TIMELINE |
---|
PERATURAN GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA
NOMOR 112 TAHUN 2011
TENTANG
PROSEDUR PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN GUBERNUR TENTANG PROSEDUR PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Gubernur ini yang dimaksud dengan :
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) | Maksud disusunnya Peraturan Gubernur ini adalah untuk memberikan acuan bagi petugas pelaksana pemungutan BPHTB dalam melaksanakan tugasnya melakukan pemungutan dan sebagai sumber informasi bagi warga masyarakat Wajib Pajak yang akan melakukan pembayaran BPHTB agar dapat melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Tujuannya adalah untuk :
|
BAB III
OBJEK, SUBJEK DAN RUANG LINGKUP BPHTB
Pasal 3
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan hak atas tanah dan bangunan. |
(2) | Subjek BPHTB adalah Orang Pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. |
Pasal 4
Lingkup pengaturan BPHTB sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur ini adalah sebagai berikut :
BAB IV
PENGENAAN BPHTB KARENA WARIS DAN HIBAH WASIAT
Pasal 5
(1) | Pengenaan BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena Waris dan Hibah Wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang. |
(2) | Penetapan saat terutang Pajak atas Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris adalah Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan. |
(3) | Penetapan saat terutang pajak atas perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akte. |
Pasal 6
(1) | Nilai Perolehan Obyek Pajak karena Waris adalah Nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan. |
(2) | Nilai Perolehan Obyek Pajak karena Hibah Wasiat adalah Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akte. |
(3) | Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) lebih rendah daripada Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Perolehan Obyek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. |
Pasal 7
Contoh perhitungan pengenaan BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena Waris dan Hibah Wasiat sesuai yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Gubernur ini.
Pasal 8
Kepala Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran perolehan hak karena Waris dan Hibah Wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD-BPHTB.
BAB V
PENGENAAN BPHTB KARENA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN
Pasal 9
Besarnya pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan adalah :
Pasal 10
Penetapan saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk pemberian Hak Pengelolaan adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 11
(1) | Nilai Perolehan Objek Pajak sebagai akibat pemberian Hak Pengelolaan adalah Nilai pasar pada saat diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. |
(2) | Dalam hal nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. |
Pasal 12
Kepala Kanwil BPN atau Kantor Pertanahan melakukan pendaftaran Hak Pengelolaan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa SSPD-BPHTB atau SKBPD-BPHTB.
BAB VI
NILAI PEROLEHAN OBJEK PAJAK TIDAK KENA PAJAK
Bagian Kesatu
Besaran NPOPTKP
Pasal 13
(1) | Besaran NPOPTKP ditetapkan sebagai berikut :
|
(2) | Besaran NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperuntukan bagi orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus 1 (satu) derajat ke atas atau 1 (satu) derajat ke bawah dengan pemberi waris dan hibah wasiat termasuk suami/istri. |
Pasal 14
(1) | Besaran NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dapat dievaluasi. |
(2) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya ditetapkan dengan Keputusan Gubernur setelah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
Bagian Kedua
Prosedur Evaluasi NPOPTKP
Pasal 15
(1) | Untuk melakukan evaluasi NPOPTKP-BPHTB di luar Waris dan Hibah Wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut :
|
(2) | Untuk melakukan evaluasi NPOPTKP-BPHTB di luar Waris dan Hibah Wasiat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut :
|
Pasal 16
(1) | Berdasarkan indikator sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), selanjutnya Dinas menetapkan NPOPTKP-BPHTB. |
(2) | Penetapan NPOPTKP-BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diusulkan oleh Kepala Dinas kepada Gubernur melalui Kepala Badan. |
Pasal 17
(1) | Berdasarkan usulan NPOPTKP-BPHTB oleh Kepala Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Kepala BPKD selanjutnya memproses NPOPTKP-BPHTB untuk ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(2) | Keputusan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), baru dapat diberlakukan setelah memperoleh persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. |
BAB VII
TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN
Pasal 18
Keberatan dapat diajukan oleh Wajib Pajak atas :
Pasal 19
(1) | Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 diajukan kepada Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit. |
(2) | Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas. |
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya surat ketetapan oleh Wajib Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya (force majeur). |
(4) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan dan Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit harus segera menerbitkan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang bersangkutan. |
(5) | Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit harus memberikan keterangan atau penjelasan secara tertulis apabila Wajib Pajak meminta keterangan atau penjelasan yang berhubungan dengan keberatan atas dasar pengenaan pajak. |
(6) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. |
Pasal 20
(1) | Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit setelah menerima pengajuan keberatan dari Wajib Pajak harus memberikan tanda terima. |
(2) | Tanda terima surat keberatan yang diberikan oleh Dinas melalui Suku Dinas atau Unit atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos tercatat dan sejenisnya merupakan tanda bukti penerimaan surat keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak. |
(3) | Atas pengajuan keberatan Wajib Pajak, Kepala Dinas melalui Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit yang bersangkutan melakukan pemeriksaan sederhana yang aslinya dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan. |
Pasal 21
(1) | Kepala Dinas atas nama Gubernur dapat melimpahkan sebagian kewenangan pelayanan peneyelesaian permohonan keberatan kepada Kepala Suku Dinas atau Kepala Unit. |
(2) | Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan ketentuan sebagai berikut :
|
(3) | Apabila pengajuan permohonan keberatan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Kepala Dinas, maka permohonan keberatan Wajib Pajak dimaksud untuk selanjutnya diteruskan kepada Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas. |
(4) | Apabila pengajuan permohonan keberatan BPHTB yang diajukan merupakan kewenangan Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, maka Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas selanjutnya meneruskan permohonan keberatan kepada Kepala Dinas. |
(5) | Jangka waktu penyampaian permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya surat permohonan keberatan dari Wajib Pajak. |
Pasal 22
(1) | Kepala Dinas atau Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas harus memberikan keputusan atas pengajuan permohonan keberatan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
(2) | Sebelum Keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. |
(3) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa :
|
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan atas pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, Kepala Dinas atau Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. |
Pasal 23
(1) | Keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a dan huruf b, disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Dinas. |
(2) | Keputusan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c, disampaikan kepada Wajib Pajak dan tembusannya kepada Kepala Suku Dinas dan Kepala Unit yang bersangkutan. |
(3) | Bentuk Keputusan keberatan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai yang tercantum dalam Lampiran II sampai dengan Lampiran IV Peraturan Gubernur ini. |
Pasal 24
Apabila Wajib Pajak yang bersangkutan tidak sependapat dengan Keputusan keberatan yang diterbitkan oleh Kepala Dinas atau Kepala Unit atau Kepala Suku Dinas, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Pengadilan Pajak.
BAB VIII
PENGENDALIAN
Pasal 25
(1) | Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Gubernur ini adalah Kepala Dinas; |
(2) | Dalam melakukan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Dinas dapat mengikutsertakan SKPD/UKPD terkait; |
(3) | Hasil pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. |
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26
Pada saat Peraturan Gubernur ini mulau berlaku, maka :
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 27
Peraturan Gubernur ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Gubernur ini dengan penempatannya dalam Berita Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 November 2011
GUBERNUR PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA
ttd,
FAUZI BOWO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 November 2011
SEKRETARIS DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS
IBUKOTA JAKARTA
ttd.
FADJAR PANJAITAN
NIP 195508261976011001
BERITA DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TAHUN 2011 NOMOR 115