TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2021
TENTANG
POS, TELEKOMUNIKASI, DAN PENYIARAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran;
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG POS, TELEKOMUNIKASI, DAN PENYIARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
BAB II
PENYELENGGARAAN POS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3
(1) | Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a berlaku untuk seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Penyelenggaraan Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas layanan:
|
(3) | Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas:
|
Pasal 4
(1) | Pelaksanaan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dan huruf c diselenggarakan oleh Penyelenggara Pos dengan tidak memberikan imbal hasil. |
(2) | Pelaksanaan Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf d diselenggarakan oleh Penyelenggara Pos dan dapat memberikan imbal hasil. |
(3) | Layanan Transaksi Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) tidak memberikan pinjaman dan/atau kredit serta tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 5
(1) | Layanan tabungan Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf d dilakukan dengan menghimpun dana dari masyarakat. |
(2) | Dana dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diinvestasikan dalam bentuk instrumen investasi yang memiliki risiko yang rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pengawasan terhadap pelaksanaan layanan tabungan Pos dilaksanakan oleh Menteri dan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pasal 6
(1) | Penyelenggara Pos yang ditugaskan sebagai penyelenggara LPU wajib menyelenggarakan LPU di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Menteri menetapkan penyelenggara LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menetapkan wilayah, jumlah, metode, dan/atau formula subsidi penyelenggaraan LPU. |
(3) | Menteri dalam menetapkan formula subsidi untuk penyelenggaraan LPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
Bagian Kedua
Kerja Sama Pos Asing
Pasal 7
(1) | Penyelenggara Pos asing dapat menyelenggarakan Pos di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan syarat:
|
(2) | Penyelenggara Pos asing yang bekerja sama dengan Penyelenggara Pos dalam negeri melalui usaha patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat melaksanakan pengiriman antarkota. |
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif dan
Pendelegasian Kewenangan Mengatur
Pasal 8
(1) | Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dan/atau pelanggaran atas ketentuan Pasal 4, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1), dan/atau Pasal 7, Menteri mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha berupa:
|
(2) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu masing-masing paling lama 1 (satu) bulan. |
(3) | Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan tanggapan dan/atau keberatan tertulis dari Penyelenggara Pos. |
(4) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berjenjang. |
Pasal 9
Ketentuan lebih lanjut jika diperlukan mengenai Penyelenggaraan Pos diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB III
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 10
Penyelenggaraan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b terdiri atas:
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi
Pasal 11
(1) | Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a meliputi:
|
(2) | Penyelenggaraan jaringan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
(3) | Penyelenggaraan jaringan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
(4) | Penyelenggaraan jaringan tetap tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d merupakan penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi yang menyediakan jaringan untuk disewakan termasuk namun tidak terbatas pada kabel dengan perangkat aktif Telekomunikasi atau tanpa perangkat aktif Telekomunikasi, dan jaringan yang disediakan dengan menggunakan Spektrum Frekuensi Radio. |
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi
Pasal 12
(1) | Penyelenggaraan jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b meliputi:
|
(2) | penyelenggaraan jasa teleponi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan oleh:
|
(3) | Selain penyelenggaraan jasa teleponi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), jasa teleponi dasar dapat diselenggarakan oleh penyelenggara jasa Telekomunikasi yang menyediakan layanan teleponi dasar melalui satelit yang telah memperoleh hak labuh satelit. |
(4) | Penyelenggaraan jasa teleponi dasar oleh penyelenggara jaringan tetap lokal berbasis circuit switched sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a menyediakan fasilitas telepon umum untuk kepentingan publik sesuai dengan kriteria peruntukan, lokasi, dan jumlah yang ditetapkan oleh Menteri. |
(5) | Penyelenggara jaringan yang menyelenggarakan jasa teleponi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan teknologi berbasis protokol internet. |
(6) | Selain penyelenggaraan jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan penyelenggaraan jasa Telekomunikasi lain berdasarkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. |
Pasal 13
Menteri menetapkan kewajiban pembangunan dan/atau penyediaan layanan yang wajib dipenuhi oleh setiap penyelenggara Telekomunikasi.
Pasal 14
Menteri menetapkan standar kualitas Penyelenggaraan Telekomunikasi yang wajib dipenuhi oleh setiap penyelenggara Telekomunikasi.
Pasal 15
(1) | Pelaku Usaha baik nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usaha melalui internet kepada pengguna di wilayah Indonesia dalam melakukan kerja sama usahanya dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, dan non-diskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kegiatan usaha melalui internet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pelaku Usaha yang memenuhi ketentuan kehadiran signifikan berdasarkan:
|
(4) | Ketentuan mengenai kerja sama dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha berupa pemilik dan/atau pengguna akun pada kanal media sosial, kanal platform konten, kanal marketplace, dan jenis kanal lainnya. |
(5) | Bentuk dan materi kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk yang disepakati oleh para pihak. |
(6) | Dalam memenuhi kualitas layanan kepada penggunanya dan/atau untuk kepentingan nasional, penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dapat melakukan pengelolaan trafik. |
(7) | Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan usaha melalui internet sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (5), dan ayat (6). |
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
Pasal 16
(1) | Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c diselenggarakan untuk:
|
(2) | Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk keperluan:
|
(3) | Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Penyelenggaraan Telekomunikasi khusus yang sifat, bentuk, dan kegunaannya diperuntukkan khusus bagi keperluan pertahanan negara yang dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia, serta untuk keperluan keamanan negara yang dilaksanakan Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
Bagian Kelima
Penetapan Penomoran Telekomunikasi
Pasal 17
Penetapan Penomoran Telekomunikasi terdiri atas:
Pasal 18
(1) | Blok nomor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a ditetapkan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal yang menyelenggarakan jasa teleponi dasar. |
(2) |
National Destination Code (NDC) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b ditetapkan kepada penyelenggara:
|
(3) |
Signalling Point Code (SPC) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf c ditetapkan kepada Penyelenggara;
|
(4) |
International Signalling Point Code (ISPC) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d ditetapkan kepada penyelenggara:
|
(5) |
Public Land Mobile Network Identity (PLMNID) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf e ditetapkan kepada penyelenggara:
|
(6) | Kode akses Intelligent Network (IN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf f ditetapkan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal yang menyelenggarakan jasa teleponi dasar berbasis circuit switched. |
(7) | Kode akses Sambungan Internasional (SI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf g ditetapkan kepada penyelenggara jaringan tetap sambungan internasional. |
(8) | Kode akses Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf h ditetapkan kepada penyelenggara jaringan tetap sambungan langsung jarak jauh. |
(9) | Kode akses Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (ITKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf i ditetapkan kepada penyelenggara jasa nilai tambah teleponi layanan Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (ITKP). |
(10) | Kode akses pusat panggilan informasi (call center) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf j ditetapkan kepada penyelenggara jasa nilai tambah teleponi layanan pusat panggilan informasi (call center). |
(11) | Kode akses konten pesan pendek premium (SMS premium) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf k ditetapkan kepada penyelenggara jasa nilai tambah teleponi layanan konten pesan pendek premium (SMS premium). |
(12) | Kode akses panggilan terkelola (calling card) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf I ditetapkan kepada penyelenggara jasa nilai tambah teleponi layanan panggilan terkelola. |
(13) | Kode akses pusat layanan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf m ditetapkan kepada penyelenggara:
|
(14) | Kode akses pesan singkat layanan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf n ditetapkan kepada penyelenggara:
|
(15) | Kode akses pusat layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (13) dan kode akses pesan singkat layanan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dapat ditetapkan kepada instansi pemerintah dan/atau badan usaha milik negara. |
(16) | Kode akses panggilan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf o dapat ditetapkan kepada instansi pemerintah yang menyelenggarakan layanan panggilan darurat. |
(17) | Peruntukan dan penggunaan Penomoran Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat ayat (1) sampai dengan ayat (16) ditetapkan oleh Menteri. |
(18) | Peruntukan dan penggunaan Penomoran Telekomunikasi dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan industri Telekomunikasi dan/atau perkembangan teknologi. |
(19) | Penambahan peruntukan dan penggunaan Penomoran Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (18) ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 19
(1) | Nomor protokol internet terdiri atas:
|
(2) | Penetapan nomor protokol internet dapat diberikan kepada:
|
(3) | Pengelolaan nomor protokol internet ditetapkan oleh Menteri. |
Bagian Keenam
Hak Labuh Sistem Komunikasi Kabel Laut
Transmisi Telekomunikasi Internasional
Pasal 20
(1) | Badan usaha asing yang akan menyediakan sarana transmisi Telekomunikasi internasional melalui sistem komunikasi kabel laut transmisi Telekomunikasi internasional secara langsung ke Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara jaringan tetap sambungan internasional dan/atau penyelenggara jaringan tetap tertutup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penyelenggara jaringan tetap tertutup yang melakukan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat penetapan Hak Labuh SKKL dari Menteri. |
(3) | Dalam menetapkan Hak Labuh SKKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait. |
(4) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan paling sedikit aspek:
|
(5) | Hak Labuh SKKL untuk penyelenggara jaringan tetap sambungan internasional melekat pada izin penyelenggaraannya. |
(6) | Hak Labuh SKKL berlaku sepanjang kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dihentikan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Pelanggaran atas ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan/atau ayat (6) mengakibatkan Hak Labuh SKKL batal demi hukum. |
Bagian Ketujuh
Fasilitasi Infrastruktur Telekomunikasi
Pasal 21
(1) | Dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat berperan serta menyediakan fasilitas untuk digunakan oleh penyelenggara Telekomunikasi secara bersama dengan biaya wajar berupa:
|
(2) | Pelaksanaan penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau sumber pembiayaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan kepada penyelenggara Telekomunikasi untuk melakukan pembangunan infrastruktur Telekomunikasi secara transparan, akuntabel, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Fasilitasi dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk namun tidak terbatas pada:
|
(5) | Dalam memberikan fasilitasi dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Daerah dan/atau instansi yang berwenang wajib berkoordinasi dengan Menteri. |
Pasal 22
(1) | Penyelenggara jaringan dalam menyelenggarakan Jaringan Telekomunikasi dapat bekerja sama dengan penyedia infrastruktur pasif. |
(2) | Infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Penyediaan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh:
|
(4) | Kerja sarna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan harga pemanfaatan yang wajar dan berbasis biaya. |
(5) | Penyedia infrastruktur pasif menetapkan tarif harga pemanfaatan infrastruktur pasif dengan mempertimbangkan efisiensi nasional, kondisi pasar, dampak positif keekonomian, dan kepentingan masyarakat. |
(6) | Dalam hal harga pemanfaatan infrastruktur pasif tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Menteri menetapkan tarif batas atas harga pemanfaatan yang wajib dipenuhi penyedia infrastruktur pasif. |
Bagian Kedelapan
Penyewaan dan/atau Penggunaan
Jaringan Telekomunikasi
Pasal 23
(1) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dapat menyewakan Jaringan Telekomunikasinya kepada penyelenggara Telekomunikasi lain dan nonpenyelenggara Telekomunikasi. |
(2) | Penyewaan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kesepakatan secara adil, wajar, dan non-diskriminatif. |
(3) | Selain penyewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jaringan Telekomunikasi dapat digunakan oleh penyelenggara jasa Telekomunikasi. |
(4) | Penggunaan Jaringan Telekomunikasi oleh penyelenggara jasa Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penggunaan Jaringan Telekomunikasinya untuk keperluan sendiri. |
(5) | Penyewaan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau penggunaan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa kapasitas Jaringan Telekomunikasi dan/atau sistem jaringan/sistem pendukung lainnya. |
Pasal 24
Penyewaan Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 wajib dimuat dalam perjanjian tertulis.
Bagian Kesembilan
Pemanfaatan Infrastruktur
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 25
(1) | Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur pasif yang dapat digunakan untuk keperluan Telekomunikasi wajib membuka akses pemanfaatan infrastruktur pasif dimaksud kepada penyelenggara Telekomunikasi. |
(2) | Pemanfaatan infrastruktur pasif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kerja sama para pihak secara adil, wajar, dan nondiskriminatif. |
(3) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menjamin kesinambungan kualitas layanan. |
Pasal 26
(1) | Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur aktif di bidang Telekomunikasi dan/atau Penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara Telekomunikasi berdasarkan kesepakatan melalui kerja sama para pihak dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk bidang Telekomunikasi merupakan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi. |
(3) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyewakan kapasitas jaringan. |
Bagian Kesepuluh
Tarif Penyelenggaraan Jaringan dan/atau
Jasa Telekomunikasi
Pasal 27
(1) | Tarif Penyelenggaraan Telekomunikasi terdiri atas tarif penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan tarif penyelenggaraan jasa Telekomunikasi. |
(2) | Susunan tarif Penyelenggaraan Telekomunikasi terdiri atas jenis dan struktur tarif. |
Pasal 28
(1) | Jenis tarif penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi terdiri atas:
|
(2) | Jenis tarif penyelenggaraan jasa Telekomunikasi terdiri atas:
|
Pasal 29
(1) | Struktur tarif penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi terdiri atas:
|
(2) | Struktur tarif penyelenggaraan jasa Telekomunikasi terdiri atas:
|
Pasal 30
(1) | Besaran tarif penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau jasa Telekomunikasi ditetapkan oleh penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau jasa Telekomunikasi berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri. |
(2) | Menteri dapat menetapkan tarif batas atas dan/atau tarif batas bawah Penyelenggaraan Telekomunikasi dengan memperhatikan kepentingan masyarakat dan persaingan usaha yang sehat. |
Bagian Kesebelas
Jual Kembali Jasa Telekomunikasi
Pasal 31
(1) | Jual Kembali Jasa Telekomunikasi dapat dilaksanakan untuk jasa:
|
(2) | Jual kembali jasa teleponi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk namun tidak terbatas pada jasa teleponi dasar yang menggunakan teknologi protokol internet. |
(3) | Jual kembali jasa nilai tambah teleponi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk namun tidak terbatas pada jasa nilai tambah teleponi layanan konten pesan pendek premium (SMS premium). |
(4) | Jual kembali jasa multimedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c termasuk namun tidak terbatas pada jasa multimedia layanan akses internet. |
(5) | Jual Kembali Jasa Telekomunikasi dilaksanakan berdasarkan pola kerja sama yang disepakati dan dapat dituangkan dalam perjanjian kerja sama antara penyelenggara jasa Telekomunikasi dengan pelaksana Jual Kembali Jasa Telekomunikasi. |
(6) | Menteri dapat memfasilitasi pelaksanaan Jual Kembali Jasa Telekomunikasi untuk meningkatkan aksesibilitas layanan Telekomunikasi. |
Bagian Kedua Belas
Interkoneksi
Pasal 32
(1) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi wajib menjamin tersedianya Interkoneksi. |
(2) | Interkoneksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan teknologi yang di sepakati oleh penyelenggara Telekomunikasi. |
Bagian Ketiga Belas
Kewajiban Pelayanan Universal
Pasal 33
(1) | Menteri mengatur ketersediaan layanan Telekomunikasi pada wilayah pelayanan universal Telekomunikasi dalam rangka transformasi digital nasional. |
(2) | Ketersediaan layanan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
|
(3) | Penyediaan infrastruktur Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a termasuk namun tidak terbatas pada penyediaan infrastruktur pasif dan/atau infrastruktur aktif untuk dimanfaatkan oleh penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi dalam menyediakan layanan Telekomunikasi di wilayah pelayanan universal Telekomunikasi. |
(4) | Untuk mengoptimalkan pemanfaatan layanan Telekomunikasi pada wilayah pelayanan universal Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melaksanakan pemberdayaan ekosistem teknologi informasi dan komunikasi. |
(5) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara jasa Telekomunikasi wajib memberikan kontribusi kewajiban pelayanan universal dalam bentuk dana berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan kotor penyelenggaraan Telekomunikasi dan/atau kontribusi lainnya. |
(6) | Dalam hal dana yang diperoleh dari kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak mencukupi untuk menyediakan layanan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menggunakan dana lain yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Besaran kontribusi kewajiban pelayanan universal dalam bentuk dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah mengenai Penerimaan Negara Bukan Pajak. |
Bagian Keempat Belas
Standar Teknis Alat Telekomunikasi
dan/atau Perangkat Telekomunikasi
Pasal 34
(1) | Setiap Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukan, untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memenuhi Standar Teknis. |
(2) | Pemenuhan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan Sertifikat. |
Pasal 35
(1) | Kewajiban Sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) dikecualikan untuk Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(2) | Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang menimbulkan gangguan yang merugikan terhadap Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi lainnya. | ||||||||||||||
(3) | Dalam hal setelah jangka waktu penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 berakhir, Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi:
|
||||||||||||||
(4) | Pelaksanaan ekspor kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaporkan kepada Menteri dengan melampirkan surat pemberitahuan ekspor barang yang dikeluarkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
Pasal 36
(1) | Standar Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ditetapkan untuk:
|
(2) | Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Standar Teknis juga ditetapkan untuk mendorong berkembangnya industri, inovasi, dan rekayasa teknologi Telekomunikasi nasional. |
Pasal 37
(1) | Menteri menetapkan Standar Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). |
(2) | Perumusan Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
|
(3) | Dalam hal tertentu, Menteri dapat menyetujui penggunaan standar internasional untuk Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang belum memiliki Standar Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 38
(1) | Menteri menerbitkan Sertifikat Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang telah memenuhi Standar Teknis berdasarkan hasil pengujian untuk setiap tipe dan negara asal pembuatan Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi. |
(2) | Pengujian Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh laboratorium uji yang ditetapkan oleh Menteri sebagai balai uji Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi. |
(3) | Laboratorium uji sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki akreditasi dari lembaga yang berwenang. |
(4) | Penerbitan Sertifikat serta pengujian Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 39
(1) | Setiap Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang menggunakan Spektrum Frekuensi Radio dan sengaja didesain untuk:
|
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi penggunaan Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi untuk kepentingan negara. |
(3) | Penggunaan Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi untuk kepentingan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapatkan persetujuan Menteri. |
Pasal 40
(1) | Menteri dapat melakukan saling pengakuan laporan hasil uji Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi dengan negara lain. |
(2) | Saling pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 41
(1) | Dalam penilaian kesesuaian Standar Teknis Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi, dikenakan biaya Sertifikat. |
(2) | Biaya Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besarannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 42
(1) | Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi yang telah memperoleh Sertifikat wajib diberi label. |
(2) | Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi:
|
(3) | Ketentuan mengenai label sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kelima Belas
Sanksi Administratif dan
Pendelegasian Kewenangan Mengatur
Pasal 43
(1) | Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dan/atau pelanggaran atas ketentuan Pasal 13, Pasal 14, Pasal 20 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22 ayat (6), Pasal 24, Pasal 25 ayat (1), Pasal 30 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), dan/atau Pasal 33 ayat (5), Menteri mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha berupa:
|
(2) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu masing-masing paling lama 1 (satu) bulan. |
(3) | Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan tanggapan dan/atau keberatan tertulis dari Pelaku Usaha. |
(4) | Pencabutan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan pencabutan jenis penyelenggaraan tertentu yang tercantum dalam Perizinan Berusaha pada kegiatan usaha penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi atau kegiatan usaha penyelenggaraan jasa Telekomunikasi sesuai dengan jenis penyelenggaraan yang dilanggarnya dan tidak berakibat pada pencabutan jenis penyelenggaraan yang lain. |
(5) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara berjenjang. |
Pasal 44
Ketentuan lebih lanjut jika diperlukan mengenai Penyelenggaraan Telekomunikasi diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB IV
PENGGUNAAN SPEKTRUM FREKUENSI RADIO
Pasal 45
(1) | Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio wajib terlebih dahulu mendapatkan izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dari Menteri. |
(2) | Izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Menteri menetapkan izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio berdasarkan hasil analisis teknis. |
(4) | Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio serta ketentuan operasional penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 46
(1) | IPFR berlaku untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun. |
(2) | IPFR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun berdasarkan hasil evaluasi. |
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan pertimbangan:
|
Pasal 47
(1) | ISR berlaku untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(2) | ISR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu paling lama 5 (tima) tahun. |
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan pertimbangan:
|
Pasal 48
(1) | Dalam hal pemegang tzin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang telah habis masa perpanjangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) atau Pasal 47 ayat (2), bermaksud menggunakan Spektrum Frekuensi Radio untuk masa laku berikutnya, dapat mengajukan permohonan baru izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(2) | Proses permohonan baru izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui mekanisme evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan prioritas dalam permohonan baru izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan:
|
(4) | BHP Spektrum Frekuensi Radio untuk izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penyesuaian dengan nilai keekonomian pita frekuensi radio pada saat diajukannya permohonan baru izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
Pasal 49
(1) | Menteri dapat menetapkan penggunaan bersama Spektrum Frekuensi Radio. |
(2) | Penggunaan bersama Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang diberikan kepada masing-masing pengguna Spektrum Frekuensi Radio dalam bentuk:
|
(3) | Penggunaan bersama Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip efisiensi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan tidak menimbulkan gangguan yang merugikan. |
(4) | Penggunaan bersama Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pembedaan waktu, wilayah, dan/atau teknologi. |
Pasal 50
(1) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dapat melakukan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk penerapan teknologi baru dengan penyelenggara Jaringan Telekomunikasi lainnya dan/atau penyelenggara Telekomunikasi khusus. |
(2) | Teknologi baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk pada teknologi Telekomunikasi yang implementasinya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan setelah pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. |
(3) | Spektrum Frekuensi Radio yang dapat dikerjasamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pita frekuensi radio yang telah ditetapkan hak penggunaannya dalam bentuk IPFR. |
(4) | Kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan tujuan:
|
(5) | Kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip persaingan usaha yang sehat dan non-diskriminatif. |
(6) | Kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil evaluasi. |
(7) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mempertimbangkan tujuan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan prinsip kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
Pasal 51
(1) | Permohonan persetujuan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (6) dapat diajukan oleh penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dan/atau penyelenggara Telekomunikasi khusus yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Penyelenggara Telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan instansi pemerintah atau badan hukum Indonesia yang telah memenuhi ketentuan perizinan penyelenggaraan Telekomunikasi khusus. |
(3) | Kerja Sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
|
(4) | Selain bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat menetapkan bentuk kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio lainnya dengan memperhatikan perkembangan teknologi. |
(5) | Kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilaksanakan:
|
Pasal 52
(1) | Jangka waktu bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan tidak melebihi masa laku IPFR Yang dikerjasamakan. |
(2) | Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan tidak mengurangi kewajiban pembangunan Jaringan Telekomunikasi Pemegang IPFR. |
Pasal 53
(1) | Jangka waktu bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan tidak melebihi masa laku IPFR yang dikerjasamakan dengan mengikuti masa laku IPFR Yang Paling Pendek. |
(2) | Penggunaan spektrum Frekuensi Radio untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan:
|
Pasal 54
(1) | Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat ketidaksesuaian atas tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (41 dan/atau prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (5), penyelenggara Telekomunikasi yang melakukan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dikenai sanksi administratif berupa:
|
(3) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. |
(4) | Dalam hal penyelenggara Telekomunikasi yang dikenai teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga belum menyesuaikan dengan prinsip dan/atau tujuan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, dikenai sanksi denda administratif. |
(5) | Dalam hal penyelenggara Telekomunikasi yang dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan batas waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak dikenai sanksi denda administratif, tidak membayar denda administratif dan/atau belum menyesuaikan dengan prinsip dan/atau tujuan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, dikenai sanksi pencabutan persetujuan kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(6) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang besarannya ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 55
(1) | Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dapat melakukan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio kepada penyelenggara Jaringan Telekomunikasi lainnya. |
(2) | Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pita frekuensi radio yang telah ditetapkan hak penggunaannya dalam bentuk IPFR. |
(3) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prinsip:
|
Pasal 56
(1) | Permohonan persetujuan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dapat diajukan oleh penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
(2) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk:
|
(3) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan tujuan:
|
(4) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan dengan tujuan yang sama dengan tujuan kerja sama penggunaan spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (4). |
(5) | Pengalihan hak penggunaan spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) mengakibatkan, IPFR dicabut dari pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan ditetapkan kepada penerima pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(6) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
(7) | Dalam hal 2 (dua) atau lebih badan hukum pemegang IPFR melakukan penggabungan atau peleburan badan hukum, pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dapat dilakukan untuk seluruh pita frekuensi radio. |
Pasal 57
(1) | Pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil evaluasi. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan prinsip pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dan tujuan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dan/atau ayat (4). |
(3) | Menteri melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat ketidaksesuaian atas prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) dan/atau tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) dan/atau ayat (4), penyelen ggara Telekomunikasi yang melakukan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dikenai sanksi administratif berupa:
|
(5) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. |
(6) | Dalam hal penyelenggara Telekomunikasi yang dikenai teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga belum menyesuaikan dengan prinsip dan/atau tujuan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio, dikenai sanksi administratif pencabutan persetujuan pengalihan hak penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
Pasal 58
(1) | Menteri dapat melakukan optimalisasi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio terhadap izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang telah ditetapkan. |
(2) | Optimalisasi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:
|
(3) | Menteri memberitahukan rencana pelaksanaan optimalisasi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
Pasal 59
(1) | Pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio wajib membayar BHP Spektrum Frekuensi Radio. |
(2) | Menteri menetapkan besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio dengan memperhatikan:
|
(3) | Besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan dalam hal terdapat:
|
(4) | Kewajiban BHP Spektrum Frekuensi Radio mulai dikenakan pada saat izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio diterbitkan. |
(5) | BHP Spektrum Frekuensi Radio dibayar di muka setiap tahun. |
Pasal 60
(1) | Kewajiban pembayaran BHP Spektrum Frekuensi Radio untuk bentuk kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf a hanya dikenakan kepada penyelenggara Telekomunikasi yang menjadi pemegang IPFR. |
(2) | Kewajiban pembayaran BHP Spektrum Frekuensi Radio untuk bentuk kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b dikenakan kepada setiap penyelenggara Telekomunikasi pemegang IPFR yang melakukan kerja sama dengan besaran yang ditetapkan sesuai IPFR masing-masing. |
(3) | Besaran BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disesuaikan berdasarkan jenis layanan atau penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagai hasil kerja sama penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (3) huruf b. |
Pasal 61
(1) | BHP Spektrum Frekuensi Radio merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak. |
(2) | BHP Spektrum Frekuensi Radio yang telah dibayarkan ke kas negara tidak dapat ditarik kembali. |
Pasal 62
Kewajiban membayar BHP Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dikecualikan untuk penggunaan Spektrum Frekuensi Radio meliputi:
Pasal 63
(1) | Izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dapat diakhiri sebelum berakhir masa laku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47. |
(2) | Pengakhiran masa laku izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar:
|
(3) | Pengakhiran izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghapuskan kewajiban pelunasan BHP Spektrum Frekuensi Radio yang terutang. |
Pasal 64
(1) | Pengakhiran masa laku izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio atas dasar pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a dilakukan karena:
|
(2) | Tata cara permohonan penghentian izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 65
(1) | Menteri menetapkan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang tidak optimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b berdasarkan evaluasi dengan memperhatikan pemenuhan terhadap kewajiban yang telah ditetapkan kepada pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(2) | Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek:
|
Pasal 66
(1) | Rencana pengakhiran masa laku izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio atas dasar pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a karena:
|
(2) | Dalam hal rencana pengakhiran masa laku izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kurang dari 2 (dua) tahun, Menteri dapat menetapkan ganti kerugian kepada pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. |
(3) | Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan oleh Menteri atau oleh pengguna baru pada Spektrum Frekuensi Radio yang dicabut. |
Pasal 67
Ketentuan lebih lanjut jika diperlukan mengenai penggunaan Spektrum Frekuensi Radio diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V
PENYELENGGARAAN PENYIARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 68
(1) | Penyelenggaraan Penyiaran terdiri atas:
|
(2) | Jasa Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh:
|
(3) | LPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
(4) | Penyelenggaraan Penyiaran jasa Penyiaran radio dan jasa Penyiaran televisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan melalui media:
|
(5) | Penyelenggaraan Penyiaran melalui media sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. |
(6) | Ketentuan mengenai pemanfaatan perkembangan teknologi dalam penyelenggaraan Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri. |
(7) | Penyelenggaraan jasa Penyiaran radio dan jasa Penyiaran televisi secara digital melalui terestrial meliputi:
|
(7) | Penyediaan layanan multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b berlaku untuk lembaga Penyiaran yang menggunakan teknologi digital melalui media terestrial. |
Pasal 69
(1) | LPP Lokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (3) huruf c dapat didirikan di daerah provinsi atau kabupaten/kota dengan kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
|
(2) | Kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan untuk LPP Lokal yang didirikan dengan menggunakan teknologi digital. |
Pasal 70
(1) | Penyelenggaraan Penyiaran yang diselenggarakan oleh lembaga Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) wajib memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha untuk memperoleh IPP. |
(2) | Untuk memperoleh IPP, Pelaku Usaha harus mengajukan uji laik operasi Penyiaran dan memperoleh surat keterangan laik operasi Penyiaran. |
(3) | Sebelum pelaksanaan uji laik operasi Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha melaksanakan pembangunan dan f atau menyediakan sarana dan prasarana Penyiaran. |
(4) | Dalam hal penyelenggaraan Penyiaran menggunakan Spektrum Frekuensi Radio dan/atau satelit asing, sebelum pelaksanaan uji laik operasi Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memenuhi Perizinan Berusaha penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan/atau hak labuh satelit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | IPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. |
Pasal 71
(1) | Perizinan Berusaha untuk penyelenggaraan Penyiaran dengan media sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) diberikan melalui mekanisme evaluasi. |
(2) | Permohonan Perizinan Berusaha untuk penyelenggaraan Penyiaran melalui media terestrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (4) huruf a untuk LPS dan LPB dapat diajukan setelah adanya pengumuman peluang penyelenggaraan Penyiaran oleh Menteri. |
(3) | Dalam hal pada 1 (satu) wilayah layanan siaran, jumlah permohonan Perizinan Berusaha penyelenggaraan Penyiaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi jumlah ketersediaan kanal frekuensi radio dan/atau ketersediaan slot multipleksing, Perizinan Berusaha diberikan melalui mekanisme seleksi |
Pasal 72
(1) | Penyelenggaraan Penyiaran dapat dilakukan dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia, regional, dan/atau lokal dengan terlebih dahulu memperoleh persetujuan Menteri. |
(2) | Penyelenggaraan Penyiaran untuk cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia dapat dilakukan oleh:
|
(3) | Penyelenggaraan Penyiaran untuk cakupan wilayah siaran regional dan/atau lokal dapat dilakukan oleh:
|
(4) | Lembaga Penyiaran yang melaksanakan penyelenggaraan Penyiaran melalui media terestrial dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c wajib memiliki cabang paling sedikit di ibukota provinsi dan bersiaran di cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | LPS yang melaksanakan penyelenggaraan Penyiaran digital melalui media terestrial dengan cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia dan regional, siarannya wajib memuat konten lokal paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari waktu siaran keseluruhan per hari. |
(6) | Cakupan wilayah siaran meliputi seluruh Indonesia, regional, dan/atau lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
(7) | LPS dapat menyelenggarakan layanannya dengan sistem stasiun jaringan dengan jangkauan wilayah siaran sampai dengan seluruh Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 73
setiap perubahan nama, alamat kantor, susunan pengurus, dan/atau saham oleh lembaga Penyiaran harus dilaporkan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) bulan sejak dilakukan perubahan.
Pasal 74
(1) | Setiap perubahan kepemilikan saham baik langsung maupun tidak langsung pada LPS dan LPB wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Perubahan kepemilikan saham LPS dilarang mengakibatkan pelanggaran ketentuan:
|
(3) | Perubahan kepemilikan saham LPB dilarang mengakibatkan pelanggaran ketentuan:
|
Pasal 75
Dalam menyelenggarakan siarannya, LPB wajib:
a. | melakukan sensor internal terhadap semua isi siaran yang akan disiarkan dan/atau disalurkan; |
b. | menyediakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari kapasitas saluran untuk menyalurkan program dari LPP dan LPS; dan |
c. | menyediakan 1 (satu) saluran siaran produksi dalam negeri berbanding 10 (sepuluh) saluran siaran produksi luar negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 76
(1) | Radius siaran LPK jasa Penyiaran radio yang bersiaran melalui media terestrial dibatasi maksimum 2,5 km (dua koma lima kilometer) dari lokasi pemancar atau dengan Effective Radiated Power (ERP) maksimum 46,99 (empat puluh enam koma sembilan sembilan) dBm. |
(2) | Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk LPK yang bersiaran melalui layanan multipleksing siaran televisi digital terestrial. |
Pasal 77
(1) | LPP, LPS, LPK, dan LPB wajib membayar biaya Perizinan Berusaha melalui kas negara. |
(2) | Besaran dan tata cara pembayaran biaya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Kedua
Migrasi Penyiaran Televisi Terestrial dari
Teknologi Analog ke Teknologi Digital
Pasal 78
(1) | Penyelenggaraan Penyiaran jasa Penyiaran televisi melalui media terestrial dilakukan dengan teknologi digital melalui Penyelenggaraan Multipleksing. |
(2) | Penyelenggaraan Multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan Spektrum Frekuensi Radio sebagai sumber daya alam terbatas yang dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Menteri. |
(3) | Penyelenggaraan Penyiaran jasa Penyiaran televisi dengan teknologi digital melalui media terestrial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui beberapa penyelenggara multipleksing dalam jumlah terbatas. |
(4) | Jumlah penyelenggara multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. |
(5) | Penyelenggara multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
(6) | Penetapan LPP Televisi Republik Indonesia sebagai penyelenggara multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dilakukan oleh Menteri tanpa melalui evaluasi atau seleksi. |
(7) | Penetapan penyelenggara multipleksing untuk LPS jasa Penyiaran televisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilakukan oleh Menteri melalui evaluasi atau seleksi. |
(8) | Penetapan penyelenggara multipleksing melalui evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berlaku untuk LPS jasa Penyiaran televisi yang telah melakukan investasi dan telah menyelenggarakan multipleksing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(9) | Menteri melaksanakan seleksi penyelenggara multipleksing untuk LPS jasa Penyiaran televisi sebagaimana dimaksud pada ayat (71 pada wilayah layanan siaran yang belum ditetapkan penyelenggara multipleksingnya sebagaimana dimaksud pada ayat (8). |
(10) | Penetapan penyelenggara multipleksing berdasarkan seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) mempertimbangkan penyelenggara yang telah menyelenggarakan multipleksing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(11) | Menteri menetapkan penyelenggara multipleksing melalui evaluasi atau seleksi berdasarkan pertimbangan:
|
Pasal 79
Penyelenggara multipleksing melaksanakan layanan program siaran sesuai dengan cakupan wilayah Penyelenggaraan Multipleksingnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 80
(1) | Pelaku Usaha yang memiliki infrastruktur aktif di bidang Telekomunikasi dan/atau Penyiaran dapat membuka akses pemanfaatan infrastruktur dimaksud kepada penyelenggara Penyiaran berdasarkan kesepakatan melalui kerja sama para pihak dengan mempertimbangkan persaingan usaha yang sehat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penyelenggara multipleksing dapat bekerja sama dengan penyelenggara multipleksing lainnya dan/atau penyelenggara Jaringan Telekomunikasi dalam rangka penggunaan bersama infrastruktur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 81
(1) | LPP, LPS, dan/atau LPK menyediakan layanan program siaran dengan menyewa slot multipleksing kepada penyelenggara multipleksing. |
(2) | Dalam hal LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi menjadi penyelenggara multipleksing, penyediaan program siaran dari LPP Televisi Republik Indonesia atau LPS jasa Penyiaran televisi tersebut disalurkan melalui slot multipleksingnya sendiri. |
(3) | Penyelenggara multipleksing wajib memenuhi permohonan penyewaan slot multipleksing dari LPP, LPS, dan/atau LPK sepanjang slot multipleksing masih tersedia dan memenuhi syarat penyewaan slot multipleksing yang ditetapkan oleh penyelenggara multipleksing. |
(4) | Penyelenggara multipleksing wajib menetapkan syarat penyewaan slot multipleksing yang memenuhi prinsip keterbukaan akses dan non-diskriminatif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Mekanisme penyewaan sisa slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan pengumuman Penyelenggaraan Multipleksing yang ditetapkan oleh Menteri. |
(6) | Menteri dapat menetapkan pemanfaatan penggunaan multipleksing dan/atau slot multipleksing yang tidak dimanfaatkan oleh penyelenggara multipleksing. |
Pasal 82
(1) | Penghitungan tarif sewa slot multipleksing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 yang dilakukan oleh penyelenggara multipleksing wajib mengacu pada formula tarif serta memperoleh persetujuan Menteri untuk ditetapkan. |
(2) | Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan hasil evaluasi. |
Pasal 83
(1) | Penyelenggara multipleksing wajib mempublikasikan pembukaan peluang kerja sama dan informasi mengenai slot multipleksing yang dikelolanya untuk disewakan kepada LPP, LPS, dan/atau LPK. |
(2) | Informasi mengenai slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memuat paling sedikit:
|
(3) | Informasi mengenai slot multipleksing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan secara terbuka paling sedikit melalui situs web resmi dari penyelenggara multipleksing . |
Pasal 84
Menteri menetapkan penomoran penyelenggaraan Penyiaran bagi lembaga Penyiaran setelah mendapatkan IPP.
Pasal 85
(1) | Pemerintah membantu penyediaan alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) kepada rumah tangga miskin agar dapat menerima siaran televisi secara digital melalui terestrial. |
(2) | Penyediaan alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) kepada rumah tangga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari komitmen penyelenggara multipleksing. |
(3) | Dalam hal penyediaan alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mencukupi, dapat berasal dari:
|
(4) | Kriteria penerima alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) dan mekanisme pendistribusian alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) kepada rumah tangga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. |
(5) | Pengawasan atas pelaksanaan pendistribusian alat bantu penerimaan siaran (set-top-box/STB) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Menteri. |
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif dan
Pendelegasian Kewenangan Mengatur
Pasal 86
(1) | Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dan/atau pelanggaran atas ketentuan Pasal 70 ayat (1), Pasal 70 ayat (4), Pasal 72 ayat (4), Pasal 72 ayat (5), Pasal 72 ayat (7), Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (1), Pasal 78 ayat (1), Pasal 79, Pasal 81 ayat (3), Pasal 81 ayat (4), Pasal 82 ayat (1), Pasal 83, dan/atau Pasal 85 ayat (2), Menteri mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha berupa:
|
(2) | Dalam hal terdapat ketidaksesuaian dan/atau pelanggaran terkait dengan isi siaran, Komisi benyiaian Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada lembaga Penyiaran berupa:
|
(3) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga Penyiaran dapat dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha oleh Menteri berdasarkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap |
(4) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu masing-masing paling lama 1 (satu) bulan. |
(5) | Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mempertimbangkan tanggapan dan/atau keberatan tertulis dari Pelaku Usaha dan/atau lembaga Penyiaran. |
(6) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dilakukan secara berjenjang. |
Pasal 87
Ketentuan lebih lanjut jika diperlukan mengenai penyelenggaraan Penyiaran diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
HAK MENDAHULUI PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK
SEKTOR POS, TELEKOMUNIKASI, DAN PENYIARAN
Pasal 88
Penerimaan Negara Bukan Pajak sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran terdiri atas:
Pasal 89
(1) | Negara mempunyai hak mendahului untuk tagihan Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 atas harta wajib bayar |
(2) | Hak mendahului atas Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi segala hak mendahului lainnya, kecuali terhadap hak mendahului dari pihak yang diatur dengan Undang-Undang. |
BAB VII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 90
Menteri melakukan pengawasan dan pengendalian Penyelenggaraan Pos, penyelenggaraan Telekomunikasi penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan penyelenggaraan Penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 91
Pengawasan atas isi siaran dalam penyelenggaraan eenliaran dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 92
(1) | Menteri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan (quality of service) dan/atau produk layanan dari Pelaku Usaha yang mendapatkan perizinan Berusaha di bidang Pos, Telekomunikasi, dan/atau Penyiaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem monitoring Penyelenggaraan Pos, Penyelenggaraan telekomunikasi, dan penyelenggaraan Penyiaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. |
(3) | Penyelenggara Pos, penyelenggara Telekomunikasi, dan penyelenggara Penyiaran wajib membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Menteri dapat mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) |
(5) | pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(6) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu masing-masing paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Pengenaan sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mempertimbangkan tanggapan dan/atau keberatan tertulis dari Penyelenggara Pos, penyelenggara Telekomunikasi, atau penyelenggara Penyiaran. |
(8) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan secara berjenjang. |
Pasal 93
Ketentuan lebih lanjut mengenai monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 94
Untuk kepentingan nasional termasuk namun tidak terbatas pada bidang pendidikan, kesehatan, kebencanaan, keamanan, dan kedaruratan, Menteri dapat membuat dan menggunakan platform digital, pusat kontak (contact center), aplikasi, dan/atau layanan lainnya dengan melibatkan pelaku Usaha di bidang Pos, Telekomunikasi, penyiaran , dan/atau instansi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 95
(1) | Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha dalam rangka percepatan cipta kerja. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
Pasal 96
Dalam hal Peraturan Pemerintah ini memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, Menteri dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 97
(1) | LPP, LPS, dan LPK jasa Penyiaran televisi:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian siaran analog sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Peraturan Menteri. |
(3) | LPP, LPS, dan LPK jasa Penyiaran televisi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenai sanksi administratif berupa pencabutan ISR untuk televisi analog. |
Pasal 98
Menteri menetapkan tahapan proses pelaksanaan penghentian penyelenggaraan layanan transmisi televisi dengan, sistem Penyiaran terestrial dengan teknologi analog dengan memperhatikan:
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99
Ketentuan pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan pemerintah ini tidak berlaku bagi Pelaku usaha atau pihak yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha, izin, dan/atau persetujuan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini kecuali ketentuan tersebut lebih menguntungkan bagi pemegang Perizinan Berusaha, izin, dan/atau persetujuan dimaksud.
Pasal 100
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Perizinan Berusaha, izin, dan/atau persetujuan yang sudah terbit, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Perizinan Berusaha, izin, dan/atau persetujuan dimaksud.
Pasal 101
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 102
pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah mengenai Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 103
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
|
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 56
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2021
TENTANG
POS, TELEKOMUNIKASI, DAN PENYIARAN
I. UMUM
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik material maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa "setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.", oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pemenuhan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam kerangka transformasi digital Indonesia.
Transformasi digital Indonesia akan membawa Indonesia menjadi bangsa yang lebih tangguh di masa depan, dengan fokus pada:
a. | percepatan perluasan akses dan peningkatan infrastruktur digital dan penyediaan layanan internet; |
b. | percepatan perluasan dan peningkatan layanan Pos dan logistik dalam mendukung ekonomi digital dan layanan keuangan yang inklusif; |
c. | penyiapan roadmap transformasi digital di sektor-sektor strategis, baik pada sektor pemerintahan, layanan publik, bantuan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, maupun Penyiaran; |
d. | percepatan integrasi pusat data nasional; |
e. | penyiapan kebutuhan sumber daya manusia talenta digital; dan |
f. | penyiapan yang berkaitan dengan regulasi terkait skema pendanaan dan pembiayaan transformasi digital nasional. |
Sektor pos, Telekomunikasi dan Penyiaran memiliki nilai sangat strategis karena menjadi pilar utama pada saat Indonesia memasuki transformasi digital dan menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional. Melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta Kerja serta peraturan Pemerintah ini, ada 3 (tiga) hal fundamental yang mempengaruhi percepatan transformasi digital Indonesia, yakni menembus kebuntuan regulasi implementasi penghentian siaran analog dan beralih ke digital (Analog Switch off/ASO) paling lambat tanggal 2 November 2022 pencegahan inefisiensi Spektrum Frekuensi Radio, dan optimalisasi infrastruktur pasif.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan transformasi digital Indonesia dan ekonomi digital dimaksud, diperlukan perubahan dan penyempurnaan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos, Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Perubahan peraturan pelaksanaan tersebut merupakan bagian dari amanat Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta Kerja yang mengubah ketiga Undang-Undang tersebut.
Peraturan Pemerintah ini meliputi pengaturan terkait:
a. | Penyelenggaraan Pos; |
b. | Penyelenggaraan Telekomunikasi; |
c. | Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio; dan |
d. | Penyelenggaraan Penyiaran. |
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "penyelenggara jaringan tetap lokal berbasis circuit switched" termasuk yang telah mengembangkan jaringannya menggunakan teknologi lain berbasis Protokol internet.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Pembangunan dan/atau penyediaan layanan Telekomunikasi bersifat nasional.
Pada prinsipnya penetapan kewajiban pembangunan dan/atau penyediaan layanan tidak menghilangkan hak untuk membangun dan/atau menyediakan layanan di daerah lain.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan "standar kualitas Penyelenggaraan Telekomunikasi" adalah termasuk namun tidak terbatas pada kualitas Jaringan Telekomunikasi, jasa Telekomunikasi, dan penanganan keluhan pelanggan.
Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha melalui internet" adalah Over-The-Top (OTT) dalam bentuk substitusi layanan Telekomunikasi, platform layanan konten audio dan/atau visual, dan/atau layanan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "substitusi layanan Telekomunikasi" adalah berupa layanan yang dapat menggantikan layanan jasa Telekomunikasi antara lain komunikasi dalam bentuk pesan pendek, panggilan suara, panggilan video, konferensi video (video conference), percakapan daring, dan/atau pengiriman dan penerimaan data.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "platform layanan konten audio dan/atau visual" antara lain penyediaan semua bentuk informasi digital yang terdiri dari tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film, permainan (game), atau kombinasi dari sebagian dan/atau semuanya termasuk dalam bentuk yang dialirkan (streaming) atau diunduh (download).
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pengelolaan trafik dilakukan dalam rangka pemenuhan kualitas layanan kepada penggunanya sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat dan/atau untuk kepentingan nasional.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Pemerintah Pusat dan/atau pemerintah Daerah" adalah termasuk antara lain Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
yang dimaksud dengan "infrastruktur pasif" termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (duct), menara, tiang, lubang kabel (manhole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran Jaringan Telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "infrastruktur aktif" merupakan perangkat aktif Telekomunikasi yang dapat digunakan dalam menyediakan layanan Telekomunikasi, misalnya perangkat Radio Access Network (RAN).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Fasilitasi pelaksanaan Jual Kembali Jasa Telekomunikasi oleh Menteri diperlukan dalam hal, antara lain, tidak tersedianya infrastruktur jaringan dan/atau jasa Telekomunikasi pada suatu wilayah layanan, sehingga dibutuhkan upaya dari pelaksana Jual Kembali Jasa Telekomunikasi untuk menyediakan tambahan atau perluasan infrastruktur jaringan dan/atau jasa Telekomunikasi yang dapat menjangkau masyarakat yang belum terjangkau layanan Telekomunikasi.
Contohnya seperti jual kembali layanan akses internet yang belum dapat diakses oleh komunitas di wilayah tertentu.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "tidak untuk tujuan komersial" adalah Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi tidak digunakan untuk keperluan penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau jasa Telekomunikasi, atau penyelenggaraan Penyiaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "lembaga yang berwenang" adalah lembaga yang mempunyai kewenangan melaksanakan kegiatan pemberian akreditasi laboratorium uji.
Pengujian dilakukan terhadap sampel Alat Telekomunikasi dan/atau Perangkat Telekomunikasi berdasarkan Standar Teknis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "analisis teknis" adalah perhitungan parameter teknis antara lain daya pancar, lebar pita Spektrum Frekuensi Radio, jenis Spektrum Frekuensi Radio, daerah cakupan, arah pancaran, penguatan antena (gain antenna), dan/atau letak geografis.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pemenuhan kewajiban penggunaan Spektrum Frekuensi Radio merupakan pemenuhan kewajiban selama masa laku izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio 2 (dua) periode masa laku izin sebelumnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perencanaan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio" adalah rencana penggunaan Spektrum Frekuensi Radio oleh pemegang izin dan/atau perencanaan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh teknologi baru pada jaringan bergerak seluler adalah International Mobile Telecommunications 2020 (IMT-2020).
Contoh teknologi baru untuk keperluan persinyalan kereta adalah Global System for Mobile communications-Railway (GSM-R).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban pembangunan 5 (lima) tahunan terhitung sejak izin Penyelenggaraan Telekomunikasi ditetapkan pertama kalinya.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "migrasi" adalah proses pemindahan pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dari Spektrum Frekuensi Radio yang digunakan ke Spektrum Frekuensi Radio lain.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "refarming" adalah proses penataan ulang pemegang izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk mendapatkan penetapan penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang saling berdampingan (contiguous/pada pita frekuensi radio yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
BHP Spektrum Frekuensi Radio merupakan kompensasi atas penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang merupakan sumber daya alam terbatas sesuai dengan izin penggunaan Spektrum Frekuensi Radio yang diterima.
Di samping itu, BHP Spektrum Frekuensi Radio dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar Spektrum Frekuensi Radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Jenis penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk keperluan dinas khusus meliputi astronomi, pencarian dan pertolongan (Search and Rescue/SAR), keselamatan penerbangan, keselamatan pelayaran, meteorologi dan geofisika, dan penginderaan jarak jauh.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perwakilan negara asing" termasuk di antaranya badan/organisasi dunia di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dan organisasi resmi regional seperti Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Yang dimaksud dengan asas timbal balik" adalah kesepakatan bersama antara negara Indonesia dengan negara lain untuk saling membebaskan biaya penggunaan Spektrum Frekuensi Radio untuk hubungan ke dan/atau dari negara asal.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh Pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kepentingan umum tersebut mengacu antara lain pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dan/atau Rencana Strategis Kementerian.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "layanan program siaran" adalah layanan rangkaian siaran mata acara dan/atau siaran iklan yang disusun secara berkesinambungan dan/atau terjadwal yang dipancarluaskan melalui sistem transmisi untuk dapat diterima oleh masyarakat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "layanan multipleksing" adalah penyelenggaraan layanan dengan menggunakan infrastruktur multipleksing yang menggabungkan transmisi 2 (dua) program siaran atau lebih melalui slot yang merupakan bagian dari kapasitas multipleksing untuk dipancarkan melalui media terestrial dan diterima dengan perangkat penerima siaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "layanan tambahan" adalah layanan nilai tambah yang diselenggarakan dengan memanfaatkan fitur pada sistem Penyiaran digital untuk menyediakan layanan seperti data casting untuk informasi cuaca, pendidikan, pasar modal, berita terkini, dan lain sebagainya.
Ayat (8)
Penyediaan layanan multipleksing untuk jasa Penyiaran radio yang menggunakan teknologi digital melalui media terestrial mengikuti perkembangan teknologi yang pelaksanaannya ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "uji laik operasi Penyiaran" adalah pengujian sistem secara teknis dan operasional.
Yang dimaksud dengan "surat keterangan laik operasi Penyiaran" adalah pernyataan laik operasional Penyelenggaraan Penyiaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "cakupan wilayah siaran seluruh Indonesia" adalah seluruh wilayah Indonesia.
Yang dimaksud dengan "cakupan wilayah siaran regional" adalah daerah setingkat provinsi.
Yang dimaksud dengan "cakupan wilayah siaran lokal" adalah paling sedikit pada daerah setingkat kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cakupan wilayah siaran seluruh Indonesia harus dipenuhi secara bertahap bagi LPP Radio Republik Indonesia, LPP Televisi Republik Indonesia, dan LPS jasa Penyiaran televisi melalui media terestrial untuk layanan program siaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 73
Yang dimaksud dengan "perubahan saham" adalah perubahan jumlah saham dan kepemilikan saham.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka (1)
Yang dimaksud dengan "pembulatan angka ke atas", contohnya untuk kapasitas 21 (dua puluh satu) saluran berarti harus disediakan 3 (tiga) saluran siaran produksi dalam negeri.
Angka (2)
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "beberapa penyelenggara multipleksing dalam jumlah terbatas" adalah LPP Televisi Republik Indonesia sebagai penyelenggara multipleksing dan penetapan LPS yang memenuhi syarat sebagai penyelenggara multipleksing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "investasi sebelumnya" adalah investasi infrastruktur multipleksing Penyiaran.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggunaan bersama infrastruktur antara lain berupa menara untuk digunakan bersama oleh penyelenggara multipleksing dan/atau penyelenggara Jaringan Telekomunikasi untuk efektifitas dan efisiensi.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Yang dimaksud dengan "penomoran" adalah kombinasi angka sebagai identitas penyelenggara Penyiaran yang digunakan dalam penyelenggaraan jasa Penyiaran televisi secara digital terestrial melalui multipleksing.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Ayat (1)
Yang dimaksud "monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan, untuk penyelenggara Penyiaran tidak termasuk pengawasan isi siaran yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6658