TIMELINE |
---|
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2018
TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Pasal 2
(1) | Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
(2) | Kekuasaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diuraikan dalam berbagai urusan pemerintahan yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah. |
(3) | Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup kewenangan pemberian Perizinan Berusaha, fasilitas, dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan berusaha. |
Pasal 3
(1) | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait. |
(2) | Peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur kewenangan sektor atau kewenangan daerah dalam Perizinan Berusaha sepanjang tidak diatur dalam undang-undang dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemberian fasilitas dan/atau kemudahan untuk pelaksanaan berusaha. |
(4) | Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pemberian Perizinan Berusaha. |
Pasal 4
Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai:
BAB II
JENIS, PEMOHON, DAN PENERBIT PERIZINAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Jenis Perizinan Berusaha
Pasal 5
Jenis Perizinan Berusaha terdiri atas:
Bagian Kedua
Pemohon Perizinan Berusaha
Pasal 6
(1) | Pemohon Perizinan Berusaha terdiri atas:
|
(2) | Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perorangan penduduk Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum. |
(3) | Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
Pasal 7
Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a merupakan perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perseroan terbatas, yang telah disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 8
Perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf b merupakan perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang badan usaha milik negara.
Pasal 9
Perusahaan umum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c merupakan perusahaan umum milik daerah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah.
Pasal 10
Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d merupakan badan hukum yang didirikan oleh negara dengan undang-undang.
Pasal 11
Badan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf e merupakan satuan kerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menyelenggarakan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam undang- undang tentang perbendaharaan negara.
Pasal 12
Lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf f merupakan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang penyiaran.
Pasal 13
(1) | Badan usaha yang didirikan oleh yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf g merupakan badan usaha yang didirikan oleh yayasan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang yayasan yang telah disahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(2) | Dalam hal Perizinan Berusaha diterbitkan kepada yayasan, yayasan dimaksud harus dimaknai sebagai badan usaha. |
Pasal 14
(1) | Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf h merupakan koperasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang perkoperasian yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pengesahan koperasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan akta pendirian koperasi, perubahan anggaran dasar koperasi, serta pembubaran koperasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan mengenai pengesahan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
Pasal 15
(1) | Persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf i merupakan persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap), perubahan anggaran dasar persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) serta pembubaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
Pasal 16
(1) | Persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf j merupakan persekutuan firma (venootschap onder firma) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan firma (venootschap onder firma), perubahan anggaran dasar persekutuan firma (venootschap onder firma) serta pembubaran persekutuan firma (venootschap onder firma) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
Pasal 17
(1) | Persekutuan perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf k merupakan persekutuan perdata yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan perdata kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian persekutuan perdata, perubahan anggaran dasar persekutuan perdata, serta pembubaran persekutuan perdata oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
Bagian Ketiga
Penerbit Perizinan Berusaha
Pasal 18
(1) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diterbitkan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya. |
(2) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Perizinan Berusaha yang kewenangan penerbitannya telah dilimpahkan atau didelegasikan kepada pejabat lainnya. |
Pasal 19
(1) | Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 termasuk penerbitan dokumen lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui Lembaga OSS. |
(2) | Lembaga OSS berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota menerbitkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Penerbitan Perizinan Berusaha oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(4) | Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan Tanda Tangan Elektronik. |
(5) | Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku sah dan mengikat berdasarkan hukum serta merupakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik. |
(6) | Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dicetak (print out). |
BAB III
PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 20
Pelaksanaan Perizinan Berusaha meliputi:
Bagian Kedua
Pendaftaran
Pasal 21
(1) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 melakukan Pendaftaran untuk kegiatan berusaha dengan cara mengakses laman OSS. |
(2) | Cara mengakses laman OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memasukkan:
|
Pasal 22
(1) | Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a yang telah mendapatkan akses dalam laman OSS, melakukan Pendaftaran dengan mengisi data paling sedikit:
|
(2) | Pelaku Usaha non perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b dan huruf c yang telah mendapatkan akses dalam laman OSS, melakukan Pendaftaran dengan mengisi data paling sedikit:
|
(3) | NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf k menjadi syarat pendaftaran peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan. |
(4) | Jenis penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, harus diisi sesuai dengan ketentuan mengenai daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. |
Pasal 23
Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 belum memiliki NPWP, OSS memproses pemberian NPWP.
Pasal 24
(1) | Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran melalui pengisian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 secara lengkap dan mendapatkan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23. |
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk 13 (tiga belas) digit angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan Tanda Tangan Elektronik. |
Pasal 25
(1) | NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 merupakan identitas berusaha dan digunakan oleh Pelaku Usaha untuk mendapatkan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional termasuk untuk pemenuhan persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional. |
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Lembaga OSS dalam hal:
|
Pasal 26
NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku juga sebagai:
Pasal 27
TDP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
Pasal 28
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sekaligus terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan.
Pasal 29
(1) | Dalam hal Pelaku Usaha akan mempekerjakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha mengajukan pengesahan RPTKA. |
(2) | Pelaku Usaha dalam rangka pengajuan pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengisi data pada laman OSS berupa:
|
(3) | Berdasarkan data pengajuan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sistem OSS memproses pengesahan RPTKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan izin mempekerjakan tenaga kerja asing. |
Pasal 30
(1) | Lembaga OSS setelah menerbitkan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, sekaligus memberikan informasi mengenai fasilitas fiskal yang akan didapat oleh Pelaku Usaha sesuai bidang usaha dan besaran rencana penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pelaksanaan pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Penerbitan Izin Usaha dan Penerbitan Izin Komersial atau Operasional
Berdasarkan Komitmen
Pasal 31
(1) | Izin Usaha wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB. |
(2) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(3) | Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
|
Pasal 32
(1) | Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada:
|
(2) | Lembaga OSS menerbitkan Izin Usaha berdasarkan Komitmen kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan tapi belum memiliki atau menguasai prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf b, setelah Lembaga OSS menerbitkan:
|
Pasal 33
(1) | Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a diterbitkan oleh Lembaga OSS tanpa Komitmen dalam hal:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan menggunakan atau memanfaatkan tanah, Pelaku Usaha mengajukan pertimbangan teknis pertanahan kepada kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan melalui sistem OSS. | ||||||||||||||||||||
(3) | Kantor pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pemeriksaan dan/atau inventarisasi atas lokasi yang telah diberikan Izin Lokasi. | ||||||||||||||||||||
(4) | Berdasarkan pemeriksaan dan/atau inventarisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis kepada Pelaku Usaha paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pengajuan pertimbangan teknis diterima dari sistem OSS. | ||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan persetujuan pertimbangan teknis. |
Pasal 34
Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diterbitkan oleh Lembaga OSS tanpa Komitmen dalam hal:
Pasal 35
(1) | Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c tidak dipersyaratkan untuk penerbitan Izin Usaha dalam hal:
|
(2) | Pelaku Usaha yang lokasi usaha dan/atau kegiatan berada dalam kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, atau kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan RKL-RPL kawasan. |
(3) | RKL-RPL rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh pengelola kawasan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan atas RKL-RPL rinci diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
(5) | Usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki UKL-UPL ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
Pasal 36
IMB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d tidak dipersyaratkan untuk penerbitan Izin Usaha dalam hal bangunan gedung:
Pasal 37
(1) | Izin Usaha berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. |
(2) | Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha dan akan mengembangkan usaha dan/atau kegiatan di wilayah lain, harus tetap memenuhi persyaratan Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan, dan IMB di masing-masing wilayah tersebut. |
(3) | Pelaku Usaha wajib memperbaharui informasi pengembangan usaha dan/atau kegiatan pada sistem OSS. |
Pasal 38
(1) | Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dapat melakukan kegiatan:
|
(2) | Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 namun belum menyelesaikan:
|
Pasal 39
Lembaga OSS menerbitkan Izin Komersial atau Operasional berdasarkan Komitmen untuk memenuhi:
sesuai dengan jenis produk dan/atau jasa yang dikomersialkan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS.
Pasal 40
Lembaga OSS membatalkan Izin Usaha yang sudah diterbitkan dalam hal Pelaku Usaha tidak menyelesaikan pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
Pasal 41
Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional berlaku efektif setelah Pelaku Usaha menyelesaikan Komitmen dan melakukan pembayaran biaya Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-udangan.
Bagian Keempat
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi, Izin Lokasi Perairan, Izin Lingkungan,
dan/atau Izin Mendirikan Bangunan
Paragraf 1
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi
Pasal 42
(1) | Pelaku Usaha wajib menyampaikan permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf a. |
(2) | Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS dengan menyampaikan persyaratan pertimbangan teknis pertanahan kepada kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan. |
(3) | Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kantor pertanahan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan. |
(4) | Dalam hal kantor pertanahan tempat lokasi usaha tidak memberikan pertimbangan teknis dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pertimbangan teknis dianggap telah diberikan sesuai permohonan Pelaku Usaha. |
(5) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 2 (dua) Hari menyetujui pemenuhan Komitmen Izin Lokasi, dalam hal kantor pertanahan:
|
(6) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 2 (dua) Hari menolak pemenuhan Komitmen Izin Lokasi dalam hal kantor pertanahan memberikan penolakan dalam pertimbangan teknis. |
(7) | Dalam hal kantor pertanahan dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memberikan penolakan, Izin Lokasi dinyatakan batal. |
(8) | Dalam hal Pemerintah Daerah kabupaten/kota tidak memberikan persetujuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Lembaga OSS efektif berlaku. |
Pasal 43
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Lokasi dan pertimbangan teknis pertanahan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria. |
(2) | Peraturan menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. |
Pasal 44
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang belum memiliki RDTR, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan wajib menetapkan RDTR untuk Kawasan Industri atau kawasan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam rangka penetapan RDTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang memberikan bantuan teknis. |
Pasal 45
(1) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang menyampaikan rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota dalam bentuk digital ke Lembaga OSS. |
(2) | Lembaga OSS memuat rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sistem OSS. |
(3) | Rencana tata ruang kabupaten/kota dan/atau RDTR kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penetapan tempat lokasi usaha dan/atau kegiatan dalam penerbitan Izin Lokasi. |
Pasal 46
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang yang mengatur mengenai Izin Lokasi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.
Paragraf 2
Pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan
Pasal 47
Izin Lokasi Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan di sebagian perairan di wilayah pesisir dan/atau pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pasal 48
(1) | Pelaku Usaha wajib menyampaikan permohonan pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf b. |
(2) | Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS dengan menyampaikan persyaratan Izin Lokasi Perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangan masing-masing. |
(3) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari menyetujui atau menolak pemenuhan Komitmen Izin Lokasi Perairan. |
(4) | Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan penolakan, Izin Lokasi Perairan dinyatakan batal. |
(5) | Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah tidak memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Izin Lokasi perairan yang diterbitkan oleh Lembaga OSS efektif berlaku. |
Pasal 49
(1) | Dalam rangka penyelesaian Komitmen Izin Lokasi Perairan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 menggunakan data rencana tata ruang laut nasional, rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan/atau data kebijakan satu peta. |
(2) | Penggunaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penggunaan data secara bersama (data sharing) dan terintegrasi secara elektronik (online). |
Paragraf 3
Pemenuhan Komitmen Izin Lingkungan
Pasal 50
Pelaku Usaha wajib memenuhi Komitmen Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dengan melengkapi:
Pasal 51
(1) | Pelaku Usaha wajib melengkapi UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a sesuai formulir UKL- UPL. |
(2) | Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
(3) | Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk masing-masing sektor bidang usaha dan/atau kegiatan setelah mendapat pertimbangan dari menteri atau pimpinan lembaga pembina sektor bidang usaha dan/atau kegiatan terkait. |
Pasal 52
(1) | Dalam rangka pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf a Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS mengajukan UKL-UPL kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan. |
(2) | Pengajuan UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan di sistem OSS. |
Pasal 53
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota melakukan pemeriksaan atas UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 ayat (1) paling lama 5 (lima) Hari sejak disampaikan oleh Pelaku Usaha. |
(2) | Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terdapat perbaikan UKL-UPL, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan menyampaikannya kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS. |
(3) | Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat perbaikan UKL-UPL, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menyampaikan hasil pemeriksaan kepada Pelaku Usaha melalui sistem OSS. |
(4) | Pelaku Usaha wajib melakukan perbaikan UKL-UPL dan menyampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota melalui sistem OSS paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya hasil pemeriksaan. |
(5) | Berdasarkan perbaikan UKL-UPL yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan menyampaikannya kepada Pelaku Usaha melalui OSS. |
(6) | Penetapan persetujuan rekomendasi UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) merupakan pemenuhan Komitmen Izin Lingkungan. |
(7) | Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, dan bupati/wali kota tidak menetapkan persetujuan rekomendasi UKL-UPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) persetujuan rekomendasi UKL-UPL dan Komitmen Izin Lingkungan dianggap telah dipenuhi. |
Pasal 54
(1) | Pelaku Usaha wajib melengkapi dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b. |
(2) | Penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mulai dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan Izin Lingkungan. |
(3) | Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:
|
Pasal 55
(1) | Pelaku Usaha dalam penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak. |
(2) | Pelaku Usaha selain mengikutsertakan masyarakat yang terkena dampak, dapat pula melibatkan pemerhati lingkungan hidup. |
(3) | Pengikutsertaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pemerhati lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
|
(4) | Pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan melalui laman OSS, media massa, dan/atau pada lokasi usaha dan/atau kegiatan. |
(5) | Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 5 (lima) Hari terhitung sejak pengumuman rencana usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berhak mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan. |
(6) | Saran, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan secara tertulis atau melalui Lembaga OSS kepada Pelaku Usaha dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam penyusunan Amdal diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
Pasal 56
(1) | Pelaku Usaha menyusun Andal dan RKL-RPL berdasarkan formulir kerangka acuan. |
(2) | Formulir kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk masing-masing sektor bidang usaha setelah mendapat pertimbangan dari menteri atau pimpinan lembaga pembina sektor bidang usaha terkait. |
Pasal 57
(1) | Andal dan RKL-RPL yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 diajukan kepada.
|
(2) | Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian Andal dan RKL-RPL sesuai dengan kewenangannya. |
Pasal 58
(1) | Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 menyampaikan rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya. |
(2) | Rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa.
|
(3) | Dalam hal rapat Komisi Penilai Amdal menyatakan bahwa dokumen Andal dan RKL-RPL perlu diperbaiki, Komisi Penilai Amdal mengembalikan dokumen Andal dan RKL-RPL kepada Pelaku Usaha selaku pemrakarsa untuk diperbaiki. |
Pasal 59
(1) | Pemrakarsa menyampaikan kembali perbaikan dokumen Andal dan RKL-RPL sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1). |
(2) | Berdasarkan dokumen Andal dan RKL-RPL yang telah diperbaiki sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Penilai Amdal melakukan penilaian akhir terhadap dokumen Andal dan RKL-RPL. |
(3) | Komisi Penilai Amdal menyampaikan hasil penilaian akhir berupa rekomendasi hasil penilaian akhir kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya. |
Pasal 60
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota berdasarkan rekomendasi hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) atau rekomendasi hasil penilaian akhir dari Komisi Penilai Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3), menetapkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau ketidaklayakan lingkungan hidup. |
(2) | Penetapan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemenuhan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b. |
(3) | Penetapan keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegagalan pemenuhan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b dan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf c dinyatakan batal. |
Pasal 61
Jangka waktu penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, penyampaian rekomendasi hasil penilaian Andal dan RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, penilaian akhir serta penyampaian hasil penilaian akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dan penetapan keputusan kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 62
(1) | Dalam hal Pelaku Usaha dalam usaha dan/atau kegiatannya akan membangun pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan, penyusunan dokumen Amdal atau UKL-UPL sekaligus dilakukan dengan penyusunan analisis dampak lalu lintas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. |
(2) | Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimuat dalam Amdal atau UKL-UPL merupakan hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. |
Pasal 63
Dalam hal Pelaku Usaha memerlukan izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup untuk kegiatan:
izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup tersebut diintegrasikan ke dalam Izin Lingkungan.
Pasal 64
Pengintegrasian izin di bidang pengelolaan lingkungan hidup tersebut ke dalam Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dilakukan melalui:
Pasal 65
Lembaga OSS mengumumkan Izin Lingkungan yang telah diterbitkan di sistem OSS dan dalam hal dipandang perlu dapat pula dimuat dalam media lainnya sesuai kebutuhan.
Pasal 66
(1) | Pelaku Usaha wajib mengajukan permohonan perubahan Izin Lingkungan, apabila usaha dan/atau kegiatan yang telah memperoleh Izin Lingkungan direncanakan untuk dilakukan perubahan. |
(2) | Perubahan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengajuan permohonan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, dan huruf e, disampaikan kepada Lembaga OSS. |
(4) | Lembaga OSS menerbitkan perubahan Izin Lingkungan kepada Pelaku Usaha berdasarkan Komitmen. |
(5) | Pelaku Usaha wajib memenuhi Komitmen Izin Lingkungan yang telah diterbitkan oleh Lembaga OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c melalui:
|
(6) | Ketentuan mengenai penyusunan dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 65 berlaku secara mutatis mutandis terhadap dokumen Amdal baru atau adendum Andal dan RKL-RPL. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria perubahan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara perubahan keputusan kelayakan lingkungan hidup, perubahan Rekomendasi UKL-UPL, dan penerbitan perubahan Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
Pasal 67
(1) | Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a, Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan. |
(2) | Dalam hal terjadi perubahan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan menyampaikan laporan perubahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota melalui sistem OSS. |
(3) | Berdasarkan laporan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya menerbitkan perubahan Izin Lingkungan. |
Pasal 68
(1) | Proses permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan, penyusunan dokumen Amdal, serta UKL-UPL, dilakukan melalui sistem OSS. |
(2) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup membangun dan mengembangkan sistem untuk mendukung pelaksanaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup juga profesi yang bersertifikasi atau badan usaha yang berkaitan dengan penyusunan dokumen Amdal dan UKL-UPL. |
Pasal 69
(1) | Terhadap usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL-UPL, Pelaku Usaha membuat surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. |
(2) | Usaha dan/atau kegiatan yang merupakan usaha mikro dan kecil dan usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
Pasal 70
Pemrakarsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, harus dimaknai sebagai Pelaku Usaha.
Pasal 71
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang mengatur mengenai penyusunan dokumen Amdal dan UKL-UPL, penilaian Amdal dan pemeriksaan UKL-UPL, serta permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.
Paragraf 4
Pemenuhan Komitmen Izin Mendirikan Bangunan Gedung
Pasal 72
(1) | Dalam rangka pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf d, Pelaku Usaha melalui Lembaga OSS mengajukan penyelesaian IMB kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai kewenangannya paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Lembaga OSS menerbitkan IMB. |
(2) | Dalam hal IMB memerlukan penyelesaian dokumen Amdal, Pelaku Usaha mengajukan penyelesaian IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak Komitmen Amdal dipenuhi. |
(3) | Pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pelaku Usaha dengan melengkapi:
|
(4) | Dalam hal IMB memerlukan persyaratan Amdal, pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan penyelesaian dokumen Amdal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Rencana teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c harus mendapatkan pertimbangan teknis dari:
|
(6) | Pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a termasuk pertimbangan teknis sektor sesuai dengan fungsi bangunan gedung. |
Pasal 73
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyampaikan surat keterangan rencana kabupaten/kota dalam bentuk digital ke Lembaga OSS. |
(2) | Lembaga OSS memuat surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam sistem OSS. |
(3) | Surat keterangan rencana kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar penyusunan rencana teknis bangunan gedung untuk kegiatan berusaha. |
Pasal 74
(1) | Tim ahli bangunan gedung sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, harus dimaknai sebagai tim ahli bangunan gedung atau profesi ahli bangunan gedung bersertifikat. |
(2) | Profesi ahli bangunan gedung bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang bangunan gedung. |
Pasal 75
(1) | Dalam rangka pengoperasian bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf c pemilik bangunan gedung wajib memiliki sertifikat laik fungsi. |
(2) | Sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi bangunan gedung oleh profesi ahli bangunan gedung bersertifikat paling lama 3 (tiga) Hari. |
Pasal 76
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung yang mengatur mengenai IMB dan sertifikat laik fungsi dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.
Bagian Kelima
Pembayaran Biaya Perizinan Berusaha
Pasal 77
(1) | Segala biaya Perizinan Berusaha yang merupakan:
|
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Pelaku Usaha sebagai bagian dari pemenuhan Komitmen. |
(3) | Pelaku Usaha yang telah melakukan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengunggah bukti pembayaran ke dalam sistem OSS. |
(4) | Pelaksanaan pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat difasilitasi melalui sistem OSS. |
(5) | Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional yang telah diberikan dinyatakan batal. |
Bagian Keenam
Fasilitasi Perizinan Berusaha
Pasal 78
(1) | Lembaga OSS, kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi Perizinan Berusaha kepada Pelaku Usaha terutama usaha mikro, kecil, dan menengah. |
(2) | Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Dalam rangka memberikan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS, kementerian, lembaga, dan Pemerintah Daerah menyediakan tempat pelayanan dan petugas. |
(4) | Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya. |
Bagian Ketujuh
Masa Berlaku Perizinan Berusaha
Pasal 79
(1) | Izin Usaha berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya, kecuali diatur lain dalam undang-undang. |
(2) | Izin Komersial atau Operasional berlaku sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur masing-masing izin. |
Pasal 80
(1) | Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha, dapat mengembalikannya kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir. |
(2) | Pengembalian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha yang melekat dalam Perizinan Berusaha tersebut. |
Bagian Kedelapan
Pengawasan atas Pelaksanaan Perizinan Berusaha
Pasal 81
(1) | Kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah wajib melakukan pengawasan atas:
|
(2) | Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan ketidaksesuaian atau penyimpangan, kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
|
(4) | Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui sistem OSS oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah kepada Lembaga OSS. |
(5) | Lembaga OSS berdasarkan penyampaian kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melakukan penghentian sementara atau pencabutan Perizinan Berusaha. |
Pasal 82
(1) | Kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dapat bekerja sama dengan profesi sesuai dengan bidang pengawasan yang dilakukan oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah. |
(2) | Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang yang diperlukan. |
Pasal 83
(1) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur dan/atau bupati/wali kota wajib melakukan pengawasan terhadap aparatur sipil negara dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsinya dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara. |
BAB IV
REFORMASI PERIZINAN BERUSAHA SEKTOR
Pasal 84
(1) | Dalam rangka percepatan pelayanan berusaha melalui sistem OSS dilakukan reformasi peraturan Perizinan Berusaha. |
(2) | Reformasi peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengaturan kembali jenis perizinan, pendaftaran, rekomendasi, persetujuan, penetapan, standar, sertifikasi, atau lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui:
|
(4) | Penahapan untuk memperoleh perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
|
(5) | Pemberlakuan Komitmen pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan Izin Usaha atau Izin Komersial atau Operasional yang telah diterbitkan. |
Pasal 85
Pelaksanaan reformasi peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 terdiri atas Perizinan Berusaha pada:
yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 86
(1) | Pelaksanaan Perizinan Berusaha yang tidak termasuk dalam Pasal 85 dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sektor bersangkutan. |
(2) | Menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan evaluasi dan reformasi atas peraturan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. |
Pasal 87
Ketentuan Perizinan Berusaha pada sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini diatur dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 88
(1) | Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, menteri dan pimpinan lembaga menyusun dan menetapkan standar Perizinan Berusaha di sektornya masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha. |
(3) | Menteri dan pimpinan lembaga dalam menyusun standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berkoordinasi dengan menteri dan pimpinan lembaga lain. |
(4) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) difasilitasi oleh menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian. |
(5) | Standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini. |
Pasal 89
(1) | Dalam rangka pelaksanaan standar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota mencabut dan menyatakan tidak berlaku seluruh peraturan dan/atau keputusan yang mengatur mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangannya, yang tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Pencabutan peraturan dan/atau keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini. |
BAB V
ONLINE SINGLE SUBMISSION
Bagian Kesatu
Sistem Online Single Submission
Pasal 90
(1) | Pemerintah Pusat membangun, mengembangkan, dan mengoperasionalkan sistem OSS. |
(2) | Sistem OSS terintegrasi dan menjadi gerbang (gateway) dari sistem pelayanan pemerintahan yang telah ada pada kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah. |
(3) | Sistem OSS menjadi acuan utama (single reference) dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha. |
(4) | Dalam hal kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki lebih dari 1 (satu) sistem perizinan elektronik, maka sistem OSS melakukan integrasi pada 1 (satu) pintu sistem perizinan elektronik yang ditentukan oleh kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota. |
Pasal 91
(1) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menggunakan sistem OSS dalam rangka pemberian Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangannya masing-masing. |
(2) | Penggunaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti standar integrasi sistem OSS. |
(3) | Standar integrasi sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup paling sedikit:
|
(4) | Penetapan kelayakan standardisasi integrasi sistem OSS dilakukan melalui proses uji kelayakan integrasi, yang meliputi proses penelaahan teknis dan operasi atas aspek yang mencakup:
|
(5) | Kelayakan standardisasi integrasi sistem OSS dituangkan dalam bentuk sertifikasi uji laik integrasi. |
(6) | Sertifikat uji laik integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika. |
Pasal 92
(1) | Perangkat sistem OSS meliputi:
|
(2) | Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beroperasi secara penuh selama 24 (dua puluh empat) jam. |
(3) | Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki cadangan perangkat yang beroperasi secara berkesinambungan untuk menjaga kelangsungan operasional sistem OSS. |
(4) | Perangkat sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Lembaga OSS, kementerian, lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara mandiri. |
(5) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika menetapkan standar perangkat sistem OSS. |
Bagian Kedua
Lembaga Online Single Submission
Pasal 93
Sistem OSS dikelola oleh Lembaga OSS.
Pasal 94
(1) | Lembaga OSS berdasarkan Peraturan Pemerintah ini, berwenang untuk:
|
(2) | Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berkoordinasi dengan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota. |
(3) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) difasilitasi oleh menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian. |
Bagian Ketiga
Pendanaan Sistem Online Single Submission
Pasal 95
(1) | Pendanaan pembangunan dan pengembangan sistem OSS dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(2) | Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada kementerian/lembaga dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
(3) | Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada Pemerintah Daerah provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi. |
(4) | Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota. |
Pasal 96
Pendanaan pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 mencakup:
BAB VI
INSENTIF ATAU DISINSENTIF PELAKSANAAN PERIZINAN BERUSAHA
MELALUI ONLINE SINGLE SUBMISSION
Pasal 97
(1) | Pemerintah Pusat dapat menetapkan insentif atau mengenakan disinsentif bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang melaksanakan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS. |
(2) | Insentif bagi kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa tambahan anggaran dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Insentif bagi pemerintah daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa Dana Insentif Daerah berdasarkan penilaian atas kinerja pelayanan pelaksanaan berusaha. |
(4) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan kemampuan keuangan negara. |
(5) | Disinsentif bagi kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengurangan anggaran dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Disinsentif bagi Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penundaan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil yang menjadi hak daerah bersangkutan dan bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Penundaan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan setelah mempertimbangkan besaran penyaluran Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil, sanksi pemotongan dan/atau penundaan lainnya, serta kapasitas fiskal daerah yang bersangkutan. |
(8) | Ketentuan pelaksanaan insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
BAB VII
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN PERIZINAN BERUSAHA
MELALUI ONLINE SINGLE SUBMISSION
Pasal 98
(1) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan dibidangnya dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal peraturan perundang-undangan belum mengatur atau tidak jelas mengatur kewenangan untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan sistem OSS, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. |
Pasal 99
(1) | Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sebagai pelaksana sistem OSS atau kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan sistem OSS, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. |
(2) | Dalam hal laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan. |
(3) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan oleh Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima. |
(4) | Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta Aparat Pengawasan Intern Pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari. |
(5) | Hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
(6) | Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan. |
(7) | Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan. |
(8) | Penyelesaian hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan. |
(9) | Dalam hal hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada Kejaksaan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindak lanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB VIII
SANKSI
Pasal 100
(1) | Gubernur dan bupati/wali kota yang tidak memberikan pelayanan pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sesuai OSS kepada Pelaku Usaha yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan terkait dikenai sanksi. |
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis kepada:
|
(3) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sebanyak 2 (dua) kali dengan jangka waktu masing-masing paling lama 2 (dua) Hari. |
(4) | Dalam hal gubernur dan bupati/wali kota tidak memberikan pelayanan pemenuhan Komitmen Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut:
|
Pasal 101
(1) | Menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan OSS sesuai standar OSS. |
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara. |
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 102
Penggunaan data OSS antar kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian Perizinan Berusaha melalui sistem OSS, tidak dikenakan biaya.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 103
Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan belum diterbitkan Perizinan Berusahanya, diproses melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 104
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku dan memerlukan Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional yang baru untuk pengembangan usaha, diatur ketentuan sebagai berikut:
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 105
(1) | Dalam hal Lembaga OSS belum dapat melaksanakan pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini, pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS dimaksud dilaksanakan oleh kementerian koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian. |
(2) | Pelayanan Perizinan Berusaha dan pengelolaan sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan ditetapkannya pengalihan pengelolaan sistem OSS kepada lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal berdasarkan keputusan menteri koordinator yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perekonomian. |
Pasal 106
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pelayanan Perizinan Berusaha dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini atau tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 107
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 21 Juni 2018 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2018
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 90
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2018
TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK
I. |
UMUM Dalam rangka percepatan dan peningkatan penanaman modal dan berusaha, Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah untuk memulai, melaksanakan, dan mengembangkan usaha dan/atau kegiatan, perlu ditata kembali agar menjadi pendukung dan bukan sebaliknya menjadi hambatan perkembangan usaha dan/atau kegiatan. Penataan kembali dilakukan pada sistem pelayanan, dan regulasi sesuai dengan tuntutan dunia usaha, perkembangan teknologi, dan persaingan global. Penataan kembali sistem pelayanan dilakukan terutama pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Hal ini mengingat berdasarkan Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, perusahaan penanaman modal yang akan melakukan usaha dan/atau kegiatan wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang. Selanjutnya pada ayat (5) diatur bahwa pelayanan terhadap izin untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan tersebut dilakukan melalui PTSP. Pelayanan PTSP pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disempurnakan menjadi lebih efisien, melayani, dan modem. Salah satunya yang paling signifikan adalah penyediaan sistem Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission - OSS). Melalui OSS tersebut, Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan mengurus penerbitan Izin Usaha dan penerbitan Izin Komersial dan/atau Operasional secara terintegrasi. Melalui OSS itu pula, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menerbitkan Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penataan kembali regulasi penanaman modal dan berusaha perlu dilakukan dalam rangka memberikan dasar hukum bagi penerbitan Perizinan Berusaha yang dilakukan secara terintegrasi dan elektronik, serta penataan kembali perizinan dan/atau persyaratan lainnya bagi Pelaku Usaha yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Penyempurnaan regulasi ini dilakukan berdasarkan:
|
II. |
PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2Cukup jelas. Pasal 3Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait” adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur Perizinan Berusaha yang menjadi kewenangan menteri, pimpinan lembaga, gubernur, dan/atau bupati/wali kota sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 5Izin pada sektor dengan nomenklatur lain yang ditujukan untuk memulai kegiatan usaha sampai sebelum pelaksanaan komersial atau operasional dengan memenuhi persyaratan dan/atau Komitmen harus dimaknai dengan nomenklatur Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. Cukup jelas. Pasal 7Cukup jelas. Pasal 8Cukup jelas. Pasal 9Cukup jelas. Pasal 10Contoh Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara antara lain: Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan. Pasal 11Cukup jelas. Pasal 12Lembaga penyiaran terdiri atas: lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan. Pasal 13Cukup jelas. Pasal 14Cukup jelas. Pasal 15Cukup jelas. Pasal 16Cukup jelas. Pasal 17Cukup jelas. Pasal 18Cukup jelas. Pasal 19Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dokumen lain yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha” adalah sertifikat, rekomendasi, lisensi, hasil pengujian, dan lainnya yang diperlukan untuk mendapatkan Perizinan Berusaha. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 21Cukup jelas. Pasal 22Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “NIK” adalah nomor induk kependudukan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada setiap penduduk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi kependudukan. Huruf bCukup jelas. Huruf cYang dimaksud dengan “bidang usaha” yaitu bidang usaha yang diatur dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Huruf dCukup jelas. Huruf e Yang dimaksud dengan "modal” yaitu aset dalam bentuk uang atau bentuk lain bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis. Huruf fYang dimaksud dengan “rencana penggunaan tenaga kerja” yaitu jumlah, jenis, dan sumber tenaga kerja. Sumber tenaga kerja termasuk penggunaan tenaga kerja asing dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Huruf gYang dimaksud dengan “nomor kontak” yaitu alamat surat menyurat, nomor telepon, email, website, dan/atau kotak pos. Huruf hYang dimaksud dengan “fasilitas kepabeanan” yaitu fasilitas yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang dari dan/atau ke wilayah pabean. Huruf i NPWP yang dimasukkan merupakan NPWP yang telah diadministrasikan pada Direktorat Jenderal Pajak. Huruf a Cukup jelas. Huruf bYang dimaksud dengan “bidang usaha” yaitu bidang usaha yang diatur dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Huruf cYang dimaksud dengan “jenis penanaman modal” yaitu penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Huruf dCukup jelas. Huruf eCukup jelas. Huruf fYang dimaksud dengan "modal” yaitu aset dalam bentuk uang atau bentuk lain bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis, yang dapat terdiri dari modal asing dan/atau modal dalam negeri. Yang dimaksud dengan “rencana penggunaan tenaga kerja” yaitu jumlah, jenis, dan sumber tenaga kerja. Sumber tenaga kerja termasuk penggunaan tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Huruf hYang dimaksud dengan “nomor kontak” yaitu alamat surat menyurat, nomor telepon, email, website, dan/atau kotak pos. Huruf iYang dimaksud dengan “fasilitas kepabeanan” yaitu fasilitas yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang dari dan/atau ke wilayah pabean. Huruf jCukup jelas. Huruf kCukup jelas. Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Dalam hal pelaku usaha yang mendaftar belum memiliki NPWP, OSS yang terintegrasi dengan sistem di Direktorat Jenderal Pajak memproses pemberian NPWP. Pasal 24Cukup jelas. Pasal 25Cukup jelas. Pasal 26Huruf a Cukup jelas. Huruf bAPI terdiri atas angka pengenal importir umum (API-U) dan angka pengenal importir produsen (API-P). Hak akses kepabeanan diberikan kepada Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengusaha barang kena cukai dan/atau menggunakan fasilitas kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Cukup jelas. Pasal 28Cukup jelas. Pasal 29Cukup jelas. Pasal 30Cukup jelas. Pasal 31Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Yang dimaksud dengan “prasarana” adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu usaha dan/atau kegiatan. Contoh: gedung, pabrik, unit pengolahan limbah dan lahan. Ayat (3)Yang dimaksud dengan “menguasai” termasuk sewa, pinjam meminjam, atau bentuk lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Cukup jelas. Pasal 33Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf bYang dimaksud dengan “kawasan ekonomi khusus” adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf eCukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf gYang dimaksud dengan “proyek strategis nasional“ adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 35Cukup jelas. Pasal 36Cukup jelas. Pasal 37Cukup jelas. Pasal 38Cukup jelas. Pasal 39Yang dimaksud dengan “Komitmen” antara lain berupa pemenuhan standar obat dan makanan yang dibuktikan dengan pemeriksaan terhadap sarana produksi dalam rangka pemenuhan “Good Manufacturing Practice (GMP)” oleh lembaga yang berwenang. Cukup jelas. Pasal 41Cukup jelas. Pasal 42Cukup jelas. Pasal 43Cukup jelas. Pasal 44Cukup jelas. Pasal 45Cukup jelas. Pasal 46Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48Cukup jelas. Pasal 49Cukup jelas. Pasal 50Cukup jelas. Pasal 51Cukup jelas. Pasal 52Cukup jelas. Pasal 53Cukup jelas. Pasal 54Cukup jelas. Pasal 55Cukup jelas. Pasal 56Cukup jelas. Pasal 57Cukup jelas. Pasal 58Cukup jelas. Pasal 59Cukup jelas. Pasal 60Cukup jelas. Pasal 61Cukup jelas, Pasal 62Cukup jelas. Pasal 63Yang dimaksud dengan “bahan berbahaya dan beracun” yaitu zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Pasal 64Cukup jelas. Pasal 65Cukup jelas. Pasal 66Cukup jelas. Pasal 67Cukup jelas. Pasal 68Cukup jelas. Pasal 69Cukup jelas. Pasal 70Cukup jelas. Pasal 71Cukup jelas. Pasal 72Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Ayat (6) Pertimbangan teknis sektor diperlukan untuk fungsi bangunan gedung tertentu antara lain seperti bangunan gedung rumah sakit. Cukup jelas. Pasal 74Cukup jelas. Pasal 75Cukup jelas. Pasal 76Cukup jelas. Pasal 77Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Cukup jelas. Ayat (4) Fasilitasi pembayaran biaya melalui sistem OSS tergantung kesiapan sistem dan mekanisme penerimaan negara bukan pajak, bea masuk dan/atau bea keluar, cukai, dan/atau pajak daerah atau retribusi daerah. Cukup jelas. Pasal 78Cukup jelas. Pasal 79Cukup jelas. Pasal 80Cukup jelas. Pasal 81Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Pengawasan oleh kementerian, lembaga, dan/atau Pemerintah Daerah meliputi pengecekan: Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 83Cukup jelas. Pasal 84Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Cukup jelas. Ayat (3)Reformasi jenis perizinan yang menyangkut penghapusan atau penggabungan dilakukan terhadap perizinan yang tidak diperintahkan oleh Undang-Undang atau perizinan tersebut dinilai sudah tidak diperlukan atau tidak efektif apabila dilakukan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)Cukup jelas. Perizinan Berusaha pada sektor keuangan berupa Perizinan Berusaha untuk perbankan dan non perbankan dilakukan di luar OSS oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Cukup jelas. Pasal 87Cukup jelas. Pasal 88Cukup jelas. Pasal 89Cukup jelas. Pasal 90Cukup jelas. Pasal 91Cukup jelas. Pasal 92Cukup jelas Pasal 93Cukup jelas. Pasal 94Cukup jelas. Pasal 95Cukup jelas. Pasal 96Cukup jelas Pasal 97Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2)Yang dimaksud dengan “bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dapat berupa: Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)Cukup jelas. Ayat (5)Yang dimaksud dengan “bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dapat berupa: Cukup jelas. Ayat (7)Cukup jelas. Ayat (8)Cukup jelas. Cukup jelas. Pasal 99Cukup jelas. Pasal 100Cukup jelas. Pasal 101Cukup jelas. Pasal 102Cukup jelas. Pasal 103Cukup jelas. Pasal 104Cukup jelas. Pasal 105Cukup jelas. Pasal 106Cukup jelas. Pasal 107Cukup jelas. |
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6215