1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Konstruksi adalah rangkaian kegiatan untuk mewujudkan, memelihara, menghancurkan bangunan yang sebagian dan/atau seluruhnya menyatu dengan tanah atau tempat kedudukannya menyatu dengan tanah.
- Bangunan Konstruksi adalah wujud fisik hasil Jasa Konstruksi.
- Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultansi konstruksi dan/atau pekerjaan konstruksi.
- Konsul tansi Konstruksi adalah layanan keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan, dan manajemen penyelenggaraan konstruksi suatu bangunan.
- Pekerjaan Konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian kegiatan yang meliputi pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan.
- Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi adalah gabungan Pekerjaan Konstruksi dan jasa Konsultansi Konstruksi.
- Pengguna Jasa adalah pemilik atau pemberi pekerjaan yang menggunakan layanan Jasa Konstruksi.
- Penyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi.
- Subpenyedia Jasa adalah pemberi layanan Jasa Konstruksi kepada Penyedia Jasa.
- Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi adalah upaya pengelolaan rangkaian kegiatan untuk mewujudkan Bangunan Konstruksi yang kukuh, andal, berdaya saing tinggi, berkualitas, dan berkelanj utan.
- Asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Asosiasi Badan Usaha adalah organisasi berbadan hukum yang mewadahi Badan Usaha Jasa Konstruksi.
- Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi yang selanjutnya disebut Asosiasi Profesi adalah organisasi dan/atau himpunan individu profesional dalam suatu bidang keilmuan tertentu di bidang Jasa Konstruksi, berbadan hukum, dan bertanggung jawab atas pembinaan dan pengembangan profesi tersebut.
- Asosiasi Terkait Rantai Pasok Konstruksi yang selanjutnya disebut Asosiasi Terkait Rantai Pasok adalah organisasi berbadan hukum yang mewadahi usaha terkait material Konstruksi, peralatan konstruksi, teknologi konstruksi, dan sumber daya manusia.
- Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan adalah pedoman teknis keamanan, keselamatan, kesehatan tempat kerja konstruksi, dan perlindungan sosial tenaga kerja, serta tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
- Kegagalan Bangunan adalah suatu keadaan keruntuhan bangunan dan/atau tidak berfungsinya bangunan setelah penyerahan akhir hasil Jasa Konstruksi.
- Sertifikat Badan Usaha adalah tanda bukti pengakuan terhadap Klasifikasi dan Kualifikasi atas kemampuan Badan Usaha Jasa Konstruksi termasuk hasil penyetaraan kemampuan Badan Usaha Jasa Konstruksi asing.
- Sertifikasi Kompetensi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi melalui uji kompetensi sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus.
- Sertifikat Kompetensi Kerja adalah tanda bukti pengakuan kompetensi tenaga kerja konstruksi.
- Perizinan Berusaha Bidang Jasa Konstruksi adalah perizinan yang diberikan kepada usaha orang perseorangan atau badan usaha untuk menyelenggarakan kegiatan Jasa Konstruksi.
- Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission yang selanjutnya disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Pelaku Usaha melalui sistem elektronik yang terintegrasi.
- Klasifikasi adalah penetapan kelompok usaha Jasa Konstruksi berdasarkan jenis Bangunan Konstruksi, bagian Pekerjaan Konstruksi, bidang keilmuan, dan keahlian terkait.
- Kualifikasi adalah penetapan kelompok usaha Jasa Konstruksi berdasarkan kemampuan usaha dan kelompok tenaga kerja berdasarkan kompetensi kerja.
- Akreditasi adalah kegiatan penilaian dan bentuk pengakuan formal untuk menentukan kelayakan asosiasi.
- Pembinaan Jasa Konstruksi adalah usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan dalam rangka menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pengembangan Jasa Konstruksi untuk mencapai tujuan penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
- Masyarakat Jasa Konstruksi adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai kepentingan dan/atau kegiatan yang berhubungan dengan Jasa Konstruksi.
- Sistem Informasi Jasa Konstruksi adalah penyelenggaraan penyediaan data dan informasi Jasa Konstruksi yang didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi.
- Lisensi adalah izin yang diberikan untuk menyelenggarakan proses sertifikasi Jasa Konstruksi.
- Usaha Rantai Pasok Sumber Daya Konstruksi adalah kegiatan ekonomi terkait dengan hasil produksi dan distribusi material, peralatan, teknologi, dan Tenaga Kerja Konstruksi dari hulu hingga hilir untuk mendukung pelaksanaan kegiatan Jasa Konstruksi.
- Layanan Usaha adalah suatu lingkup layanan pekerjaan berdasarkan jenis dan sifat usaha Jasa Konstruksi.
- Tender adalah metode pemilihan untuk mendapatkan penyedia Pekerjaan Konstruksi.
- Seleksi adalah metode pemilihan untuk mendapatkan Penyedia Jasa Konsul tansi Konstruksi.
- Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan mengikutsertakan pihak ketiga yang bertindak sebagai penasihat.
- Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan mengikutsertaan pihak ketiga (konsiliator) yang melakukan intervensi secara aktif.
- Dewan Sengketa adalah perorangan atau tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak, sejak awal pelaksanaan kontrak kerja Konstruksi untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa.
- Penilai Ahli adalah orang perseorangan, kelompok, atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian dalam hal terjadi kegagalan bangunan.
- Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
- Tenaga Kerja Konstruksi adalah setiap orang yang memiliki keterampilan atau pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan Pekerjaan Konstruksi yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi.
- Keselamatan Konstruksi adalah segala kegiatan keteknikan untuk mendukung Pekerjaan Konstruksi dalam mewujudkan pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Keberlanjutan yang menjamin keselamatan keteknikan Konstruksi, keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, keselamatan publik, dan keselamatan lingkungan.
- Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disingkat SMKK adalah bagian dari sistem manajemen pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi untuk menjamin terwujudnya Keselamatan Konstruksi.
- Unit Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disingkat UKK adalah unit pada Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan SMKK dalam Pekerjaan Konstruksi.
- Rancangan Konseptual SMKK adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang disusun pada tahap pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan.
- Rencana Keselamatan Konstruksi yang selanjutnya disingkat RKK adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat elemen SMKK yang merupakan satu kesatuan dengan dokumen kontrak.
- Rencana Mutu Pekerjaan Konstruksi yang selanjutnya disingkat RMPK adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat uraian metode pekerjaan, rencana inspeksi dan pengujian, serta pengendalian subpenyedia jasa dan pemasok, dan merupakan satu kesatuan dengan dokumen kontrak.
- Rencana Kerja Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat RKPPL adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat rona lingkungan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang merupakan pelaporan pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan.
- Rencana Manajemen Lalu Lintas Pekerjaan yang selanjutnya disingkat RMLLP adalah dokumen telaah tentang Keselamatan Konstruksi yang memuat analisis, kegiatan, dan koordinasi manajemen lalu lintas.
- Risiko Keselamatan Konstruksi adalah risiko Konstruksi yang memenuhi 1 (satu) atau lebih kriteria berupa besaran risiko pekerjaan, nilai kontrak, jumlah tenaga kerja, jenis alat berat yang dipergunakan, dan tingkatan penerapan teknologi yang digunakan.
- Penilaian Risiko Keselamatan Konstruksi adalah perhitungan besaran potensi berdasarkan kemungkinan adanya kejadian yang berdampak terhadap kerugian atas Konstruksi, jiwa manusia, keselamatan publik, dan lingkungan yang dapat timbul dari sumber bahaya tertentu, terjadi pada Pekerjaan Konstruksi dengan memperhitungkan nilai kekerapan dan nilai keparahan yang ditimbulkan.
- Kecelakaan Konstruksi adalah suatu kejadian akibat kelalaian pada tahap Pekerjaan Konstruksi karena tidak terpenuhinya Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan, yang mengakibatkan kehilangan harta benda, waktu kerja, kematian, cacat tetap, dan/atau kerusakan lingkungan.
- Pemantauan dan Evaluasi Keselamatan Konstruksi adalah kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan Keselamatan Konstruksi yang meliputi pengumpulan data, analisis, kesimpulan, dan rekomendasi perbaikan penerapan Keselamatan Konstruksi.
- Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi yang selanjutnya disingkat LPJK adalah lembaga non struktural yang menyelenggarakan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
- Lembaga Sertifikasi Profesi yang selanjutnya disingkat LSP adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi, dibentuk oleh asosiasi profesi terakreditasi atau lembaga pendidikan dan pelatihan Konstruksi yang memenuhi syarat, dan dilisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri.
- Lembaga Sertifikasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang selanjutnya disingkat LSBU adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi badan usaha yang dibentuk oleh Asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi terakreditasi dan dilisensi oleh LPJK.
- Konsultan Manajemen Konstruksi adalah pelaku usaha yang menyediakan layanan usaha manajemen Konstruksi berdasarkan kontrak.
- Kontrak Kerja Konstruksi selanjutnya disebut Kontrak adalah keseluruhan dokumen Kontrak yang mengatur hubungan hukum antara Pengguna Jasa dengan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
- Kerja Sama Operasi yang selanjutnya disingkat KSO adalah kerja sama usaha antar pelaku usaha yang masing-masing pihak mempunyai hak, kewajiban, dan tanggung jawab yang jelas berdasarkan perjanjian tertulis.
- Konstruksi Berkelanjutan adalah sebuah pendekatan dalam melaksanakan rangkaian kegiatan yang diperlukan untuk menciptakan suptu fasilitas fisik yang memenuhi tujuan ekonomi, sosial, dan lingkungan pada saat ini dan pada masa yang akan datang.
- Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
- Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
|
|
2. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) |
Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 terdiri atas:
a. |
Akreditasi bagi Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok Jasa Konstruksi; |
b. |
Akreditasi bagi Asosiasi Profesi dan pemberian rekomendasi Lisensi bagi LSP; |
c. |
pencatatan Penilai Ahli melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
d. |
menetapkan Penilai Ahli yang terdaftar dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan; |
e. |
penyetaraan tenaga kerja asing; |
f. |
membentuk LSP atau panitia teknis uji kompetensi untuk melaksanakan tugas Sertifikasi Kompetensi Kerja yang belum dapat dilakukan LSP yang dibentuk Asosiasi Profesi/Lembaga Pendidikan dan Pelatihan; |
g. |
Lisensi LSBU; |
h. |
pencatatan Badan Usaha Jasa Konstruksi melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
i. |
pencatatan tenaga kerja melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
j. |
pencatatan pengalaman badan usaha melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
k. |
pencatatan pengalaman profesional Tenaga Kerja Konstruksi melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
l. |
pencatatan LSP yang dibentuk Lembaga Pendidikan dan Pelatihan kerja di bidang Konstruksi dan Asosiasi Profesi terakreditasi melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; dan |
m. |
pencatatan LSBU yang dibentuk Asosiasi Badan Usaha terakreditasi melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
|
(2) |
Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat yang mengikutsertakan Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui 1 (satu) lembaga yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.. |
(3) |
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu LPJK. |
(4) |
LPJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan lembaga nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. |
(5) |
Susunan organisasi LPJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. |
pengurus; dan |
b. |
sekretariat. |
|
(6) |
Dalam melaksanakan penyelenggaraan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LPJK melaksanakan tugas:
a. |
pencatatan pengalaman; |
b. |
Akreditasi; |
c. |
penetapan Penilai Ahli; |
d. |
pembentukan LSP; |
e. |
pemberian Lisensi; |
f. |
penyetaraan di bidang Jasa Konstruksi; dan |
g. |
tugas lain yang diberikan oleh Menteri. |
|
(7) |
Layanan akreditasi, lisensi, dan registrasi badan usaha Jasa Konstruksi nasional dan Tenaga Kerja Konstruksi nasional dibiayai dari keuangan negara. |
(8) |
Menteri dapat membentuk dewan pengawas yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap LPJK. |
(9) |
Pengurus dan sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mendapatkan hak keuangan dan fasilitas. |
(10) |
LPJK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia. |
|
|
|
3. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 24 (dua puluh empat) pasal, yakni Pasal 6A sampai dengan Pasal 6X sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) |
Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a dapat diusulkan dari:
a. |
Asosiasi Badan Usaha Jasa Konstruksi yang terakreditasi; |
b. |
Asosiasi Profesi yang terakreditasi; |
c. |
institusi Pengguna Jasa Konstruksi yang memenuhi kriteria; |
d. |
perguruan tinggi atau pakar yang memenuhi kriteria; dan |
e. |
Asosiasi Terkait Rantai Pasok yang terakreditasi. |
|
(2) |
Persyaratan pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
a. |
warga negara Indonesia; |
b. |
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; |
c. |
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
d. |
sehat jasmani dan rohani; |
e. |
bersedia ditempatkan di Ibukota Negara Republik Indonesia; |
f. |
lolos uji kelayakan dan kepatutan yang diselenggarakan melalui seleksi; |
g. |
tidak menjadi pengurus atau anggota partai politik; |
h. |
tidak merangkap sebagai pengurus asosiasi selama menjabat sebagai pengurus LPJK; |
i. |
berusia paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun pada saat pendaftaran bagi calon pengurus berstatus aparatur sipil negara dari institusi pengguna Jasa Konstruksi yang berasal dari Pemerintah Pusat; |
j. |
berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pendaftaran bagi calon pengurus dari institusi pengguna Jasa Konstruksi yang berasal dari swasta; |
k. |
calon pengurus dari institusi Pengguna Jasa Konstruksi yang berasal dari Pemerintah Pusat tidak merangkap jabatan setelah penetapan Menteri; |
l. |
belum pernah menjabat kepengurusan LPJK dalam 2 (dua) periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut; |
m. |
calon pengurus dari Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi memiliki pengalaman kerja terkait Jasa Konstruksi paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan berpengalaman menjadi pengurus asosiasi paling sedikit 3 (tiga) tahun; |
n. |
calon pengurus dari institusi Pengguna Jasa Konstruksi memiliki pengalaman terkait Jasa Konstruksi paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; dan |
o. |
calon pengurus dari perguruan tinggi dan/atau pakar memiliki pengalaman terkait dengan Konstruksi paling sedikit 10 (sepuluh) tahun. |
|
(3) |
Institusi Pengguna Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. |
Pemerintah Pusat; dan |
b. |
swasta. |
|
(4) |
Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih melalui uji kelayakan dan kepatutan. |
(5) |
Menteri mengusulkan calon pengurus yang telah lulus uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebanyak 2 (dua) kali jumlah pengurus yang akan ditetapkan oleh Menteri. |
(6) |
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Menteri memilih paling banyak 7 (tujuh) calon pengurus. |
(7) |
Pemilihan pengurus dilaksanakan sebelum berakhirnya masa kepengurusan LPJK periode sebelumnya. |
(8) |
Menteri menetapkan susunan pengurus berdasarkan hasil pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
Pasal 6B
(1) |
Pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf a terdiri atas:
a. |
ketua; dan |
b. |
anggota. |
|
(2) |
Ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merangkap sebagai anggota. |
(3) |
Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah gasal dan paling banyak 7 (tujuh) orang. |
(4) |
Masa jabatan pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama 4 (empat) tahun. |
Pasal 6C Ketua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B ayat (1) huruf a mempunyai tugas:
a. |
memimpin pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6); |
b. |
menetapkan tata cara pelaksanaan tugas dan fungsi LPJK; |
c. |
mengoordinasikan para anggota dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; |
d. |
menetapkan program kerja; |
e. |
menetapkan rencana kerja dan anggaran belanja tahunan; |
f. |
menyampaikan laporan pelaksanaan tugas secara berkala kepada Menteri; |
g. |
melakukan pengawasan kinerja internal; dan |
h. |
melakukan koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait pelaksanaan tugas LPJK. |
Pasal 6D Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6B ayat (1) huruf b mempunyai tugas:
a. |
membantu ketua dalam melaksanakan tugas LPJK serta menyusun laporan sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing; |
b. |
melakukan koordinasi dan mengendalikan pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri; |
c. |
menyiapkan program kerja; |
d. |
menyiapkan rencana kerja dan anggaran belanja tahunan; |
e. |
menggantikan tugas ketua dalam hal ketua berhalangan melaksanakan tugas; |
f. |
melaksanakan tugas kedinasan lain yang diberikan oleh ketua; |
g. |
memberikan saran dan pertimbangan dalam perumusan rancangan kebijakan kepada ketua; dan |
h. |
memberikan saran dan pertimbangan dalam penyusunan rencana dan program kerja serta laporan kegiatan. |
Pasal 6E
(1) |
Seleksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) huruf f dilakukan oleh panitia seleksi. |
(2) |
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk oleh Menteri. |
(3) |
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
pengarah; |
b. |
kelompok kerja penilai pengurus; dan |
c. |
sekretariat. |
|
(4) |
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas paling sedikit meliputi:
a. |
menetapkan daftar calon peserta uji kelayakan dan kepatutan yang memenuhi syarat; |
b. |
menyelenggarakan uji kelayakan dan kepatutan, termasuk menetapkan kelembagaan psikologi untuk melaksanakan asesmen psikologi; |
c. |
menetapkan hasil uji kelayakan dan kepatutan; dan |
d. |
mengusulkan peserta yang lulus uji kelayakan dan kepatutan berdasarkan kemampuan dan kapasitas tertinggi kepada Menteri sebanyak 2 (dua) kali lipat dari jumlah pengurus yang harus ditetapkan Menteri. |
|
(5) |
Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Menteri. |
Pasal 6F
(1) |
Uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (4) paling sedikit dilakukan melalui:
a. |
seleksi administrasi; |
b. |
asesmen psikologi; dan |
c. |
asesmen substansi. |
|
(2) |
Prosedur rinci uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertuang dalam prosedur operasional standar yang dibuat oleh kelompok kerja penilai pengurus. |
Pasal 6G
Menteri menetapkan dan mengangkat ketua dan anggota pengurus LPJK hasil pemilihan antara Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Menteri.
Pasal 6H
Keanggotaan pengurus berhenti dan/atau diberhentikan jika:
a. |
meninggal dunia; |
b. |
mengundurkan diri atas permintaan sendiri dengan persetujuan Menteri; |
c. |
berakhir masa j abatannya dan tidak diangkat lagi; |
d. |
tidak cakap jasmani atau rohani; |
e. |
tidak menjalankan tugas sebagai pengurus LPJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6C dan Pasal 6D tanpa alasan yang sah; |
f. |
melakukan perbuatan atau sikap yang merugikan LPJK; |
g. |
melakukan tindakan atau sikap yang bertentangan dengan kepentingan negara; dan/atau |
h. |
melakukan tindak pidana kejahatan yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. |
Pasal 6I
(1) |
Pengurus yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6H huruf b harus mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri disertai dengan alasan. |
(2) |
Menteri memberikan persetujuan pemberhentian pengurus setelah mendapatkan rekomendasi dari dewan pengawas. |
Pasal 6J
(1) |
Dalam hal terdapat pengurus berhenti atau diberhentikan sebelum masa tugas kepengurusan selesai dilakukan pergantian antarwaktu pengurus LPJK. |
(2) |
Pergantian antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam hal calon pengurus sudah mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 F ayat (1). |
(3) |
Calon pengurus yang sudah lolos uji kelayakan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri sebagai pengurus LPJK. |
Pasal 6K
(1) |
Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) huruf b memiliki tugas untuk mendukung pelaksanaan tugas LPJK. |
(2) |
Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan dukungan administratif dan teknis operasional kepada LPJK. |
(3) |
Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh sekretaris. |
(4) |
Sekretaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijabat secara ex-officio oleh sekretaris direktorat jenderal yang bertanggung jawab di bidang Jasa Konstruksi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
Pasal 6L
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6K ayat (1), sekretariat menyelenggarakan fungsi:
a. |
pemberian dukungan administratif kepada LPJK; |
b. |
pemberian dukungan teknis operasional kepada LPJK; |
c. |
pengelolaan urusan tata usaha, rumah tangga, administrasi keuangan, dan administrasi kepegawaian; |
d. |
pengumpulan, pengolahan, penyajian data dan informasi, serta penyusunan laporan kegiatan sekretariat LPJK; dan |
e. |
penyusunan analisis jabatan dan beban kerja LPJK. |
Pasal 6M
(1) |
Sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6K ayat (1) terdiri atas:
a. |
bagian administrasi; dan |
b. |
kelompok jabatan fungsional. |
|
(2) |
Bagian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempunyai tugas melaksanakan kegiatan administrasi umum, pengelolaan data dan informasi, serta pemberian dukungan administratif bidang Lisensi, Akreditasi, dan pencatatan pengalaman. |
(3) |
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagian administrasi menyelenggarakan fungsi:
a. |
pelaksanaan urusan tata usaha, rumah tangga, administrasi keuangan, dan administrasi kepegawaian; |
b. |
pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data; |
c. |
informasi serta penyusunan laporan kegiatan sekretariat LPJK; dan |
d. |
pelaksanaan pemberian dukungan administratif dan teknis operasional bidang Lisensi, Akreditasi, dan pencatatan pengalaman. |
|
(4) |
Bagian administrasi dipimpin oleh kepala bagian. |
(5) |
Kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mempunyai tugas memberikan pelayanan fungsional dalam pelaksanaan dukungan teknis operasional sesuai dengan bidang keahlian dan keterampilan. |
Pasal 6N
(1) |
Dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6M ayat (2) ditetapkan koordinator kelompok jabatan fungsional sesuai dengan ruang lingkup bidang tugas dan fungsi LPJK. |
(2) |
Koordinator kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas mengoordinasikan dan mengelola kegiatan pelayanan fungsional sesuai dengan bidang tugas masing-masing. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembagian tugas koordinator kelompok jabatan fungsional ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 6O
(1) |
Kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6M ayat (1) huruf b terdiri atas berbagai jenis jabatan fungsional sesuai dengan bidang keahlian dan keterampilan yang pengangkatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Jumlah kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan sesuai dengan kebutuhan berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. |
(3) |
Tugas, jenis, dan jenjang kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 6P
(1) |
Kepala bagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6M ayat (4) merupakan jabatan administrator atau jabatan struktural eselon III.a. |
(2) |
Kepala bagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri. |
(3) |
Pejabat pada kelompok jabatan fungsional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) diangkat dan diberhentikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 6Q
(1) |
Pengawasan terhadap LPJK dilakukan oleh Menteri melalui dewan pengawas. |
(2) |
Dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditetapkan oleh Menteri. |
(3) |
Dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
ketua; dan |
b. |
anggota. |
|
(4) |
Jumlah dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah gasal. |
(5) |
Komposisi keanggotaan dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pemerintah dan/atau nonpemerintah yang menangani bidang Jasa Konstruksi. |
(6) |
Masa jabatan dewan pengawas selama 4 (empat) tahun. |
Pasal 6R
(1) |
Dewan pengawas dapat mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis kepada Menteri. |
(2) |
Menteri dapat menyetujui atau menolak permohonan pengunduran diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) |
Dalam hal permohonan pengunduran diri disetujui, Menteri melakukan penggantian dewan pengawas. |
Pasal 6S
(1) |
Pengurus dan sekretariat LPJK harus mematuhi nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku. |
(2) |
Nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 6T
(1) |
Pendanaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan LPJK bersumber dari:
a. |
anggaran pendapatan dan belanja negara; dan/ atau |
b. |
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
(2) |
Biaya yang diperoleh dari masyarakat atas layanan yang dilakukan LPJK merupakan penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 6U
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak keuangan dan fasilitas LPJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 6V
(1) |
Setiap badan usaha Jasa Konstruksi harus melakukan pencatatan pengalaman badan usaha kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j. |
(2) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui LPJK. |
(3) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(4) |
Pencatatan pengalaman badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. |
nama paket pekerjaan; |
b. |
nama Pengguna Jasa; |
c. |
nama dan porsi pembagian modal bila melakukan KSO; |
d. |
durasi dan tahun pelaksanaan pekerjaan; |
e. |
nilai pekerjaan; |
f. |
berita acara serah terima pekerjaan; dan |
g. |
kinerja Penyedia Jasa tahunan. |
|
Pasal 6W
(1) |
Setiap Tenaga Kerja Konstruksi harus melakukan pencatatan pengalaman profesional Tenaga Kerja Konstruksi kepada Pemerintah . Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf k. |
(2) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui LPJK. |
(3) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(4) |
Pengalaman profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. |
jenis layanan profesional yang diberikan; |
b. |
nilai Pekerjaan Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional; |
c. |
durasi dan tahun pelaksanaan pekerjaan; dan |
d. |
nama Pengguna Jasa. |
|
Pasal 6X
(1) |
LPJK akan melakukan uji petik verifikasi dan validasi terhadap pengalaman badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6V dan pengalaman profesional Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6W yang telah tercatat dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(2) |
Dalam hal hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan data yang disampaikan oleh badan usaha Jasa Konstruksi atau Tenaga Kerja Konstruksi terbukti tidak benar, badan usaha atau Tenaga Kerja Konstruksi akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
4. |
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8
(1) |
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi pada sub-urusan Jasa Konstruksi yang meliputi penyelenggaraan pelatihan tenaga ahli Konstruksi dan penyelenggaraan Sistem Informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) |
Pemerintah Daerah provinsi dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Masyarakat Jasa Konstruksi. |
|
|
|
5. |
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) |
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten /kota pada sub-urusan Jasa Konstruksi yang meliputi:
a. |
penyelenggaran pelatihan tenaga terampil Konstruksi; |
b. |
penyelenggaraan Sistem Informasi Jasa Konstruksi cakupan daerah kabupaten/kota; |
c. |
penerbitan perizinan berusaha Bidang Jasa Konstruksi nasional Kualifikasi kecil, menengah, dan besar; dan |
d. |
pengawasan tertib usaha, tertib penyelenggaraan, dan tertib pemanfaatan Jasa Konstruksi, |
dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) |
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Masyarakat Jasa Konstruksi. |
(3) |
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha berbasis risiko. |
|
|
|
6. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
(1) |
Struktur usaha Jasa Konstruksi meliputi:
a. |
jenis, sifat, Klasifikasi, dan Layanan Usaha; dan |
b. |
bentuk dan Kualifikasi usaha. |
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Kualifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha berbasis risiko. |
|
|
|
7. |
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
(1) |
Jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a meliputi:
a. |
usaha jasa Konsultansi Konstruksi; |
b. |
usaha Pekerjaan Konstruksi; dan |
c. |
usaha Pekerjaan Konstruksi terintegrasi. |
|
(2) |
Jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak dapat mengambil jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c. |
(3) |
Jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat mengambil jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c. |
(4) |
Jenis usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat mengambil jenis usaha Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
|
|
|
8. |
Ketentuan ayat (1) Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
(1) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai subklasifikasi dan kriteria subklasifikasi diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha berbasis risiko. |
(2) |
Ketentuan mengenai:
a. |
Klasifikasi dan subklasifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) huruf a yang terkait ketenagalistrikan; |
b. |
Kualifikasi usaha yang terkait ketenagalistrikan; |
c. |
sertifikasi badan usaha yang terkait ketenagalistrikan; dan |
d. |
Kualifikasi dan sertifikasi tenaga kerja instalasi tenaga listrik, |
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan. |
|
|
|
9. |
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) |
Layanan Usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a meliputi:
a. |
pengkajian; |
b. |
perencanaan; |
c. |
perancangan; |
d. |
pengawasan; dan/atau |
e. |
manajemen penyelenggaraan Konstruksi. |
|
(2) |
Layanan Usaha jasa Konsultansi Konstruksi yang bersifat spesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b meliputi:
a. |
survei; |
b. |
pengujian teknis; dan/atau |
c. |
analisis. |
|
(3) |
Layanan Usaha Pekerjaan Konstruksi yang bersifat umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf c meliputi:
a. |
pembangunan; |
b. |
pemeliharaan; |
c. |
pembongkaran; dan/atau |
d. |
pembangunan kembali. |
|
(4) |
Layanan Usaha Pekerjaan Konstruksi yang bersifat spesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf d meliputi pekerjaan bagian tertentu dari bangunan Konstruksi atau bentuk fisik lainnya. |
(5) |
Layanan U saha Pekerj aan Konstruksi Terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf e meliputi:
a. |
rancang dan bangun; dan |
b. |
perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan. |
|
(6) |
Penyedia Jasa yang tidak memiliki subklasifikasi spesialis pada:
a. |
Klasifikasi Konstruksi khusus dan/atau Konstruksi prapabrikasi harus melakukan KSO; dan |
b. |
Klasifikasi selain sebagaimana dimaksud pada huruf a harus dikerjakan oleh Subpenyedia Jasa spesialis. |
|
(7) |
Pekerjaan Konstruksi yang bersifat spesialis wajib dilaksanakan oleh Penyedia Jasa badan usaha spesialis. |
|
|
|
10. |
Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 26A sampai dengan Pasal 26D sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26A
(1) |
Sumber daya material dan peralatan Konstruksi yang digunakan dalam Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a dan huruf b harus telah lulus uji dan mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri. |
(2) |
Sumber daya material dan peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pencatatan menggunakan Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(3) |
Pencatatan sumber daya material dan peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk:
a. |
menyiapkan pangkalan data sumber daya material dan peralatan Konstruksi; |
b. |
meminimalkan ketidakpastian informasi terkait ketersediaan sumber daya material dan peralatan Konstruksi sesuai dengan Standar Nasional Indonesia; |
c. |
menjamin terselenggaranya pembangunan infrastruktur yang tepat mutu, tepat waktu, dan tepat biaya; dan |
d. |
mendukung pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. |
|
Pasal 26B
(1) |
Tahapan pencatatan sumber daya material Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (2) meliputi:
a. |
permohonan pembuatan akun; |
b. |
pengisian data dan informasi serta pengunggahan dokumen pencatatan; |
c. |
verifikasi dan validasi; |
d. |
penerbitan dan penetapan nomor pencatatan; dan |
e. |
publikasi dan pengarsipan data dan informasi. |
|
(2) |
Permohonan pembuatan akun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh produsen material Konstruksi secara elektronik pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(3) |
Pengisian data dan informasi serta pengunggahan dokumen pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain:
a. |
identitas produsen; |
b. |
jenis dan spesifikasi; |
c. |
kapasitas produksi; |
d. |
sertifikat kesesuaian terhadap Standar Nasional Indonesia yang diterbitkan oleh lembaga penilaian kesesuaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan |
e. |
sertifikat tingkat komponen dalam negeri yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
|
(4) |
Dalam hal pencatatan sumber daya material Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d belum terdapat Standar Nasional Indonesia, sertifikat kesesuaian dapat mengacu pada regulasi dan/atau standar lain. |
Pasal 26C
(1) |
Tahapan pencatatan sumber daya peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A ayat (2) meliputi:
a. |
permohonan pembuatan akun; |
b. |
pengisian data dan informasi pengunggahan dokumen pencatatan; serta |
c. |
penerbitan dan penetapan nomor dan tanda pencatatan; |
d. |
publikasi dan pengarsipan data informasi. dan |
|
(2) |
Permohonan pembuatan akun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh pemilik sumber daya peralatan Konstruksi secara elektronik pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(3) |
Pemilik sumber daya peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. |
kementerian/lembaga/instansi; |
b. |
badan usaha; dan |
c. |
perorangan. |
|
(4) |
Pengisian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain:
a. |
identitas pemilik; |
b. |
merek; |
c. |
tipe/model; |
d. |
nomor pengenal berupa nomor mesin, nomor rangka, nomor seri, atau nomor pengenal lainnya; dan |
e. |
kapasitas. |
|
(5) |
Pengunggahan dokumen pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain:
a. |
bukti kepemilikan berupa:
1. |
faktur penjualan/invoice; |
2. |
bukti kepemilikan kendaraan bermotor; |
3. |
perjanjian jual beli; |
4. |
perjanjian sewa beli; |
5. |
surat hibah; atau |
6. |
bukti kepemilikan lain yang diterbitkan oleh instansi/lembaga yang berwenang; dan |
|
b. |
surat keterangan memenuhi syarat keselamatan dan kesehatan kerja diterbitkan oleh pimpinan unit yang membidangi pengawasan norma keselamatan dan kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
(6) |
Jenis sumber daya peralatan Konstruksi yang dicatatkan meliputi:
a. |
pesawat angkat; |
b. |
pesawat angkut; |
c. |
pesawat tenaga dan produksi; dan |
d. |
pesawat atau peralatan Konstruksi lainnya. |
|
(7) |
Nomor pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa kombinasi dan kodifikasi jenis sumber daya peralatan Konstruksi lain dan nomor pengenal sebagaimana tercantum pada Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(8) |
Tanda pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa kode respon cepat (quick response code/QR code) |
Pasal 26D Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan sumber daya material Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26B dan pencatatan sumber daya peralatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26C diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|
|
11. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
(1) |
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf d, harus mempekerjakan Tenaga Kerja Konstruksi yang memenuhi standar kompetensi kerja. |
(2) |
Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Kualifikasi jabatan:
a. |
operator; |
b. |
teknisi atau analis; dan |
c. |
ahli. |
|
(3) |
Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi yang telah dicatat melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(4) |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai Klasifikasi, subklasifikasi, dan Kualifikasi jabatan. |
(5) |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi yang diterbitkan LSP yang diberi Lisensi oleh lembaga independen yang diatur dengan peraturan perundang-undangan bidang keprofesian diakui sebagai Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
|
|
|
12. |
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 11 (sebelas) pasal, yakni Pasal 28A sampai dengan Pasal 28K sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28A Kualifikasi jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 28B
(1) |
Persyaratan kompetensi untuk Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) terdiri atas:
a. |
persyaratan umum; dan |
b. |
persyaratan khusus. |
|
(2) |
Persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada deskripsi setiap jenjang Kualifikasi pada kerangka Kualifikasi nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. |
persyaratan pendidikan; dan |
b. |
persyaratan pengalaman. |
|
(4) |
Persyaratan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam skema sertifikasi. |
(5) |
Persyaratan pengalaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan pengalaman profesional untuk tenaga kerja Kualifikasi ahli dan pengalaman kerja untuk tenaga kerja Kualifikasi teknisi atau analis dan operator. |
Pasal 28C
(1) |
Penetapan Klasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi berdasarkan bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi. |
(2) |
Klasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi pada Kualifikasi jabatan operator, teknisi atau analis, dan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) meliputi:
a. |
arsitektur; |
b. |
sipil; |
c. |
mekanikal; |
d. |
tata lingkungan; |
e. |
arsitektur lanskap, iluminasi, dan desain interior; |
f. |
perencanaan wilayah dan kota; |
g. |
sains dan rekayasa teknik; atau |
h. |
manajemen pelaksanaan. |
|
Pasal 28D Kepemilikan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) terbagi untuk setiap Tenaga Kerja Konstruksi sebagai berikut:
a. |
Kualifikasi operator:
1. |
paling banyak 5 (lima) Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi pada 3 (tiga) Klasifikasi yang berbeda; dan |
2. |
Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 hanya boleh paling banyak untuk 5 (lima) subklasifikasi dalam 3 (tiga) Klasifikasi yang berbeda. |
|
b. |
Kualifikasi teknisi atau analis:
1. |
paling banyak 5 (lima) Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi pada 2 (dua) Klasifikasi yang berbeda; dan |
2. |
Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1 hanya boleh paling banyak untuk 5 (lima) subklasifikasi dalam 2 (dua) Klasifikasi yang berbeda. |
|
c. |
Kualifikasi ahli:
1. |
paling banyak 5 (lima) Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi pada 2 (dua) Klasifikasi yang salah satu Klasifikasinya merupakan manajemen pelaksanaan; |
2. |
Klasifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 hanya boleh paling banyak untuk 3 (tiga) sub Klasifikasi dalam 1 (satu) Klasifikasi yang sama; dan |
3. |
Klasifikasi manaj emen pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 1 hanya boleh paling banyak untuk 2 (dua) subklasifikasi dalam 1 (satu) Klasifikasi yang sama. |
|
Pasal 28E
(1) |
Pemberi kerja Tenaga Kerja Konstruksi asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. |
(2) |
Tenaga Kerja Konstruksi asing yang dapat melakukan layanan Jasa Konstruksi hanya terbuka pada Kualifikasi ahli dengan jabatan tertentu yang dapat diduduki sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan. |
(3) |
Tenaga Kerja Konstruksi asing sebelum melakukan layanan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melaksanakan pencatatan kepada Menteri. |
(4) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan setelah Tenaga Kerja Konstruksi asing melalui mekanisme penyetaraan kompetensi. |
(5) |
Tenaga Kerja Konstruksi asing pada jabatan Kualifikasi ahli wajib melaksanakan alih pengetahuan dan alih teknologi kepada tenaga kerja pendamping sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 28F Tenaga Kerja Konstruksi asing dapat melakukan penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (4) melalui:
a. |
skema pengaturan saling pengakuan (mutual recognition arrangement); dan |
b. |
mengajukan permohonan kepada LPJK melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
Pasal 28G
(1) |
Penyetaraan kompetensi merupakan proses penyandingan dan pengintegrasian capaian kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan, pengalaman, dan keahlian. |
(2) |
Proses penyandingan pendidikan Tenaga Kerja Konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap ijazah pendidikan paling rendah setara Sarjana (SI) serta kesesuaiannya terhadap Kualifikasi dan Klasifikasi yang dibutuhkan pada jabatan kerja yang diduduki. |
(3) |
Proses penyandingan pengalaman kerja Tenaga Kerja Konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap portofolio pengalaman kerja paling sedikit 5 (lima) tahun, kecuali dipersyaratkan lain, sesuai yang dibutuhkan pada jabatan kerja yang diduduki. |
(4) |
Proses penyandingan keahlian Tenaga Kerja Konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap sertifikat kompetensi atau bukti pengakuan kompetensi lainnya yang diakui menurut hukum negara asal sesuai Kualifikasi dan Klasifikasi yang dibutuhkan pada jabatan kerja yang diduduki. |
Pasal 28H
(1) |
Penyetaraan kompetensi dilakukan melalui tahapan:
a. |
permohonan penyetaraan kompetensi; |
b. |
verifikasi kelengkapan data permohonan; |
c. |
pelaksanaan uji penyetaraan kompetensi secara audit portofolio; dan |
d. |
penetapan hasil penyetaraan kompetensi. |
|
(2) |
Permohonan penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan:
a. |
mengisi identitas Tenaga Kerja Konstruksi asing:
1. |
hama Tenaga Kerja Konstruksi asing; |
2. |
tempat lahir; |
3. |
tanggal lahir; |
4. |
jenis kelamin; |
5. |
kewarganegaraan; |
6. |
nomor paspor; |
7. |
perusahaan pemberi kerja; |
8. |
alamat perusahaan pemberi kerja; |
9. |
nomor telepon perusahaan pemberi kerja; |
10. |
surat elektronik (email) perusahaan pemberi kerja; |
11. |
nomor pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
12. |
jabatan kerja sesuai rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
13. |
nama Pekerjaan Konstruksi; |
14. |
lokasi Pekerjaan Konstruksi; |
15. |
tahun pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi; |
16. |
nama tenaga kerja pendamping; dan |
17. |
bentuk kegiatan alih pengetahuan dan alih teknologi. |
|
b. |
mengunggah dokumen pendukung, terdiri atas:
1. |
surat permohonan penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing yang ditandatangani Tenaga Kerja Konstruksi asing dan perusahaan pemberi kerja menurut permohonan rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
2. |
salinan rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
3. |
salinan visa tinggal terbatas dan izin tinggal terbatas; |
4. |
salinan ijazah pendidikan; |
5. |
salinan daftar pengalaman kerja; |
6. |
salinan sertifikat kompetensi atau bukti pengakuan kompetensi lainnya yang diakui menurut hukum negara asal; |
7. |
salinan paspor yang masih berlaku; |
8. |
pasfoto berwarna terbaru, menghadap ke depan dengan pakaian rapi; |
9. |
surat pernyataan tenaga kerja pendamping warga negara Indonesia yang akan bertindak sebagai mitra kerja pemohon selama bekerja di Indonesia dan melakukan alih pengetahuan dan alih teknologi, disertai sertifikat kompetensi yang bersangkutan dan rencana alih pengetahuan dan alih teknologi; dan |
10. |
surat pernyataan bermaterai bahwa seluruh data yang disampaikan dalam dokumen adalah benar. |
|
|
Pasal 28I
(1) |
Hasil penyetaraan kompetensi merupakan penetapan bahwa jabatan tertentu pada Kualifikasi ahli yang diduduki oleh Tenaga Kerja Konstruksi asing menurut peraturan perundang-undangan terkait ketenagakerjaan telah memenuhi kriteria persyaratan. |
(2) |
Hasil penetapan penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan pemenuhan kesesuaian terhadap Kualifikasi, Klasifikasi, dan subklasifikasi Tenaga Kerja Konstruksi asing menurut peraturan perundang- undangan. |
(3) |
Dalam hal tidak terpenuhinya kesesuaian hasil penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), LPJK menyampaikan rekomendasi kepada pemberi kerja terkait perlunya pertimbangan kembali terhadap penggunaan Tenaga Kerja Konstruksi asing. |
(4) |
Hasil penyetaraan kompetensi bagi Tenaga Kerja Konstruksi asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan dengan proses pencatatan. |
Pasal 28J
(1) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (3) merupakan proses lanjutan dari hasil penyetaraan kompetensi yang diajukan kepada Menteri melalui LPJK pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(2) |
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
nomor pencatatan Tenaga Kerja Konstruksi asing; |
b. |
nama Tenaga Kerja Konstruksi asing; |
c. |
tempat lahir; |
d. |
tanggal lahir; |
e. |
jenis kelamin; |
f. |
kewarganegaraan; |
g. |
nomor identitas/paspor; |
h. |
nama perusahaan pemberi kerja; |
i. |
alamat perusahaan pemberi kerja; |
j. |
nomor telepon perusahaan pemberi kerja; |
k. |
email perusahaan pemberi kerja; |
l. |
nomor pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
m. |
jabatan kerja sesuai rencana penggunaan tenaga kerja asing; |
n. |
Kualifikasi jabatan kerja; |
o. |
Klasifikasi jabatan kerja; |
p. |
subklasifikasi jabatan kerja; |
q. |
pendidikan; |
r. |
pengalaman; |
s. |
sertifikat kompetensi; |
t. |
nama Pekerjaan Konstruksi; |
u. |
lokasi Pekerjaan Konstruksi; |
v. |
tahun pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi; |
w. |
nama tenaga kerja pendamping; dan |
x. |
bentuk kegiatan alih pengetahuan dan alih teknologi. |
|
(3) |
Hasil pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemberi kerja dalam bentuk penerbitan penetapan penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing dengan pemenuhan kesesuaian kriteria dan persyaratan sesuai dengan format. |
(4) |
Dalam hal penyetaraan kompetensi tidak memenuhi kriteria dan kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (3), hasil pencatatan disampaikan kepada pemberi kerja dalam bentuk penerbitan penetapan penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing dengan ketidaksesuaian sesuai dengan format. |
(5) |
Pencatatan Tenaga Kerja Konstruksi asing yang melakukan penyetaraan kompetensi dengan menggunakan skema pengaturan saling pengakuan (mutual recognition arrangement) dilaksanakan melalui kerja sama keterbukaan akses data dengan lembaga regulasi profesi (professional regulatory authority) yang terkait. |
Pasal 28K
(1) |
Pemantauan dan evaluasi dilakukan terhadap penggunaan Tenaga Kerja Konstruksi asing yang terdiri atas:
a. |
kesesuaian penetapan Kualifikasi, Klasifikasi, dan subklasifikasi sebagai hasil penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing terhadap jabatan kerja tertentu yang diduduki; |
b. |
penggunaan tenaga kerja pendamping; dan |
c. |
pelaksanaan alih pengetahuan dan alih teknologi. |
|
(2) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(3) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan data dan informasi yang berasal dari:
a. |
laporan pelaksanaan penggunaan tenaga kerja asing; |
b. |
laporan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja asing; |
c. |
sistem informasi terkait penyetaraan kompetensi dan pencatatan Tenaga Kerja Konstruksi asing; dan |
d. |
fakta atau temuan hasil surveilans dan/atau pengaduan masyarakat. |
|
(4) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. |
(5) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui kerja sama dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(6) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil pemantauan dan evaluasi. |
|
|
|
13. |
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 29A sampai dengan Pasal 29J sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
(1) |
Uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilaksanakan oleh LSP Konstruksi. |
(2) |
Uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilaksanakan dengan metode:
a. |
uji tulis; |
b. |
uji praktik atau observasi lapangan; dan/atau |
c. |
wawancara. |
|
(3) |
Pelaksanaan uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki perangkat yaitu:
a. |
skema sertifikasi; |
b. |
tempat uji kompetensi; dan |
c. |
asesor. |
|
(4) |
Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap permohonan sertifikat untuk:
a. |
baru; |
b. |
perpanjangan; atau |
c. |
kenaikan jenjang atau Kualifikasi. |
|
Pasal 29B
(1) |
Tata cara permohonan sertifikat baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A ayat (4) huruf a terdiri atas tahapan:
a. |
permohonan sertifikat baru; |
b. |
verifikasi pendidikan dan pengalaman; |
c. |
pelaksanaan uji kompetensi; |
d. |
penetapan hasil uji kompetensi; |
e. |
pencatatan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; dan |
f. |
penerbitan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
|
(2) |
Tata cara permohonan sertifikat perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A ayat (4) huruf b terdiri atas tahapan:
a. |
permohonan perpanjangan sertifikat; |
b. |
verifikasi kecukupan persyaratan nilai kredit pada keprofesian berkelanjutan; |
c. |
pelaksanaan uji kompetensi; |
d. |
keputusan hasil uji kompetensi; |
e. |
pencatatan sertifikat; dan |
f. |
penerbitan sertifikat. |
|
(3) |
Verifikasi kecukupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya berlaku untuk jenjang Kualifikasi ahli. |
(4) |
Permohonan perpanjangan yang tidak dapat memenuhi verifikasi kecukupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pemohon dapat mengajukan permohonan perpanjangan kembali setelah memenuhi kriteria kredit pengembangan profesi. |
(5) |
Tata cara permohonan sertifikat kenaikan jenjang atau Kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29A ayat (4) huruf c terdiri atas tahapan:
a. |
permohonan kenaikan jenjang; |
b. |
pelaksanaan uji kompetensi; |
c. |
penetapan hasil uji kompetensi; |
d. |
pencatatan sertifikat; dan |
e. |
penerbitan sertifikat. |
|
Pasal 29C
(1) |
Verifikasi kecukupan persyaratan nilai kredit pada keprofesian dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29B ayat (2) huruf b dihitung berdasarkan nilai kredit yang didapat oleh tenaga kerja Kualifikasi jabatan ahli. |
(2) |
Nilai kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didapat dari total perolehan satuan kredit pengembangan keprofesian. |
(3) |
Tenaga kerja Kualifikasi jabatan ahli jenjang utama atau yang disetarakan jenjang 9 (sembilan) harus memenuhi nilai kredit paling sedikit 200 (dua ratus) satuan kredit pengembangan keprofesian. |
(4) |
Tenaga kerja Kualifikasi ahli jenjang madya atau yang disetarakan jenjang 8 (delapan) harus memenuhi nilai kredit paling sedikit 150 (seratus lima puluh) satuan kredit pengembangan keprofesian. |
(5) |
Tenaga kerja Kualifikasi ahli jenjang muda atau yang disetarakan jenjang 7 (tujuh) harus memenuhi nilai kredit paling sedikit 100 (seratus) satuan kredit pengembangan keprofesian. |
(6) |
Komposisi nilai kredit terdiri atas unsur kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan penunjang paling banyak 25% (dua puluh lima persen). |
(7) |
Komposisi nilai kredit terdiri atas kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan unsur kegiatan pendidikan nonformal paling banyak 25% (dua puluh lima persen). |
(8) |
Komposisi nilai kredit terdiri atas kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan khusus paling sedikit 60% (enam puluh persen). |
(9) |
Cara perhitungan nilai kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
Pasal 29D Kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan dibedakan berdasarkan:
a. |
unsur kegiatan; |
b. |
jenis kegiatan; |
c. |
sifat kegiatan; dan |
d. |
metode dan tingkat kegiatan. |
Pasal 29E Tingkat kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29D dapat diselenggarakan secara:
a. |
nasional; |
b. |
internasional yang diselenggarakan di dalam negeri; dan |
c. |
internasional yang diselenggarakan di luar negeri. |
Pasal 29F Kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29E dapat diselenggarakan oleh:
a. |
kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota; |
b. |
Asosiasi Profesi, Asosiasi Badan Usaha, dan asosiasi lainnya yang terkait dengan Jasa Konstruksi; |
c. |
lembaga pendidikan dan pelatihan kerja; |
d. |
konsultan Konstruksi dan kontraktor Pekerjaan Konstruksi; |
e. |
perakit (fabricator), distributor, aplikator material dan peralatan Konstruksi; dan |
f. |
lembaga/organisasi lain yang memiliki visi pengembangan sumber daya manusia Jasa Konstruksi, memiliki struktur organisasi yang jelas, dan mampu menyelenggarakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. |
Pasal 29G
(1) |
Perolehan satuan kredit pengembangan keprofesian pada kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan yang dimiliki tenaga kerja Kualifikasi ahli dicatat dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(2) |
Penilaian dan penetapan satuan kredit pengembangan keprofesian dicatat pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
Pasal 29H
Pencatatan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29G berisi data informasi yang meliputi:
a. |
lokasi tempat diselenggarakannya; |
b. |
tahun pelaksanaan; |
c. |
periode bulan kegiatan; |
d. |
nama kegiatan; |
e. |
tanggal pelaksanaan kegiatan; |
f. |
durasi kegiatan; |
g. |
peran dalam kegiatan; dan |
h. |
lampiran bukti kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. |
Pasal 29I
(1) |
Penilaian dan penetapan satuan kredit pengembangan keprofesian dilaksanakan oleh LPJK. |
(2) |
LPJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menetapkan satuan kredit pengembangan keprofesian dan daftar nama penerima satuan kredit pengembangan keprofesian sesuai dengan hasil pelaporan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan. |
Pasal 29J
Ketentuan mengenai pelaksanaan pengembangan keprofesian berkelanjutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
14. |
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30
(1) |
Proses uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dilaksanakan oleh LSP yang dibentuk oleh:
a. |
Asosiasi Profesi terakreditasi; dan |
b. |
lembaga pendidikan dan pelatihan kerja yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
(2) |
Jenis lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. |
lembaga pendidikan; dan |
b. |
lembaga pelatihan kerja. |
|
|
|
|
15. |
Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 13 (tiga belas) pasal, yakni Pasal 30A sampai dengan Pasal 30M sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 30A
(1) |
Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a merupakan lembaga yang menyelenggarakan pendidikan di bidang Jasa Konstruksi. |
(2) |
Lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
sekolah menengah kejuruan; dan |
b. |
perguruan tinggi/politeknik. |
|
(3) |
Lembaga pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b meliputi:
a. |
lembaga pelatihan kerja swasta; |
b. |
lembaga pelatihan kerja pemerintah; dan |
c. |
lembaga pelatihan kerja perusahaan. |
|
(4) |
Lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) melakukan registrasi kepada Menteri melalui LPJK. |
(5) |
Persyaratan registrasi lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
a. |
merupakan lembaga pendidikan dan/atau lembaga pelatihan yang memiliki program pendidikan dan/atau pelatihan di bidang Jasa Konstruksi; |
b. |
memiliki izin pendirian bagi lembaga pendidikan atau tanda daftar lembaga pelatihan kerja yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
c. |
memiliki program kerja bidang Jasa Konstruksi; dan |
d. |
memiliki instruktur atau tenaga pengajar dan sarana dan prasarana pendidikan dan/atau pelatihan kerja sesuai pedoman pelatihan berbasis kompetensi suatu jabatan kerja. |
|
Pasal 30B
(1) |
LSP yang dibentuk oleh Asosiasi Profesi terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a merupakan badan hukum yang disahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
LSP yang dibentuk oleh lembaga pendidikan dan pelatihan kerja yang telah memenuhi ketentuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf b merupakan badan hukum atau unit yang dibentuk oleh badan hukum lembaga induknya atau lembaga pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
LSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan Lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri. |
(4) |
Jenis LSP diklasifikasikan dan ditetapkan berdasarkan badan atau lembaga yang membentuknya dan sasaran sertifikasinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
Pasal 30C
(1) |
LSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30B ayat (1) dan ayat (2) memiliki tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja pada Kualifikasi dalam jabatan ahli, analis/teknisi, dan operator. |
(2) |
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LSP memiliki fungsi:
a. |
menyusun program kerja tahunan; |
b. |
menyusun dan mengembangkan skema sertifikasi berdasarkan standar kompetensi kerja; |
c. |
membuat perangkat asesmen dan materi uji kompetensi berdasarkan standar kompetensi kerja; |
d. |
menyediakan asesor; |
e. |
melaksanakan uji kompetensi; |
f. |
menetapkan persyaratan, memverifikasi, dan menetapkan tempat uji kompetensi; |
g. |
memelihara dan meningkatkan kinerja asesor dan tempat uji kompetensi; |
h. |
melaksanakan surveilans pemeliharaan sertifikasi; |
i. |
melaksanakan manajemen mutu; |
j. |
mencatatkan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
k. |
melaksanakan pelaporan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; dan |
l. |
mengembangkan pelayanan sertifikasi. |
|
(3) |
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan dan struktur organisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
Pasal 30D
(1) |
Persyaratan asesor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30C ayat (2) huruf d meliputi:
a. |
tercatat di LPJK; dan |
b. |
memiliki sertifikat asesor dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi dengan ketentuan:
1. |
sertifikat asesor dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi jenjang 9 (sembilan) atau setara dengan Kualifikasi ahli utama untuk pengujian kompetensi jabatan ahli jenjang 9 (sembilan); |
2. |
sertifikat asesor dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi paling rendah jenjang 8 (delapan) atau setara dengan Kualifikasi ahli madya untuk pengujian kompetensi jabatan ahli jenjang 7 (tujuh) dan 8 (delapan); |
3. |
sertifikat asesor dan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi paling rendah jenjang 6 (enam) atau setara dengan Kualifikasi ahli muda untuk pengujian kompetensi jabatan teknisi atau analis; dan |
4. |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi paling rendah jenjang 3 (tiga) atau setara dengan Kualifikasi terampil kelas 1 (satu) untuk pengujian kompetensi jabatan operator. |
|
|
(2) |
Sertifikat asesor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. |
(3) |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai Klasifikasi dan subklasifikasi tenaga kerja yang masih berlaku. |
Pasal 30E
(1) |
Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30C ayat (1) dilaksanakan sesuai skema sertifikasi yang ditetapkan oleh LSP. |
(2) |
Skema sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diverifikasi oleh lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 30F
(1) |
Tata cara pemberian Lisensi LSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30B ayat (3) meliputi:
a. |
LSP mengajukan permohonan kepada Menteri melalui LPJK untuk mendapatkan rekomendasi Lisensi; |
b. |
rekomendasi Lisensi sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan kepada lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja; |
c. |
lembaga independen sebagaimana yang dimaksud dalam huruf b melakukan penilaian terhadap permohonan Lisensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
d. |
Menteri melalui LPJK mencatat LSP yang sudah terlisensi oleh lembaga independen. |
|
(2) |
Jangka waktu pemberian rekomendasi Lisensi LSP dilaksanakan paling lama 5 (lima) Hari sejak berkas permohonan dinyatakan lengkap. |
(3) |
Jangka waktu pemberian Lisensi kepada LSP paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak diterimanya rekomendasi Lisensi dan dinyatakan lengkap. |
(4) |
LSP yang telah mendapatkan Lisensi melaksanakan uji kompetensi dan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi sesuai dengan skema sertifikasi dan ruang lingkup Lisensi yang diberikan. |
(5) |
LSP dapat menambah ruang lingkup Lisensi berdasarkan kemampuan LSP dengan cara mengajukan permohonan rekomendasi penambahan ruang lingkup Lisensi kepada LPJK. |
(6) |
Penambahan ruang lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diajukan setelah LSP memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(7) |
Dalam hal Asosiasi Profesi terakreditasi dan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) telah membentuk LSP yang telah mendapatkan Lisensi dari lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap dapat melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja di bidang Jasa Konstruksi dengan menyampaikan permohonan pencatatan kepada Menteri. |
(8) |
Permohonan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas:
a. |
surat penetapan Akreditasi Asosiasi Profesi oleh Menteri yang masih berlaku atau izin pendirian bagi lembaga pendidikan atau tanda daftar lembaga pelatihan kerja yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
skema sertifikasi untuk setiap jabatan kerja bidang Jasa Konstruksi sesuai Lisensi; |
c. |
ketersediaan asesor sesuai subklasifikasi layanan Lisensi; |
d. |
sarana dan prasarana, tempat uji kompetensi sesuai dengan skema sertifikasi yang dimiliki; dan |
e. |
ruang lingkup Lisensi LSP. |
|
Pasal 30G LSP yang dibentuk oleh Asosiasi Profesi terakreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan lingkup sebagai berikut:
a. |
menyediakan Sertifikasi Kompetensi Kerja dengan Klasifikasi dan subklasifikasi Asosiasi Profesi pembentuknya; dan |
b. |
sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi meliputi Kualifikasi dalam jabatan operator, teknisi atau analis, dan ahli. |
Pasal 30H
(1) |
LSP yang dibentuk lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dengan lingkup sebagai berikut:
a. |
Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi dilakukan kepada peserta didik lulusan dari lembaga pendidikan tersebut; |
b. |
melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi bagi Tenaga Kerja Konstruksi pada Kualifikasi jabatan ahli bagi perguruan tinggi, jabatan analis atau teknisi bagi politeknik, dan jabatan operator bagi sekolah menengah kejuruan; dan |
c. |
melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi bagi Tenaga Kerja Konstruksi pada semua Klasifikasi dan subklasifikasi bidang keilmuan Jasa Konstruksi yang sesuai dengan jurusan atau bidang studi yang dimiliki lembaga pendidikan. |
|
(2) |
LSP yang dibentuk oleh lembaga pelatihan kerja swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30A ayat (3) huruf a melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi pada 1 (satu) Klasifikasi dan paling banyak 5 (lima) subklasifikasi pada Kualifikasi jabatan operator, teknisi atau analis, dan ahli. |
(3) |
LSP yang dibentuk oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30A ayat (3) huruf b melakukan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi pada semua Klasifikasi dan subklasifikasi bidang Jasa Konstruksi pada Kualifikasi jabatan operator dan teknisi atau analis, dan semua Klasifikasi dan subklasifikasi bidang Jasa Konstruksi pada Kualifikasi jabatan ahli hanya untuk aparatur sipil negara pada unit lembaga pelatihan kerja dan instansi induknya serta jejaringnya. |
(4) |
LSP yang dibentuk oleh lembaga pelatihan kerja perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30A ayat (3) huruf c melakukan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi bagi Tenaga Kerja Konstruksi pada semua Klasifikasi dan subklasifikasi bidang Jasa Konstruksi yang sesuai dengan layanan bidang perusahaan induknya pada Kualifikasi jabatan operator, teknisi atau analis, dan ahli. |
Pasal 30I
(1) |
Jenis pemberian rekomendasi Lisensi LSP terdiri atas:
a. |
Lisensi LSP baru; |
b. |
perpanjangan Lisensi LSP; dan |
c. |
penambahan ruang lingkup Lisensi. |
|
(2) |
Persyaratan pemberian rekomendasi Lisensi LSP baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. |
surat penetapan Akreditasi Asosiasi Profesi oleh Menteri yang masih berlaku atau izin pendirian bagi lembaga pendidikan atau tanda daftar lembaga pelatihan kerja yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
skema sertifikasi untuk setiap jabatan kerja bidang Jasa Konstruksi yang diajukan Lisensi; |
c. |
ketersediaan asesor sesuai subklasifikasi layanan Lisensi; |
d. |
sarana dan prasarana, tempat uji kompetensi sesuai dengan skema sertifikasi yang diajukan; dan |
e. |
ruang lingkup Lisensi yang diajukan. |
|
(3) |
Persyaratan pemberian rekomendasi perpanjangan Lisensi LSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. |
semua dokumen pendukung yang sudah tercatat pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi pada saat mengajukan permohonan rekomendasi Lisensi masih berlaku; |
b. |
laporan tindak lanjut hasil pemantauan dan evaluasi kinerja LSP; dan |
c. |
melampirkan rekapitulasi laporan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi selama 3 (tiga) tahun terakhir. |
|
(4) |
Persyaratan pemberian rekomendasi penambahan ruang lingkup Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
a. |
semua dokumen pendukung yang sudah tercatat pada Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi pada saat mengajukan permohonan rekomendasi Lisensi masih berlaku; |
b. |
skema sertifikasi untuk setiap jabatan kerja bidang Jasa Konstruksi yang diajukan Lisensi; |
c. |
ketersediaan asesor sesuai subklasifikasi layanan yang diajukan Lisensi; dan |
d. |
ruang lingkup Lisensi yang diajukan. |
|
Pasal 30J
(1) |
Proses uji kompetensi dalam Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi yang dilaksanakan oleh LSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dikenakan biaya. |
(2) |
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan:
a. |
biaya pelaksanaan uji kompetensi kerja; |
b. |
biaya operasional; dan |
c. |
biaya pemberdayaan sumber daya manusia LSP. |
|
(3) |
Besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. |
Pasal 30K LSP yang telah mendapatkan Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30B ayat (3) harus melakukan pencatatan kepada Menteri.
Pasal 30L
(1) |
LSP yang telah mendapatkan Lisensi dipantau dan dievaluasi terkait tugas, fungsi, dan kewajiban. |
(2) |
Pemantauan dan evaluasi terhadap LSP dilakukan oleh Menteri bekerja sama dengan lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. |
(3) |
Kegiatan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang. |
(4) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan data dan informasi yang terdiri atas:
a. |
laporan kinerja LSP; |
b. |
Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; dan |
c. |
temuan hasil surveilans dan/atau pengaduan masyarakat. |
|
(5) |
Dalam hal terdapat pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c baik secara tertulis dan/atau informasi dari media massa, dilakukan pemantauan yang bersifat insidental. |
(6) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(7) |
Pemantauan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan paling lambat 5 (lima) Hari setelah laporan diterima. |
Pasal 30M
(1) |
Menteri melalui LPJK menyampaikan rekomendasi sanksi terhadap LSP yang terbukti tidak lagi memenuhi persyaratan dan memperhatikan hasil pemantauan dan evaluasi. |
(2) |
Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja. |
(3) |
Rekomendasi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
peringatan tertulis; |
b. |
denda administratif; |
c. |
pembekuan Lisensi; dan/atau |
d. |
pencabutan Lisensi. |
|
|
|
|
16. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
(1) |
Setiap badan usaha yang mengerjakan Jasa Konstruksi wajib memiliki Sertifikat Badan Usaha. |
(2) |
Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh LSBU yang dibentuk oleh Asosiasi Badan Usaha terakreditasi. |
(3) |
Sertifikat Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. |
(4) |
LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memiliki Lisensi dari LPJK. |
(5) |
Lisensi yang diterbitkan LPJK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan kategori dan layanan sertifikasi dari Asosiasi Badan Usaha terakreditasi dengan menerapkan standar persyaratan untuk lembaga sertifikasi produk, proses, dan jasa. |
|
|
|
17. |
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 18 (delapan belas) pasal, yakni Pasal 4 IA sampai dengan Pasal 41R sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41A
LLSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) harus merupakan badan hukum.
Pasal 41B
(1) |
LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A mempunyai wewenang yang meliputi:
a. |
menyelenggarakan proses sertifikasi badan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
memberikan sanksi kepada asesor badan usaha; dan |
c. |
mengusulkan skema sertifikasi ke LPJK. |
|
(2) |
Persetujuan terhadap skema sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c menjadi dasar penerbitan Lisensi LSBU. |
Pasal 41C
(1) |
LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A mempunyai tugas:
a. |
menyusun program kerja tahunan; |
b. |
menyusun dan mengembangkan skema sertifikasi; |
c. |
membuat perangkat penilaian kelayakan badan usaha; |
d. |
menyediakan asesor; |
e. |
melaksanakan penilaian kelayakan badan usaha; |
f. |
melaksanakan surveilans pemeliharaan sertifikasi; |
g. |
mencatatkan Sertifikat Badan Usaha dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
h. |
melaksanakan pelaporan penyelenggaraan sertifikasi badan usaha melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; dan |
i. |
mengembangkan pelayanan sertifikasi. |
|
(2) |
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, LSBU menjalankan mekanisme sertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan bidang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
Pasal 41D
(1) |
LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A mempunyai struktur organisasi meliputi:
a. |
pengarah; |
b. |
pelaksana; dan |
c. |
asesor badan usaha. |
|
(2) |
LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki rekaman personel terkini yang mencakup Kualifikasi, pelatihan, pengalaman, status kepegawaian, serta kompetensi yang relevan. |
Pasal 41E
(1) |
Pengarah LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41D ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. |
ketua merangkap anggota; dan |
b. |
anggota. |
|
(2) |
Ketua dan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwakilan dari Masyarakat Jasa Konstruksi. |
(3) |
Perwakilan dari Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari:
a. |
Asosiasi Badan Usaha terakreditasi; |
b. |
Pengguna Jasa Konstruksi yang berasal dari pemerintah atau swasta; dan |
c. |
lembaga independen terkait badan usaha. |
|
(4) |
Pengarah berjumlah gasal, paling sedikit 3 (tiga) orang dan paling banyak 5 (lima) orang. |
Pasal 41F Pelaksana LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41D ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
a. |
ketua; |
b. |
koordinator administrasi; |
c. |
koordinator sertifikasi; dan |
d. |
koordinator manajemen mutu. |
Pasal 41G
(1) |
Pelaksana LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41F memiliki tugas meliputi:
a. |
menyusun rencana program dan anggaran; |
b. |
melaksanakan program kerja; dan |
c. |
menyusun laporan dan bertanggung jawab kepada pengarah. |
|
(2) |
Pelaksana LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki fungsi sebagai pelaksana administratif, manajemen mutu, dan sertifikasi. |
Pasal 41H
Asesor badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41D ayat (1) huruf c wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. |
memiliki sertifikat asesor yang diterbitkan oleh lembaga independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
terdaftar di LPJK sebagai asesor badan usaha; |
c. |
bukan pengurus LPJK; dan |
d. |
bukan bagian dari sekretariat LPJK. |
Pasal 41I
(1) |
Asesor badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41H melakukan penilaian kelayakan badan usaha sesuai Kualifikasi. |
(2) |
Kegiatan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
a. |
1 (satu) asesor badan usaha untuk badan usaha Kualifikasi kecil; |
b. |
2 (dua) asesor badan usaha untuk badan usaha Kualifikasi menengah dan/atau besar; dan |
c. |
1 (satu) asesor badan usaha bersifat spesialis. |
|
Pasal 41J Asesor badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 harus mematuhi kode etik profesi.
Pasal 41K Tahapan penerbitan Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) meliputi:
a. |
pendaftaran; |
b. |
validasi; dan |
c. |
penerbitan Lisensi. |
Pasal 41L
(1) |
Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41K huruf a mencakup permohonan untuk:
a. |
Lisensi baru; |
b. |
penambahan skema; dan/atau |
c. |
perpanjangan Lisensi. |
|
(2) |
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada LPJK melalui OSS. |
(3) |
Persyaratan pendaftaran Lisensi LSBU terdiri atas:
a. |
surat permohonan pendaftaran; |
b. |
kelengkapan aspek legal dan kelengkapan administrasi meliputi:
1. |
surat pengesahan badan hukum dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; |
2. |
surat penetapan kepengurusan; |
3. |
nomor pokok wajib pajak atas nama LSBU; |
4. |
surat pernyataan tidak dalam sengketa kepengurusan yang ditandatangani oleh penanggung jawab atau sebutan lain dalam akta pendirian; dan |
5. |
surat pernyataan kebenaran isi data dan informasi dokumen atau berkas yang diserahkan termasuk perubahannya yang ditandatangani oleh penanggung jawab atau sebutan lain dalam akta pendirian. |
|
c. |
alat kelengkapan berupa daftar prasarana dan sarana pendukung kegiatan yang mencakup bukti:
1. |
kepemilikan kantor dan foto kantor tampak depan yang memuat papan nama; |
2. |
kepemilikan sistem pengolahan data berbasis teknologi informasi; dan |
3. |
personel yang kompeten termasuk asesor badan usaha. |
|
d. |
rencana kegiatan yang mencerminkan pelayanan yang diberikan kepada industri dan sekaligus sebagai penghasilan untuk pendanaan organisasi; |
e. |
skema sertifikasi, pedoman manajemen LSBU, dan perangkat asesmen termasuk jumlah asesor badan usaha; dan |
f. |
standar penilaian kemampuan badan usaha. |
|
Pasal 41M
(1) |
Calon LSBU akan diberikan notifikasi kelengkapan atau ketidaklengkapan persyaratan paling lama 5 (lima) Hari setelah pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41L ayat (1). |
(2) |
Dalam hal calon LSBU diberikan notifikasi ketidaklengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon LSBU akan diberikan waktu paling lambat 5 (lima) Hari untuk melengkapi kekurangan persyaratan sejak pemberitahuan notifikasi ketidaklengkapan diterima. |
(3) |
Dalam hal calon LSBU tidak melengkapi ketidaklengkapan persyaratan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dinyatakan gugur. |
(4) |
Setiap permohonan Lisensi yang dinyatakan lengkap dikenakan biaya Lisensi yang besarannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(5) |
Tata cara pembayaran biaya Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. |
(6) |
Biaya Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayarkan paling lambat 5 (lima) Hari sejak bukti tagihan diterbitkan. |
(7) |
Dalam jangka waktu 5 (lima) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pemohon tidak menyampaikan bukti pembayaran dianggap mengundurkan diri. |
(8) |
Pemohon menyampaikan bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) kepada LPJK melalui OSS. |
Pasal 41N
(1) |
Validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41K huruf b merupakan penilaian keabsahan dan pembuktian persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4’1L ayat (3). |
(2) |
Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan dengan cara:
a. |
klarifikasi dan konfirmasi kepada LSBU dan/atau pihak terkait; dan/atau |
b. |
peninjauan lapangan. |
|
(3) |
Peninjauan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan untuk membandingkan kesesuaian antara dokumen yang telah disampaikan dengan kondisi faktual. |
(4) |
Penerbitan Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41K huruf c berupa surat tanda Lisensi LSBU. |
(5) |
Keputusan untuk memberikan atau menolak dalam penerbitan Lisensi LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41M ayat (7) diterima. |
(6) |
Lisensi LSBU sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mempunyai masa berlaku 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang. |
Pasal 41O
(1) |
Lisensi LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (5) memuat ruang lingkup Lisensi LSBU dengan mempertimbangkan kelengkapan persyaratan dan skema yang diusulkan. |
(2) |
LSBU dapat menambah layanan Lisensi berdasarkan kecukupan persyaratan LSBU dengan cara mengajukan permohonan penambahan rekomendasi layanan Lisensi kepada OSS. |
Pasal 41P
(1) |
Untuk menjamin kinerja dan kualitas LSBU, Menteri melaksanakan fungsi pemantauan dan evaluasi. |
(2) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(3) |
Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam proses permohonan perpanjangan Lisensi dan penambahan skema sertifikasi. |
Pasal 41Q
(1) |
Pemantauan dan evaluasi LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41P ayat (1) terdiri atas:
a. |
pemantauan dan evaluasi rutin; dan |
b. |
pemantauan dan evaluasi insidental. |
|
(2) |
Pemantauan dan evaluasi rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan laporan kinerja LSBU. |
(3) |
Pemantauan dan evaluasi insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan pengaduan dan/atau kebutuhan tertentu. |
Pasal 41R
(1) |
Hak LSBU berlisensi meliputi:
a. |
mengusulkan penambahan skema sertifikasi; dan |
b. |
mendapatkan pembinaan pengembangan kapasitas dan kualitas sumber daya. |
|
(2) |
Kewajiban LSBU berlisensi meliputi:
a. |
menyampaikan laporan kinerja LSBU; |
b. |
menyampaikan laporan keuangan yang telah diaudit kantor akuntan publik yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
c. |
mengintegrasikan sistem informasi dan data LSBU dengan Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi; |
d. |
menerapkan standar persyaratan untuk lembaga sertifikasi produk, proses, dan jasa; |
e. |
menyampaikan laporan kegiatan operasional; dan |
f. |
melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
|
18. |
Di antara ketentuan Pasal 42 dan Pasal 43 ditambahkan 11 (sebelas) pasal, yakni Pasal 42A sampai dengan Pasal 42K sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42A
(1) |
Akreditasi dilakukan terhadap:
a. |
Asosiasi Badan Usaha; |
b. |
Asosiasi Profesi; dan |
c. |
Asosiasi Terkait Rantai Pasok. |
|
(2) |
Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri melalui LPJK. |
Pasal 42B
Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dilaksanakan untuk:
a. |
menentukan kelayakan asosiasi berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan; |
b. |
menjamin kelayakan asosiasi dalam mendirikan LSBU atau LSP; dan |
c. |
menjamin kelayakan asosiasi untuk dapat mengusulkan anggotanya sebagai pengurus LPJK. |
|
Pasal 42C
(1) |
Akreditasi asosiasi dilakukan untuk mendapatkan status Akreditasi asosiasi. |
(2) |
Status Akreditasi asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
terakreditasi; dan |
b. |
tidak terakreditasi. |
|
(3) |
Status terakreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku selama 4 (empat) tahun. |
(4) |
Periode penetapan Akreditasi asosiasi diselenggarakan setiap 4 (empat) bulan. |
(5) |
Permohonan Akreditasi yang diterima kurang dari 1 (satu) bulan sebelum batas periode penetapan Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diproses pada periode berikutnya. |
Pasal 42D
(1) |
Asosiasi Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (1) huruf a meliputi:
a. |
Asosiasi Badan Usaha yang memiliki jenis usaha Pekerjaan Konstruksi yang bersifat umum atau khusus; |
b. |
Asosiasi Badan Usaha yang memiliki jenis usaha jasa Konsultansi Konstruksi; atau |
c. |
Asosiasi Badan Usaha yang memiliki jenis usaha Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi. |
|
(2) |
Asosiasi Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas kategori:
a. |
Asosiasi Badan Usaha umum merupakan Asosiasi Badan Usaha yang mewadahi badan usaha pada lebih dari 1 (satu) Klasifikasi usaha, baik yang memiliki cabang maupun tidak memiliki cabang; dan |
b. |
Asosiasi Badan Usaha khusus merupakan Asosiasi Badan Usaha yang mewadahi badan usaha pada 1 (satu) subklasifikasi usaha atau 1 (satu) Klasifikasi usaha, baik yang memiliki cabang maupun yang tidak memiliki cabang. |
|
Pasal 42E
(1) |
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (1) huruf b berdasarkan bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi berupa:
a. |
arsitektur; |
b. |
sipil; |
c. |
mekanikal; |
d. |
tata lingkungan; |
e. |
arsitektur lanskap, iluminasi, dan desain interior; |
f. |
perencanaan wilayah dan kota; |
g. |
sains dan rekayasa teknik; atau |
h. |
manajemen pelaksanaan. |
|
(2) |
Bidang keilmuan yang terkait Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Klasifikasi dan Kualifikasi Tenaga Kerja Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kategori:
a. |
Asosiasi Profesi umum merupakan Asosiasi Profesi yang mewadahi Tenaga Kerja Konstruksi ahli pada lebih dari 1 (satu) subklasifikasi dalam 1 (satu) Klasifikasi bidang keilmuan, baik yang memiliki cabang maupun tidak memiliki cabang; dan |
b. |
Asosiasi Profesi khusus merupakan Asosiasi Profesi yang mewadahi Tenaga Kerja Konstruksi ahli pada 1 (satu) subklasifikasi dalam 1 (satu) Klasifikasi bidang keilmuan, baik yang memiliki cabang maupun yang tidak memiliki cabang. |
|
Pasal 42F
Asosiasi Terkait Rantai Pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A ayat (1) huruf c meliputi asosiasi terkait:
a. |
material Konstruksi; |
b. |
peralatan Konstruksi; |
c. |
teknologi Konstruksi; dan |
d. |
sumber daya manusia di bidang Jasa Konstruksi. |
Pasal 42G
(1) |
Akreditasi diberikan kepada asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A ayat (1) yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. |
telah terdaftar di administrasi hukum umum; |
b. |
jumlah dan sebaran anggota; |
c. |
pemberdayaan kepada anggota; |
d. |
pemilihan pengurus secara demokratis; |
e. |
sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah; dan |
f. |
pelaksanaan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
(2) |
Jumlah dan sebaran anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinilai berdasarkan jumlah anggota tetap dari asosiasi dan jumlah cabang yang dimiliki oleh asosiasi di daerah. |
(3) |
Pemberdayaan kepada anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dinilai berdasarkan program dan pelaksanaan:
a. |
pengembangan usaha berkelanjutan bagi Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok; dan |
b. |
pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi Asosiasi Profesi. |
|
(4) |
Pemilihan pengurus secara demokratis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dinilai berdasarkan:
a. |
pelaksanaan musyawarah nasional atau kongres sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; dan |
b. |
susunan pengurus asosiasi pusat dan/atau daerah sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. |
|
(5) |
Sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dinilai berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana di tingkat pusat dan daerah meliputi bangunan gedung kantor, perlengkapan kantor, dan sumber daya manusia di tingkat pusat dan daerah bagi asosiasi yang memiliki cabang. |
(6) |
Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit berupa:
a. |
akta notaris atas pendirian asosiasi; |
b. |
pengesahan badan hukum perkumpulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum; |
c. |
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; |
d. |
surat keterangan domisili atau keterangan lain yang menunjukkan tempat kantor asosiasi berada; |
e. |
nomor pokok wajib pajak atas nama asosiasi; |
f. |
seluruh karyawan asosiasi telah terdaftar sebagai anggota aktif lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial ketenagakerjaan dan lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial kesehatan; |
g. |
tidak dalam sengketa kepengurusan asosiasi yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang ditandatangani oleh:
1. |
ketua umum; atau |
2. |
penyebutan lain terhadap pimpinan tertinggi asosiasi; |
|
h. |
dokumen kode etik dan dewan kode etik atau penyebutan lain; |
i. |
dokumen program kerja asosiasi; |
j. |
laporan keuangan tahun terakhir asosiasi yang telah diaudit kantor akuntan publik yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
k. |
pedoman praktik profesi bagi Asosiasi Profesi; dan |
l. |
pengurus asosiasi tidak merangkap sebagai pengurus pada asosiasi lain yang dibuktikan dengan surat pernyataan. |
|
Pasal 42H
(1) |
Tata cara Akreditasi asosiasi dilaksanakan melalui tahapan:
a. |
permohonan; |
b. |
verifikasi dan validasi; dan |
c. |
penilaian dan penetapan. |
|
(2) |
Setiap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang dinyatakan lengkap dikenakan biaya Akreditasi yang besarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(3) |
Tata cara pembayaran biaya Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara. |
(4) |
Pembayaran biaya Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 5 (lima) Hari sejak bukti tagihan diterbitkan. |
(5) |
Dalam hal hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak benar atau tidak sah atau tidak memenuhi persyaratan Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42G ayat (1), permohonan dinyatakan gugur. |
(6) |
Dalam hal asosiasi lulus berdasarkan hasil penilaian dan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, LPJK menetapkan status Akreditasi. |
Pasal 421
(1) |
Asosiasi yang dinyatakan gugur atau tidak terakreditasi dapat mengajukan permohonan Akreditasi kembali. |
(2) |
Status asosiasi terakreditasi yang telah habis masa berlakunya dapat mengajukan permohonan Akreditasi kembali. |
(3) |
Tata cara permohonan Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42H ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap tata cara permohonan Akreditasi kembali. |
Pasal 42J
(1) |
Hak asosiasi yang terakreditasi terdiri atas:
a. |
mendapatkan surat tanda terakreditasi; |
b. |
membentuk LSBU bagi Asosiasi Badan Usaha dan LSP bagi Asosiasi Profesi; dan |
c. |
mengusulkan anggotanya menjadi calon pengurus LPJK. |
|
(2) |
Kewajiban asosiasi yang terakreditasi terdiri atas:
a. |
menyusun dan menegakkan kode etik bagi anggotanya; |
b. |
melakukan pengembangan usaha berkelanjutan bagi anggota Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok; |
c. |
melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi anggota Asosiasi Profesi; |
d. |
melakukan pemberdayaan kepada anggotanya; |
e. |
menyampaikan laporan kinerja tahunan asosiasi untuk periode 1 (satu) Januari sampai dengan 31 (tiga puluh satu) Desember; |
f. |
menyampaikan laporan keuangan asosiasi yang telah diaudit kantor akuntan publik yang memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember; dan |
g. |
melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
|
(3) |
Laporan kinerja tahunan asosiasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e paling sedikit memuat:
a. |
jumlah seluruh anggota asosiasi di tingkat pusat dan daerah yang disampaikan setiap periode 1 (satu) tahun; |
b. |
jumlah penambahan dan/atau pengurangan anggota asosiasi di tingkat daerah; |
c. |
informasi terkait perubahan struktur kepengurusan asosiasi; |
d. |
pelaksanaan kegiatan pemberdayaan anggotanya; |
e. |
pelaksanaan musyawarah nasional atau kongres sesuai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga asosiasi; |
f. |
pelaksanaan program pengembangan usaha berkelanjutan bagi anggota Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Terkait Rantai Pasok; |
g. |
pelaksanaan program pengembangan keprofesian berkelanjutan bagi anggota Asosasi Profesi; dan |
h. |
pelaksanaan kegiatan lainnya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga asosiasi. |
|
Pasal 42K
(1) |
Pemantauan dan evaluasi dilakukan atas pemenuhan persyaratan dan status Akreditasi asosiasi yang telah ditetapkan. |
(2) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri. |
(3) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan data dan informasi yang berasal dari:
a. |
laporan kinerja tahunan asosiasi terakreditasi; |
b. |
sistem informasi terkait pengembangan usaha berkelanjutan atau pengembangan keprofesian berkelanjutan; dan |
c. |
fakta atau temuan hasil surveilans dan/atau pengaduan masyarakat. |
|
(4) |
Surveilans dan/atau pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c bertujuan untuk mengevaluasi kembali kesesuaian pemenuhan standar Akreditasi dengan status Akreditasi yang diperoleh. |
(5) |
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
|
|
|
19. |
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 43 Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran biaya sertifikasi badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. |
|
|
20. |
Di antara Pasal 51 dan Pasal 52 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 51A
(1) |
Konsultan Manajemen Konstruksi memiliki tugas:
a. |
melaksanakan penjaminan mutu (quality assurance) pelaksanaan pekerjaan mulai dari tahapan persiapan pengadaan, persiapan dan pelaksanaan pemilihan, pelaksanaan Konstruksi, sampai dengan serah terima akhir pekerjaan; |
b. |
membantu Pengguna Jasa dalam proses persiapan pengadaan dan pemilihan Penyedia Jasa; |
c. |
membantu Pengguna Jasa dalam melakukan persetujuan atau penolakan perubahan Kontrak; |
d. |
melakukan verifikasi atas tagihan pembayaran; |
e. |
membantu Pengguna Jasa dalam menghitung nilai perolehan aset; dan |
f. |
membantu Pengguna Jasa ketika dilakukan audit hasil pekerjaan/proyek setelah serah terima akhir pekerjaan. |
|
(2) |
Tugas Konsultan Manajemen Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam kontrak kerja Konsultan Manajemen Konstruksi. |
|
|
|
21. |
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 59
(1) |
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi meliputi:
a. |
rancang dan bangun (design and build); dan |
b. |
perekayasaan, pengadaan, dan pelaksanaan. |
|
(2) |
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam 1 (satu) Kontrak Kerja Konstruksi. |
(3) |
Kriteria pekerjaan yang dapat dilakukan dengan jasa Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi meliputi pekerjaan yang:
a. |
bersifat kompleks; atau |
b. |
pekerjaan yang mendesak untuk segera dimanfaatkan, yang apabila tidak dilaksanakan secara terintegrasi berakibat pemenuhan nilai manfaat yang sebesar-besarnya (value for money) tidak tercapai. |
|
|
|
|
22. |
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
(1) |
Kinerja Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (3) huruf c didasarkan pada laporan kinerja. |
(2) |
Kinerja Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kinerja tahunan dan kinerja sesaat. |
(3) |
Kinerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kinerja penyelesaian proyek yang ditangani perusahaan yang sudah melalui proses serah terima pekerjaan. |
(4) |
Kinerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha berbasis risiko. |
(5) |
Kinerja sesaat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penilaian kinerja berdasarkan rencana dan realisasi hasil pekerjaan pada saat pekerjaan berlangsung. |
(6) |
Laporan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi yang digunakan sebagai acuan bagi sistem informasi kinerja penyedia. |
(7) |
Menteri dapat mengumumkan daftar penyedia mampu berdasarkan hasil kinerja Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Masyarakat Jasa Konstruksi. |
|
|
|
23. |
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 64
(1) |
Penggunaan Tenaga Kerja Konstruksi pada Kualifikasi ahli harus memperhatikan standar remunerasi minimal. |
(2) |
Pengguna Jasa dalam perencanaan pembiayaan bagi penyelenggaraan jasa Konsultansi Konstruksi yang menggunakan Tenaga Kerja Konstruksi pada Kualifikasi ahli menggunakan perhitungan besaran remunerasi paling rendah sama dengan standar remunerasi minimal. |
(3) |
Standar remunerasi minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling sedikit berdasarkan:
a. |
Kualifikasi; |
b. |
pengalaman profesional; dan |
c. |
tingkat pendidikan. |
|
|
|
|
24. |
Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 ditambahkan 8 (delapan) pasal, yakni Pasal 70A sampai dengan Pasal 70H sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 70A
(1) |
Penyedia Jasa Konstruksi harus memenuhi:
a. |
Kualifikasi dan Klasifikasi usaha Jasa Konstruksi; dan |
b. |
persyaratan penawaran sesuai dengan jenis pekerjaan yang dikerjakan. |
|
(2) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 70B
(1) |
Pelaksanaan alih teknologi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. |
menyusun profil penggunaan, pemanfaatan, dan pengembangan teknologi yang disampaikan kepada mitra kerja sama dan/atau pemilik pekerjaan dalam bahasa Indonesia dan bahasa inggris; |
b. |
melakukan pelatihan keahlian dan manajerial untuk tenaga ahli pendamping warga negara Indonesia dan/atau tenaga terampil warga negara Indonesia paling sedikit 1 (satu) kali untuk setiap proyek pekerjaan; dan |
c. |
memfasilitasi warga negara Indonesia untuk melakukan pelatihan, kerja praktik dan/atau penelitian akademis pada proyek pekerjaan yang sedang dilaksanakan oleh badan usaha. |
|
(2) |
Dalam setiap penyelenggaraan proyek Konstruksi, ketentuan alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimasukkan dalam dokumen Kontrak. |
(3) |
Menggunakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing dilaksanakan untuk jabatan pada jenjang ahli. |
Pasal 70C
(1) |
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70A yang berbentuk badan usaha dapat melaksanakan KSO. |
(2) |
KSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengan ketentuan:
a. |
memiliki Kualifikasi usaha besar dengan Kualifikasi usaha besar; |
b. |
memiliki Kualifikasi usaha menengah dengan Kualifikasi usaha menengah; |
c. |
memiliki Kualifikasi usaha besar dengan Kualifikasi usaha menengah; |
d. |
memiliki Kualifikasi usaha menengah dengan Kualifikasi usaha kecil; atau |
e. |
memiliki Kualifikasi usaha kecil dengan Kualifikasi usaha kecil. |
|
(3) |
KSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan oleh:
a. |
Penyedia Jasa dengan Kualifikasi usaha besar dengan Kualifikasi usaha kecil; dan |
b. |
Penyedia Jasa dengan Kualifikasi usaha kecil dengan Kualifikasi usaha kecil untuk Pekerjaan Konstruksi. |
|
(4) |
Dalam melaksanakan KSO sebagaimana dimaksud pada ayat (1), salah satu badan usaha anggota KSO harus menjadi pimpinan KSO (leadfirm). |
(5) |
Pimpinan KSO (leadfirm) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memiliki Kualifikasi setingkat atau lebih tinggi dari badan usaha anggota KSO dengan porsi modal mayoritas dan paling banyak 70% (tujuh puluh persen). |
(6) |
Jumlah anggota KSO dapat dilakukan dengan batasan:
a. |
untuk pekerjaan yang bersifat tidak kompleks dibatasi paling banyak 3 (tiga) perusahaan dalam 1 (satu) KSO; dan |
b. |
untuk pekerjaan yang bersifat kompleks dibatasi paling banyak 5 (lima) perusahaan dalam 1 (satu) KSO. |
|
(7) |
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas:
a. |
pelaksanaan Kontrak; |
b. |
kesesuaian kualitas barang/jasa; |
c. |
ketepatan perhitungan jumlah kuantitas; |
d. |
ketepatan waktu penyerahan; |
e. |
ketepatan tempat penyerahan; dan |
f. |
penerapan Keselamatan Konstruksi. |
|
Pasal 70D
(1) |
Dalam hal KSO dilakukan antara badan usaha Jasa Konstruksi nasional dengan kantor perwakilan badan usaha Jasa Konstruksi asing dilakukan dengan prinsip kesetaraan Kualifikasi besar, kesamaan subklasifikasi, dan tanggung renteng. |
(2) |
Ikatan KSO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70C ayat (1) dan Pasal 70D ayat (1) dimulai saat mengikuti proses pemilihan, pelaksanaan sampai dengan pengakhiran Pekerjaan Konstruksi. |
Pasal 70E
(1) |
Spesifikasi teknis untuk penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi meliputi:
a. |
spesifikasi bahan bangunan Konstruksi; |
b. |
spesifikasi peralatan Konstruksi dan peralatan bangunan; |
c. |
spesifikasi proses atau kegiatan; |
d. |
spesifikasi metode Konstruksi/metode pelaksanaan/ metode kerja; dan |
e. |
spesifikasi jabatan kerja Konstruksi. |
|
(2) |
Spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan ketentuan:
a. |
mencantumkan ruang lingkup Pekerjaan Konstruksi yang dibutuhkan; |
b. |
spesifikasi bahan bangunan Konstruksi dapat menyebutkan merek dan tipe serta sedapat mungkin menggunakan produksi dalam negeri; |
c. |
semaksimal mungkin diupayakan menggunakan standar nasional Indonesia; |
d. |
metode Konstruksi/metode pelaksanaan/metode kerja harus logis, realistis, aman, berkeselamatan, dan dapat dilaksanakan; |
e. |
jangka waktu pelaksanaan harus sesuai dengan metode pelaksanaan; |
f. |
mencantumkan macam, jenis, kapasitas, dan jumlah peralatan utama minimal yang diperlukan dalam pelaksanaan pekerjaan; |
g. |
mencantumkan syarat bahan yang dipergunakan dalam pelaksanaan pekerjaan; |
h. |
mencantumkan syarat pengujian bahan dan hasil produk; |
i. |
mencantumkan kriteria kinerja produk (output performance) yang diinginkan; |
j. |
mencantumkan tata cara pengukuran dan tata cara pembayaran; dan |
k. |
mencantumkan uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan risiko terkait Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi. |
|
(3) |
Kerangka acuan kerja untuk penyelenggaraan jasa Konsultansi Konstruksi meliputi:
a. |
uraian pekerjaan yang akan dilaksanakan; |
b. |
waktu dan tahapan pelaksanaan yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan memperhatikan batas akhir efektif tahun anggaran; |
c. |
kompetensi dan jumlah kebutuhan tenaga ahli; |
d. |
kemampuan badan usaha Penyedia Jasa Konsultansi Konstruksi; |
e. |
sumber pendanaan dan besarnya total perkiraan biaya pekerjaan; dan |
f. |
uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan risiko terkait Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi, khusus untuk jasa Konsultansi Konstruksi pengawasan dan manajemen penyelenggaraan Jasa Konstruksi. |
|
(4) |
Uraian pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a terdiri atas:
a. |
latar belakang; |
b. |
maksud dan tujuan; |
c. |
lokasi pekerjaan; dan |
d. |
produk yang dihasilkan (output). |
|
Pasal 70F Rancangan detail (detailed engineering design) digunakan sebagai acuan dalam penyusunan spesifikasi teknis dan rencana anggaran biaya.
Pasal 70G
(1) |
Persiapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi melalui Penyedia Jasa meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. |
reviu dan penetapan spesifikasi teknis/kerangka acuan kerja; |
b. |
penetapan rancangan detail (detailed engineering design) untuk pemilihan Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi; |
c. |
penyusunan dan penetapan pagu pekerjaan; |
d. |
penyusunan dan penetapan rancangan Kontrak; dan |
e. |
penetapan uang muka, jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan, dan/atau penyesuaian harga hanya untuk penyelenggaraan Jasa Konstruksi melalui Penyedia Jasa yang menggunakan keuangan negara. |
|
(2) |
Penyelenggaraan pekerjaan rancang dan bangun (design and build) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. |
penetapan dokumen rancangan awal (basic design), meliputi:
1. |
data peta geologi teknis lokasi pekerjaan; |
2. |
referensi data penyelidikan tanah/ geoteknik untuk lokasi terdekat dengan pekerjaan; |
3. |
penetapan lingkup pekerjaan secara jelas dan terinci, kriteria desain, standar pekerjaan yang berkaitan, standar mutu, dan ketentuan teknis Pengguna Jasa lainnya; |
4. |
identifikasi dan alokasi risiko proyek; |
5. |
identifikasi dan kebutuhan lahan; dan |
6. |
gambar dasar, gambar skematik, gambar potongan, gambar tipikal, atau gambar lainnya yang mendukung lingkup pekerjaan. |
|
b. |
penetapan ketentuan Pengguna Jasa yang paling sedikit memuat:
1. |
latar belakang; |
2. |
maksud dan tujuan; |
3. |
waktu pelaksanaan yang diperlukan; |
4. |
lingkup dan keluaran pekerjaan dan kriteria pengujian dan penerimaan keluaran; |
5. |
jumlah tenaga ahli perancang dan personel manajerial minimal yang diperlukan; |
6. |
izin, persyaratan lingkungan, atau sertifikat yang harus diperoleh dalam penyusunan rancangan dan pelaksanaan Konstruksi; dan |
7. |
daftar tarif dan/atau harga penyusun komponen pekerjaan (schedule ofrates). |
|
c. |
penyusunan dan penetapan pagu pekerjaan; |
d. |
penyusunan dan penetapan rancangan Kontrak; dan |
e. |
penetapan uang muka, jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan, jaminan pemeliharaan, dan/atau penyesuaian harga hanya untuk penyelenggaraan Jasa Konstruksi melalui Penyedia Jasa yang menggunakan keuangan negara. |
|
(3) |
Daftar tarif dan/atau harga penyusun komponen pekerjaan (schedule of rates) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 7 diperuntukan bagi pekerjaan rancang dan bangun (design and build) yang memiliki bagian pekerjaan dengan kondisi ketidakpastian (unforeseen condition). |
Pasal 70H
(1) |
Rancangan Kontrak Kerja Konstruksi dipilih dari standar Kontrak pada lampiran dengan mempertimbangkan karakteristik pekerjaan paling sedikit:
a. |
jenis kontrak; |
b. |
lingkup pekerjaan; |
c. |
keluaran hasil pekerjaan; |
d. |
kesulitan dan risiko pekerjaan; |
e. |
masa pelaksanaan; |
f. |
masa pemeliharaan, untuk Pekerjaan Konstruksi; |
g. |
cara pembayaran; |
h. |
sistem perhitungan hasil pekerjaan; |
i. |
besaran uang muka; |
j. |
bentuk dan ketentuan jaminan; |
k. |
besaran denda; dan |
l. |
pilihan penyelesaian sengketa kontrak. |
|
(2) |
Karakteristik pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam rancangan Kontrak. |
|
|
|
25. |
Ketentuan ayat (2) dalam Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 72
(1) |
Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi untuk pembangunan kepentingan umum wajib melalui cara pemilihan Penyedia Jasa. |
(2) |
Dalam hal Pengguna Jasa akan memanfaatkan layanan Jasa Konstruksi dari Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum, wajib melalui Tender, Seleksi, atau katalog elektronik. |
(3) |
Pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pembangunan bangunan yang mempunyai dampak terhadap:
a. |
kepentingan bangsa dan negara; dan/atau |
b. |
kepentingan masyarakat. |
|
|
|
|
26. |
Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 ditambahkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74A
Ketentuan pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi yang menggunakan sumber pembiayaan dari keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden. |
|
|
27. |
Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 77
(1) |
Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) yang dibiayai dengan:
a. |
keuangan negara; atau |
b. |
nonkeuangan negara. |
|
(2) |
Kontrak yang dibiayai dengan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan dokumen terstandar. |
(3) |
Kontrak yang dibiayai dengan nonkeuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat menggunakan dokumen terstandar sesuai kesepakatan para pihak. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai dokumen Kontrak yang terstandar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri. |
|
|
|
28. |
Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84
(1) |
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi untuk mendirikan bangunan gedung dan/atau bangunan sipil harus memenuhi prinsip berkelanjutan, sumber daya, dan siklus hidup bangunan gedung dan/atau bangunan sipil yang selanjutnya akan disebut sebagai Konstruksi Berkelanjutan. |
(2) |
Konstruksi Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai 3 (tiga) pilar dasar meliputi:
a. |
secara ekonomi layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat; |
b. |
menjaga pelestarian lingkungan; dan |
c. |
mengurangi disparitas sosial masyarakat. |
|
(3) |
Prinsip berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
kesamaan tujuan, pemahaman, serta rencana tindak; |
b. |
pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
c. |
pengurangan penggunaan sumber daya, baik berupa lahan, material, air, sumber daya alam maupun sumber daya manusia (reduce); |
d. |
pengurangan timbulan limbah, baik fisik maupun nonfisik; |
e. |
penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan sebelumnya (reuse); |
f. |
penggunaan sumber daya hasil siklus ulang (recycle); |
g. |
perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup melalui upaya pelestarian; |
h. |
mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim dan bencana; |
i. |
orientasi kepada siklus hidup; |
j. |
orientasi kepada pencapaian mutu yang diinginkan; |
k. |
inovasi teknologi untuk perbaikan yang berlanjut; dan |
l. |
dukungan kelembagaan, kepemimpinan, dan manajemen dalam implementasi. |
|
(4) |
Sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
lahan; |
b. |
energi; |
c. |
air; |
d. |
material; |
e. |
sumber daya manusia; dan |
f. |
ekosistem. |
|
(5) |
Siklus hidup bangunan gedung dan/atau bangunan sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara umum meliputi:
a. |
pengkajian; |
b. |
perencanaan; |
c. |
perancangan; |
d. |
pembangunan; |
e. |
pengoperasian; |
f. |
pemeliharaan; |
g. |
pembongkaran; dan |
h. |
pembangunan kembali suatu bangunan. |
|
(6) |
Tahapan penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
perencanaan umum; |
b. |
pemrograman; |
c. |
pelaksanaan Konsultansi Konstruksi; dan |
d. |
pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi. |
|
(7) |
Perencanaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a merupakan perencanaan berbasis kewilayahan yang memperhatikan kondisi alam dan tata ruang, kondisi sosial dan ekonomi, serta daya dukung dan daya tampung suatu wilayah. |
(8) |
Pemrograman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b merupakan perencanaan awal untuk menetapkan tujuan, strategi, langkah-langkah yang harus dilakukan, jadwal, serta kebutuhan sumber daya, terutama pendanaan untuk mewujudkan suatu bangunan gedung dan/atau bangunan sipil. |
(9) |
Pelaksanaan Konsultansi Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c meliputi kegiatan pengkajian, perencanaan, perancangan, pengawasan dan manajemen Konstruksi suatu bangunan. |
(10) |
Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d meliputi kegiatan pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, pembongkaran, dan pembangunan kembali suatu bangunan. |
(11) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Konstruksi Berkelanjutan diatur oleh Menteri. |
|
|
|
29. |
Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 ditambahkan 37 (tiga puluh tujuh) pasal, yakni Pasal 84A sampai dengan Pasal 84AK sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84A
(1) |
Penerapan prinsip Konstruksi Berkelanjutan sesuai siklus hidup bangunan gedung dan/atau bangunan sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) dan tahapan penyelenggaraan Jasa Konstruksi Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (6) mengacu pada:
a. |
persyaratan administratif; |
b. |
persyaratan teknis; dan |
c. |
persyaratan teknis Konstruksi Berkelanjutan. |
|
(2) |
Persyaratan administratif dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Persyaratan teknis Konstruksi Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan ketentuan teknis yang harus dipenuhi mulai dari tahapan perencanaan umum, pemrograman, pelaksanaan Konsultansi Konstruksi, dan pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi. |
Pasal 84B
(1) |
Perencanaan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (6) huruf a dilaksanakan agar rencana pembangunan terpadu dan cerdas, aman dari bencana, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. |
(2) |
Perencanaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
mendukung pengembangan wilayah dan kawasan yang terpadu; |
b. |
tepat guna lahan; |
c. |
tangguh dan mengurangi risiko bencana; |
d. |
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan; |
e. |
unsur gender, kaum disabilitas, dan kaum marginal; |
f. |
berkontribusi dalam peningkatan potensi ekonomi wilayah, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional; dan |
g. |
mengacu pada persyaratan dan kriteria teknis bangunan gedung dan/atau bangunan sipil. |
|
Pasal 84C
(1) |
Pemrograman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (6) huruf b harus dilaksanakan sejak awal untuk memastikan ketersediaan, keberlangsungan, dan keberlanjutan pemenuhan sumber daya dalam pencapaian tujuan pada tahapan selanjutnya. |
(2) |
Pemrograman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
penyusunan prioritas program untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, sehingga memberikan daya ungkit bagi perekonomian masyarakat; |
b. |
kesiapan (readiness criteria); |
c. |
kelayakan bangunan gedung dan/atau bangunan sipil berkelanjutan; |
d. |
partisipasi masyarakat; |
e. |
unsur gender, kaum disabilitas, dan kaum marginal; |
f. |
efisiensi sumber daya; dan |
g. |
persyaratan dan kriteria teknis bangunan gedung dan/atau bangunan sipil. |
|
Pasal 84D
(1) |
Pelaksanaan Konsultansi Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (6) huruf c harus dilaksanakan sesuai dengan persyaratan teknis dan persyaratan teknis Konstruksi Berkelanjutan untuk memastikan keterbangunan pada tahap pelaksanaan Konstruksi dan kinerja bangunan pada tahap pengoperasian, pemeliharaan, dan pembongkaran. |
(2) |
Pelaksanaan Konsultansi Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
tepat guna lahan; |
c. |
konservasi energi; |
d. |
konservasi air; |
e. |
sumber dan siklus material; |
f. |
kenyamanan dan kesehatan; |
g. |
manajemen lingkungan proyek; |
h. |
partisipasi masyarakat; |
i. |
unsur gender, kaum disabilitas, dan kaum marginal; |
j. |
mendukung interaksi masyarakat; |
k. |
pelestarian budaya atau kearifan lokal; |
l. |
perencanaan terintegrasi dan komprehensif; dan |
m. |
persyaratan dan kriteria teknis. |
|
Pasal 84E
(1) |
Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (6) huruf d harus dilaksanakan dengan pendekatan Konstruksi Berkelanjutan, dimanfaatkan dengan optimal, dipelihara agar kinerjanya dapat dipertahankan sesuai dengan umur layanan sehingga dapat berkontribusi kepada ketercapaian tujuan dengan pendekatan pengelolaan aset, serta dapat dibongkar pada akhir masa layanan dengan pendekatan dekonstruksi agar tercapai tujuan penyelenggaraan Konstruksi berkelanjutan secara utuh. |
(2) |
Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
tepat guna lahan; |
c. |
konservasi energi; |
d. |
konservasi air; |
e. |
sumber dan siklus material; |
f. |
kenyamanan dan kesehatan; |
g. |
manajemen lingkungan proyek; |
h. |
partisipasi masyarakat; |
i. |
unsur gender, kaum disabilitas, dan kaum marginal; |
j. |
mendukung interaksi masyarakat; |
k. |
pelestarian budaya atau kearifan lokal; |
l. |
efisiensi; |
m. |
mendukung usaha lokal; dan n. unsur estetika |
|
(3) |
Pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf e dan huruf f memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
Standar Keamanan, ] Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
keselamatan pengguna; |
c. |
tepat guna lahan; |
d. |
konservasi energi; |
e. |
konservasi air; |
f. |
sumber dan siklus material; |
g. |
kenyamanan dan kesehatan; |
h. |
manajemen lingkungan proyek; |
i. |
pelayanan keluhan pengguna; |
j. |
efisiensi; dan |
k. |
kelaikan fungsi infrastruktur. |
|
(4) |
Pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf g memperhatikan kriteria yang terdiri atas:
a. |
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
upaya pemulihan tapak lingkungan; |
c. |
tingkat kebisingan; |
d. |
tingkat debu; |
e. |
pemulihan bahan material atau limbah Konstruksi yang dapat dipergunakan kembali; |
f. |
partisipasi masyarakat; |
g. |
unsur gender, kaum disabilitas, dan kaum marginal; |
h. |
optimalisasi penggunaan material bekas; |
i. |
jenis bangunan; dan |
j. |
prosedur pembongkaran. |
|
Pasal 84F
(1) |
Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) harus menerapkan prinsip Konstruksi Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3). |
(2) |
Dalam setiap Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa wajib memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. |
(3) |
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk Subpenyedia Jasa dan pemasok. |
(4) |
Pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dengan cara mengendalikan proses untuk menjamin hasil Penyelenggaraan Usaha Jasa Konstruksi |
Pasal 84G
(1) |
Dalam memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84F ayat (2), Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa harus memberikan pengesahan atau persetujuan atas:
a. |
hasil pengkajian, perencanaan, dan/atau perancangan; |
b. |
rencana teknis proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali; |
c. |
pelaksanaan suatu proses pembangunan, pemeliharaan, pembongkaran, dan/atau pembangunan kembali; |
d. |
penggunaan material, peralatan, dan/atau teknologi; dan/atau |
e. |
hasil layanan Jasa Konstruksi. |
|
(2) |
Standar Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keandalan bangunan berdasarkan standar perancangan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang wajib diterapkan selama tahap penyelenggaraan Pekerjaan Konstruksi. |
(3) |
Standar Keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar untuk yang mengatur keselamatan keteknikan Konstruksi, keselamatan dan kesehatan kerja, keselamatan lingkungan, dan keselamatan publik yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Standar Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar untuk menjamin dan melindungi kesehatan Tenaga Kerja Konstruksi dan masyarakat yang terdampak oleh pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Standar Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan standar yang digunakan untuk menjamin keberlanjutan dalam aspek ekonomi, aspek tata lingkungan setempat dan pengelolaan lingkungan hidup, dan aspek sosial. |
(6) |
Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
a. |
standar mutu bahan; |
b. |
standar mutu peralatan; |
c. |
standar keselamatan dan kesehatan kerja; |
d. |
standar prosedur pelaksanaan Jasa Konstruksi; |
e. |
standar mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi; |
f. |
standar pengoperasian dan pemeliharaan; |
g. |
pedoman pelindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan |
h. |
standar pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
Pasal 84H
(1) |
Pemenuhan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84G ayat (1) ditetapkan oleh menteri teknis terkait. |
(2) |
Dalam menyusun Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan untuk setiap produk Jasa Konstruksi, menteri teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kondisi geografis yang rawan gempa dan kenyamanan lingkungan terbangun. |
Pasal 84I
(1) |
Setiap Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa 1 Konstruksi harus menerapkan SMKK. |
(2) |
Penyedia Jasa yang harus menerapkan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penyedia Jasa yang memberikan layanan:
a. |
Konsultansi Manajemen Penyelenggaraan Konstruksi; |
b. |
Konsultansi Konstruksi pengawasan; |
c. |
Pekerjaan Konstruksi; dan |
d. |
Pekerjaan Konstruksi Terintegrasi. |
|
(3) |
Penyedia Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melakukan:
a. |
identifikasi bahaya; |
b. |
penilaian risiko dan pengendalian risiko atau peluang berdasarkan tahapan pekerjaan (work breakdown structure); dan |
c. |
sasaran dan program Keselamatan Konstruksi. |
|
(4) |
SMKK merupakan pemenuhan terhadap Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84H ayat (1), dengan menjamin:
a. |
keselamatan keteknikan Konstruksi; |
b. |
keselamatan dan kesehatan kerja; |
c. |
keselamatan publik; dan |
d. |
keselamatan lingkungan. |
|
(5) |
Sasaran atau objek keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
a. |
bangunan dan/atau aset Konstruksi; dan/atau |
b. |
peralatan dan material. |
|
(6) |
Sasaran atau objek keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
a. |
Pengguna Jasa; |
b. |
Tenaga Kerja Konstruksi; dan |
c. |
pemasok, tamu, dan Subpenyedia Jasa. |
|
(7) |
Sasaran atau objek keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c terdiri atas:
a. |
masyarakat di sekitar proyek; dan |
b. |
masyarakat terpapar. |
|
(8) |
Sasaran atau objek keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d terdiri atas:
a. |
lingkungan kerja; |
b. |
lingkungan terdampak proyek; |
c. |
lingkungan alam; dan |
d. |
lingkungan terbangun. |
|
Pasal 84J
(1) |
Keselamatan keteknikan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 841 ayat (4) huruf a merupakan keselamatan terhadap pemenuhan standar perencanaan, perancangan, prosedur dan mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi, mutu bahan, dan kelaikan peralatan. |
(2) |
Keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 841 ayat (4) huruf b merupakan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja Penyedia Jasa, Subpenyedia Jasa, pemasok, dan pihak lain yang diizinkan memasuki tempat kerja Konstruksi. |
(3) |
Keselamatan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 841 ayat (4) huruf c merupakan keselamatan masyarakat dan/atau pihak yang berada di lingkungan dan sekitar tempat kerja yang terdampak Pekerjaan Konstruksi. |
(4) |
Keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 841 ayat (4) huruf d merupakan keselamatan lingkungan yang terdampak oleh Pekerjaan Konstruksi sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dan kenyamanan lingkungan terbangun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 84K
(1) |
Keselamatan keteknikan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84J ayat (1) mencakup pemenuhan terhadap:
a. |
standar perencanaan berupa pemenuhan semua aspek persyaratan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan dalam hasil perencanaan; |
b. |
standar perancangan berupa pemenuhan terhadap pedoman teknis proses pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, perawatan, dan pembongkaran yang telah ditetapkan; |
c. |
standar prosedur dan mutu hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi merupakan persyaratan dan ketentuan tertulis khususnya aspek Keselamatan Konstruksi yang dibakukan mengenai berbagai proses dan hasil pelaksanaan Jasa Konstruksi; |
d. |
mutu bahan sesuai standar nasional Indonesia dan/atau standar internasional dan/atau negara lain yang diakui oleh Pemerintah Pusat, dan telah ditetapkan dalam kerangka acuan kerja; dan |
e. |
kelaikan peralatan berdasarkan pedoman teknis peralatan sebagai dasar pemenuhan kinerja operasi peralatan sesuai peruntukan pekerjaan, baik peralatan yang beroperasi secara tunggal maupun kombinasi. |
|
(2) |
Keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84J ayat (2) mencakup pemenuhan terhadap:
a. |
hak tenaga kerja berupa pelindungan sosial tenaga kerja dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
b. |
penjaminan dan pelindungan keselamatan dan kesehatan tenaga kerja melalui upaya pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja; |
c. |
pencegahan penyebaran wabah penyakit dalam lingkungan kerja dan sekitarnya; |
d. |
pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS; |
e. |
pencegahan penggunaan psikotropika; dan |
f. |
pengamanan lingkungan kerja. |
|
(3) |
Keselamatan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84J ayat (3) mencakup pemenuhan terhadap:
a. |
standar keselamatan publik di sekitar tempat kegiatan Konstruksi; |
b. |
upaya pencegahan kecelakaan kerja yang berdampak kepada masyarakat di sekitar tempat kegiatan Konstruksi; dan |
c. |
pemahaman pengetahuan keselamatan dan kesehatan kerja di sekitar tempat kegiatan Konstruksi. |
|
(4) |
Keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84J ayat (4) mencakup pencegahan terhadap:
a. |
terganggunya derajat kesehatan pekerja dan kesehatan masyarakat di lingkungan sekitar Pekerjaan Konstruksi sebagai akibat dampak pencemaran; |
b. |
berubahnya dampak sosial masyarakat sebagai akibat kegiatan Konstruksi yang semakin padat di lingkungan Pekerjaan Konstruksi; dan |
c. |
rusaknya lingkungan sebagai akibat berkembangnya situasi kepadatan kegiatan Konstruksi yang menghasilkan limbah Konstruksi sehingga dapat menimbulkan pencemaran terhadap air, udara, dan tanah. |
|
(5) |
Pemenuhan standar keselamatan keteknikan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan dengan memperhatikan aspek keamanan/keandalan, aspek teknis penggunaan peralatan, aspek penyiapan alat angkat dan angkut sesuai dengan RKK dan tata cara penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi. |
(6) |
Penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan bagian dari SMKK yang menjamin terlaksananya keselamatan keteknikan Konstruksi guna mewujudkan proses dan hasil Jasa Konstruksi yang berkualitas. |
(7) |
Penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi harus diintegrasikan dengan SMKK. |
(8) |
Penjaminan mutu dan pengendalian mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan oleh personel yang memenuhi standar kompetensi kerja. |
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur oleh Menteri. |
Pasal 84L
(1) |
Untuk pekerjaan pengkajian, perencanaan, dan perancangan, produk yang dihasilkan yang tercantum dalam uraian pekerjaan, termasuk menyusun dokumen Rancangan Konseptual SMKK sesuai dengan format untuk mendukung penerapan SMKK. |
(2) |
Rancangan Konseptual SMKK yang disusun pada pekerjaan pengkajian dan perencanaan paling sedikit memuat:
a. |
lingkup tanggung jawab pengkajian dan/atau perencanaan; |
b. |
informasi awal terhadap kelaikan antara lain meliputi lokasi, lingkungan, sosio-ekonomi, dan/atau dampak lingkungan; dan |
c. |
rekomendasi teknis. |
|
(3) |
Rancangan Konseptual SMKK yang disusun pada pekerjaan perancangan paling sedikit memuat:
a. |
lingkup tanggung jawab perancang, termasuk pernyataan bahwa apabila terjadi revisi desain, tanggung jawab revisi desain dan dampaknya ada pada penyusun revisi; |
b. |
metode pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi; |
c. |
identifikasi bahaya, mitigasi bahaya, dan penetapan tingkat risiko; |
d. |
daftar standar dan/atau peraturan perundang-undangan Keselamatan Konstruksi yang ditetapkan untuk desain; |
e. |
biaya SMKK; dan |
f. |
rancangan panduan keselamatan pengoperasian dan pemeliharaan Konstruksi bangunan. |
|
(4) |
Untuk pekerjaan konsultansi pengawasan dan manajemen Konstruksi, produk yang dihasilkan tercantum dalam uraian pekerjaan, termasuk RKK pengawasan dan RKK manajemen Konstruksi. |
(5) |
Dalam menyusun Rancangan Konseptual SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa pekerjaan konsultansi pengkajian, perencanaan dan perancangan wajib memiliki ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi, atau ahli Keselamatan Konstruksi. |
(6) |
Ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tenaga ahli yang mempunyai kompetensi khusus di bidang keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi SMKK yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
(7) |
Ahli Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan tenaga ahli yang mempunyai kompetensi khusus di bidang Keselamatan Konstruksi dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi penerapan SMKK yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
(8) |
Elemen SMKK terdiri atas:
a. |
kepemimpinan dan partisipasi tenaga kerja dalam Keselamatan Konstruksi; |
b. |
perencanaan Keselamatan Konstruksi; |
c. |
dukungan Keselamatan Konstruksi; |
d. |
operasi Keselamatan Konstruksi; dan |
e. |
evaluasi kinerja penerapan SMKK. |
|
(9) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rancangan Konseptual SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri. |
Pasal 84M Kepemimpinan dan partisipasi tenaga kerja dalam Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84L ayat (8) huruf a merupakan kegiatan penyusunan kebijakan untuk mengembangkan budaya berkeselamatan, yang paling sedikit terdiri atas:
a. |
kepedulian pimpinan terhadap isu eksternal dan internal; |
b. |
organisasi pengelola SMKK; |
c. |
komitmen Keselamatan Konstruksi dan partisipasi tenaga kerja; dan |
d. |
supervisi, training, akuntabilitas, sumber daya, dan dukungan. |
Pasal 84N Perencanaan Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84L ayat (8) huruf b merupakan kegiatan yang paling sedikit terdiri atas:
a. |
mengidentifikasi bahaya, penilaian risiko, penentuan pengendalian risiko, dan peluang; |
b. |
rencana tindakan keteknikan, manajemen, dan tenaga kerja yang tertuang dalam sasaran dan program; dan |
c. |
pemenuhan standar dan peraturan perundang- undangan di bidang Keselamatan Konstruksi. |
Pasal 840 Dukungan Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84L ayat (8) huruf c merupakan komponen pendukung Keselamatan Konstruksi yang paling sedikit menginformasikan:
a. |
sumber daya berupa teknologi, peralatan, material, dan biaya; |
b. |
kompetensi tenaga kerja; |
c. |
kepedulian organisasi; |
d. |
manajemen komunikasi; dan |
e. |
informasi terdokumentasi. |
Pasal 84P
(1) |
Operasi Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84L ayat (8) huruf d merupakan kegiatan dalam mengendalikan Keselamatan Konstruksi, yang paling sedikit terdiri atas:
a. |
perencanaan implementasi RKK; |
b. |
pengendalian operasi Keselamatan Konstruksi; |
c. |
kesiapan dan tanggapan terhadap kondisi darurat; dan |
d. |
investigasi Kecelakaan Konstruksi. |
|
(2) |
Penyedia Jasa pengkajian, perencanaan, dan perancangan dalam melaksanakan kegiatan di lapangan harus menerapkan operasi Keselamatan Konstruksi. |
Pasal 84Q
Evaluasi kinerja penerapan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84L ayat (8) huruf e merupakan kegiatan yang paling sedikit terdiri atas:
a. |
pemantauan atau inspeksi; |
b. |
audit; |
c. |
evaluasi; |
d. |
tinjauan manajemen; dan |
e. |
peningkatan kinerja Keselamatan Konstruksi. |
Pasal 84R
SMKK diterapkan pada tahapan:
a. |
pemilihan Penyedia Jasa; |
b. |
pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi; dan |
c. |
serah terima pekerjaan. |
Pasal 84S
(1) |
Penerapan SMKK dalam tahapan pemilihan Penyedia Jasa oleh Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84R huruf a dituangkan dalam dokumen pemilihan dengan menilai RKK sesuai dengan format. |
(2) |
Penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijelaskan oleh Pengguna Jasa kepada Penyedia Jasa pada saat penjelasan dokumen. |
(3) |
Dokumen pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat:
a. |
manajemen Risiko Keselamatan Konstruksi yang paling sedikit memuat uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi; dan |
b. |
biaya penerapan SMKK pada harga perkiraan sendiri. |
|
(4) |
Pengguna Jasa mengacu pada hasil dokumen pekerjaan jasa Konsultansi Konstruksi perancangan dan / atau berkonsultasi dengan ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi dan/atau ahli Keselamatan Konstruksi dan/atau tenaga ahli yang membidangi Keselamatan Konstruksi dalam menetapkan uraian pekerjaan, identifikasi bahaya, dan penetapan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a. |
(5) |
Penetapan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi pada Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan sesuai dengan format Rancangan Konseptual SMKK. |
(6) |
Setiap calon Penyedia Jasa untuk manajemen penyelenggaraan Konstruksi dan/atau pengawasan dan Penyedia jasa Pekerjaan Konstruksi harus menyusun dan menyampaikan RKK dalam dokumen penawaran yang disusun sesuai dengan format. |
(7) |
Setiap Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib menyusun penjaminan dan pengendali mutu dalam dokumen RMPK. |
(8) |
Setiap Penyedia Jasa manajemen penyelenggaraan Konstruksi dan/atau pengawasan harus menyusun penjaminan dan pengendalian mutu dalam dokumen program mutu. |
(9) |
Untuk pekerjaan Risiko Keselamatan Konstruksi sedang dan besar, setiap Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib menyusun rencana pengelolaan lingkungan dalam dokumen RKPPL. |
(10) |
Untuk pekerjaan Risiko Keselamatan Konstruksi sedang dan besar, setiap Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi wajib menyusun rencana manajemen lalu lintas dalam dokumen RMLLP. |
Pasal 84T
(1) |
Penerapan SMKK pada tahapan pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84R huruf b dilakukan dengan melaksanakan RKK, RMPK, program mutu, RKPPL, dan RMLLP. |
(2) |
Pelaksanaan RKK, RMPK, program mutu, RKPPL, dan RMLLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disesuaikan dengan lingkup pekerjaan dan kondisi di lapangan. |
(3) |
Penyesuaian RKK, RMPK, program mutu, RKPPL, dan RMLLP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pelaksana Pekerjaan Konstruksi, diperiksa, dibahas, atau direviu oleh konsultan pengawas/direksi teknis/Pengguna Jasa, dan disetujui oleh Konsultan Manajemen Konstruksi dan/atau Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa pada saat rapat persiapan pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi (preconstruction meeting). |
(4) |
Penyesuaian program mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh konsultan pengawas, diperiksa, dibahas, atau direviu oleh pelaksana Pekerjaan Konstruksi/ Pengguna Jasa, dan disetujui oleh Konsultan Manajemen Konstruksi dan/atau Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa pada saat rapat persiapan pelaksanaan pekerjaan (preconstruction meeting dan Kick off meeting). |
Pasal 84U
(1) |
RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84T ayat (1) dapat diperbaharui dalam hal terjadi:
a. |
perubahan instruksi kerja, prosedur kerja, termasuk perubahan organisasi; |
b. |
perubahan pekerjaan atau pekerjaan baru serta perubahan lingkup pekerjaan pada Kontrak, termasuk pekerjaan tambah/kurang; dan |
c. |
Kecelakaan Konstruksi yang mengakibatkan kehilangan harta benda, waktu kerja, kematian, cacat tetap dan/atau kerusakan lingkungan. |
|
(2) |
RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan dari Pengguna Jasa. |
(3) |
Pengguna Jasa melakukan pengawasan pelaksanaan RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL dan mengevaluasi kinerja penerapan SMKK yang dilaksanakan oleh Penyedia Jasa. |
(4) |
Dalam melakukan pengawasan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengguna Jasa dapat dibantu oleh ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi, ahli Keselamatan Konstruksi, tenaga ahli yang membidangi Keselamatan Konstruksi dan/atau petugas Keselamatan Konstruksi. |
(5) |
Petugas Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan orang yang memiliki kompetensi khusus di bidang Keselamatan Konstruksi dalam melaksanakan dan mengawasi penerapan SMKK yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
Pasal 84V
(1) |
Penyedia Jasa harus menerapkan analisis keselamatan pekerjaan dan/atau analisis Keselamatan Konstruksi untuk pekerjaan yang mempunyai tingkat risiko besar dan/atau sedang dan pekerjaan bersifat khusus sesuai dengan metode kerja Konstruksi yang terdapat dalam RKK. |
(2) |
Analisis keselamatan pekerjaan dan/atau analisis Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari izin kerja yang disusun sesuai dengan format RKK. |
(3) |
Analisis keselamatan pekerjaan dan/atau analisis Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh ahli teknik sesuai bidangnya. |
(4) |
Dalam hal terjadi perubahan metode kerja, situasi, pengamanan, dan sumber daya manusia, analisis keselamatan pekerjaan dan/atau analisis keselamatan Konstruksi harus ditinjau kembali oleh ahli keamanan dan kesehatan kerja Konstruksi, ahli Keselamatan Konstruksi, dan/atau tenaga ahli yang membidangi Keselamatan Konstruksi. |
(5) |
Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk melihat pemenuhan persyaratan Keselamatan Konstruksi, Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) |
Hasil peninjauan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus mendapatkan persetujuan dari Pengguna Jasa dan ahli teknik sesuai bidangnya yang ditunjuk oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi. |
Pasal 84W
(1) |
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi melaporkan pelaksanaan RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84T ayat (1) kepada Pengguna Jasa sesuai dengan kemajuan pekerjaan. |
(2) |
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa laporan:
a. |
harian; |
b. |
mingguan; |
c. |
bulanan; dan |
d. |
akhir. |
|
Pasal 84X
(1) |
Berdasarkan hasil pengawasan pelaksanaan RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84T ayat (3) dan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84W ayat (2), Pengguna Jasa melaksanakan evaluasi kinerja penerapan SMKK setiap bulan. |
(2) |
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk menjamin kesesuaian dan keefektifan pelaksanaan dan penerapan RKK, RMPK, program mutu, dan RKPPL. |
(3) |
Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus melaksanakan peningkatan kinerja sesuai hasil evaluasi kinerja penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 84Y
(1) |
Penerapan SMKK dalam tahapan serah terima pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 R huruf c dilakukan pada masa serah terima pertama pekerjaan (provisional hand over) sampai dengan serah terima akhir pekerjaan (final hand over). |
(2) |
Penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi. |
(3) |
Penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan dokumen hasil penerapan SMKK kepada Pengguna Jasa. |
(4) |
Dokumen hasil penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didokumentasikan dan menjadi bagian dari laporan yang terdiri atas:
a. |
aporan pelaksanaan RKK; |
b. |
dokumen RMPK; |
c. |
dokumen program mutu; dan |
d. |
dokumen RKPPL |
|
(5) |
Laporan pelaksanaan RKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus memuat hasil kinerja SMKK berupa:
a. |
statistik dan analisis Kecelakaan Konstruksi; |
b. |
statistik dan analisis sakit akibat kerja; |
c. |
laporan harian, mingguan, bulanan, dan laporan akhir, serta laporan ringkas dalam hal terdapat aktivitas yang membahayakan dalam Pekerjaan Konstruksi; dan |
d. |
usulan perbaikan untuk Pekerjaan Konstruksi sejenis yang akan datang. |
|
(6) |
Dokumen RMPK dan program mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c harus memuat hasil kinerja SMKK berupa:
a. |
statistik dan analisis perubahan gambar, spesifikasi, tahapan pekerjaan, rencana pelaksanaan pekerjaan, rencana pemeriksaaan pengujian, rencana pengendalian, dan/atau pro sedur pengawasan dan pelaksanaan Konstruksi; |
b. |
laporan harian, mingguan, bulanan, dan akhir, serta laporan ringkas dalam hal terdapat aktivitas dalam Pekerjaan Konstruksi; dan |
c. |
usulan perbaikan untuk Pekerjaan Konstruksi sejenis yang akan datang. |
|
(7) |
Dokumen RKPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d harus memuat hasil kinerja SMKK berupa:
a. |
statistik dan analisis perubahan rona lingkungan, pengelolaan dan pemantauan lingkungan; |
b. |
laporan harian, mingguan, bulanan, dan akhir, serta laporan ringkas dalam hal pengelolaan dan pemantauan lingkungan; dan |
c. |
evaluasi pengelolaan dan pemantauan lingkungan. |
|
(8) |
Pengguna Jasa mengeluarkan surat keterangan nihil Kecelakaan Konstruksi kepada Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi bagi Pekerjaan Konstruksi yang telah diselesaikan tanpa adanya Kecelakaan Konstruksi berdasarkan laporan akhir pelaksanaan RKK. |
(9) |
Surat keterangan nihil Kecelakaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disusun sesuai dengan komponen kegiatan penerapan SMKK. |
Pasal 84Z
(1) |
Setelah dilakukan serah terima akhir pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84Y, SMKK diterapkan dalam pengoperasian dan pemeliharaan. |
(2) |
Untuk menerapkan SMKK dalam pengoperasian dan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengguna Jasa harus merujuk pada:
a. |
gambar terpasang (as built drawing), dokumen terlaksana (as built document); dan |
b. |
panduan keselamatan operasi dan pemeliharaan Konstruksi bangunan yang sudah memperhitungkan Keselamatan Konstruksi yang disusun oleh Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi berdasarkan hasil gambar terpasang (as built drawing) dan RKK yang sudah dimutakhirkan. |
|
(3) |
Dalam hal ditemukan kondisi yang menyimpang dari standar dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan, panduan keselamatan pengoperasian dan pemeliharaan Konstruksi bangunan. sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus dikaji ulang oleh pengkaji teknis atau tim laik fungsi yang ditunjuk oleh Pengguna Jasa. |
Pasal 84AA
(1) |
Dalam menerapkan SMKK, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus membentuk UKK. |
(2) |
UKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada unit yang menangani Keselamatan Konstruksi di bawah pimpinan tertinggi Penyedia |
(3) |
UKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
pimpinan; dan |
b. |
anggota. |
|
(4) |
Tanggung jawab penerapan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi melekat pada pimpinan tertinggi Penyedia Jasa dan pimpinan UKK. |
Pasal 84AB
(1) |
Pimpinan UKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AA ayat (3) huruf a harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan Sertifikat Kompetensi Kerja di bidang keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi dan/atau Keselamatan Konstruksi. |
(2) |
Pimpinan UKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pimpinan tertinggi Pekerjaan Konstruksi. |
(3) |
Dalam hal Pekerjaan Konstruksi berisiko Keselamatan Konstruksi kecil, pimpinan tertinggi Pekerjaan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat merangkap sebagai pimpinan UKK. |
(4) |
Dalam hal Pekerjaan Konstruksi berisiko Keselamatan Konstruksi sedang atau besar, Penyedia Jasa Pekerjaan Konstruksi harus membentuk UKK yang terpisah dari struktur organisasi Pekerjaan Konstruksi. |
Pasal 84AC
(1) |
Kualifikasi kompetensi kerja pimpinan UKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AB ayat (1) terdiri atas jabatan kerja ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi atau ahli Keselamatan Konstruksi atau petugas Keselamatan Konstruksi. |
(2) |
Persyaratan jabatan kerja ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi atau ahli Keselamatan Konstruksi atau petugas Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada Pekerjaan Konstruksi meliputi:
a. |
untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi besar terdiri atas:
1. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi utama atau ahli Keselamatan Konstruksi utama; atau |
2. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi madya atau ahli Keselamatan Konstruksi madya dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun. |
|
b. |
untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi sedang terdiri atas:
1. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi madya atau ahli Keselamatan Konstruksi madya; atau |
2. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi muda atau ahli Keselamatan Konstruksi muda dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun; dan |
|
c. |
untuk Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi kecil terdiri atas:
1. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi muda atau ahli Keselamatan Konstruksi muda; atau |
2. |
petugas Keselamatan Konstruksi. |
|
|
(3) |
Ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), selanjutnya akan menjadi ahli Keselamatan Kontruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. |
(4) |
Untuk menjadi petugas Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c angka 2, harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagai petugas Keselamatan Konstruksi. |
(5) |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan oleh LSP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Pasal 84AD
(1) |
Anggota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AA ayat (3) huruf b harus memiliki kompetensi kerja yang dibuktikan dengan kepemilikan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi. |
(2) |
Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh LSP. |
(3) |
Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
ahli Keselamatan Konstruksi muda; |
b. |
ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi muda; |
c. |
petugas Keselamatan Konstruksi; |
d. |
petugas tanggap darurat; |
e. |
petugas pemadam kebakaran; |
f. |
petugas pertolongan pertama pada kecelakaan; |
g. |
petugas pengatur lalu lintas; |
h. |
tenaga kesehatan; dan |
i. |
petugas pengelolaan lingkungan. |
|
(4) |
Penentuan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan kebutuhan pengendalian risiko pada Pekerjaan Konstruksi. |
Pasal 84AE
(1) |
Risiko Keselamatan Konstruksi terdiri atas:
a. |
kecil; |
b. |
sedang; dan |
c. |
besar. |
|
(2) |
Tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pengguna Jasa sesuai dengan kriteria penentuan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi. |
(3) |
Risiko Keselamatan Konstruksi kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. |
bersifat berbahaya rendah berdasarkan RKK yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan; |
b. |
Pekerjaan Konstruksi dengan nilai harga perkiraan sendiri sampai dengan Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); |
c. |
mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah kurang dari 25 (dua puluh lima) orang; dan/atau |
d. |
Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi sederhana. |
|
(4) |
Risiko Keselamatan Konstruksi sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. |
bersifat berbahaya sedang berdasarkan RKK yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan; |
b. |
Pekerjaan Konstruksi dengan nilai harga perkiraan sendiri di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); |
c. |
mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah 25 (dua puluh lima) orang sampai dengan 100 (seratus) orang; dan/atau |
d. |
Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi madya. |
|
(5) |
Risiko Keselamatan Konstruksi besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. |
bersifat berbahaya tinggi berdasarkan RKK yang ditetapkan oleh Pengguna Jasa berdasarkan perhitungan; |
b. |
Pekerjaan Konstruksi dengan nilai harga perkiraan sendiri di atas Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); |
c. |
mempekerjakan tenaga kerja yang berjumlah lebih dari 100 (seratus) orang; |
d. |
menggunakan peralatan berupa pesawat angkat; |
e. |
menggunakan metode peledakan dan/atau menyebabkan terjadinya peledakan; dan/atau |
f. |
Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan teknologi tinggi. |
|
(6) |
Dalam hal suatu Pekerjaan Konstruksi memenuhi lebih dari 1 (satu) kriteria Risiko Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penentuan Risiko Keselamatan Konstruksi ditentukan dengan memilih Risiko Keselamatan Konstruksi yang lebih tinggi. |
(7) |
Pekerjaan Konstruksi yang memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi besar dengan kriteria mempekerjakan lebih dari 100 (seratus) pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c harus mempunyai personel Keselamatan Konstruksi paling sedikit 2 (dua) orang yang terdiri atas:
a. |
1 (satu) orang ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi utama, ahli Keselamatan Konstruksi utama, dan/atau ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi madya dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun, ahli Keselamatan Konstruksi madya dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun; dan |
b. |
1 (satu) orang ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi muda, atau ahli Keselamatan Konstruksi muda dengan pengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun. |
|
(8) |
Pada Pekerjaan Konstruksi yang menggunakan metode padat karya atau menggunakan banyak tenaga kerja namun sedikit penggunaan peralatan mesin, kebutuhan personel Keselamatan Konstruksi ditentukan oleh RKK. |
(9) |
Risiko Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk menentukan kebutuhan ahli keselamatan dan kesehatan kerja Konstruksi, ahli Keselamatan Konstruksi, dan/atau petugas Keselamatan Konstruksi. |
(10) |
Risiko Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak digunakan untuk menentukan kompleksitas atau segmentasi pasar Jasa Konstruksi. |
Pasal 84AF
(1) |
Biaya penerapan SMKK harus dimasukkan pada daftar kuantitas dan harga dengan besaran biaya sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pengendalian dalam RKK. |
(2) |
Biaya penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian dari RKK. |
(3) |
Biaya penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit mencakup rincian:
a. |
penyiapan RKK; |
b. |
sosialisasi, promosi, dan pelatihan; |
c. |
alat pelindung kerja dan alat pelindung diri; |
d. |
asuransi dan perizinan; |
e. |
personel Keselamatan Konstruksi; |
f. |
fasilitas sarana, prasarana, dan alat kesehatan; |
g. |
rambu dan perlengkapan lalu lintas yang diperlukan (manajemen lalu lintas); |
h. |
konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan Konstruksi; dan |
i. |
kegiatan dan peralatan terkait dengan pengendalian Risiko Keselamatan Konstruksi, termasuk biaya pengujian/ pemeriksaan lingkungan. |
|
(4) |
Rincian kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf i merupakan barang habis pakai. |
(5) |
Konsultasi dengan ahli terkait Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h tidak diharuskan bagi Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi kecil. |
Pasal 84AG
(1) |
Pengguna Jasa harus memastikan seluruh komponen biaya penerapan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AF ayat (3), dianggarkan dan diterapkan oleh Penyedia Jasa. |
(2) |
Biaya penerapan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AF ayat (3) harus disampaikan oleh Penyedia Jasa dalam dokumen penawaran sesuai dengan komponen kegiatan penerapan SMKK. |
(3) |
Penyedia Jasa tidak dapat mengusulkan perubahan anggaran biaya penerapan SMKK berdasarkan RKK yang telah diperbaharui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84U ayat (1) huruf b dan huruf c. |
Pasal 84AH
(1) |
Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas pembinaan penerapan SMKK kepada penyelenggara Pemerintah Daerah provinsi dan Masyarakat Jasa Konstruksi. |
(2) |
Pemerintah provinsi bertanggung jawab atas pembinaan penerapan SMKK kepada penyelenggara pemerintah kota/kabupaten dan Masyarakat Jasa Konstruksi. |
(3) |
Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) terdiri atas:
a. |
penetapan kebijakan SMKK; |
b. |
penerapan kebijakan SMKK; |
c. |
pemantauan dan evaluasi penerapan SMKK; dan |
d. |
pengembangan kerja sama penerapan SMKK. |
|
(4) |
Penetapan kebijakan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan dalam bentuk penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria sesuai dengan kewenangannya. |
(5) |
Penerapan kebijakan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan dalam bentuk:
a. |
fasilitasi; |
b. |
konsultasi; dan |
c. |
pendidikan dan pelatihan. |
|
(6) |
Pemantauan dan evaluasi penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan melalui penilaian terhadap pelaksanaan pembinaan dan pengawasan penerapan SMKK. |
(7) |
Pengembangan kerja sama penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan untuk meningkatkan penerapan SMKK dalam mewujudkan Keselamatan Konstruksi. |
Pasal 84AI
(1) |
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau yang memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi besar. |
(2) |
Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah melakukan pengawasan penerapan kebijakan SMKK yang dilakukan oleh perangkat daerah kabupaten/kota. |
(3) |
Gubernur melakukan pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi terhadap pembiayaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan/atau yang memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi sedang. |
(4) |
Bupati/wali kota melakukan pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi terhadap pembiayaan yang berasal dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten /kota dan/atau yang memiliki Risiko Keselamatan..Konstruksi kecil. |
(5) |
Pengawasan penerapan SMKK pada Pekerjaan Konstruksi dan Konsultansi Konstruksi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri teknis terkait. |
Pasal 84AJ
(1) |
Dalam melaksanakan pengawasan penerapan SMKK, Pengguna Jasa menyampaikan laporan penyelenggaraan pengawasan SMKK kepada Menteri. |
(2) |
Dalam melaksanakan pengawasan penerapan kebijakan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AI ayat (2), gubernur sebagai v/akil Pemerintah Pusat menyampaikan laporan penerapan kebijakan SMKK kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dengan salinan laporan kepada Menteri yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan laporan penyelenggaraan Pemerintah Daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Dalam melaksanakan pengawasan penerapan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84AI ayat (3), gubernur menyampaikan laporan penerapan SMKK kepada Menteri. |
(4) |
Laporan penerapan SMKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan secara berkala paling sedikit 1 (satu) tahun sekali. |
(5) |
Pengawasan terhadap penerapan SMKK oleh Pengguna Jasa terhadap Penyedia Jasa dilakukan dengan pemeriksaan laporan yang disusun sesuai dengan format laporan pelaksanaan RKK. |
Pasal 84AK
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. |
penerapan SMKK oleh Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa; |
b. |
tata cara penjaminan mutu dan pengendalian mutu Pekerjaan Konstruksi; |
c. |
Rancangan Konseptual SMKK; |
d. |
RKK; |
e. |
RMPK; |
f. |
program mutu; |
g. |
RKPPL; |
h. |
RMLLP; |
i. |
laporan pelaksanaan RKK; |
j. |
komponen kegiatan penerapan SMKK; dan |
k. |
kriteria penentuan tingkat Risiko Keselamatan Konstruksi, |
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84A sampai dengan Pasal 84AJ diatur oleh Menteri. |
|
|
30. |
Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85
(1) |
Kegagalan Bangunan ditetapkan oleh Penilai Ahli. |
(2) |
Penilai Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
orang perorangan; |
b. |
kelompok; atau |
c. |
lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan penilaian dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan. |
|
(3) |
Pengguna Jasa dan/atau Penyedia Jasa wajib bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan akibat dari tidak terpenuhinya Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84G ayat (6). |
(4) |
Penentuan Klasifikasi bangunan dalam penetapan Kegagalan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
31. |
Di antara Pasal 85 dan Pasal 86, disisipkan 18 (delapan belas) pasal, yakni Pasal 85A sampai dengan Pasal 85R sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 85A
(1) |
Kegagalan Bangunan sebagaimana, dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1) meliputi:
a. |
keruntuhan bangunan; dan |
b. |
tidak berfungsinya bangunan. |
|
(2) |
Keruntuhan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kondisi sebagian besar atau keseluruhan komponen bangunan yang rusak dan tidak dapat dioperasikan. |
(3) |
Tidak berfungsinya bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
a. |
tidak sesuai dengan yang direncanakan; dan/atau |
b. |
tidak dipenuhinya aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. |
|
Pasal 85B
(1) |
Kriteria dan tolok ukur Kegagalan Bangunan merupakan kondisi atau ukuran yang menjadi dasar penilaian dan penetapan Kegagalan Bangunan. |
(2) |
Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kriteria yang mencakup:
a. |
aspek struktural; dan |
b. |
aspek fungsional. |
|
(3) |
Tolok ukur Kegagalan Bangunan digunakan untuk menentukan tingkat keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya suatu bangunan. |
(4) |
Kriteria dan tolok ukur Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan standar Konstruksi. |
Pasal 85C
(1) |
Proses penilaian Kegagalan Bangunan dilakukan sebagai berikut:
a. |
pelaporan kejadian Kegagalan Bangunan; |
b. |
penugasan Penilai Ahli; |
c. |
pembuatan perjanjian kerja; |
d. |
pelaksanaan penilaian Kegagalan Bangunan; dan |
e. |
pelaporan hasil penilaian. |
|
(2) |
Penilaian Kegagalan Bangunan dilakukan dengan cara:
a. |
pemeriksaan dokumen legalitas dan/atau perizinan objek bangunan; |
b. |
identifikasi Kegagalan Bangunan; |
c. |
investigasi Kegagalan Bangunan; |
d. |
analisis penyebab Kegagalan Bangunan; |
e. |
penilaian besaran ganti kerugian; |
f. |
penetapan penanggung jawab Kegagalan Bangunan; dan |
g. |
penyusunan dan penyampaian laporan. |
|
Pasal 85D
(1) |
Pengguna Jasa, pemilik/penanggung jawab bangunan, dan/atau pihak lain yang dirugikan akibat Kegagalan Bangunan dapat melaporkan terjadinya suatu Kegagalan Bangunan. |
(2) |
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kalender setelah terjadi Kegagalan Bangunan. |
(3) |
Laporan kejadian Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. |
nama bangunan; |
b. |
pemilik dan/atau penanggung bangunan; jawab |
c. |
lokasi detail bangunan; |
d. |
jenis keruntuhan dan/atau berfungsinya bangunan; tidak |
e. |
waktu kejadian Kegagalan Bangunan; |
f. |
foto atau bukti kejadian Kegagalan Bangunan; dan |
g. |
identitas pelapor. |
|
(4) |
Laporan kejadian Kegagalan Bangunan disampaikan kepada LPJK. |
Pasal 85E LPJK melaksanakan kegiatan:
a. |
pelatihan Penilai Ahli; |
b. |
pencatatan Penilai Ahli; dan |
c. |
penetapan Penilai Ahli yang terdaftar untuk penugasan dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan. |
Pasal 85F
(1) |
Penilaian terhadap kejadian Kegagalan Bangunan dapat dilakukan oleh 1 (satu) atau lebih Penilai Ahli. |
(2) |
Penilai Ahli dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh tenaga ahli dan/atau tenaga pendukung lainnya. |
Pasal 85G
(1) |
Tugas Penilai Ahli dalam penilaian kejadian Kegagalan Bangunan, meliputi:
a. |
menetapkan tingkat pemenuhan terhadap ketentuan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
menetapkan penyebab terjadinya Kegagalan Bangunan; |
c. |
menetapkan tingkat keruntuhan dan/atau tidak berfungsinya bangunan; |
d. |
menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas Kegagalan Bangunan yang terjadi; |
e. |
menetapkan besaran kerugian keteknikan, serta usulan besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak yang bertanggung jawab; |
f. |
menetapkan jangka waktu pembayaran kerugian; |
g. |
melaporkan hasil penilaiannya kepada penanggung jawab bangunan dan LPJK paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan tugas; dan |
h. |
memberikan rekomendasi kebijakan kepada Menteri dalam rangka pencegahan terjadinya Kegagalan Bangunan. |
|
Pasal 85H
(1) |
Penilai Ahli dalam melaksanakan tugasnya wajib bekerja secara profesional dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak. |
(2) |
Penilai Ahli dalam melaksanakan tugasnya berhak:
a. |
berkoordinasi dengan pihak berwenang yang terkait; |
b. |
memperoleh kompensasi, perlindungan dan fasilitas keamanan, keselamatan, dan kesehatan kerja dari pemberi tugas; |
c. |
menghentikan kegiatan investigasi dan penelitiannya, serta segera melaporkan segala sesuatu kepada pemberi tugas mengenai ancaman dan gangguan keamanan, keselamatan, dan kesehatan selama proses kerja; |
d. |
menjelaskan baik lisan maupun tulisan, segala sesuatu penemuan bukti-bukti yang didapat dari hasil penilaian Kegagalan Bangunan yang dapat dipertanggungjawabkan hanya kepada para pihak; dan/atau |
e. |
mendapatkan pelindungan, termasuk pengawalan bila diperlukan dari pihak yang berwenang untuk memasuki lokasi kejadian dalam segala kondisi. |
|
Pasal 85I Penilai Ahli berwenang:
a. |
melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait untuk memperoleh keterangan yang diperlukan; |
b. |
meminta data yang diperlukan; |
c. |
melakukan pengujian yang diperlukan; dan |
d. |
memasuki lokasi pekerjaan tempat terjadinya Kegagalan Bangunan. |
Pasal 85J
Penilai Ahli wajib memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. |
warga negara Indonesia dan berdomisili di dalam wilayah Indonesia; |
b. |
memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi pada jenjang jabatan ahli di bidang yang sesuai dengan Klasifikasi produk bangunan yang mengalami kegagalan dengan subkualifikasi paling kurang ahli madya dan/atau insinyur profesional madya; |
c. |
mempunyai pengalaman kerja sebagai perencana, pelaksana, dan/atau pengawas pada Jasa Konstruksi sesuai dengan Klasifikasi dari bangunan yang mengalami Kegagalan Bangunan paling sedikit 10 (sepuluh) tahun; |
d. |
mampu bekerja secara profesional, jujur, objektif, dan independen; dan |
e. |
mampu menerapkan kode etik dan kode perilaku Penilai Ahli. |
Pasal 85K
(1) |
Setiap orang yang telah memenuhi kriteria dan kompetensi sebagai Penilai Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85J wajib mengikuti pelatihan Penilai Ahli dan dinyatakan lulus uji terkait kompetensi Penilai Ahli. |
(2) |
Penilai Ahli yang dinyatakan lulus uji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sertifikat Penilai Ahli dan dicatat oleh LPJK melalui Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi. |
(3) |
Daftar hasil pencatatan Penilai Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilaporkan berkala kepada Menteri. |
(4) |
Masa berlaku sertifikat Penilai Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu 5 (lima) tahun. |
(5) |
Sertifikat Penilai Ahli dapat dicabut atau Penilai Ahli dapat diberhentikan, apabila:
a. |
meninggal dunia; |
b. |
mengundurkan diri dengan mengajukan surat pengunduran diri yang ditandatangani disertai meterai cukup; |
c. |
melanggar kode etik dan kode perilaku; dan/atau |
d. |
melakukan tindak pidana yang telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. |
|
Pasal 85L
(1) |
Penugasan Penilai Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85C ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan:
a. |
laporan kejadian Kegagalan Bangunan dari Pengguna Jasa, pemilik/penanggung jawab bangunan, dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85D ayat (1) kepada LPJK; dan |
b. |
permintaan Menteri kepada LPJK. |
|
(2) |
Penugasan Penilai Ahli oleh LPJK ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya laporan mengenai terjadinya Kegagalan Bangunan. |
Pasal 85M
(1) |
Penugasan sebagai Penilai Ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85L ayat (1) ditindaklanjuti dengan perjanjian kerja penilaian ahli antara Pengguna Jasa atau pemilik/penanggung jawab bangunan dengan Penilai Ahli. |
(2) |
Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. |
nama dan alamat lengkap para pihak; |
b. |
lingkup penugasan; |
c. |
waktu pelaksanaan penugasan; |
d. |
biaya pelaksanaan penugasan; |
e. |
penanggung jawab biaya pelaksanaan penugasan; dan |
f. |
tanda tangan para pihak. |
|
Pasal 85N
(1) |
Hasil pelaksanaan penilaian Kegagalan Bangunan dituangkan dalam laporan hasil penilaian Kegagalan Bangunan. |
(2) |
Laporan hasil penilaian Kegagalan Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri, LPJK, dan Pengguna Jasa/pemilik/penanggung jawab bangunan paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari terhitung sejak tanggal pelaksanaan tugas. |
(3) |
Hasil penilaian Kegagalan Bangunan oleh Penilai Ahli bersifat final dan mengikat. |
Pasal 85O
(1) |
LPJK melakukan pembinaan Penilai Ahli yang meliputi pemberdayaan dan pengawasan. |
(2) |
Pemberdayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelatihan dan pengembangan kompetensi Penilai Ahli. |
(3) |
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pemantauan, evaluasi, dan pemberian sanksi terhadap pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan, serta kode etik dan kode perilaku Penilai Ahli. |
Pasal 85P
(1) |
Penilai Ahli dalam menjalankan tugas penilaian ahli wajib memenuhi ketentuan kode etik dan kode perilaku Penilai Ahli. |
(2) |
Kode etik Penilai Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
mengutamakan Keselamatan Konstruksi dan menerapkan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan; |
b. |
bekerja secara berkeahlian sesuai dengan kompetensinya; |
c. |
dalam menjalankan tugas bersifat mandiri dan bertanggung jawab atas objektivitas dan kebenaran hasil investigasi; |
d. |
bertanggung jawab berdasarkan prinsip- prinsip keahlian sesuai dengan kaidah keilmuan, kepatutan, dan kejujuran intelektual; |
e. |
menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung jawab tugasnya; dan |
f. |
memegang teguh kehormatan, integritas, dan martabat profesi. |
|
(3) |
Kode perilaku Penilai Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. |
dalam melaksanakan tugas profesinya wajib melindungi kepentingan masyarakat luas di atas kepentingan pihak-pihak lain; |
b. |
harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi maupun golongan; |
c. |
memanfaatkan sumber daya secara optimal dan efisien; |
d. |
mengikuti kemajuan, perkembangan ilmu pengetahuan dan keterampilan di bidang profesinya; |
e. |
mencurahkan segala perhatian, kemampuan, pengetahuan, kepandaian, dan pengalaman yang ada padanya untuk penyelesaian tugas; |
f. |
bersifat jujur tentang keahlian dan kemampuannya dan tidak akan menerima tugas pekerjaan di luar keahlian dan kemampuannya; |
g. |
memenuhi janjinya dalam menyelesaikan tugas yang dipercayakan dan menjadi tanggung jawabnya; |
h. |
menolak suatu penugasan yang dapat menimbulkan pertentangan kepentingan dengan pemberi tugas, masyarakat, dan lingkungan; |
i. |
menyampaikan laporan secara jujur dan objektif berkaitan dengan tugasnya kepada pemberi tugas; dan |
j. |
tidak boleh menerima imbalan atau honorarium di luar ketentuan atau perjanjian kontraktual yang berlaku. |
|
Pasal 85Q
(1) |
Sanksi terhadap Penilai Ahli meliputi pelanggaran kode etik dan/atau kode perilaku Penilai Ahli. |
(2) |
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sanksi administratif. |
Pasal 85R Ketentuan lebih lanjut mengenai Kegagalan Bangunan dan Penilai Ahli diatur oleh Menteri. |
|
|
32. |
Ketentuan ayat (2) Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 97
(1) |
Pembinaan Jasa Konstruksi dilakukan oleh:
a. |
Pemerintah Pusat kepada penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi dan Masyarakat Jasa Konstruksi; |
b. |
Pemerintahan Daerah provinsi kepada Masyarakat Jasa Konstruksi; dan |
c. |
Pemerintahan Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat Jasa Konstruksi. |
|
(2) |
Masyarakat Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
asosiasi perusahaan; |
b. |
Asosiasi Profesi; |
c. |
lembaga pendidikan dan pelatihan kerja Konstruksi; |
d. |
Pengguna Jasa; |
e. |
Penyedia Jasa; |
f. |
perguruan tinggi/pakar; |
g. |
pelaku rantai pasok; |
h. |
Tenaga Kerja Konstruksi; |
i. |
pemerhati Konstruksi; |
j. |
lembaga sertifikasi Jasa Konstruksi; dan |
k. |
pemanfaat produk Jasa Konstruksi. |
|
|
|
|
33. |
Di antara Pasal 123 dan Pasal 124 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 123A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 123A
(1) |
Dalam melakukan pengawasan penerapan SMKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84Al ayat (5), Menteri menetapkan komite Keselamatan Konstruksi yang bertugas membantu dalam penyelenggaraan Keselamatan Konstruksi. |
(2) |
Komite Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. |
ketua; |
b. |
sekretaris; |
c. |
bidang; dan |
d. |
sekretariat. |
|
(3) |
Struktur komite Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. |
(4) |
Komite Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas meliputi:
a. |
melaksanakan pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi yang diperkirakan memiliki Risiko Keselamatan Konstruksi besar dan sedang; |
b. |
melaksanakan investigasi Kecelakaan Konstruksi; |
c. |
memberikan saran, pertimbangan, dan rekomendasi kepada Menteri berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi Pekerjaan Konstruksi dengan Risiko Keselamatan Konstruksi besar dan sedang dan/atau investigasi Kecelakaan Konstruksi untuk mewujudkan Keselamatan Konstruksi; dan |
d. |
melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri. |
|
(5) |
Komite Keselamatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan sebagai berikut:
a. |
memasuki tempat kerja Konstruksi; |
b. |
meminta keterangan dari pihak terkait; |
c. |
meminta data yang berhubungan dengan tugas komite; dan |
d. |
melakukan koordinasi dengan pihak terkait Keselamatan Konstruksi. |
|
(6) |
Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas koordinator dan anggota sesuai dengan bidangnya. |
(7) |
Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas koordinator dan anggota. |
|
|
|
34. |
Di antara Pasal 150 dan Pasal 151 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 150A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 150A Ketentuan lebih rinci mengenai:
a. |
kombinasi dan kodifikasi jenis sumber daya peralatan Konstruksi dan nomor pengenal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26C ayat (7); |
b. |
rincian persyaratan kompetensi khusus Tenaga Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28B ayat (1) huruf b; |
c. |
subklasifikasi untuk setiap Klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28C ayat (2); |
d. |
format surat permohonan, salinan daftar pengalaman kerja, surat pernyataan tenaga kerja pendamping warga negara Indonesia, surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28H ayat (2). Pasal 29B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); |
e. |
format penetapan penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing dan penetapan penyetaraan kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi asing dengan ketidaksesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28J ayat (3) dan ayat (4); |
f. |
besaran dan bobot penilaian dan penetapan satuan kredit pengembangan keprofesian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291; |
g. |
struktur organisasi LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41D ayat (1); |
h. |
kode etik profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 J; |
i. |
Lisensi LSBU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 410 ayat (1) menggunakan format; |
j. |
rincian persyaratan Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42G ayat (1); |
k. |
alur tata cara Akreditasi asosiasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42H ayat (1); dan |
l. |
tata cara penilaian kineija sesaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (5), |
tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
|
|
35. |
Ketentuan Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 152
(1) |
Bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis dan denda administratif kepada usaha orang perseorangan yang tidak memiliki perizinan berusaha di wilayah masing-masing. |
(2) |
Besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sebesar 1% (satu persen) dari semua nilai Kontrak. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usaha orang perseorangan yang tidak dapat memenuhi salah satu kewajiban berupa kepemilikan perizinan berusaha dan pembayaran denda administratif, dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi hingga terpenuhi kewajiban. |
|
|
|
36. |
Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 153
(1) |
Bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis dan denda administratif kepada badan usaha yang tidak memiliki perizinan berusaha di wilayah masing-masing. |
(2) |
Besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sebesar 10% (sepuluh persen) dari semua nilai kontrak. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha yang tidak dapat memenuhi salah satu kewajiban berupa kepemilikan perizinan berusaha dan pembayaran denda administratif, dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi hingga terpenuhi kewajiban. |
|
|
|
37. |
Ketentuan Pasal 154 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154
(1) |
Menteri mengenakan sanksi peringatan tertulis dan denda administratif kepada badan usaha asing berbadan hukum Indonesia yang dibentuk dalam rangka kerja sama modal yang tidak memiliki perizinan berusaha. |
(2) |
Besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sebesar 10% (sepuluh persen) dari semua nilai Kontrak. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan usaha asing berbadan hukum Indonesia yang tidak memiliki perizinan berusaha atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi hingga terpenuhi kewajiban. |
|
|
|
38. |
Di antara ketentuan Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 154A dan Pasal 154B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 154A
(1) |
Menteri atas rekomendasi LPJK mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada LSBU yang tidak lagi memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajibannya. |
(2) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis, LSBU tidak dapat memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi pembekuan Lisensi. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LSBU tidak memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi pencabutan Lisensi. |
Pasal 154B
(1) |
Menteri atas rekomendasi LPJK mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada LSP yang tidak lagi memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajibannya. |
(2) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis, LSP tidak dapat memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) maka Menteri menyampaikan rekomendasi penghentian sementara Lisensi LSP kepada lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), LSP tidak memenuhi persyaratan dan/atau melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka Menteri menyampaikan rekomendasi pencabutan Lisensi LSP kepada lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja. |
|
|
|
39. |
Di antara ketentuan Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 157A
(1) |
Dalam hal asosiasi terbukti tidak lagi memenuhi syarat status Akreditasi yang ditetapkan, Menteri memberikan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. |
peringatan tertulis; |
b. |
pembekuan status Akreditasi; dan |
c. |
pencabutan status Akreditasi asosiasi. |
|
(3) |
Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dalam hal Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi melakukan pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42J ayat (2). |
(4) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42J ayat (2), Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi dikenai sanksi pembekuan Akreditasi. |
(5) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi tidak menjalankan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 J ayat (2), Asosiasi Badan Usaha dan Asosiasi Profesi terakreditasi dikenai sanksi pencabutan Akreditasi. |
|
|
|
40. |
Ketentuan Pasal 161 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 161
(1) |
Menteri, gubernur atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122, Pasal 129 dan Pasal 132, mengenakan sanksi peringatan tertulis dan sanksi penghentian sementara kegiatan Jasa Konstruksi kepada Pengguna Jasa yang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi untuk pembangunan kepentingan umum tanpa melalui Tender, Seleksi, atau katalog elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2). |
(2) |
Sanksi penghentian sementara kegiatan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sampai terpilihnya Penyedia Jasa melalui Tender atau Seleksi, atau katalog elektronik. |
|
|
|
41. |
Ketentuan Pasal 163 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 163
(1) |
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. |
(2) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis, Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa tidak memulai tindakan perbaikan untuk memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenai sanksi denda administratif dan penghentian sementara kegiatan Konstruksi. |
(3) |
Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar 5% (lima persen) dari nilai pekerjaan yang tidak sesuai dengan Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan. |
(4) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia Jasa telah memulai tindakan perbaikan untuk memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan, maka sanksi penghentian sementara dicabut dan Penyedia Jasa melanjutkan kegiatan Konstruksi. |
(5) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , Penyedia Jasa tidak memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan dan tidak membayar denda administratif maka dikenakan sanksi pencantuman dalam daftar hitam. |
(6) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pencantuman dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penyedia Jasa tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi pembekuan perizinan berusaha. |
(7) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan perizinan berusaha Bidang Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Penyedia Jasa telah memulai tindakan perbaikan untuk memenuhi Standar Keamanan, Keselamatan, Kesehatan, dan Keberlanjutan, maka sanksi pembekuan perizinan berusaha dicabut. |
(8) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan perizinan berusaha Bidang Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Penyedia Jasa tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi pencabutan perizinan berusaha. |
|
|
|
42. |
Ketentuan Pasal 164 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 164
(1) |
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis kepada Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa yang tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan. |
(2) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis, Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka dikenakan sanksi denda administratif dan penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi. |
(3) |
Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar 1% (satu persen) dari nilai Kontrak. |
(4) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi penghentian sementara kegiatan layanan Jasa Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penyedia Jasa telah memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan, maka sanksi penghentian sementara dicabut dan Penyedia Jasa melanjutkan kegiatan layanan Jasa Konstruksi. |
(5) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) , Penyedia Jasa tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan dan tidak membayar denda administratif maka dikenakan sanksi pencantuman dalam daftar hitam. |
(6) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pencantuman dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Penyedia Jasa tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan maka dikenakan sanksi pembekuan perizinan berusaha. |
(7) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Penyedia Jasa telah memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan maka sanksi pembekuan perizinan berusaha dicabut. |
(8) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Penyedia Jasa tidak memenuhi ketentuan pengesahan atau persetujuan maka dikenakan sanksi pencabutan perizinan berusaha dan pencabutan Sertifikat Badan Usaha. |
|
|
|
43. |
Di antara Pasal 168 dan Pasal 169 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 168A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 168A
(1) |
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota mengenakan sanksi peringatan tertulis dan denda administratif kepada Tenaga Kerja Konstruksi yang bekerja di bidang Jasa Konstruksi yang memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi yang tidak berpraktik sesuai dengan standar kompetensi kerja nasional Indonesia, standar internasional, dan/atau standar khusus. |
(2) |
Besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sebesar 10 (sepuluh) kali upah minimal Tenaga Kerja Konstruksi tersebut. |
(3) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi peringatan tertulis dan denda administratif, Tenaga Kerja Konstruksi tidak membayar sanksi denda administratif dan memperbaiki praktiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka dikenai sanksi pembekuan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(4) |
Apabila dalam jangka waktu pengenaan sanksi pembekuan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi, Tenaga Kerja Konstruksi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka sanksi dicabut dan melanjutkan kegiatan layanan Jasa Konstruksi. |
(5) |
Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari kalender sejak pengenaan sanksi pembekuan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi, Tenaga Kerja Konstruksi tidak membayar sanksi denda administratif dan memperbaiki praktiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka dikenai sanksi pencabutan Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(6) |
Tenaga Kerja Konstruksi yang dicabut Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus melakukan permohonan baru Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi paling cepat dalam waktu 3 (tiga) tahun. |
|
|
|
44. |
Di antara Pasal 176 dan Pasal 177 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 176A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 176A Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. |
LPJK yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi beserta peraturan pelaksanaannya, tetap menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; |
b. |
pengurus LPJK yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi tetap menjalankan tugas LPJK berdasarkan Peraturan Pemerintah ini sampai berakhirnya masa jabatan; |
c. |
pelaksanaan Akreditasi Asosiasi yang telah dilakukan sampai dengan tahap verifikasi dan validasi berkas asosiasi berdasarkan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, masih tetap dilaksanakan sampai dengan selesainya seluruh proses Akreditasi asosiasi; |
d. |
LSP yang telah beroperasi melaksanakan penyelenggaraan Sertifikasi Kompetensi Kerja Konstruksi harus melakukan permohonan rekomendasi Lisensi kepada Menteri melalui LPJK sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; |
e. |
konversi jenjang Kualifikasi jabatan pada Sertifikat Kompetensi Kerja Konstruksi dilakukan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; |
f. |
proses pengadaan barang/jasa pemerintah menggunakan informasi Sistem Informasi Jasa Konstruksi terintegrasi paling lambat 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; |
g. |
pengadaan Jasa Konstruksi yang telah dilakukan sampai dengan tahap perencanaan atau tahap persiapan, tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; |
h. |
pengadaan Jasa Konstruksi yang telah dilakukan sampai dengan tahap pelaksanaan berdasarkan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, masih tetap dilaksanakan sampai dengan selesainya seluruh kegiatan Jasa Konstruksi; |
i. |
pengadaan pekerjaan rancang dan bangun (design and build) yang telah dilakukan sampai dengan tahap perencanaan atau tahap persiapan berdasarkan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, tetap harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; |
j. |
pengadaan pekerjaan rancang dan bangun (design and build) yang telah dilakukan sampai dengan tahap pelaksanaan berdasarkan peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, masih tetap dilaksanakan sampai dengan selesainya seluruh kegiatan Jasa Konstruksi; dan |
k. |
Dalam hal Asosiasi Profesi terakreditasi dan lembaga pendidikan dan pelatihan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) telah membentuk LSP yang telah mendapatkan Lisensi dari lembaga independen yang mempunyai tugas melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, tetap dapat melaksanakan Sertifikasi Kompetensi Kerja di bidang Jasa Konstruksi dengan menyampaikan permohonan pencatatan kepada Menteri yang dilengkapi dengan:
1. |
surat penetapan Akreditasi Asosiasi Profesi oleh Menteri yang masih berlaku atau izin pendirian bagi lembaga pendidikan atau tanda daftar lembaga pelatihan kerja yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan; |
2. |
skema sertifikasi untuk setiap jabatan kerja bidang Jasa Konstruksi sesuai Lisensi; |
3. |
ketersediaan asesor sesuai subklasifikasi layanan Lisensi; |
4. |
sarana dan prasarana, tempat uji kompetensi sesuai dengan skema sertifikasi yang dimiliki; dan |
5. |
ruang lingkup Lisensi LSP. |
|
|
|
|
45. |
Di antara Pasal 178 dan Pasal 179 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 178A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 178A Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6494), tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini. |