TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 109/PMK.05/2016
TENTANG
MEKANISME PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA NEGARA
YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN
DAN TENTARA NASIONAL INDONESIA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MEKANISME PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA NEGARA YANG BERSUMBER DARI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN PERTAHANAN DAN TENTARA NASIONAL INDONESIA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
MEKANISME PENYETORAN, PENGGUNAAN, PEMBAYARAN,
DAN PENCAIRAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) | PNBP pada Satker di lingkungan Kemhan dan TNI wajib disetor langsung ke Kas Negara. |
(2) | PNBP di lingkungan Kemhan dan TNI dikelola dalam sistem APBN. |
Bagian Kedua
Mekanisme Penyetoran dan Konfirmasi
Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pasal 3
(1) | Satker menyetorkan PNBP ke Kas Negara melalui Bank/Pos Persepsi. |
(2) | Dalam hal Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari beberapa Subsatker, Subsatker dapat menyetorkan PNBP ke Kas Negara atas nama Satker. |
Pasal 4
(1) | PNBP atas pelayanan kesehatan pada Rumah Sakit di lingkungan Kemhan dan TNI dari masyarakat yang menggunakan haknya sebagai peserta program Jaminan Kesehatan Nasional, disetor langsung oleh BPJS Kesehatan ke Kas Negara atas nama Satker. |
(2) | Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Satker/Subsatker. |
(3) | Penyetoran PNBP ke Kas Negara oleh BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat terpisah untuk masing-masing Rumah Sakit. |
(4) | BPJS Kesehatan menyampaikan fotokopi Bukti Penerimaan Negara atas setoran PNBP kepada Rumah Sakit dilampiri dengan informasi rincian penyetoran PNBP. |
(5) | Fotokopi Bukti Penerimaan Negara atas setoran PNBP dan informasi rincian penyetoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Rumah Sakit paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya sejak PNBP disetor ke Kas Negara. |
Pasal 5
Rumah Sakit yang merupakan Subsatker menyampaikan fotokopi Bukti Penerimaan Negara atas setoran PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) kepada Satker.
Pasal 6
(1) | Penyetoran PNBP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, dilakukan dengan pengisian surat setoran yang paling sedikit memuat:
|
(2) | Tata cara penyetoran PNBP ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara. |
Pasal 7
(1) | Dalam rangka memastikan setoran PNBP telah diterima di Kas Negara, KPPN memberikan konfirmasi setoran berdasarkan permintaan konfirmasi dari Satker. |
(2) | Konfirmasi setoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh KPPN mitra kerja Satker. |
(3) | Tata cara konfirmasi setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai prosedur konfirmasi setoran penerimaan negara. |
Bagian Ketiga
Mekanisme Penggunaan Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pasal 8
Satker di lingkungan Kemhan dan TNI dapat menggunakan dana PNBP untuk membiayai belanja Negara setelah memperoleh persetujuan dari Menteri Keuangan.
Pasal 9
(1) | Satker menggunakan dana PNBP sesuai dengan jenis PNBP dan pagu PNBP dalam DIPA. |
(2) | Pagu PNBP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan batas tertinggi yang dapat digunakan. |
(3) | Dalam hal realisasi PNBP melampaui target, Satker dapat menambah pagu PNBP dalam DIPA. |
(4) | Penambahan pagu PNBP dalam DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara revisi anggaran. |
Pasal 10
(1) | Besarnya dana PNBP untuk membiayai belanja Negara ditetapkan berdasarkan Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP pada Satker. |
(2) | Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP pada masing-masing Satker ditetapkan berdasarkan jumlah setoran PNBP pada masing-masing Satker ke Kas Negara. |
(3) | Setoran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan Bukti Penerimaan Negara atas setoran PNBP yang telah dikonfirmasi dengan KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1). |
Pasal 11
(1) | Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP pada Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), diperoleh dari formula sebagai berikut:
|
|||||||||||||||
(2) | Besaran Proporsi Pagu Pengeluaran (PPP) ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan. |
Pasal 12
(1) | Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya dari Satker, dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan tahun anggaran berjalan setelah DIPA disahkan dan berlaku efektif. |
(2) | Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari PNBP satu tahun anggaran sebelumnya. |
(3) | Sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperhitungkan dengan PNBP tahun anggaran berjalan. |
(5) | Penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Surat Pernyataan dari KPA dan disampaikan kepada Kepala KPPN. |
Pasal 13
(1) | Dalam hal penggunaan sisa Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP pada tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) mengakibatkan pagu PNBP dalam DIPA tidak mencukupi, Satker melakukan revisi anggaran. |
(2) | Revisi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). |
Bagian Keempat
Mekanisme Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak
Paragraf 1
Pembayaran Langsung
Pasal 14
(1) | Belanja yang bersumber dari penggunaan dana PNBP dilaksanakan melalui mekanisme Pembayaran LS. |
(2) | Dalam hal mekanisme Pembayaran LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan, pembayaran dilaksanakan dengan mekanisme UP. |
Pasal 15
(1) | Pembayaran dengan mekanisme Pembayaran LS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dilaksanakan untuk pembayaran tagihan dengan ketentuan:
|
(2) | Pembayaran dengan mekanisme Pembayaran LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan kepada:
|
Paragraf 2
Uang Persediaan
Pasal 16
Dalam rangka pembayaran dengan mekanisme UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Satker dapat diberikan UP dengan ketentuan sebagai berikut:
a. | 1/12 (satu per dua belas) dari pagu DIPA PNBP maksimal Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk pagu sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah); |
b. | 1/18 (satu per delapan belas) dari pagu DIPA PNBP maksimal Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk pagu di atas Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah); |
c. | 1/24 (satu per dua puluh empat) dari pagu DIPA PNBP maksimal Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) untuk pagu di atas Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); |
d. | 1/36 (satu per tiga puluh enam) dari pagu DIPA PNBP maksimal Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) untuk pagu di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); |
e. | 1/48 (satu per empat puluh delapan) dari pagu DIPA PNBP maksimal Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) untuk pagu di atas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
Pasal 17
Untuk Bendahara Pengeluaran yang dibantu BPP, dalam pengajuan UP ke KPPN harus melampirkan daftar rincian yang menyatakan jumlah UP yang dikelola oleh BPP.
Pasal 18
(1) | Dalam hal diperlukan, KPA dapat mengajukan permintaan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dapat memberikan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
|
Pasal 19
(1) | Pembayaran dengan UP yang dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran/BPP kepada satu penerima/penyedia barang dan/atau jasa paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) kecuali untuk pembayaran honorarium dan perjalanan dinas. |
(2) | Pada setiap akhir hari kerja uang tunai yang berasal dari UP yang ada pada kas Bendahara Pengeluaran/BPP paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
Pasal 20
(1) | Pembayaran dengan UP oleh Bendahara Pengeluran/BPP kepada satu penerima/penyedia barang dan/atau jasa dapat melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
(2) | Dalam rangka pembayaran dengan UP di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), KPA mengajukan surat permohonan dispensasi dengan dilampiri Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak. |
(3) | Surat permohonan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
Pasal 21
(1) | Untuk keperluan yang bersifat mendesak dan tidak dapat direncanakan, yang antara lain disebabkan karena terjadi bencana alam, wabah penyakit/epidemi atau penanganan medis yang harus segera ditangani, Bendahara Pengeluaran/BPP pada Rumah Sakit sebagai Satker/Subsatker dapat melakukan pembayaran dengan UP melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(2) | Pembayaran dengan UP melebihi Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keputusan Kepala Rumah Sakit. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara penetapan keputusan Kepala Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Menteri Pertahanan. |
Pasal 22
(1) | Bendahara Pengeluaran melakukan penggantian (revolving) UP yang telah digunakan sepanjang dana yang dapat dibayarkan dengan UP masih tersedia dalam DIPA. |
(2) | Penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila UP telah dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen). |
Pasal 23
(1) | Setiap BPP mengajukan penggantian UP melalui Bendahara Pengeluaran. |
(2) | Penggantian UP oleh BPP dilakukan apabila UP yang dikelolanya telah dipergunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen). |
Pasal 24
Penggantian UP oleh Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 atau oleh BPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilakukan berdasarkan Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP.
Pasal 25
(1) | KPA dapat mengajukan TUP kepada Kepala KPPN dalam hal sisa UP pada Bendahara Pengeluaran/BPP tidak cukup tersedia untuk membiayai kegiatan yang sifatnya mendesak/tidak dapat ditunda. |
(2) | Syarat penggunaan TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yakni:
|
(3) | Dalam hal TUP sebelumnya belum dipertanggungjawabkan seluruhnya dan/atau belum disetor ke Kas Negara, Kepala KPPN dapat menyetujui permintaan TUP berikutnya setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan. |
(4) | Dalam hal KPA mengajukan permintaan TUP untuk kebutuhan melebihi waktu satu bulan Kepala KPPN dapat memberikan persetujuan dengan pertimbangan kegiatan yang akan dilaksanakan memerlukan waktu melebihi satu bulan. |
Pasal 26
Pengajuan TUP oleh KPA kepada Kepala KPPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), tidak dapat melebihi Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP.
Pasal 27
Pembayaran UP/TUP yang berasal dari PNBP dilakukan terpisah dari UP/TUP yang berasal dari Rupiah Murni.
Bagian Kelima
Mekanisme Pencairan Dana Penerimaan Negara Bukan Pajak
Pasal 28
(1) | Satker mengajukan pencairan dana PNBP berdasarkan Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP). |
(2) | Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan pada setiap SPM yang disampaikan ke KPPN. |
Pasal 29
(1) | Satker yang terdiri dari beberapa Subsatker, Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilampiri dengan Rincian Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP masing-masing Subsatker. |
(2) | Kebenaran perhitungan Maksimum Pencairan (MP) masing-masing Subsatker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tangggung jawab KPA. |
Pasal 30
PPK menerbitkan dan menyampaikan SPP-UP/TUP/GUP/PTUP/GUP Nihil/LS kepada PPSPM dengan dilampiri:
Pasal 31
(1) | PPSPM melakukan pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen yang diajukan oleh PPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. |
(2) | Dalam hal pemeriksaan dan pengujian SPP beserta dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan dan menandatangani SPM. |
(3) | PPSPM mengajukan SPM-UP/TUP/GUP/PTUP/GUP Nihil/LS beserta ADK SPM kepada KPPN dengan dilampiri:
|
Pasal 32
Tugas, wewenang dan tanggung jawab dari KPA, PPK, PPSPM dan Bendahara Pengeluaran/BPP, serta tata cara penyelesaian tagihan Negara mengikuti ketentuan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Pertahanan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan anggaran belanja Negara di lingkungan Kemhan dan TNI, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.
Pasal 33
Surat Pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Daftar Perhitungan Jumlah Maksimum Pencairan (MP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dan Rincian Perhitungan Maksimum Pencairan (MP) dana PNBP masing- masing Subsatker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB III
PELAPORAN
Pasal 34
(1) | Satker membukukan dan menyajikan laporan atas pengelolaan dana PNBP. |
(2) | Satker menyusun laporan keuangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi. |
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Untuk DIPA yang disahkan dan berlaku efektif pertama kali sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat memberikan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan mempertimbangkan perhitungan kebutuhan penggunaan UP dalam satu bulan melampaui besaran UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 1001