TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2021
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan. |
(2) | Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 3
(1) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku. |
(2) | Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi Administratif. |
(3) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif. |
(4) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berupa:
|
Pasal 4
(1) | Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan. |
(2) | Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi bidang:
|
Pasal 5
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
BAB II
INVENTARISASI DATA DAN INFORMASI KEGIATAN USAHA
YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1) | Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
Bagian Kedua
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Perkebunan Kelapa Sawit
yang Telah Terbangun di dalam Kawasan Hutan yang Telah Memiliki Izin
Lokasi dan/atau Izin Usaha di Bidang Perkebunan yang
Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 7
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf a terdiri atas:
Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Sesuai Rencana Tata Ruang
Pasal 8
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a yang sesuai Rencana Tata Ruang terdiri atas:
Pasal 9
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dan huruf b, berada di dalam:
Paragraf 3
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha
Perkebunan Kelapa Sawit yang Telah Terbangun
di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Sesuai Rencana Tata Ruang
Pasal 10
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak sesuai Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas:
Pasal 11
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a dan huruf b berada di dalam:
Paragraf 4
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi
Pasal 12
Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 dilakukan melalui kegiatan:
Bagian Ketiga
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebunan,
dan/atau Kegiatan Lain di dalam Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki
Perizinan di Bidang Kehutanan
Paragraf 1
Umum
Pasal 13
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b, terdiri atas:
Paragraf 2
Inventarisasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha Pertambangan, Perkebunan,
dan/atau Kegiatan Lain
Pasal 14
Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a dan huruf b, berada di dalam:
Paragraf 3
Tata Cara Inventarisasi Data dan Informasi
Pasal 15
Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan melalui kegiatan:
Bagian Keempat
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan
Paragraf 1
Klasifikasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Tidak Memiliki Perizinan
di Bidang Kehutanan di dalam Kawasan Hutan
Pasal 16
(1) | Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 memuat data dan informasi mengenai:
|
(2) | Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disusun berdasarkan kriteria:
|
Paragraf 2
Penetapan Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam
Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 17
Data dan informasi kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang telah disusun berdasarkan klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ditetapkan oleh Menteri.
BAB III
TATA CARA PENYELESAIAN TERHADAP KEGIATAN USAHA PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT YANG TELAH TERBANGUN DI DALAM KAWASAN HUTAN
YANG MEMILIKI IZIN LOKASI DAN/ATAU IZIN USAHA DI BIDANG
PERKEBUNAN YANG TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 18
Tata cara penyelesaian terhadap kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang memiliki Izin Lokasi dan/atau izin, usaha di bidang perkebunan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, dilakukan melalui tahapan:
Bagian Kedua
Pemberitahuan Pemenuhan Persyaratan Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 19
(1) | Pemberitahuan pemenuhan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan disampaikan kepada Setiap Orang yang memenuhi klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
(3) | Penyampaian pemberitahuan dari Menteri kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. |
Bagian Ketiga
Pengajuan Permohonan Penyelesaian Persyaratan
Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 20
(1) | Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Setiap Orang mengajukan permohonan Perizinan di bidang kehutanan kepada Menteri. |
(2) | Selain berdasarkan pemberitahuan, permohonan juga dapat dilakukan atas inisiatif sendiri oleh Setiap Orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dengan persyaratan:
|
Bagian Keempat
Verifikasi Permohonan
Pasal 21
(1) | Verifikasi permohonan dilakukan terhadap:
|
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dilakukan verifikasi fakta lapangan. |
Pasal 22
(1) | Verifikasi persyaratan administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan berupa:
|
(3) | Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dinyatakan:
|
(4) | Dalam hal permohonan dinyatakan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Menteri melakukan verifikasi kesesuaian antara data administratif dan teknis dengan fakta lapangan. |
(5) | Dalam hal permohonan dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja mengembalikan persyaratan administratif dan teknis kepada Setiap Orang untuk dilengkapi. |
(6) | Setiap Orang dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari mengembalikan persyaratan administratif dan teknis yang sudah dilengkapi kepada Menteri. |
(7) | Apabila Setiap Orang tidak mengembalikan persyaratan yang lengkap dan benar melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. |
Pasal 23
(1) | Verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dilakukan oleh Menteri terhadap kesesuaian antara persyaratan administratif dan teknis dengan fakta lapangan. |
(2) | Menteri dalam melakukan verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk tim terpadu. |
(3) | Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas untuk melakukan validasi atas kesesuaian dokumen administratif dan teknis dengan fakta lapangan terhadap:
|
(4) | Validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. |
(5) | Hasil validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaporkan kepada Menteri. |
(6) | Dalam hal hasil validasi tim terpadu terdapat tumpang-tindih antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Perizinan di bidang kehutanan, penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
|
(7) | Terhadap perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c angka 1 dan angka 2, dikenai pembayaran PNBP di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(8) | Dalam hal Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan terbit terlebih dahulu daripada Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b berupa izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau merupakan proyek strategis nasional, luasan areal permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan produksi atau permohonan Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi dikurangi dengan luasan areal izin pinjam pakai Kawasan Hutan. |
Bagian Kelima
Penerbitan Surat Perintah Tagihan Pelunasan
Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi
Pasal 24
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), Menteri menerbitkan surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR. |
(2) | Surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
Bagian Keenam
Pelunasan Provisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi
Pasal 25
(1) | Setiap Orang yang telah menerima surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib melakukan pelunasan tagihan PSDH dan DR. |
(2) | Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diangsur. |
(3) | Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayai (1), disetorkan ke kas negara. |
(4) | Setiap Orang melaporkan pelunasan tagihan PSDH dan DR kepada Menteri disertai bukti pelunasan pembayaran. |
(5) | Dalam hal Setiap Orang telah melakukan pembayaran dan pelunasan PSDH dan DR sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, bukti pembayaran dapat digunakan sebagai bukti pengganti pelunasan PSDH dan DR. |
Bagian Ketujuh
Penerbitan
Paragraf 1
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tidak Tumpang-Tindih dengan Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 26
Setelah menerima pelaporan pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4), Menteri menerbitkan:
Paragraf 2
Penerbitan Persetujuan Kegiatan Usaha yang
Tumpang-Tindih dengan Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 27
(1) | Dalam hal kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi, dilakukan kerja sama pengelolaannya antara pemohon dengan pemegang Perizinan di bidang kehutanan. |
(2) | Jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 1 (satu) daur paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam. |
(3) | Menteri memfasilitasi kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
|
Pasal 28
(1) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan dengan Menteri. |
(2) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, berlaku 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam. |
(3) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
|
Bagian Kedelapan
Pengenaan Sanksi Administratif
Paragraf 1
Umum
Pasal 29
(1) | Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. |
(2) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(3) | Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR. |
Paragraf 2
Pengenaan Denda Administratif Bagi Setiap Orang yang
Tidak Menyelesaikan Persyaratan Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 30
(1) | Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif. |
(2) | Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disetorkan ke kas negara dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya pengenaan Sanksi Administratif. |
(4) | Setiap Orang melaporkan bukti pelunasan Denda Administratif kepada Menteri. |
(5) | Berdasarkan bukti pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menerbitkan:
|
Pasal 31
(1) | Setiap Orang yang tidak melakukan pelunasan Denda Administratif dikenai Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha. |
(2) | Pencabutan Perizinan Berusaha dilakukan oleh penerbit izin berdasarkan rekomendasi dari Menteri. |
(3) | Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rekomendasi dari Menteri diterima, penerbit izin wajib mencabut Perizinan Berusaha. |
(4) | Dalam hal penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku demi hukum. |
(5) | Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan, Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha, kemitraan, dan kerja sama dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.
BAB IV
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF TERHADAP
KEGIATAN USAHA DI DALAM KAWASAN HUTAN YANG
TIDAK MEMILIKI PERIZINAN DI BIDANG KEHUTANAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 33
(1) | Terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenai Sanksi Administratif berupa:
|
(2) | Selain Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang wajib menyelesaikan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan:
|
Bagian Kedua
Verifikasi dan Validasi Data dan Informasi Kegiatan Usaha di dalam Kawasan
Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan di Bidang Kehutanan
Pasal 34
(1) | Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, dilakukan terhadap data dan informasi yang tertuang dalam penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. |
(2) | Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. |
(3) | Dalam melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
|
Pasal 35
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan. |
(2) | Dalam hal 1 (satu) lokasi Kawasan Hutan terdapat lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang lebih dahulu beroperasi dan selanjutnya dapat diproses Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. |
(3) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(4) | Pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disetorkan ke kas negara. |
(5) | Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dapat diangsur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam tahun anggaran berjalan terhitung sejak surat persetujuan pengangsuran ditetapkan. |
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melewati tahun anggaran, surat persetujuan keringanan berupa pengangsuran harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
(7) | Menteri melakukan pengawasan ketaatan pemenuhan Sanksi Administratif. |
Bagian Ketiga
Tata Cara Penyelesaian
Paragraf 1
Umum
Pasal 36
(1) | Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), Menteri:
|
(2) | Dalam hal pengembalian areal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dilaksanakan oleh Setiap Orang, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
Pasal 37
(1) | Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memiliki perizinan di bidangnya. |
(2) | Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a adalah selama 1 (satu) daur maksimal 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam untuk perkebunan kelapa sawit atau sesuai dengan perizinan di bidangnya untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain. |
(3) | Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib membayar PNBP di bidang kehutanan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
Pasal 38
Areal atas kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b dikenai PNBP di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2
Tata Cara Penyelesaian Terhadap Kegiatan Strategis
dan Kepentingan Umum
Pasal 39
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Lindung merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri memberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. |
(2) | Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Konservasi merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri:
|
(4) | Jangka waktu izin pemanfaatan jasa lingkungan atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya. |
(5) | Kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
|
(6) | Dalam hal masa berlaku Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan Hutan Konservarsi atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, Setiap Orang wajib mengembalikan areal kegiatan usahanya kepada negara. |
Pasal 40
(1) | Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang berada di:
|
(2) | Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai kewajiban pembayaran Denda Administratif dan Menteri menerbitkan Surat Pemberitahuan untuk mengurus perizinan. |
Paragraf 3
Tata Cara Penyelesaian Kegiatan Usaha Masyarakat
yang Bertempat Tinggal di dalam dan/atau di Sekitar Kawasan Hutan
Pasal 41
(1) | Dalam hal kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari Sanksi Administratif dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan. |
(2) | Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
|
(3) | Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan memiliki tempat tinggal tetap dan surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat. |
(4) | Orang perseorangan yang menguasai Kawasan Hutan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
|
(5) | Pembuktian terhadap orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan melalui verifikasi teknis. |
Pasal 42
(1) | Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi:
|
(2) | Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
BAB V
TATA CARA PERHITUNGAN DENDA ADMINISTRATIF
Pasal 43
(1) | Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Pemerintah dapat menggunakan jasa penaksir (appraisal) dalam menentukan besaran Denda Administratif. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha belum beroperasi dan tidak dapat ditentukan besaran keuntungan, perhitungan keuntungan per tahun per hektar disetarakan dengan sepuluh kali besaran Tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan. |
(4) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang atas inisiatif sendiri melaporkan kegiatan usahanya kepada Menteri dan melunasi Denda Administratif dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberikan insentif berupa keringanan pengenaan denda dengan penetapan tarif Denda Administratif sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
BAB VI
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI
DENDA ADMINISTRATIF
Pasal 44
PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dan Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (4) merupakan PNBP Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.
Pasal 45
Penggunaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.
BAB VII
PAKSAAN PEMERINTAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c angka 2, dilakukan terhadap Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, berupa:
Bagian Kedua
Pemblokiran
Pasal 47
(1) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, dilakukan terhadap rekening bank, akta pendirian, dan/atau akta perubahan terakhir perusahaan. |
(2) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang berwenang atas permintaan Menteri. |
Bagian Ketiga
Pencegahan ke Luar Negeri
Pasal 48
(1) | Pencegahan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keimigrasian atas permintaan Menteri. |
(2) | Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(3) | Dalam hal keputusan pencegahan telah habis masa berlakunya, Menteri dapat mengajukan permohonan perpanjangan pencegahan ke luar negeri. |
Bagian Keempat
Penyitaan Aset
Pasal 49
(1) | Penyitaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c, dilakukan oleh Menteri dengan menerbitkan surat perintah pelaksanaan penyitaan aset. |
(2) | Dalam melakukan penyitaan aset, Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
|
(3) | Pelaksanaan penyitaan aset dilengkapi dengan berita acara pelaksanaan sita. |
Pasal 50
(1) | Penyitaan aset dapat dilaksanakan terhadap barang milik Setiap Orang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk di areal pelabuhan, baik yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa:
|
(2) | Penyitaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Denda Administratif. |
Pasal 51
Menteri dapat menitipkan barang yang telah disita kepada Setiap Orang atau disimpan di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dan/atau di tempat lain.
Pasal 52
(1) | Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilarang:
|
(2) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 53
Pelaksanaan penyitaan aset dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang sita jaminan.
Pasal 54
(1) | Dalam hal Denda Administratif tidak dilunasi setelah dilakukan penyitaan aset, Menteri melakukan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang Negara. |
(2) | Dalam hal barang yang disita, berupa:
|
(3) | Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk membayar Denda Administratif. |
(4) | Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan untuk membayar Denda Administratif dengan cara:
|
Pasal 55
(1) | Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penyitaan aset dilakukan. |
(2) | Menteri yang bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang. |
Pasal 56
(1) | Hasil penjualan secara lelang digunakan untuk membayar Denda Administratif. |
(2) | Dalam hal hasil penjualan secara lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif, pelaksanaan lelang dihentikan. |
(3) | Menteri segera mengembalikan sisa barang hasil penyitaan aset beserta kelebihan uang hasil penjualan secara lelang kepada Setiap Orang setelah pelaksanaan lelang. |
Pasal 57
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan lelang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Paksa Badan
Pasal 58
(1) | Dalam hal Setiap Orang:
|
(2) | Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari. |
(3) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Setiap Orang tidak melunasi Denda Administratif, Menteri menerbitkan surat perintah paksa badan untuk pengenaan paksa badan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d. |
(4) | Surat perintah paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit memuat:
|
(5) | Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Polisi Kehutanan dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup. |
(6) | Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan dengan meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia. |
(7) | Jangka waktu pelaksanaan paksa badan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. |
Pasal 59
(1) | Setiap Orang yang dikenai sanksi paksa badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dilepas:
|
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan apabila:
|
(3) | Menteri memberitahukan pelepasan serta alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis kepada pimpinan tempat paksa badan. |
Pasal 60
Paksa badan terhadap orang atau pengurus perusahaan tidak mengakibatkan hapusnya sanksi Denda Administratif.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 61
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 34
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2021
TENTANG
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF DAN TATA CARA
PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG BERASAL DARI DENDA
ADMINISTRATIF DI BIDANG KEHUTANAN
I. |
UMUM Kebijakan pembangunan di bidang kehutanan mengamanatkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Hutan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan dan menjaga fungsi ekologis Hutan sebagai penyangga kehidupan, seluruh kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan dengan ancaman sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran. Dalam kenyataannya, tidak jarang ditemukan adanya kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki perizinan dimaksud. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan seluas + 3,3 juta hektar yang belum mendapat kepastian hukum. Perkebunan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh badan usaha maupun masyarakat yang memerlukan kepastian pengaturan hukum yang adil, bermartabat, dan tuntas. Hal itu untuk menjamin kepastian hukum terhadap keberadaan aktivitas kegiatan nonkehutanan di dalam Kawasan Hutan. Selain perkebunan kelapa sawit, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan juga meliputi kegiatan pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain seperti minyak dan gas bumi, panas bumi, tambak, pertanian, permukiman, wisata alam, industri, dan/atau sarana dan prasarana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan (K2L). Pengaturan prinsip ultimum remidium tersebut tercermin dalam pengaturan norma Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya:
Untuk mendukung efek eksekutorial dari pengenaan Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif maka Peraturan Pemerintah ini mengatur tata cara dan mekanisme paksaan pemerintah berupa pemblokiran, pencegahan ke luar negeri, penyitaan aset, dan paksa badan (gijzelling) bagi Setiap Orang yang tidak melaksanakan Sanksi Administratif. |
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Cukup jelas. Pasal 3Cukup jelas. Pasal 4Cukup jelas. Pasal 5Cukup jelas. Pasal 6Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Huruf a Data dan informasi perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Hutan baik yang memiliki maupun tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dapat merujuk antara lain pada hasil evaluasi tindak lanjut Instruksi Presiden mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas. Cukup jelas. Pasal 8Cukup jelas. Pasal 9Cukup jelas. Pasal 10Cukup jelas. Pasal 11Cukup jelas. Pasal 12Huruf a Cukup jelas. Huruf bYang dimaksud dengan "inventarisasi terestris dan nonterestris" yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah Daerah merupakan hasil kegiatan penelitian atau pendataan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang berasal dari data internal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, data interpretasi citra satelit yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan lapangan (aktual/sampel) dan lain-lain. Huruf cCukup jelas. Huruf dCukup jelas. Huruf eCukup jelas. Cukup jelas. Pasal 14Cukup jelas. Pasal 15Cukup jelas. Pasal 16Cukup jelas. Pasal 17Cukup jelas. Pasal 18Yang dimaksud dengan "izin usaha di bidang perkebunan" terdiri atas:
Dalam hal terdapat perbedaan luasan antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Hak Guna Usaha, yang digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan adalah Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan. Cukup jelas. Pasal 20Cukup jelas. Pasal 21Cukup jelas. Pasal 22Cukup jelas. Pasal 23Cukup jelas. Pasal 24Cukup jelas. Pasal 25Cukup jelas. Pasal 26Cukup jelas. Pasal 27Cukup jelas. Pasal 28Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Huruf a Yang dimaksud dengan "jangka benah" adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur Huran dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan. Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 31Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Yang dimaksud dengan "Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha" adalah keputusan yang diterbitkan oleh Menteri yang menegaskan bahwa Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku karena dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya rekomendasi Menteri, penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha yang diterbitkannya. Cukup jelas. Pasal 33Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan" meliputi kegiatan menduduki, merambah, mengerjakan, dan/atau mengusahakan Kawasan Hutan tanpa izin atau dilakukan secara tidak sah untuk kegiatan pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 35Cukup jelas. Pasal 36Cukup jelas. Pasal 37Ayat (1) Yang dimaksud dengan "perizinan di bidangnya" antara lain: Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan usaha pertambangan, Izin Usaha Perkebunan untuk kegiatan usaha perkebunan, atau Perizinan Berusaha lainnya. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 39Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Huruf a Cukup jelas. Huruf bCukup jelas. Huruf cYang dimaksud dengan "sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan/atau strategis" meliputi:
Cukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 41Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Huruf a Yang dimaksud dengan "bukti penguasaan tanah" adalah surat hak atas tanah antara lain sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Girik, Letter C, Verklaring, Eingendom, atau Surat Keterangan Tanah. Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas. Verifikasi teknis dilakukan melalui verifikasi data administratif dan lapangan dengan menggunakan metode sosiometri. Cukup jelas. Pasal 43Cukup jelas. Pasal 44Cukup jelas. Pasal 45Cukup jelas. Pasal 46Huruf a Yang dimaksud dengan "pemblokiran" adalah pembekuan sementara atas harta kekayaan Setiap Orang yang tersimpan di Bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai kerahasiaan bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf bCukup jelas. Huruf cYang dimaksud dengan "penyitaan aset" adalah tindakan untuk menguasai barang Setiap Orang, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Denda Administratif menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf dYang dimaksud dengan "paksa badan" adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang yang tidak membayar Denda Administratif dengan menempatkannya di tempat tertentu. Paksa badan berupa penyanderaan atau pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang dengan tujuan untuk mendorong agar Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif membayar atau melunasi Denda Administratif. Penyanderaan dilakukan dengan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan terpisah dari tahanan lain. Apabila Setiap Orang yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi, atau melarikan diri, maka dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif. Cukup jelas. Pasal 48Cukup jelas. Pasal 49Cukup jelas. Pasal 50Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Dalam hal hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi Denda Administratif, Menteri dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Setiap Orang yang belum disita. Dengan demikian, penyitaan aset dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif. Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, penyimpanannya dititipkan kepada Setiap Orang, misalnya tanah dan/atau bangunan. Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Menteri, penyimpanannya dapat dititipkan pada Bank atau disimpan di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, seperti perhiasan atau peralatan elektronik. Pasal 52Ayat (1) Huruf a Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, maka Setiap Orang dilarang untuk memindahtangankan atau memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Setiap Orang juga dilarang untuk membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku untuk seluruh maupun sebagian barang yang disita. Huruf bCukup jelas. Huruf cCukup jelas. Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 54Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Menteri memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar. Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta bantuan jasa penaksir (appraisal). Ayat (4)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 56Cukup jelas. Pasal 57Cukup jelas. Pasal 58Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf bYang dimaksud dengan "tidak mempunyai itikad baik" adalah Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif apabila:
Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Ayat (7)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 60Cukup jelas. Pasal 61Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6636