TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
BAB II
KEWENANGAN PENYELENGGARAAN
PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH
Pasal 3
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) | Gubernur mendelegasikan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dalam Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah kepada kepala DPMPTSP provinsi. |
(2) | Pendelegasian kewenangan oleh gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 5
(1) | Bupati/wali kota mendelegasikan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah kepada kepala DPMPTSP kabupaten/kota. |
(2) | Pendelegasian kewenangan oleh bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
BAB III
PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) | Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah dilakukan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. |
(2) | Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(4) | Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(5) | Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang diselenggarakan di daerah terdiri atas sektor:
|
(6) | Sektor ketenaganukliran, keagamaan serta pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e, huruf m, dan huruf o merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang proses perizinannya terintegrasi dengan pelayanan Perizinan Berusaha di daerah. |
(7) | Dalam rangka meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha pada sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kepada Pelaku Usaha diberikan kemudahan persyaratan investasi dan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(8) | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, persyaratan dasar Perizinan Berusaha, dan Perizinan Berusaha sektor dan kemudahan persyaratan investasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang, lingkungan hidup, dan bangunan gedung. |
Bagian Kedua
Manajemen Penyelenggaraan
Pasal 7
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah provinsi dilaksanakan oleh DPMPTSP provinsi dan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah kabupaten/kota dilaksanakan oleh DPMPTSP kabupaten/kota.
Pasal 8
(1) | DPMPTSP melakukan pengintegrasian PTSP antara perangkat daerah dan instansi vertikal di daerah sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Pembinaan DPMPTSP dalam menyelenggarakan Perizinan Berusaha dalam satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. |
Pasal 9
(1) | DPMPTSP dalam melaksanakan pelayanan Perizinan Berusaha wajib menerapkan manajemen Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. |
(2) | Manajemen Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 10
(1) | Pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha oleh DPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(2) | Pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha di daerah wajib menggunakan Sistem OSS yang dikelola oleh Pemerintah Pusat terhitung sejak Sistem OSS berlaku efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(3) | Pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan layanan khusus bagi kelompok rentan, lanjut usia, dan penyandang disabilitas dalam mendapatkan jasa pelayanan Perizinan Berusaha. |
(4) | Pemerintah Daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat. |
Pasal 11
(1) | Pelayanan Sistem OSS pada Perizinan Berusaha di daerah dilakukan secara mandiri oleh Pelaku Usaha. |
(2) | Pelayanan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan perangkat/fasilitas sendiri atau yang disediakan oleh DPMPTSP. |
(3) | Dalam hal pelayanan Sistem OSS belum dapat dilaksanakan secara mandiri, DPMPTSP melakukan:
|
(4) | Pelayanan berbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan secara interaktif antara DPMPTSP dan Pelaku Usaha. |
(5) | Pelayanan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan mendekatkan keterjangkauan pelayanan kepada Pelaku Usaha dengan menggunakan sarana transportasi atau sarana lainnya. |
Pasal 12
(1) | Pelayanan berbantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) huruf a juga dilakukan apabila pelayanan Sistem OSS:
|
(2) | Dalam hal diperlukan pelayanan berbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPMPTSP berkoordinasi dengan Lembaga OSS agar pelayanan tetap berlangsung. |
(3) | Dalam hal pelayanan Sistem OSS belum tersedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pelayanan berbantuan dilakukan dengan tahapan:
|
(4) | Dalam hal pelayanan Sistem OSS terjadi gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pelayanan berbantuan harus tersedia paling lama 1 (satu) Hari sejak dinyatakan terjadinya gangguan teknis. |
(5) | Pernyataan terjadinya gangguan teknis pelayanan Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada masyarakat oleh kepala DPMPTSP. |
Pasal 13
(1) | Bagi Pelaku Usaha di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan/atau wilayah yang belum memiliki aksesibilitas yang memadai, permohonan Perizinan Berusaha dapat diajukan di kantor kecamatan atau kantor kelurahan/desa atau nama lain. |
(2) | Selain mengajukan di kantor kecamatan atau kantor kelurahan/desa atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha pada pelayanan bergerak yang diselenggarakan oleh DPMPTSP. |
(3) | Pengajuan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didaftarkan di Sistem OSS oleh perangkat kecamatan atau perangkat kelurahan/desa atau nama lain dengan menggunakan hak akses yang dimiliki oleh Pelaku Usaha paling lama 3 (tiga) Hari setelah diterima dari Pelaku Usaha yang memberi kuasa pengajuan Perizinan Berusaha di daerah. |
Pasal 14
(1) | Pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha oleh DPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a tidak dipungut biaya. |
(2) | Perizinan Berusaha tertentu pada DPMPTSP dikenakan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | DPMPTSP tidak dibebani target penerimaan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Dalam hal pelaksanaan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menyebabkan berkurangnya pendapatan asli daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran kepada daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 15
(1) | Pengelolaan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b, dilakukan secara cepat, tepat, transparan, adil, tidak diskriminatif, dan tidak dipungut biaya. |
(2) | Pengelolaan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tahapan:
|
(3) | Durasi waktu pengelolaan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pelaksanaan pengelolaan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terintegrasi dengan kementerian/lembaga dan perangkat daerah melalui Sistem OSS. |
Pasal 16
(1) | DPMPTSP wajib menyediakan sarana pengaduan untuk mengelola pengaduan masyarakat terkait pelayanan Perizinan Berusaha. |
(2) | Sarana pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mudah diakses dan dijangkau oleh masyarakat dengan mengupayakan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. |
Pasal 17
(1) | Pengelolaan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c, dilakukan secara terbuka dan mudah diakses oleh masyarakat. |
(2) | Pelaksanaan pengelolaan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit:
|
Pasal 18
(1) | Penyediaan dan pemberian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dilakukan melalui subsistem pelayanan informasi dalam Sistem OSS. |
(2) | Selain pelayanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat menyediakan dan memberikan informasi lainnya, paling sedikit memuat:
|
(3) | Layanan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui media elektronik dan media cetak. |
(4) | Penyediaan dan pemberian informasi kepada masyarakat tidak dipungut biaya. |
(5) | Pelaksanaan pemberian informasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 19
(1) | Penyuluhan kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d, meliputi:
|
(2) | Penyelenggaraan penyuluhan kepada masyarakat dilakukan melalui:
|
(3) | Pelaksanaan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh DPMPTSP berkoordinasi dengan perangkat daerah teknis secara periodik. |
Pasal 20
(1) | Pelayanan konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf e, paling sedikit:
|
(2) | Pelayanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di ruang konsultasi yang disediakan dan/atau daring. |
(3) | Layanan konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh DPMPTSP berkoordinasi dengan perangkat daerah teknis secara interaktif. |
Pasal 21
(1) | Pendampingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf f dilakukan dalam hal terdapat permasalahan hukum dalam proses dan pelaksanaan perizinan yang melibatkan DPMPTSP. |
(2) | Pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh perangkat daerah yang membidangi hukum. |
Bagian Ketiga
Sarana dan Prasarana
Pasal 22
(1) | Penyelenggaraan Perizinan Berusaha pada DPMPTSP harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana sesuai standar pelayanan. |
(2) | Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:
|
(3) | Sarana dan prasarana untuk penyelenggaraan pelayanan secara elektronik, paling sedikit:
|
(4) | Pusat data dan server aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berbagi pakai dengan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Keempat
Sumber Daya Manusia Aparatur
Pasal 23
(1) | Penyelenggaraan Perizinan Berusaha pada DPMPTSP harus didukung oleh aparatur sipil negara yang merupakan pelaksana tugas dan fungsi pelayanan Perizinan Berusaha yang disediakan secara proporsional untuk mendukung kinerja DPMPTSP. |
(2) | Dalam rangka meningkatkan kualitas, jangkauan, dan akses yang lebih luas kepada masyarakat, DPMPTSP dapat mendayagunakan aparatur sipil negara di kecamatan atau kelurahan/desa atau nama lain atau perangkat kelurahan/desa atau nama lain. |
Pasal 24
(1) | Aparatur sipil negara yang ditugaskan pada DPMPTSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) harus memenuhi standar kualifikasi dan kompetensi yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian teknis. |
(2) | Kompetensi aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditingkatkan melalui pengembangan kompetensi oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian teknis. |
(3) | Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dalam menyelenggarakan pengembangan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri. |
(4) | Pegawai negeri sipil sebagai pelaksana tugas dan fungsi pelayanan Perizinan Berusaha di daerah pada DPMPTSP dapat dimutasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapatkan rekomendasi dari kepala DPMPTSP. |
Pasal 25
Dalam rangka meningkatkan kinerja pelayanan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan tambahan penghasilan pegawai kepada aparatur sipil negara pada DPMPTSP sesuai dengan kemampuan keuangan daerah dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Tata Hubungan Kerja
Pasal 26
DPMPTSP dalam melaksanakan tugas memiliki hubungan kerja yang meliputi:
Pasal 27
(1) | Hubungan kerja DPMPTSP dengan Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, dilakukan secara fungsional dalam melaksanakan Perizinan Berusaha di daerah. |
(2) | Hubungan kerja secara fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 28
(1) | Hubungan kerja DPMPTSP provinsi dengan perangkat daerah provinsi dan hubungan kerja DPMPTSP kabupaten/kota dengan perangkat daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b dan huruf c dilakukan secara fungsional dan koordinatif dalam Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. |
(2) | Hubungan kerja secara fungsional dan koordinatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Pasal 29
Selain hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), hubungan kerja DPMPTSP kabupaten/kota dengan perangkat daerah kabupaten/kota dilakukan dalam rangka pemberian dukungan Perizinan Berusaha di wilayah kecamatan dan kelurahan/desa atau nama lain.
Pasal 30
(1) | Hubungan kerja DPMPTSP provinsi dengan DPMPTSP kabupaten/kota yang berada di wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dilakukan secara fungsional dan koordinatif. |
(2) | Hubungan kerja secara fungsional dan koordinatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
BAB IV
PERDA DAN PERKADA MENGENAI PERIZINAN BERUSAHA
Pasal 31
(1) | Penyusunan Perda dan Perkada dalam rangka Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar Perda dan Perkada tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan. |
(3) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 32
(1) | Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan daerah mengenai rencana tata ruang yang mendukung Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. |
(2) | Kebijakan daerah mengenai rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(3) | Perda dan Perkada mengenai rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB V
PELAPORAN PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH
Pasal 33
(1) | Bupati/wali kota menyampaikan laporan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah kabupaten/kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. |
(2) | Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat menyampaikan laporan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah provinsi dan kabupaten/kota kepada Menteri. |
(3) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(4) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan. |
(5) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan sebagai bahan evaluasi dan pembinaan untuk meningkatkan kinerja DPMPTSP yang dilakukan oleh Menteri dan/atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya. |
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 34
(1) | Pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah dilakukan dengan cara terkoordinasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. | ||||
(2) | Pembinaan dan pengawasan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah:
|
BAB VII
PENDANAAN
Pasal 35
(1) | Pendanaan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah pada Pemerintah Pusat dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara. |
(2) | Pendanaan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah provinsi dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi. |
(3) | Pendanaan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah kabupaten/kota dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota. |
(4) | Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), pendanaan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat. |
BAB VIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 36
DPMPTSP yang tidak memberikan pelayanan perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dalam jangka waktu yang ditetapkan, kewenangan penerbitan perizinan diambil alih oleh Lembaga OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Pasal 37
(1) | Gubernur/bupati/wali kota dikenai sanksi administratif apabila DPMPTSP dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha tidak menggunakan Sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). |
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. |
(3) | Menteri teknis atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor dapat memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis kepada gubernur setelah berkoordinasi dengan Menteri. |
(4) | Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh gubernur/bupati/wali kota:
|
(5) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
(6) | Pengambilalihan kewenangan Perizinan Berusaha oleh menteri teknis atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Pengambilalihan kewenangan Perizinan Berusaha oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dilaporkan kepada Menteri dengan tembusan menteri teknis atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait. |
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 38
(1) | Ketentuan dan tata cara pembentukan DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dikecualikan dari ketentuan Pasal 18 dan Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5887) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402). |
(2) | Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menyesuaikan DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak Sistem OSS berlaku efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
Pasal 39
(1) | Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku Perda dan Perkada yang mengatur Perizinan Berusaha di daerah wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Perda dan Perkada yang jangka waktu penyesuaiannya ditentukan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 40
Peraturan pelaksanaan sebagai pedoman Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah yang ada sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 41
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 16
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2021
TENTANG
PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA DI DAERAH
I. UMUM
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Undang-Undang Cipta Kerja) diundangkan dalam rangka mendukung cipta kerja yang memerlukan penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan kesejahteraan pekerja.
Dalam rangka meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, Undang-Undang Cipta Kerja telah memperbarui beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang diarahkan untuk memperkuat peran dan komitmen pemerintahan daerah dalam rangka Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Penguatan peran Pemerintah Daerah dalam Undang-Undang Cipta Kerja antara lain diaturnya kewajiban gubernur/bupati/wali kota untuk memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pelayanan Perizinan Berusaha di daerah yang dilaksanakan oleh DPMPTSP wajib menggunakan Sistem OSS yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, dan pemberian peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
Guna mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan Perizinan Berusaha di daerah, Peraturan Pemerintah ini memuat pengaturan kewenangan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, pelaksanaan Perizinan Berusaha di daerah, Perda dan Perkada mengenai Perizinan Berusaha, pelaporan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, pembinaan dan pengawasan serta pendanaan. Di samping itu, untuk mengefektifkan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah sesuai semangat Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah ini juga mempertegas ketentuan pemberian sanksi administratif kepada gubernur/bupati/wali kota yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha atau tidak menggunakan Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota dibentuk untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Urusan Pemerintahan di bidang penanaman modal, tidak merumpun atau dirumpunkan dengan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah lainnya, dengan tujuan untuk mengoptimalisasikan Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah. DPMPTSP di seluruh daerah diharapkan mampu menyelenggarakan manajemen Perizinan Berusaha secara cepat, mudah, terintegrasi, transparan, efisien, efektif, dan akuntabel sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang pada gilirannya memberikan kepastian hukum, meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha serta menjaga keberlangsungan kinerja pelayanan Perizinan Berusaha di daerah sesuai dengan tujuan dan maksud diundangkannya Undang-Undang Cipta Kerja.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupatenlkota dan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Perizinan Berusaha sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Dalam rangka optimalisasi Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah, DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota menyelenggarakan tugas dan fungsi Urusan Pemerintahan di bidang penanaman modal, tidak merumpun atau dirumpunkan dengan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah lainnya.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jenis retribusi Perizinan Berusaha tertentu meliputi:
a. | retribusi Persetujuan Bangunan Gedung; |
b. | retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; |
c. | retribusi lzin Trayek; dan |
d. | retribusi Izin Usaha Perikanan |
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah dalam rangka mendukung kemudahan berusaha dan layanan daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Kantor depan paling sedikit terdiri atas loket penerimaan, loket penyerahan, loket pembayaran, ruang/tempat layanan informasi, ruang/tempat layanan pengaduan, dan ruang layanan konsultasi.
Huruf b
Kantor belakang paling sedikit terdiri atas ruang rapat dan ruang pemrosesan.
Huruf c
Ruang pendukung paling sedikit terdiri atas ruang tunggu, ruang laktasi, ruang penyandang disabilitas dan manula, ruang arsip dan perpustakaan, tempat ibadah, tempat parkir, dan toilet.
Huruf d
Alat/fasilitas pendukung paling sedikit terdiri atas seragam pelayanan, formulir, telepon, mesin faksimile, perangkat komputer, printer, alat pemindai (scanner), mesin antrian, alat pengukur kepuasan layanan, kotak pengaduan, mesin fotokopi, kamera pengawas, koneksi internet, laman/situs web, surat elektronik, alat penyedia daya listrik atau uninterruptible power supply, alat pemadam kebakaran, pendingin ruangan, televisi, brosur, banner, dan petunjuk arah lokasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan "tambahan penghasilan pegawai kepada aparatur sipil negara" adalah tambahan penghasilan pegawai berdasarkan beban kerja dan target investasi yang diberikan kepada aparatur sipil negara yang dibebani pekerjaan untuk menyelesaikan tugas yang dinilai melampaui beban kerja normal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan daerah.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Hubungan kerja DPMPTSP provinsi dengan perangkat daerah provinsi dan hubungan kerja DPMPTSP kabupaten/kota dengan perangkat daerah kabupaten/kota yang dilakukan secara fungsional dan koordinatif adalah sinergitas hubungan kerja antara DPMPTSP dan perangkat daerah lainnya sesuai dengan kewenangan, tugas, dan fungsinya masing-masing untuk saling mendukung dan melengkapi dalam rangka percepatan dan optimalisasi Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah untuk mewujudkan kepuasan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)
Hubungan kerja DPMPTSP provinsi dengan DPMPTSP kabupaten/kota yang dilakukan secara fungsional dan koordinatif adalah sinergitas hubungan kerja antara DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan, tugas, dan fungsinya masing-masing untuk saling mendukung dan melengkapi dalam rangka percepatan dan optimalisasi Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah untuk mewujudkan kepuasan masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan penataan ruang.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6618