Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2019

  • 29 Mei 2019
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 85/PMK.03/2019

TENTANG

MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN
DAN PENYETORAN PAJAK ATAS BELANJA YANG BERSUMBER DARI
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pengawasan terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak yang Dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah, telah diatur ketentuan mengenai mekanisme pengawasan terhadap pemotongan/pemungutan dan penyetoran pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah;
  2. bahwa untuk mendorong kepatuhan atas pemotongan/pemungutan dan penyetoran pajak atas belanja yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan penyampaian Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah/Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah serta penyesuaian terhadap perubahan mekanisme pembayaran pajak secara elektronik, perlu mengganti Peraturan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Mekanisme Pengawasan terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak atas Belanja yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4578);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4738);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973);
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115/PMK.05/2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 32/PMK.05/2014 tentang Sistem Penerimaan Negara Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1135);
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 74/PMK.07/2016 tentang Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 667);
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.07/2017 tentang Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam Bentuk Nontunai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 287);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 225/PMK.07/2017 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 50/PMK.07/2017 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1970);


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG MEKANISME PENGAWASAN TERHADAP PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK ATAS BELANJA YANG BERSUMBER DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:

  1. Pajak adalah pajak Pemerintah Pusat yang dipotong/dipungut oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah atas belanja yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang terdiri dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perpajakan.
  2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang selanjutnya disingkat APBD, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  3. Kepala Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali kota.
  4. Belanja Daerah adalah kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih.
  5. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  6. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
  7. Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPKD, adalah perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah selaku pengguna anggaran/barang, yang juga melaksanakan pengelolaan Keuangan Daerah.
  8. Pejabat Pengelola Keuangan Daerah, yang selanjutnya disingkat PPKD, adalah kepala SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
  9. Bendahara Umum Daerah, yang selanjutnya disingkat BUD, adalah PPKD yang bertindak dalam kapasitas sebagai BUD dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
  10. Kuasa Bendahara Umum Daerah, yang selanjutnya disebut Kuasa BUD, adalah pejabat di lingkungan SKPKD yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas BUD dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada BUD.
  11. Satuan Kerja Perangkat Daerah, yang selanjutnya disingkat SKPD, adalah perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah selaku pengguna anggaran/barang.
  12. Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan, yang selanjutnya disingkat PPTK, adalah pejabat pada unit kerja SKPD yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.
  13. Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat PA, adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya.
  14. Kuasa Pengguna Anggaran, yang selanjutnya disingkat KPA, adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian kewenangan pengguna anggaran dalam melaksanakan sebagian tugas dan fungsi SKPD.
  15. Bendahara Pengeluaran SKPD adalah pejabat fungsional yang ditunjuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan APBD pada SKPD.
  16. Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  17. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
  18. Bank Persepsi adalah bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan dalam rangka impor, yang meliputi penerimaan pajak, cukai dalam negeri, dan penerimaan negara bukan pajak.
  19. Pos Persepsi adalah kantor pos yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara.
  20. Nomor Transaksi Penerimaan Negara, yang selanjutnya disingkat NTPN, adalah nomor yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara yang diterbitkan melalui Modul Penerimaan Negara.
  21. Nomor Transaksi Bank, yang selanjutnya disingkat NTB, adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Bank.
  22. Nomor Transaksi Pos, yang selanjutnya disingkat NTP, adalah nomor bukti transaksi penyetoran penerimaan negara yang diterbitkan oleh Pos.
  23. Bukti Penerimaan Negara, yang selanjutnya disingkat BPN, adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan NTPN dan NTB/NTP sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran.
  24. Daftar Transaksi Harian Belanja Daerah, yang selanjutnya disebut DTH, adalah daftar yang dibuat oleh Bendahara ISU Pengeluaran SKPD dan Kuasa BUD yang memuat rincian transaksi harian Belanja Daerah per Surat Perintah Membayar/Surat Penyediaan Dana (SPM/SPD) dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
  25. Rekapitulasi Transaksi Harian Belanja Daerah, yang selanjutnya disebut RTH, adalah daftar yang dibuat oleh Kuasa BUD yang memuat rekapitulasi dari DTH dalam satu wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota.
  26. Modul Penerimaan Negara, yang selanjutnya disingkat MPN, adalah modul penerimaan yang memuat serangkaian prosedur mulai dari penerimaan, penyetoran, pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan yang berhubungan dengan penerimaan negara dan merupakan bagian dari Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara.
  27. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  28. Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
  29. Pemotongan/Pemungutan adalah kegiatan memotong/memungut Pajak yang terutang yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD dan PA/KPA SKPD sebagai pihak yang diberi wewenang untuk memotong/memungut Pajak untuk disetorkan ke Kas Negara berdasarkan ketentuan di bidang perpajakan.
  30. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan untuk membayar seluruh pengeluaran negara.
  31. Bukti Pemotongan Pajak, yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan, adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemotong Pajak sebagai bukti atas pemotongan Pajak yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak yang telah dipotong.
  32. Bukti Pemungutan Pajak, yang selanjutnya disebut Bukti Pemungutan, adalah dokumen berupa formulir atau dokumen lain yang dipersamakan, yang dibuat oleh Pemungut Pajak sebagai bukti atas pemungutan Pajak yang dilakukan dan menunjukkan besarnya Pajak yang telah dipungut.
  33. Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak adalah sistem elektronik yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka menerbitkan dan mengelola Kode Billing yang merupakan bagian dari Sistem Penerimaan Negara secara elektronik.
  34. Kode Billing adalah kode identifikasi yang diterbitkan melalui Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak atas suatu jenis pembayaran atau penyetoran Pajak.
  35. Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan, yang selanjutnya disingkat SP2DK, adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala KPP untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada Wajib Pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  36. Sistem Informasi Keuangan Daerah, yang selanjutnya disingkat SIKD, adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan serta mengolah data pengelolaan Keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.


BAB II
PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN DAN
PENYETORAN PAJAK ATAS BELANJA DAERAH

Pasal 2

(1) Dalam melaksanakan anggaran Belanja Daerah di setiap SKPD, Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PPTK mengajukan permintaan pembayaran atas transaksi pengeluaran kepada PA/KPA melalui Pejabat Penatausahaan Keuangan.
(2) Pengajuan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan atau mekanisme Pembayaran Langsung.
(3) Berdasarkan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PA/KPA mengajukan perintah membayar kepada Kuasa BUD.
(4) Berdasarkan perintah membayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kuasa BUD menerbitkan perintah pencairan dana.


Pasal 3

(1) Bendahara Pengeluaran SKPD menghitung dan memotong/memungut Pajak atas pembayaran dari dana Uang Persediaan yang dikelolanya.
(2) PA/KPA SKPD menghitung dan memotong/memungut Pajak atas transaksi pengeluaran yang dibayarkan dengan mekanisme Pembayaran Langsung.
(3) Dalam memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bendahara Pengeluaran SKPD dan PA/KPA SKPD melakukan konfirmasi kebenaran NPWP melalui sarana yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.


Pasal 4

(1) Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD menyetorkan hasil pemotongan/pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ke Kas Negara.
(2) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan per transaksi pengeluaran sesuai dengan ketentuan penyetoran Pajak yang berlaku, kecuali pengeluaran untuk belanja pegawai.
(3) Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak.


Pasal 5

(1) Penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan ke Kas Negara melalui Bank/Pos Persepsi atau sarana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembayaran pajak secara elektronik dengan mencantumkan Kode Billing.
(2) Untuk mendapatkan Kode Billing:
  1. Bendahara Pengeluaran SKPD melakukan perekaman data pemotongan/pemungutan Pajak pada Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak atas pembayaran dengan mekanisme Uang Persediaan;
  2. PA/KPA SKPD melakukan perekaman data pemotongan/pemungutan Pajak pada Sistem Billing Direktorat Jenderal Pajak atas pembayaran dengan mekanisme Langsung.
(3) Perekaman data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
  1. NPWP Bendahara Pengeluaran SKPD;
  2. NPWP rekanan, dalam hal terdapat pembayaran selain belanja pegawai;
  3. NIK rekanan, dalam hal rekanan merupakan orang pribadi yang tidak memiliki NPWP;
  4. Nomor Seri Faktur Pajak, dalam hal rekanan merupakan Pengusaha Kena Pajak;
  5. Kode SKPD; dan
  6. Nomor SPM.
(4) Atas penyetoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Bendahara Pengeluaran SKPD/Kuasa BUD menerima bukti setoran berupa BPN.
(5) BPN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai Bukti Pemotongan atau Bukti Pemungutan.


Pasal 6

(1) Direktorat Jenderal Pajak melakukan sosialisasi kepada Bendahara Pengeluaran SKPD, PA/KPA SKPD, dan Kuasa BUD mengenai pengawasan pemotongan/pemungutan dan penyetoran Pajak yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD.
(2) Dalam melakukan sosialisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Pajak dapat melibatkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.


BAB III
PENGUJIAN KEBENARAN PERHITUNGAN DAN
PENYETORAN PAJAK ATAS BELANJA DAERAH

Pasal 7

(1) DTH harus dibuat oleh:
  1. Bendahara Pengeluaran SKPD atas Belanja Daerah yang pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran pajaknya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD; dan
  2. Kuasa BUD atas Belanja Daerah yang penyetoran pajaknya dilakukan oleh Kuasa BUD.
(2) DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk informasi pada tabel data SIKD yang digunakan sebagai dasar penyusunan DTH.
(3) DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 8

(1) DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a disampaikan kepada Kuasa BUD.
(2) Penyampaian DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir.
(3) Dalam hal tanggal 10 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian DTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.


Pasal 9

(1) Berdasarkan DTH yang disampaikan oleh Bendahara Pengeluaran SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan DTH yang dibuat oleh Kuasa BUD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b, Kuasa BUD membuat RTH.
(2) RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

 

Pasal 10

(1) Kuasa BUD menyampaikan DTH dan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) serta informasi pada tabel data SIKD yang digunakan sebagai dasar penyusunan DTH kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melalui SIKD secara bulanan paling lama tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir.
(2) Dalam hal tanggal 20 setelah bulan yang bersangkutan berakhir jatuh pada hari libur atau hari kerja yang diliburkan, penyampaian DTH dan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
(3) Dalam hal Kuasa BUD tidak menyampaikan DTH dan RTH sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran DBH atau DAU untuk periode bulan atau tahap berikutnya.
(4) Penundaan penyaluran DBH atau DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan.
(5) Penundaan penyaluran DBH atau DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai DBH atau DAU tahap penyaluran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam hal Kuasa BUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah menyampaikan DTH dan RTH, Menteri Keuangan menyalurkan kembali DBH atau DAU yang ditunda kepada Daerah yang bersangkutan.
(7) Penyaluran kembali DBH atau DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan.


Pasal 11

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan:

  1. DTH dan RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) pada akhir bulan setelah bulan yang bersangkutan berakhir;
  2. data APBD per SKPD per jenis belanja pada bulan Februari tahun anggaran bersangkutan;
  3. data perubahan APBD per SKPD per jenis belanja pada bulan Agustus tahun anggaran bersangkutan; dan
  4. data realisasi APBD per SKPD per jenis belanja per triwulan pada akhir bulan setelah triwulan yang bersangkutan berakhir

kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Sistem Layanan Data Kementerian Keuangan.



Pasal 12

(1) KPP melakukan pengujian kebenaran perhitungan dan penyetoran Pajak berdasarkan:
  1. hasil perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah;
  2. DTH yang dibuat oleh Bendahara Pengeluaran SKPD;
  3. DTH yang dibuat oleh Kuasa BUD;
  4. RTH yang dibuat oleh Kuasa BUD; dan
  5. BPN.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perhitungan potensi Pajak atas Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan tata cara penyetoran Pajak secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.


Pasal 13

Dalam hal terdapat ketidaksesuaian pemotongan/pemungutan dan/atau penyetoran Pajak berdasarkan hasil pengujian kebenaran perhitungan dan penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), KPP melakukan konfirmasi kebenaran perhitungan dan penyetoran Pajak dengan menyampaikan SP2DK kepada Kepala SKPD melalui Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD.



Pasal 14

(1) Dalam hal hasil pengujian kebenaran perhitungan dan penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan/atau konfirmasi kebenaran perhitungan dan penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 masih terdapat selisih kurang Pajak yang belum dipotong/dipungut dan/atau disetor oleh Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD, KPP dapat melakukan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPP dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau meneruskan dengan usulan pemeriksaan bukti permulaan.


BAB IV
PELUNASAN PAJAK TERUTANG

Pasal 15

(1) Dalam hal diterbitkan SKPKB atau SKPKBT berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara.
(2) Pelunasan dan penagihan atas kewajiban Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
(3) Apabila Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD tidak menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala KPP menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepala Daerah.
(4) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala KPP menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(5) Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah meminta Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD untuk segera menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara.
(6) Berdasarkan tembusan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan daftar Bendahara Pengeluaran SKPD dan/atau PA/KPA SKPD yang tidak menyetor kewajiban Pajak terutang beserta sanksinya ke Kas Negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.


BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 16

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.05/2013 tentang Mekanisme Pengawasan terhadap Pemotongan/Pemungutan dan Penyetoran Pajak yang Dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran Satuan Kerja Perangkat Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 438), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 17

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2019
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI


Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 31 Mei 2019

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 619