerbitkan Third Country Invoicing/Third Party Invoicing.
(2) SKA yang menggunakan Third Country Invoicing/Third Party Invoicing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. penggunaan Third Country Invoicing/Third Party Invoicing harus dicantumkan dalam SKA;
  2. nama perusahaan dan negara pihak ketiga harus dicantumkan dalam SKA; dan
  3. nomor invoice pihak ketiga dicantumkan dalam SKA.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c tidak berlaku apabila perjanjian atau kesepakatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) tidak mewajibkan pencantuman penggunaan Third Country Invoicing/Third Party Invoicing dan pencantuman nomor invoice pihak ketiga dalam SKA.
(4) Dalam hal invoice dari pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c belum diterbitkan, pada SKA dapat dicantumkan nomor invoice negara asal barang.
   
6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 ditambahkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

(1) SKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat disampaikan secara elektronik oleh Instansi Penerbit SKA kepada Kantor Pabean.
(2) Dalam hal SKA disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. Importir dikecualikan dari pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a;
  2. Penyelenggara/Pengusaha TPB dikecualikan dari pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (5) huruf a dan huruf b;
  3. Penyelenggara/Pengusaha PLB dikecualikan dari pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) huruf a dan huruf b; atau
  4. Pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d angka 3 dikecualikan dari pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (7) huruf a.
   
7. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3) Pasal 11 diubah, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11

(1) Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, atau pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d angka 3, yang melakukan importasi dengan menggunakan skema e-Form D, wajib mencantumkan:
  1. kode fasilitas secara benar sesuai dengan skema perjanjian atau kesepakatan internasional yang digunakan; dan
  2. nomor dan tanggal e-Form D dengan benar pada:
    1. Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
    2. pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB;
    3. pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB; atau
    4. PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean.
(2) Dalam hal SKP belum tersedia, terjadi gangguan, atau kegagalan sistem, Pejabat Bea dan Cukai meminta hasil cetak atau pindaian e-Form D kepada Importir, Penyelenggara/Pengusaha TPB, Penyelenggara/Pengusaha PLB, atau pengusaha di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf d angka 3.
(3) Hasil cetak atau pindaian e-Form D sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disampaikan kepada Petugas Bea dan Cukai dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, hasil cetak atau pindaian e-Form D disampaikan paling lambat pada pukul 12.00 hari berikutnya; atau
  2. untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, hasil cetak atau pindaian e-Form D disampaikan paling lambat pada pukul 12.00 hari kerja berikutnya,
terhitung sejak tanggal permintaan hasil cetak atau pindaian e-Form D disampaikan.
   
8. Di antara Pasal 11 dan Pasal 12 ditambahkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 11A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11A

Tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan SKA yang disampaikan secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10A dilaksanakan sesuai dengan tata cara importasi dan penelitian atas penggunaan e-Form D.
   
9. Ketentuan ayat (4) Pasal 13 diubah, sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Penelitian terhadap SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D untuk pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi:
  1. pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
  2. pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6;
  3. pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11;
  4. jenis, jumlah, dan klasifikasi barang yang mendapatkan Tarif Preferensi;
  5. besaran tarif bea masuk yang diberitahukan berdasarkan Tarif Preferensi;
  6. kesesuaian antara data pada pemberitahuan pabean impor dan Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA dengan data pada SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D; dan
  7. kesesuaian antara fisik barang dengan uraian barang yang diberitahukan pada pemberitahuan pabean impor, SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, dan Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA, dalam hal barang impor dilakukan pemeriksaan fisik.
(2) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN).
(3) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan:
  1. total jumlah barang yang tercantum dalam pemberitahuan pabean impor lebih besar dari jumlah barang yang tercantum dalam SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, atas kelebihan jumlah barang tersebut dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);
  2. Tarif Preferensi yang diberitahukan berbeda dengan yang seharusnya dikenakan, Pejabat Bea dan Cukai menetapkan tarif bea masuk atas barang impor sesuai dengan tarif bea masuk yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional;
  3. spesifikasi barang yang tercantum dalam pemberitahuan pabean impor berbeda dengan spesifikasi barang yang tercantum dalam SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, atas barang impor yang berbeda tersebut dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);
  4. ketidaksesuaian antara fisik barang dengan uraian barang yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor, SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, dan Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA, atas barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN); atau
  5. klasifikasi barang yang tercantum dalam SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, berbeda dengan klasifikasi barang yang ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
    1. klasifikasi barang yang digunakan sebagai dasar pengenaan Tarif Preferensi adalah hasil penetapan Pejabat Bea dan Cukai;
    2. penelitian kriteria asal barang (origin criteria) yang terdapat dalam daftar PSR menggunakan klasifikasi barang hasil penetapan Pejabat Bea dan Cukai; dan
    3. Tarif Preferensi tetap dapat diberikan terhadap barang impor yang telah memenuhi Ketentuan Asal Barang, sepanjang klasifikasi barang yang ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
(4) SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D diragukan keabsahan dan kebenaran isinya, apabila berdasarkan hasil penelitian terdapat:
a. ketidaksesuaian antara tanda tangan pejabat yang menandatangani SKA atau Invoice Declaration dan/atau stempel antara SKA dengan specimen yang menimbulkan keraguan;
b. keraguan berkaitan dengan pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria);
c. keraguan berkaitan dengan pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria);
d. keraguan atas informasi pada SKA Back-to- Back;
e. ketidakmampuan Importir untuk menyerahkan:
  1. lembar copy atau pindaian SKA; atau
  2. hasil cetak e-Form D,
dari Negara Anggota pengekspor pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3); dan/atau
f. ketidaksesuaian informasi lainnya antara SKA, Invoice Declaration, e-Form D, atau Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA.
(5) Dalam hal SKA terdiri dari beberapa jenis barang, penolakan terhadap salah satu jenis barang tidak membatalkan pengenaan Tarif Preferensi atas jenis barang lain yang memenuhi Ketentuan Asal Barang.
   
10. Ketentuan ayat (1) Pasal 17 diubah, sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat melakukan Verification Visit sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian atau kesepakatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Dalam rangka pelaksanaan Verification Visit, Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk menyampaikan permintaan secara tertulis dengan mencantumkan informasi yang diminta kepada:
  1. Instansi Penerbit SKA atau instansi lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian atau kesepakatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2);
  2. badan yang berwenang; atau
  3. pihak lain yang terkait.
(3) Dalam hal hasil Verification Visit menunjukkan bahwa barang yang diimpor tidak memenuhi Ketentuan Asal Barang atau tidak mencukupi untuk membuktikan pemenuhan Ketentuan Asal Barang, Pejabat Bea dan Cukai melakukan tindak lanjut sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Pelaksanaan Verification Visit dapat melibatkan kementerian dan/atau lembaga terkait.
(5) Verification Visit tidak dapat dilaksanakan apabila perjanjian atau kesepakatan internasional tersebut tidak mengatur ketentuan mengenai mekanisme Verification Visit.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Verification Visit diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
   
11. Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Barang impor yang berasal dari:
  1. Negara Anggota dengan nilai Free-on-Board (FOB) tidak melebihi US$200.00 (dua ratus United States Dollar); atau
  2. Wilayah Palestina dengan nilai Ex-works tidak melebihi US$200.00 (dua ratus United States Dollar),
dapat diberikan Tarif Preferensi tanpa harus melampirkan SKA.
(2) Pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan, sepanjang importasi tersebut bukan merupakan bagian dari 1 (satu) atau lebih importasi lainnya yang bertujuan untuk menghindari kewajiban penyerahan SKA.
(3) Pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan terhadap barang impor yang menggunakan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB).
   
12. Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 ditambahkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27A

Surat Keterangan Asal yang telah diterbitkan sebelum berlakunya First Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New-Zealand Free Trade Area (Protokol Perubahan Pertama terhadap Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru), tata cara pengenaan tarifnya dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New-Zealand Free Trade Area (AANZFTA).
   
13. Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1980) diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

    

Pasal II

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Februari 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 6 Februari 2019

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 95