TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 104/PMK.010/2016
TENTANG
PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI PADA
KAWASAN EKONOMI KHUSUS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERLAKUAN PERPAJAKAN, KEPABEANAN, DAN CUKAI PADA KAWASAN EKONOMI KHUSUS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan. |
2. | Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana teah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. |
3. | Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. |
4. | Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. |
5. | Dewan Nasional adalah dewan yang dibentuk di tingkat nasional untuk menyelenggarakan KEK. |
6. | Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk di tingkat provinsi untuk membantu Dewan Nasional dalam penyelenggaraan KEK. |
7. | Administrator KEK adalah bagian dari Dewan Kawasan yang dibentuk untuk setiap KEK guna membantu Dewan Kawasan dalam penyelenggaraan KEK. |
8. | Badan Usaha adalah perusahaan berbadan hukum yang berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, swasta, dan usaha patungan untuk menyelenggarakan kegiatan usaha KEK. |
9. | Pelaku Usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum, atau usaha orang perseorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK. |
10. | Pembangunan adalah pendirian perusahaan atau pabrik baru untuk menghasilkan barang dan/atau jasa. |
11. | Pengembangan adalah pengembangan perusahaan atau pabrik yang telah ada meliputi penambahan, modernisasi, rehabilitasi, dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi termasuk mesin untuk tujuan peningkatan jumlah, jenis, dan/atau kualitas hasil produksi barang dan/atau jasa. |
12. | Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk. |
13. | Kegiatan Utama adalah bidang usaha beserta rantai produksinya yang menjadi fokus kegiatan KEK dan ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
14. | Kegiatan Lainnya adalah bidang usaha di luar Kegiatan Utama di KEK. |
15. | Barang Modal adalah barang yang digunakan oleh Badan Usaha dan Pelaku Usaha berupa:
|
16. | Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang tentang Kepabeanan. |
17. | Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22. |
18. | Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang selanjutnya disingkat TLDDP adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat. |
19. | Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai. |
20. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu. |
BAB II
FASILITAS DAN KEMUDAHAN PERPAJAKAN,
KEPABEANAN, DAN CUKAI
Bagian Kesatu
Jenis Fasilitas Dan Syarat Umum Penerima Fasilitas
Pasal 2
(1) | Terhadap Badan Usaha serta Pelaku Usaha di KEK dapat diberikan fasilitas:
|
(2) | Bidang usaha yang memperoleh fasilitas dan kemudahan di KEK meliputi:
|
(3) | Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Badan Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
|
(4) | Untuk mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaku Usaha harus memenuhi syarat sebagai berikut:
|
(5) | Pendayagunaan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dibuktikan dengan penetapan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
(6) | Tata cara penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
Bagian Kedua
Pajak Penghasilan
Pasal 3
(1) | Kepada Wajib Pajak badan baru yang melakukan penanaman modal baru dengan rencana penanaman modal baru lebih dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan bidang usahanya merupakan Kegiatan Utama di KEK, diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk jangka waktu paling kurang 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sejak produksi/operasi komersial dan telah merealisasikan nilai penanaman modal. |
(2) | Kepada Wajib Pajak badan baru yang melakukan penanaman modal baru dengan rencana penanaman modal baru paling sedikit sebesar Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan bidang usahanya merupakan Kegiatan Utama di KEK diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun sejak produksi/operasi komersial dan telah merealisasikan nilai penanaman modal. |
(3) | Kepada Wajib Pajak badan baru yang melakukan penanaman modal baru dengan rencana penanaman modal baru kurang dari Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan bidang usahanya merupakan Kegiatan Utama di KEK dan berlokasi pada KEK yang ditentukan oleh Dewan Nasional, dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun sejak produksi/operasi komersial dan telah merealisasikan nilai penanaman modal. |
(4) | Besaran fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diberikan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. |
(5) | Besarnya pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan persentase yang sama setiap tahun selama jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). |
(6) | Penanaman modal baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mencakup juga perluasan atas penanaman modal baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sepanjang:
|
(7) | Kepada Wajib Pajak badan baru yang melakukan perluasan atas penanaman modal baru sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dengan syarat :
|
(8) | Jangka waktu fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Wajib Pajak badan baru yang melakukan penanaman modal baru dan perluasan atas penanaman modal baru adalah:
|
(9) | Besaran fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi perluasan atas penanaman modal baru sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang. |
Pasal 4
(1) | Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah Wajib Pajak badan yang memenuhi kriteria:
|
(2) | Termasuk Wajib Pajak yang dapat diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah Badan Usaha dengan syarat:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak badan dimiliki langsung oleh Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap, selain harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dalam negeri dan/atau Wajib Pajak luar negeri berupa bentuk usaha tetap tersebut harus memiliki surat keterangan fiskal yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemberian surat keterangan fiskal. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
Pasal 5
(1) | Kegiatan Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c ditetapkan oleh Dewan Nasional. |
(2) | Dalam rangka menetapkan Kegiatan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dewan Nasional dapat meminta pertimbangan dari menteri atau kepala lembaga terkait. |
Pasal 6
(1) | Untuk memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Wajib Pajak menyampaikan permohonan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan disampaikan tembusan kepada Administrator KEK. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
|
(4) | Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal:
|
(5) | Dalam rangka melakukan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat berkoordinasi dengan menteri atau kepala lembaga terkait, Administrator KEK dan Dewan Nasional. |
(6) | Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) serta memenuhi kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dapat mengajukan usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan kepada Menteri Keuangan dengan dilampiri fotokopi surat permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Wajib Pajak, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan uraian hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
Pasal 7
(1) | Atas usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5), Menteri Keuangan menugaskan komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk membantu melakukan penelitian dan verifikasi terhadap usulan dimaksud. |
(2) | Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri Keuangan. |
(3) | Komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan menyampaikan hasil penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan disertai dengan:
|
(4) | Rekomendasi mengenai besaran pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) atau ayat (9) dan jangka waktu pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau ayat (8) didasarkan pada hasil penilaian atas uraian penelitian yang berisi mengenai hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). |
(5) | Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan diputuskan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan dan rekomendasi dari komite verifikasi pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) | Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui usulan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1):
|
(7) | Penempatan dana diperbankan di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal ditetapkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, dan dana tersebut tidak ditarik sebelum saat dimulainya pelaksanaan realisasi penanaman modal. |
(8) | Dalam hal Menteri Keuangan menolak usulan untuk memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, disampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai penolakan tersebut kepada Wajib Pajak dengan tembusan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Administrator KEK, dan Direktur Jenderal Pajak. |
(9) | Berdasarkan tembusan surat penolakan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mengkoordinasikan rapat pembahasan dalam rangka pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2015 tentang Fasilitas dan Kemudahan di Kawasan Ekonomi Khusus. |
Pasal 8
(1) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Kegiatan Utama usaha yang merupakan Kegiatan Utama di KEK. |
(2) | Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari kegiatan usaha yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, tidak dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak selama periode pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(3) | Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tetap dilakukan pemotongan dan pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 9
(1) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dimanfaatkan oleh Wajib Pajak, sepanjang memenuhi persyaratan:
|
(2) | Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan penetapan dimaksud paling sedikit berisi mengenai:
|
(3) | Saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah:
|
Pasal 10
(1) | Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (1) ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan untuk tujuan lain atas permohonan tertulis Wajib Pajak. |
(2) | Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) | Permohonan tertulis Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
|
(4) | Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), atas permohonan dimaksud dikembalikan kepada Wajib Pajak sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dan Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak mengajukan kembali permohonan tertulis sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
Pasal 11
(1) | Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak saat surat pemberitahuan pemeriksaan pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan tentang penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 12
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh Keputusan Menteri Keuangan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan wajib menyampaikan laporan secara berkala kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan ketua komite verifikasi pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan mengenai hal-hal sebagai berikut:
|
(2) | Selain kewajiban penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan juga wajib memenuhi permintaan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan data transaksi perusahaan yang memiliki hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
Pasal 13
(1) | Laporan penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a wajib disampaikan secara triwulanan sejak triwulan saat ditetapkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan triwulan dana digunakan seluruhnya. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan fotokopi rekening koran bulanan atas dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a. |
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 14
(1) | Laporan realisasi penanaman modal yang telah diaudit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b wajib disampaikan secara tahunan sejak Tahun Pajak saat ditetapkan keputusan mengenai pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan Tahun Pajak saat ditetapkannya keputusan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 15
(1) | Selain wajib menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), Wajib Pajak wajib menyampaikan laporan realisasi penanaman modal secara triwulanan. |
(2) | Laporan triwulanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sejak triwulan saat penanaman modal mulai direalisasikan sampai dengan triwulan saat ditetapkannya keputusan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 16
(1) | Laporan realisasi kegiatan produksi/operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c wajib disampaikan secara triwulanan sejak periode triwulan saat ditetapkannya keputusan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sampai dengan berakhirnya periode pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 17
(1) | Laporan penggunaan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), laporan realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud Pasal 15 ayat (1), dan laporan realisasi produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) disampaikan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya periode triwulanan bersangkutan. |
(2) | Laporan realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. |
(3) | Dalam hal keputusan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan ditetapkan pada bagian tahun berjalan, laporan realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan paling lama 4 (empat) bulan setelah bulan saat ditetapkannya keputusan penetapan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(4) | Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional atau hari cuti bersama yang ditetapkan oleh pemerintah, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. |
Pasal 18
(1) | Wajib Pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas pengurangari Pajak Penghasilan badan dilarang untuk :
|
(2) | Dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dalam hal Wajib Pajak melakukan relokasi secara keseluruhan sebagai satu paket penanaman modal. |
(3) | Dikecualikan dari larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dalam hal Wajib Pajak :
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan relokasi secara keseluruhan sebagai satu paket penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Bea dan Cukai berwenang untuk melakukan penetapan nilai pabean atas barang modal yang direlokasi. |
Pasal 19
(1) | Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dicabut, dalam hal Wajib Pajak :
|
(2) | Pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Keuangan:
|
(3) | Terhadap Wajib Pajak yang dicabut fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib membayar kembali Pajak Penghasilan yang telah dikurangkan dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, serta tidak dapat lagi diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
Pasal 20
(1) | Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus diselenggarakan pembukuan secara terpisah dari pembukuan atas penghasilan lainnya yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan. |
(2) | Penghasilan yang diterima selain dari Kegiatan Utama di KEK yang tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan adalah:
|
(3) | Biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak yang timbul dari:
|
Pasal 21
(1) | Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri yang berkedudukan di KEK yang melakukan Penanaman Modal baik Penanaman Modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada, pada:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Aktiva yang digunakan untuk kegiatan pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b merupakan aktiva yang digunakan dalam proses produksi cakupan produk yang tercantum dalam izin prinsip penanaman modal baru atau perluasan dari usaha yang telah ada termasuk aktiva sebagai penunjang utama yang terkait langsung dengan proses produksi dimaksud. |
Pasal 22
(1) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a, dibebankan sejak tahun pajak saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial. |
(2) | Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing sebesar 5% (lima persen) per tahun dikalikan jumlah Penanaman Modal yang ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan. |
Pasal 23
(1) | Penghitungan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b, dimulai sejak bulan berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan. | ||||||||
(2) | Penghitungan penyusutan atas aktiva tetap berwujud dan amortisasi atas aktiva tak berwujud untuk bulan sebelum berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, dilakukan sesuai ketentuan mengenai penyusutan dan amortisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan. | ||||||||
(3) | Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||
(4) | Dalam hal aktiva tetap yang lama diganti dengan aktiva tetap yang baru, dasar penyusutan aktiva tetap baru adalah harga perolehan aktiva baru dimaksud. |
Pasal 24
(1) | Terhadap aktiva tetap yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, atau dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tetap dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tetap baru, sebelum berakhirnya jangka waktu yang lebih lama antara:
|
(2) | Terhadap aktiva tak berwujud yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dilarang digunakan selain untuk tujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan, atau dialihkan sebagian atau seluruh aktiva tak berwujud dimaksud kecuali diganti dengan aktiva tak berwujud baru, sebelum berakhirnya masa manfaat aktiva tak berwujud dimaksud sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b angka 2. |
Pasal 25
(1) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c dapat dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan berakhir pada saat Wajib Pajak tidak lagi memenuhi ketentuan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak selain menghasilkan produk/jasa yang diberikan fasilitas Pajak Penghasilan juga menghasilkan produk/jasa yang tidak diberikan fasilitas Pajak Penghasilan, besaran dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (2) huruf c adalah sebesar persentase total nilai penjualan produk/jasa yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan terhadap total nilai penjualan seluruh produk/jasa pada tahun pajak sebelum dividen dibagikan. |
(3) | Kepada Wajib Pajak yang melakukan perluasan usaha, besarnya dividen yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c sebanding dengan persentase nilai realisasi aktiva perluasan usaha terhadap total nilai buku fiskal aktiva yang diperoleh sebelum perluasan usaha ditambah dengan nilai realisasi aktiva perluasan usaha pada waktu selesainya perluasan usaha. |
Pasal 26
(1) | Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d dapat dimanfaatkan sejak berlakunya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dan Wajib Pajak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 6 dan/atau angka 7. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Dalam hal Wajib Pajak dapat memenuhi sebagian atau seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d, sehingga Wajib Pajak dimaksud dapat memperoleh tambahan jangka waktu kompensasi kerugian yang melebihi dari 5 (lima) tahun, besarnya tambahan jangka waktu kompensasi kerugian yang diberikan adalah paling lama untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan lapangan menerbitkan keputusan tentang penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||||||||||||
(5) | Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan keputusan tentang penambahan jangka waktu fasilitas kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. | ||||||||||||||||||||||||
(6) | Pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||||||||
(7) | Wajib Pajak yang melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan dan yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan, penghitungan besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 sesuai dengan penghitungan berdasarkan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan dan yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan. | ||||||||||||||||||||||||
(8) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pembukuan secara terpisah atas Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan dan yang tidak mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan, besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d angka 1, angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, dan/atau angka 7 dihitung dengan cara sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||||||||
(9) | Besarnya kerugian yang mendapat fasilitas tambahan jangka waktu kompensasi kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d angka 6 dihitung dengan cara sebagai berikut:
|
Pasal 27
Permohonan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal dan disampaikan tembusan kepada Administrator KEK dan pengajuannya dilakukan sebelum saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial.
Pasal 28
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dilakukan pembahasan dalam rapat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk memutuskan dapat tidaknya permohonan dimaksud diusulkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal kepada Menteri Keuangan. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara, dan/atau pejabat yang ditunjuk dapat hadir dalam rapat koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 29
(1) | Keputusan mengenai pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mempertimbangkan usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. |
(2) | Usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri dokumen berupa:
|
Pasal 30
(1) | Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menerbitkan keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) setelah mendapat rekomendasi dari Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara. |
(2) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Penerimaan Negara kepada Direktur Jenderal Pajak setelah dilakukan rapat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). |
(3) | Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendasarkan pada dokumen-dokumen, berupa:
|
(4) | Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) harus tersedia lengkap pada saat rapat yang dikoordinasikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan saat disampaikan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2). |
(5) | Keputusan persetujuan atau penolakan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak usulan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal diterima lengkap oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(6) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 31
(1) | Saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) adalah:
|
||||||
(2) | Saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan. | ||||||
(3) | Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan setelah Direktur Jenderal Pajak menerima permohonan tertulis dari Wajib Pajak secara lengkap atau berdasarkan penelitian terhadap Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan badan Wajib Pajak diketahui Wajib Pajak telah mulai berproduksi/beroperasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||
(4) | Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Direktur Pemeriksaan dan Penagihan paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun pajak dilakukannya produksi/operasi secara komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||
(5) | Permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan dengan menggunakan formulir sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, yang paling sedikit dilampiri dengan:
|
||||||
(6) | Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan:
|
Pasal 32
(1) | Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak saat surat pemberitahuan pemeriksaan pajak disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak harus menerbitkan keputusan yang berisi mengenai:
|
(2) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 33
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6) terdapat ketidaksesuaian antara penjualan hasil produksi ke pasaran dengan bidang usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan/atau persyaratan lainnya dalam lampiran keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), permohonan penetapan saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial ditolak, dan keputusan persetujuan pemberian fasilitas dicabut, serta kepada Wajib Pajak dikenakan sanksi perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Keputusan pencabutan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal 34
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), wajib :
|
(2) | Laporan realisasi penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan dalam periode sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan sampai dengan diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial. |
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar setiap semester paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah akhir semester yang bersangkutan dalam periode sejak diterbitkannya keputusan saat mulai berproduksi/beroperasi secara komersial sampai dengan berakhirnya masa manfaat aktiva secara fiskal. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau menyampaikan laporan namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), terhadap Wajib Pajak dimaksud dapat dilakukan pemeriksaan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
Pasal 35
Terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), namun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1), Pasal 24, Pasal 33, dan/atau Pasal 34 berlaku ketentuan sebagai berikut :
Bagian Ketiga
Pajak Pertambahan Nilai Dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Pasal 36
Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK untuk mendapatkan fasilitas tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dengan melampirkan surat kuasa pemberian wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak untuk dapat membuka seluruh rekening perbankan terkait dengan usaha di KEK.
Pasal 37
(1) | Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut wajib menyampaikan laporan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar mengenai hal-hal sebagai berikut:
|
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan setiap triwulan paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah berakhirnya periode triwulanan bersangkutan. |
Pasal 38
(1) | Atas penyerahan properti/hunian di KEK pariwisata diberikan fasilitas pembebasan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan properti/hunian di KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membuat faktur pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diberikan cap atau keterangan yang menyatakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dibebaskan. |
Pasal 39
(1) | Pajak Pertambahan Nilai atas pembelian barang bawaan oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dari toko retail di KEK pariwisata dapat dikembalikan. |
(2) | Orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang pribadi yang memiliki paspor yang diterbitkan oleh negara lain dan memenuhi syarat sebagai berikut:
|
(3) | Barang bawaan sebagai dimaksud pada ayat (1) adalah barang kena pajak yang dibeli dari toko retail di KEK pariwisata dan dibawa keluar daerah pabean oleh yang bersangkutan dengan menggunakan moda transportasi pesawat udara, melalui bandar udara. |
(4) | Toko retail di KEK pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah toko yang menjual barang kena pajak di dalam daerah pabean di KEK pariwisata dan didaftarkan oleh pengusaha kena pajak toko retail untuk berpartisipasi dalam skema pengembalian Pajak Pertambahan Nilai kepada orang pribadi. |
(5) | Pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai barang bawaan orang pribadi pemegang paspor luar negeri diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Bagian Keempat
Fasilitas Dan Perlakuan Bea Masuk, PDRI, Dan Cukai
Paragraf Pertama
Pembebasan Bea Masuk
Pasal 40
(1) | Impor Barang Modal yang dilakukan oleh Badan Usaha dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan KEK diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI. | ||||||||
(2) | Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu pengimporan paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan PDRI. | ||||||||
(3) | Jenis dan jumlah barang yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Administrator KEK. | ||||||||
(4) | Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan Barang Modal digunakan di KEK sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Badan Usaha yang bersangkutan. | ||||||||
(5) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi, Badan Usaha wajib membayar bea masuk dan PDRI serta dikenai sanksi administrasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan. | ||||||||
(6) | Badan Usaha dikecualikan dari kewajiban membayar bea masuk dan PDRI serta sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal:
|
||||||||
(7) | Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipindahtangankan kepada perusahaan lain, dengan ketentuan:
|
||||||||
(8) | Pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Administrator KEK. |
Pasal 41
(1) | Pelaku Usaha di KEK yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dan Pasal 2 ayat (4) huruf b, diberikan fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI atas impor:
|
||||||||
(2) | Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk jangka waktu pengimporan paling lama 2 (dua) tahun sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. | ||||||||
(3) | Jenis dan jumlah barang yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Administrator KEK. | ||||||||
(4) | Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan Barang Modal, barang, dan/atau bahan digunakan di KEK sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Pelaku Usaha yang bersangkutan. | ||||||||
(5) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi, Pelaku Usaha wajib membayar bea masuk dan PDRI serta dikenai sanksi administrasi sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan. | ||||||||
(6) | Pelaku Usaha dikecualikan dari kewajiban membayar bea masuk dan PDRI serta sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam hal:
|
||||||||
(7) | Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dipindahtangankan kepada perusahaan lain, dengan ketentuan:
|
||||||||
(8) | Pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan kepada Administrator KEK. |
Paragraf Kedua
Pemasukan Barang Dengan Fasilitas Pajak Pertambahan Nilai,
Bea Masuk, Dan/Atau Cukai
Pasal 42
(1) | Pelaku Usaha yang mendapatkan penetapan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) merupakan pengusaha Tempat Penimbunan Berikat. |
(2) | Lokasi Pelaku Usaha yang mendapatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) merupakan Tempat Penimbunan Berikat. |
(3) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | Pelaku Usaha di bidang industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan Pelaku Usaha yang melakukan pemasukan barang kena pajak tertentu untuk kegiatan produksi, meliputi:
|
(5) | Pelaku Usaha di bidang pergudangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan Pelaku Usaha yang melakukan pemasukan barang kena pajak tertentu untuk kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, penggabungan, pendistribusian, perbaikan, dan perekondisian permesinan. |
(6) | Badan Usaha dapat menjadi Pelaku Usaha sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4). |
Pasal 43
Pemasukan barang ke lokasi Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) berasal dari:
Pasal 44
(1) | Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, diberikan fasilitas berupa:
|
||||
(2) | Atas pemasukan barang dari Pelaku Usaha lain dalam satu KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, Pelaku Usaha pada KEK lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, Tempat Penimbunan Berikat di luar KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d, dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e, yang barangnya berasal dari :
|
||||
(3) | Pemasukan barang dari TLDDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf f, diberikan fasilitas berupa:
|
||||
(4) | Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang kena pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) wajib membuat faktur pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. | ||||
(5) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus diberikan cap atau keterangan "PPN TIDAK DIPUNGUT SESUAI PP NOMOR 96 TAHUN 2015". | ||||
(6) | Dalam hal ketentuan pada ayat (4) tidak dipenuhi, atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya tidak dipungut, tidak dapat dikreditkan oleh Pelaku Usaha. | ||||
(7) | Tata cara pemasukan barang ke KEK diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
Paragraf Ketiga
Pengeluaran Barang
Pasal 45
(1) | Barang dari lokasi Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) dapat dikeluarkan ke:
|
(2) | Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan kepabeanan dan perpajakan di bidang ekspor. |
(3) | Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Dalam hal pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditujukan kepada Pelaku Usaha yang tidak mendapatkan fasilitas kepabeanan dan perpajakan, Pelaku Usaha wajib :
|
(5) | Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, Pelaku Usaha wajib:
|
(6) | Dalam hal pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditujukan kepada perusahaan yang memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk, Pelaku Usaha dibebaskan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a. |
(7) | Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f oleh Pelaku Usaha di bidang pergudangan wajib ditujukan kepada perusahaan industri. |
Pasal 46
(1) | Dalam hal barang hasil produksi Pelaku Usaha di bidang industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) huruf a memiliki nilai kandungan lokal paling sedikit 40% (empat puluh persen), atas pengeluaran hasil produksi ke TLDDP dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). |
(2) | Penetapan nilai kandungan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Administrator KEK berdasarkan hasil penelitian terhadap nilai kandungan lokal yang dituangkan dalam bentuk surat keterangan mengenai nilai kandungan lokal. |
Pasal 47
(1) | Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diterbitkan oleh negara asal barang di luar negeri dapat diberlakukan pada saat pemasukan ke KEK. |
(2) | Penggunaan Surat Keterangan Asal (SKA) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberlakukan pada saat pemasukan ke Tempat Penimbunan Berikat, dan atas barang dimaksud diberlakukan tarif bea masuk sesuai skema pada preferential tariff dimaksud pada saat dikeluarkan dari Tempat Penimbunan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean. |
(3) | Pengeluaran barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan secara parsial dengan menggunakan pemotongan kuota. |
(4) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan pengujian atas validitas penerbitan Surat Keterangan Asal (SKA). |
Pasal 48
Tata cara pengeluaran barang dari Pelaku Usaha di KEK diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
Pasal 49
(1) | Pelaku Usaha di KEK dapat memberikan pekerjaan subkontrak atas sebagian kegiatan pengolahan kepada:
|
(2) | Pelaku Usaha di KEK dapat menerima pekerjaan subkontrak kegiatan pengolahan dari Pelaku Usaha di KEK, Pelaku Usaha di KEK lainnya, Tempat Penimbunan Berikat, dan/atau perusahaan industri di TLDDP. |
(3) | Pemberian pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan pada seluruh kegiatan produksi dalam hal terdapat kelebihan kapasitas produksi. |
(4) | Dalam rangka pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(5) | Pengeluaran barang dalam rangka pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, menggunakan dokumen pemberitahuan pabean. |
(6) | Penambahan barang pada saat pengerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, wajib diberitahukan dengan dokumen pemberitahuan pabean dan dapat diperhitungkan sebagai tingkat kandungan dalam negeri. |
(7) | Dalam hal barang yang disubkontrakkan tidak dimasukkan kembali ke lokasi Pelaku Usaha di KEK, Pelaku Usaha di KEK wajib:
|
(8) | Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KEK untuk tujuan subkontrak diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
Paragraf Keempat
Tanggung Jawab
Pasal 50
(1) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) bertanggung jawab atas bea masuk, cukai, dan/atau PDRI yang terutang atas barang impor yang mendapat fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai yang berada atau seharusnya berada di lokasi Pelaku Usaha yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai. |
(2) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) bertanggung jawab terhadap cukai dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang atas barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang berada atau seharusnya berada di lokasi Pelaku Usaha. |
(3) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal barang impor yang mendapat fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan/atau cukai:
|
Paragraf Kelima
Ketentuan Larangan Dan Pembatasan
Pasal 51
(1) | Ketentuan larangan impor dan ekspor ke KEK berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang larangan impor dan ekspor. |
(2) | Pemasukan barang impor ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan di bidang impor, kecuali ditentukan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke tempat lain dalam Daerah Pabean berlaku ketentuan pembatasan di bidang impor, kecuali sudah dipenuhi pada saat pemasukannya. |
(4) | Pengeluaran barang impor untuk dipakai dari KEK ke:
|
(5) | Terhadap barang yang terkena ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan pengecualian dan/atau kemudahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Barang yang terkena ketentuan pembatasan impor dan ekspor dapat diberikan pengecualian dan/atau kemudahan. |
Paragraf Keenam
Kewajiban
Pasal 52
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) wajib:
Paragraf Ketujuh
Monitoring, Evaluasi, Audit Kepabeanan Dan Sanksi
Pasal 53
(1) | Berdasarkan manajemen risiko, terhadap Pelaku Usaha dapat dilakukan:
|
(2) | Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan dan/atau cukai dan fasilitas perpajakan oleh Pelaku Usaha. |
(3) | Kegiatan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan menguji tingkat kepatuhan Pelaku Usaha terhadap peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(4) | Kegiatan audit perpajakan dan pemeriksaan sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan dengan menguji tingkat kepatuhan Pelaku Usaha terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(5) | Pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memanfaatkan informasi yang diperoleh dari IT Inventory Pelaku Usaha. |
(6) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak melakukan pengawasan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha yang berada dalam pengawasannya sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Pasal 54
Dalam jangka waktu paling sedikit 10 (sepuluh) tahun sekali, Menteri Keuangan melakukan evaluasi atas pemberian fasilitas perpajakan, kepabeanan, dan cukai di KEK dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian kawasan.
Pasal 55
(1) | Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran ketentuan kepabeanan dan/atau cukai atas pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan/atau dari KEK, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus melakukan penelitian secara mendalam. |
(2) | Dalam hal terdapat indikasi pelanggaran ketentuan perpajakan atas pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan/atau dari KEK, Direktorat Jenderal Pajak harus melakukan penelitian secara mendalam |
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud harus segera ditindaklajuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditemukan bukti permulaan yang cukup telah terjadi tindak pidana kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan, bukti permulaan tersebut harus segera ditindaklajuti dengan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal Pelaku Usaha terbukti melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan orang tersebut merupakan warga negara asing, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan kepada instansi yang berwenang menangani bidang keimigrasian untuk ditindaklanjuti sesuai perundang-undangan. |
Pasal 56
Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan dapat membekukan dan/atau mencabut fasilitas penangguhan bea masuk kepada Pelaku Usaha dalam hal Pelaku Usaha memenuhi kriteria pembekuan dan/atau pencabutan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
Bagian Kelima
Fasilitas Kepabeanan Dan/Atau Cukai Di KEK Pariwisata
Pasal 57
(1) | Pelaku Usaha yang mendapatkan fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata adalah pelaku usaha di bidang:
|
(2) | Fasilitas kepabeanan dan/atau cukai di KEK Pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
|
(3) | Jenis dan jumlah Barang Modal yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Administrator KEK. |
BAB III
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, terhadap Wajib Pajak yang berada di KEK dan telah diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa:
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya atau dicabutnya pemberian fasilitas Pajak Penghasilan dimaksud.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 59
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2016
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Juli 2016
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2016 NOMOR 997