Peraturan Pemerintah Nomor 33 TAHUN 2020

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

TIMELINE

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2020


 
TENTANG

PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM

RANGKA MELAKSANAKAN LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN

PERMASALAHAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

               

Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Rangka Melaksanakan Langkah-Langkah Penanganan Permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan;



Mengingat :

 


  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6516);               


MEMUTUSKAN:

Menetapkan :


PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN PERMASALAHAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN.

               


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:

  1. Sistem Keuangan adalah sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
  2. Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas sistem keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
  3. Penanganan Bank adalah penanganan Bank Sistemik dan/atau penyelesaian Bank Selain Bank Sistemik yang mengalami permasalahan solvabilitas oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
  4. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perbankan dan Undang-Undang mengenai perbankan syariah.
  5. Bank Sistemik adalah bank sistemik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
  6. Bank Selain Bank Sistemik adalah Bank yang tidak ditetapkan sebagai bank sistemik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
  7. Bank Gagal adalah bank yang dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
  8. Bank Perantara adalah bank perantara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
  9. Bank Penerima adalah bank yang menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank.
  10. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.
  11. Transaksi Repurchase Agreement Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut Repo adalah transaksi penjualan Surat Berharga Negara milik Lembaga Penjamin Simpanan oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan harga dan pada waktu tertentu yang diperjanjikan.
  12. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disingkat SBN adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai surat berharga syariah negara.
  13. Lembaga Penjamin Simpanan yang selanjutnya disingkat LPS adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
  14. Bank Indonesia yang selanjutnya disingkat BI adalah bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  15. Otoritas Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah otoritas jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
  16. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  17. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
  18. Peraturan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner LPS sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
  19. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 adalah Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang.


 


BAB II
RUANG LINGKUP
 
Pasal 2


Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini adalah pengaturan kewenangan LPS dalam rangka:

a. penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang timbul akibat terjadinya pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang mencakup penanganan permasalahan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020; dan
b. melaksanakan fungsi LPS sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


 

          

BAB III
PERSIAPAN PENANGANAN DAN PENINGKATAN

INTENSITAS PERSIAPAN UNTUK PENANGANAN PERMASALAHAN

BANK SISTEMIK DAN BANK SELAIN BANK SISTEMIK
 
Bagian Kesatu
Persiapan Penanganan Bank
 
Pasal 3

(1) Persiapan Penanganan Bank dilaksanakan sejak Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif oleh OJK.
(2) Dalam rangka persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS berkoordinasi dengan OJK melakukan:
a. pertukaran data dan/atau informasi Bank;
b. pemeriksaan bersama terhadap Bank; dan/atau
c. kegiatan lainnya dalam rangka persiapan resolusi oleh LPS.


 

 Pasal 4



(1) OJK menyampaikan penetapan status Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebagai:
a. Bank dalam pengawasan intensif; dan
b. perpanjangan status Bank sebagai Bank dalam pengawasan intensif,
kepada LPS.
(2) Penyampaian penetapan status Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan data dan/atau informasi pendukung paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah penetapan status Bank.



Pasal 5

(1) Pemeriksaan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
a. pemetaan dan penilaian aset dan kewajiban Bank;
b. persiapan preservasi data; dan
c. pemeriksaan risiko hukum.
(2) Pengurus dan pegawai Bank harus mendukung kegiatan pemeriksaan bersama dengan memberikan data dan/atau informasi yang dibutuhkan oleh LPS dan OJK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup dan tata cara pemeriksaan yang dilakukan oleh LPS dalam melakukan pemeriksaan bersama dengan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan LPS.



Pasal 6



(1) LPS melakukan kegiatan lain dalam tahap persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. persiapan dalam rangka identifikasi untuk pengelompokan aset dan/atau kewajiban Bank yang akan dialihkan; dan
b. pengajuan izin prinsip pendirian Bank Perantara.
(2) Apabila dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun se.jak ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif, permasalahan solvabilitas belum dapat diatasi, LPS melakukan penjajakan kepada Bank lain yang bersedia menerima pengalihan sebagian dan/atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank setelah berkoordinasi dengan OJK.



Bagian Kedua
Peningkatan Intensitas Persiapan

Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank
 
Pasal 7

(1) OJK menyampaikan penetapan status Bank sebagai Bank dalam pengawasan khusus kepada LPS disertai dengan data dan/atau informasi pendukung.
(2) Penyampaian penetapan status Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat:
a. 1 (satu) hari kerja untuk Bank Sistemik; atau
b. 3 (tiga) hari kerja untuk Bank Selain Bank Sistemik,
setelah penetapan status Bank.
(3) LPS melakukan kegiatan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank pada saat Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus.
(4) Peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi kegiatan:
a. pengkinian hasil pemeriksaan bersama yang sudah dilakukan pada tahap persiapan Penanganan Bank; dan
b. kegiatan lainnya termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. penjajakan kepada calon Bank Penerima dalam rangka pemasaran aset dan/atau kewajiban Bank;
2. penjajakan kepada pemegang saham yang berpotensi ikut serta melakukan penyetoran modal untuk Bank Sistemik; dan/atau
3. pengajuan izin usaha Bank Perantara.



Pasal 8

LPS dan OJK melakukan pemeriksaan bersama pada saat Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).



Pasal 9

Dalam rangka peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3), LPS berkoordinasi dengan OJK meminta pengurus Bank untuk:

a. melakukan tindakan:
1. menjaga kondisi keuangan Bank, sehingga tidak terjadi penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank secara material;
2. mendukung pelaksanaan pengalihan aset dan kewajiban Bank; dan/atau
3. memfasilitasi LPS dalam melakukan pemasaran atas aset dan/atau kewajiban Bank dan memfasilitasi calon Bank Penerima untuk melakukan uji tuntas dalam hal akan dilakukan pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank.
b. menyerahkan pernyataan RUPS yang berlaku efektif dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank Gagal kepada LPS.


 
Pasal 10

Dalam hal pemeriksaan bersama antara LPS dan OJK pada tahap persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan/atau pada tahap peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu, LPS melakukan asesmen lebih lanjut terhadap data dan/atau informasi Bank pada posisi terakhir yang dimiliki dan disampaikan oleh OJK berdasarkan permintaan LPS.


 
Pasal 11


(1) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, LPS dapat melakukan penempatan dana selama pemulihan ekonomi sebagai akibat pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(2) Penempatan dana oleh LPS pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS; dan/atau
b. mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan stabilitas permasalahan sistem keuangan yang dapat menyebabkan kegagalan Bank.
(3) Penempatan dana oleh LPS pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b:
a. total penempatan dana pada seluruh Bank paling banyak sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah kekayaan LPS;
b. penempatan dana pada satu Bank paling banyak sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari jumlah kekayaan LPS; dan
c. setiap periode penempatan dana paling lama 1 (satu) bulan dan dapat diperpanjang paling banyak 5 (lima) kali.
(4) Dalam rangka penempatan dana oleh LPS pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b:
a. OJK menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada LPS dan BI apabila pemegang saham pengendali Bank tidak dapat membantu Bank mengatasi permasalahan likuiditas;
b. berdasarkan permintaan Bank, OJK melakukan analisa mengenai kelayakan permohonan Bank dimaksud dan meminta kepada LPS untuk melakukan penempatan dana;
c. pemberitahuan dan permintaan dari OJK sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b disertai dengan paling kurang:
1. hasil penilaian perkiraan kemampuan Bank mengembalikan penempatan dana;
2. data dan/atau informasi yang memuat kondisi terkini Bank;
3. dampak permasalahan pada sistem perbankan; dan
4. fotokopi perintah tertulis dari OJK kepada pemegang saham pengendali untuk menjamin pengembalian besaran penempatan dana oleh LPS dengan saham dan/atau aset lain yang dianggap layak milik pemegang saham pengendali, yang berlaku efektif dalam hal LPS telah melakukan penempatan dana; dan
d. BI melakukan asesmen terhadap riwayat sistem pembayaran Bank dan kondisi sistem keuangan, serta menyampaikan hasil asesmen dimaksud kepada LPS paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak pemberitahuan OJK diterima oleh BI.
(5) Berdasarkan hasil penilaian, pemberian data dan/atau informasi dari OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c serta hasil asesmen dari BI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d, LPS melakukan analisa terhadap kelayakan penempatan dana yang akan dilakukan kepada Bank dan memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan penempatan dana pada Bank serta memberitahukan keputusannya kepada OJK dan BI.
(6) Dalam hal LPS memutuskan untuk melakukan penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK dan BI melakukan pengawasan secara lebih intensif kepada Bank yang menerima penempatan dana sesuai dengan kewenangannya.
(7) Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melakukan penempatan dana pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (5), OJK melakukan penanganan Bank sesuai kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) Penempatan dana oleh LPS pada Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diperpanjang berdasarkan hasil penilaian dan permintaan dari OJK serta hasil asesmen dari BI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan hasil analisa serta keputusan LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme dan tata cara penempatan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan LPS.





Bagian Ketiga
Penyampaian Data dan/atau Informasi Mengenai

Penetapan Status Bank Sebagai Bank Gagal
 
Pasal 12

(1) Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank tidak dapat disehatkan oleh OJK, OJK menyampaikan penetapan status Bank kepada LPS dengan disertai penyampaian data dan/atau informasi terkini.
(2) Penyampaian penetapan status Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah penetapan status Bank.



Pasal 13

Jenis dan bentuk data dan/atau informasi, tata cara pertukaran data dan/atau informasi, pemeriksaan bersama terhadap Bank, dan/atau kegiatan lainnya dalam rangka persiapan Penanganan Bank maupun peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank dituangkan dalam nota kesepahaman antara LPS dan OJK.


BAB IV
PEMENUHAN LIKUIDITAS LPS

DALAM RANGKA PENANGANAN BANK
 
Bagian Kesatu
Tingkat Likuiditas
 
Pasal 14

(1) Likuiditas LPS merupakan kemampuan sumber daya keuangan yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan dana yang diperlukan oleh LPS untuk Penanganan Bank.
(2) Tingkat likuiditas dan parameter kesulitan likuiditas LPS diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner LPS.
(3) Dalam menyusun Peraturan Dewan Komisioner LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LPS berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.



Bagian Kedua
Sumber Pendanaan
 
Pasal 15


Dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas untuk Penanganan Bank, LPS dapat melakukan:

a. Repo kepada BI;
b. penjualan SBN yang dimiliki LPS kepada BI;
c. penerbitan surat utang;
d. pinjaman kepada pihak lain; dan/atau
e. pinjaman kepada Pemerintah.



Bagian Ketiga
Repo kepada Bank Indonesia
 
Pasal 16



(1) LPS dapat melakukan Repo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf a untuk antisipasi dan pemenuhan kebutuhan likuiditas dalam Penanganan Bank.
(2) Pelaksanaan Repo sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung oleh LPS kepada BI.
(3) Repo mengutamakan prinsip mekanisme pasar sebagaimana diatur dalam nota kesepahaman dan/atau perjanjian kerja sama antara BI dan LPS.




Bagian Keempat
Penjualan SBN milik LPS kepada BI
 
Pasal 17

(1) Penjualan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
(2) Penjualan SBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf b untuk antisipasi dan pemenuhan kebutuhan likuiditas LPS serta Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik dilakukan secara langsung oleh LPS kepada BI.
(3) Penjualan SBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mengutamakan prinsip mekanisme pasar sebagaimana diatur dalam dokumen nota kesepahaman dan/atau perjanjian kerja sama antara BI dan LPS.


Bagian Kelima
Penerbitan Surat Utang
 
Pasal 18

(1) LPS dapat menerbitkan surat utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf c yang dapat dibeli oleh pihak tertentu dan diterbitkan di pasar domestik maupun pasar internasional.
(2) LPS dapat menerbitkan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui:
a. penawaran umum; dan/atau
b. penawaran terbatas.
(3) Penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti ketentuan otoritas pasar modal sesuai dengan wilayah penerbitan surat utang.
(4) Penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa obligasi, sukuk, dan/atau surat berharga lainnya.
(5) Dalam hal penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan di pasar internasional, penerbitan surat utang dilakukan setelah LPS berkonsultasi dengan Menteri.
(6) Tata cara penerbitan surat utang diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner LPS.

 


Bagian Keenam
Pinjaman kepada Pihak Lain
 
Pasal 19


(1) LPS dapat melakukan pinjaman kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d yang berasal dari:
a. dalam negeri; dan/atau
b. luar negeri.
(2) Pelaksanaan pinjaman yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata cara pelaksanaan pinjaman kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Komisioner LPS.



Bagian Ketujuh
Pinjaman kepada Pemerintah
 
Pasal 20


LPS dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf e dalam hal LPS mengalami kesulitan likuiditas yang membahayakan perekonomian dan Sistem Keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease (COVID-19).



Pasal 21

(1) Permohonan pinjaman oleh LPS kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dilakukan dalam hal kesulitan likuiditas LPS tidak dapat ditangani setelah mengupayakan:
a. Repo dan/atau penjualan SBN yang dimiliki LPS kepada BI;
b. penerbitan surat utang; dan
c. pinjaman kepada pihak lain.
(2) Dalam hal penerbitan surat utang dan/atau pelaksanaan pinjaman kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan termasuk tetapi tidak terbatas karena:
a. kondisi pasar keuangan; dan
b. menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat atas pelaksanaan tugas dan fungsi LPS,
LPS dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Pemerintah.




Pasal 22

(1) Permohonan pinjaman LPS kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 disampaikan secara tertulis oleh Ketua Dewan Komisioner LPS kepada Menteri.
(2) Permohonan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh LPS dengan disertai informasi paling sedikit mengenai:
a. upaya yang telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas melalui sumber pendanaan Repo dan penjualan SBN yang dimiliki LPS kepada BI, penerbitan surat utang, dan/atau pinjaman kepada pihak lain;
b. asesmen kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2l ayat (2) dalam hal penerbitan surat utang dan/atau pinjaman kepada pihak lain tidak dapat dilakukan; dan
c. potensi dampak kesulitan likuiditas LPS dalam penyelesaian atau penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan Sistem Keuangan.
(3) Besaran pinjaman yang diajukan oleh LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling tinggi sebesar kebutuhan dana untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS dalam rangka penyelesaian atau penanganan Bank Gagal yang membahayakan perekonomian dan Sistem Keuangan.



Pasal 23


(1) Menteri melakukan penilaian dan memutuskan permohonan pinjaman yang diajukan oleh LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
(2) Besaran pinjaman yang diberikan Pemerintah kepada LPS paling tinggi sebesar kebutuhan dana untuk mengatasi kesulitan likuiditas LPS.




Pasal 24

(1) Dalam hal Menteri menyetujui permohonan pemberian pinjaman kepada LPS, Menteri menetapkan:
a. tingkat suku bunga;
b. jangka waktu pinjaman; dan
c. masa tenggang (grace period) pengembalian pinjaman.
(2) Dalam hal Menteri menyetujui permohonan pemberian pinjaman kepada LPS, Menteri mengusulkan dan/atau mengalokasikan anggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pencairan pinjaman dari Pemerintah kepada LPS dapat dilaksanakan secara sekaligus atau bertahap sesuai dengan kebutuhan likuiditas LPS dalam penanganan Bank Gagal.
(4) Menteri dapat meminta jaminan pengembalian atas pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS.
(5) Sumber jaminan pengembalian atas pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk tetapi tidak terbatas dari:
a. penerimaan premi dan hasil investasi yang akan diterima;
b. pengembalian biaya klaim penjaminan dari Bank dalam likuidasi (cost recovery); dan/atau
c. hasil penjualan penyertaan saham dan aset lain pada Bank yang ditangani.



 

Pasal 25

(1) Pemberian pinjaman kepada LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku dalam rangka penanganan permasalahan solvabilitas Bank guna menghadapi ancaman perekonomian nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagai dampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
(2) Pemberian pinjaman kepada LPS tidak dapat diberikan bersamaan dan/atau pada periode yang sama dengan pemberian pinjaman berdasarkan skema pinjaman Pemerintah lainnya.



Pasal 26



(1) LPS menyampaikan informasi mengenai tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 kepada Menteri berupa laporan proyeksi dan laporan realisasi secara berkala atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
(2) Penyampaian informasi tingkat likuiditas secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan:
a. laporan perkiraan tingkat likuiditas untuk 2 (dua) bulan ke depan; dan
b. laporan realisasi tingkat likuiditas untuk 1 (satu) bulan kebelakang,
yang disampaikan paling lambat minggu kedua setiap bulan.




 


Pasal 27

LPS bertanggung jawab secara formil dan materiil terhadap validitas data dan/atau informasi terhadap:

a. pemberian pinjaman Pemerintah kepada LPS; dan
b. penggunaan dana pinjaman.



 


Pasal 28


Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian pinjaman dari Pemerintah kepada LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 serta penyampaian informasi tingkat likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 diatur dalam Peraturan Menteri.



BAB V
PEMILIHAN CARA PENANGANAN BANK SELAIN

BANK SISTEMIK YANG DINYATAKAN

SEBAGAI BANK GAGAL
 
Pasal 29



(1) LPS dapat memilih cara Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.
(2) Dalam memilih cara Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPS tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah (least cost test), tetapi juga dengan mempertimbangkan aspek termasuk tetapi tidak terbatas pada:
a. kondisi perekonomian;
b. kompleksitas permasalahan Bank;
c. kebutuhan waktu penanganan;
d. ketersediaan investor; dan/atau
e. efektivitas penanganan permasalahan Bank.




Pasal 30

(1) Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan dengan cara:
a. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Selain Bank Sistemik kepada Bank Penerima;
b. mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Selain Bank Sistemik kepada Bank Perantara;
c. melakukan penyertaan modal sementara; atau
d. melakukan likuidasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan LPS.



BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 31


(1) Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini terdapat bank yang berstatus sebagai bank dalam pengawasan intensif atau bank dalam pengawasan khusus, OJK menyampaikan kepada LPS penetapan status bank disertai dengan data dan/atau informasi bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), dan selanjutnya pelaksanaan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan Penanganan Bank dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Penjajakan kepada Bank lain oleh LPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilaksanakan paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.




BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 32


Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelaksanaan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan untuk permasalahan solvabilitas Bank Sistemik dan Bank Selain Bank Sistemik serta pemilihan cara Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang mengalami permasalahan solvabilitas, dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.



Pasal 33

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus ditetapkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.



Pasal 34

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.















 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Juli 2020
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

               


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Juli 2020
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AD INTERIM,

ttd.

MOHAMMAD MAHFUD MD



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 165

 

 

 


PENJELASAN
ATAS
 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 33 TAHUN 2020
 
TENTANG
 
PELAKSANAAN KEWENANGAN LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DALAM

RANGKA MELAKSANAKAN LANGKAH-LANGKAH PENANGANAN

PERMASALAHAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN
                

I.    UMUM

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 memberikan landasan hukum dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan dimaksud, salah satunya melalui penguatan kewenangan LPS.

Penguatan kewenangan LPS yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini antara lain mengenai pelaksanaan kewenangan LPS dalam rangka melaksanakan langkah-langkah penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan, penambahan kewenangan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan pemenuhan kebutuhan likuiditas untuk penanganan Bank Gagal dan penambahan kriteria yang perlu dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan untuk melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan dengan tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah (least cosf test).

Berdasarkan kewenangan dimaksud, dalam hal terdapat Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas, LPS melakukan persiapan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank. Persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dimaksud dilakukan antara lain melalui pertukaran data dan/atau informasi terkini dari OJK kepada LPS dan/atau melakukan pemeriksaan bersama OJK dan LPS terhadap Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas dimaksud. Persiapan penanganan dimaksud dilakukan pada saat Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif, sedangkan peningkatan intensitas persiapan dilakukan pada saat Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus.

Disamping itu, persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan dapat dilakukan oleh LPS melalui penempatan dana pada Bank untuk mengelola dan/atau meningkatkan likuiditas LPS dan/atau mencegah terjadinya kegagalan Bank sebagai bagian dari tindakan antisipasi (forward looking) LPS untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.

Selain itu, dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka penanganan Bank Gagal, LPS diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan, yaitu melakukan Repo kepada BI, menjual SBN yang dimiliki LPS kepada BI, menerbitkan surat utang, melakukan pinjaman kepada pihak lain, dan/atau mengajukan pinjaman kepada Pemerintah. Kewenangan dimaksud dilakukan oleh LPS dalam hal terjadi ancaman krisis yang membahayakan perekonomian nasional dan berlaku untuk penanganan seluruh Bank yang mengalami permasalahan solvabilitas.

Peraturan Pemerintah ini juga mengatur bahwa dalam rangka pengambilan keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan penyelamatan Bank Selain Bank Sistemik yang dinyatakan sebagai Bank Gagal oleh OJK, LPS tidak hanya mempertimbangkan perkiraan biaya yang paling rendah (least cost test), tetapi juga dengan mempertimbangkan kondisi perekonomian, kompleksitas permasalahan bank, kebutuhan waktu penanganan, ketersediaan investor, dan/atau efektivitas dalam rangka penanganan permasalahan masing-masing Bank.

II.    PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, LPS menjalankan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang mengenai LPS dan Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf b Undang-Undang mengenai LPS, salah satu fungsi LPS adalah turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, kewenangan LPS diperluas dari yang sebelumnya hanya melaksanakan kewenangan berdasarkan Undang-Undang mengenai LPS dan/atau peraturan perundang-undangan terkait antara lain Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan, menjadi juga harus melaksanakan kewenangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Dalam  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, LPS juga diberikan peranan untuk melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan (early involvement) untuk menangani permasalahan solvabilitas Bank, sehingga peranan LPS tersebut bersifat forward looking.

Hal tersebut sebagai bentuk sinergi otoritas sektor keuangan yang sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020, adalah mendukung kebijakan menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang mencakup penanganan permasalahan Bank.

Dengan mendasarkan pada berbagai Undang-Undang tersebut di atas, LPS melaksanakan kewenangan:

    1. persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan untuk penanganan permasalahan Bank, termasuk melakukan persiapan penanganan dan peningkatan intensitas persiapan bersama dengan OJK untuk penanganan permasalahan solvabilitas Bank;
    2. tindakan dalam hal LPS diperkirakan akan mengalami kesulitan likuiditas dalam rangka mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan Bank Gagal; dan
    3. penggunaan faktor selain perkiraan biaya yang paling rendah (least cost test) sebagai pertimbangan untuk memilih cara Penanganan Bank berupa Bank Selain Bank Sistemik yang mengalami permasalahan solvabilitas yang dinyatakan sebagai Bank Gagal.

 

Pasal 3

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan intensif" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Data dan/atau informasi pendukung mencakup paling sedikit mengenai alasan penetapan Bank menjadi bank dalam pengawasan intensif disertai dengan data dan/atau informasi rasio keuangan yang mencakup aspek permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan tingkat kesehatan atau peringkat komposit.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Pengaturan terkait pemeriksaan bersama tetap memperhatikan kewenangan pengaturan dan kebijakan OJK.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Bank sebagai Bank dalam pengawasan khusus" adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan "pemeriksaan bersama pada saat Bank ditetapkan sebagai Bank dalam pengawasan khusus" adalah kegiatan pemeriksaan bersama untuk melakukan pengkinian data dan/atau informasi atau pemeriksaan bersama yang tidak dapat diselesaikan atau dilakukan pada saat status Bank dalam pengawasan intensif.

Pasal 9

Huruf a

Angka 1

Yang dimaksud dengan "penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank secara material" adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh pengurus Bank secara tidak wajar (fraud).

Angka 2

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Huruf b

Penyerahan pernyataan RUPS merupakan salah satu persyaratan agar Bank dapat diselamatkan sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai LPS.

Pasal 10

Kondisi tertentu yang menyebabkan pemeriksaan bersama tidak dapat dilaksanakan antara lain:

  1. perubahan status Bank sebagai Bank dalam pengawasan intensif menjadi Bank dalam pengawasan khusus dengan sangat cepat dan berpotensi ditetapkan sebagai Bank yang tidak dapat disehatkan oleh OJK;
  2. penarikan dana pada perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan; dan/atau
  3. kejadian luar biasa yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Data dan/atau informasi yang diperoleh dari OJK selanjutnya digunakan oleh LPS untuk melakukan analisis sebagai dasar memilih cara penanganan yang akan dilakukan apabila Bank ditetapkan sebagai Bank Gagal.

Pasal 11

Ayat (1)

Pelaksanaan penempatan dana LPS merupakan bagian dari pelaksanaan kebijakan untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang mencakup penanganan permasalahan Bank sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020.

Ayat (2)

Huruf a

Penempatan dana oleh LPS pada Bank yang sehat dan likuid dalam bentuk giro operasional.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Kekayaan LPS yang dijadikan dasar perhitungan yaitu total kekayaan LPS per 31 Desember 2019.

Huruf b

Kekayaan LPS yang dijadikan dasar perhitungan yaitu total kekayaan LPS per 31 Desember 2019.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "pemegang saham pengendali Bank tidak dapat membantu Bank" adalah apabila sampai dengan batas waktu pelaksanaan perintah tertulis dari OJK kepada pemegang saham pengendali untuk menambah modal dan/atau pinjaman subordinasi, tidak dapat mengatasi permasalahan likuiditas Bank.

Dengan demikian, "pemberitahuan secara tertulis" dari OJK kepada LPS dilakukan setelah periode "perintah tertulis" dari OJK sebagai otoritas pengawas dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang perbankan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Angka 1

Kemampuan Bank untuk membayar kembali tidak hanya diukur berdasarkan proyeksi cashflow, tetapi juga dari nilai aset yang dijaminkan oleh Bank dan atau Pemegang saham pengendali.

Angka 2

Cukup jelas.

Angka 3

Cukup jelas.

Angka 4

Penjaminan oleh pemegang saham Bank diikat dalam perjanjian antara LPS dan pemegang saham pengendali yang disertai dengan pernyataan pengalihan hak atas kepemilikan saham dan/atau aset lain pemegang saham pengendali kepada LPS. Nilai saham dan/atau aset lain dihitung LPS sebelum LPS mencairkan besaran penempatan dana.

Huruf d

Yang dimaksud dengan "asesmen mengenai kondisi sistem keuangan" mencakup antara lain contagion effect di pasar uang antar bank dari permasalahan Bank.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "Bank ditetapkan sebagai Bank tidak dapat disehatkan oleh OJK" dalam ketentuan Pasal ini adalah Bank Gagal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai LPS.

Yang dimaksud dengan "data dan/atau informasi terkini" adalah data dan/atau informasi pada posisi 1 (satu) hari kerja sebelum tanggal penetapan Bank tidak dapat disehatkan oleh OJK bagi bank umum, serta data dan/atau informasi yang terkini yang tersedia di OJK sebelum penetapan Bank ditetapkan sebagai Bank tidak dapat disehatkan oleh OJK bagi bank perkreditan rakyat atau bank pembiayaan rakyat syariah.

Data dan/atau informasi terkini termasuk telah melakukan penyesuaian berdasarkan hasil pemeriksaan bersama.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini juga dapat dilakukan oleh LPS dalam hal LPS telah mengalami kesulitan likuiditas.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Dalam Repo berlaku ketentuan antara lain sebagai berikut:

  1. jangka waktu Repo paling lama 12 (dua belas) bulan;
  2. harga penjualan dan pembelian kembali mengikuti ketentuan BI;
  3. tingkat suku bunga (Repo rate) mengikuti hasil lelang term Repo yang diselenggarakan BI;
  4. menggunakan prinsip sell and buy back yaitu terdapat perpindahan kepemilikan surat berharga (transfer of ownership); dan
  5. hak atas kupon SBN selama periode Repo menjadi milik LPS.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pihak tertentu" adalah orang/perseorangan dan badan hukum.

Yang dimaksud dengan "pasar internasional" adalah pasar di mana surat utang LPS diterbitkan dan diperdagangkan di luar yurisdiksi pasar modal Indonesia.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "surat berharga lainnya" adalah surat utang yang jatuh tempo di bawah 12 (dua belas) bulan, antara lain medium term note atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Pinjaman kepada pihak lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:

  1. tidak adanya konflik kepentingan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi LPS; dan
  2. tidak menimbulkan persepsi negatif dan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada LPS.

Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah orang/perseorangan dan badan hukum. 

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Ayat (1)

Upaya yang telah dilakukan oleh LPS termasuk juga apabila menurut pertimbangan LPS tidak dapat menerbitkan surat utang dan/atau memperoleh pinjaman dari pihak lain.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan penanganan Bank Gagal termasuk Bank Sistemik dan/atau Bank Selain Bank Sistemik.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Dalam menentukan jaminan pengembalian pinjaman oleh LPS dilakukan dengan memperhitungkan kebutuhan likuiditas LPS.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Persiapan Penanganan Bank dan peningkatan intensitas persiapan dapat dilakukan oleh LPS melalui penempatan dana pada Bank untuk mengantisipasi dan/atau melakukan penanganan permasalahan Stabilitas Sistem Keuangan yang dapat menyebabkan kegagalan Bank dan mencegah ancaman terhadap perekonomian nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Penyusunan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait antara lain Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 34

Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6535