TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 262/PMK.03/2010
TENTANG
TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS,
ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG
MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 BAGI PEJABAT NEGARA, PNS, ANGGOTA TNI, ANGGOTA POLRI, DAN PENSIUNANNYA ATAS PENGHASILAN YANG MENJADI BEBAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ATAU ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
PENGHASILAN YANG DIKENAI PPh PASAL 21
Pasal 2
(1) | PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD. | ||||||||||
(2) | Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi:
|
||||||||||
(3) | Termasuk dalam pengertian gaji, uang pensiun, dan tunjangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah gaji, uang pensiun, dan tunjangan ke-13 (ketiga belas). |
Pasal 3
Atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD, dipotong PPh Pasal 21 dan bersifat final, tidak termasuk biaya perjalanan dinas.
Pasal 4
Dalam hal penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diterima dalam mata uang asing, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut.
BAB III
DASAR PENGENAAN PPh PASAL 21
Pasal 5
(1) | Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah Penghasilan Kena Pajak. |
(2) | Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan penghasilan neto dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak. |
(3) | Besarnya Penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI ditentukan berdasarkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan:
|
(4) | Besarnya penghasilan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi pensiunan ditentukan berdasarkan seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dikurangi dengan biaya pensiun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang biaya pensiun. |
Pasal 6
Dasar pengenaan PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah penghasilan bruto.
Pasal 7
(1) | Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan atau Peraturan Menteri Keuangan mengenai penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan. |
(2) | Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak bagi wanita berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
(3) | Dalam hal wanita kawin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan yang menyatakan suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk dirinya sendiri ditambah Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk status kawin dan Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang. |
(4) | Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun kalender. |
BAB IV
TARIF PEMOTONGAN PAJAK DAN PENETAPANNYA
Pasal 8
(1) | Tarif pajak berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1). |
(2) | Jumlah Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibulatkan ke bawah hingga ribuan rupiah penuh. |
(3) | Untuk perhitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong setiap Masa Pajak, selain Masa Pajak Desember atau Masa Pajak terakhir, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan atas perkiraan penghasilan yang akan diperoleh selama 1 (satu) tahun, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(4) | Masa Pajak terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah Masa Pajak tertentu dimana Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI terakhir bekerja. |
(5) | Jumlah PPh Pasal 21 yang harus dipotong untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah:
|
(6) | Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI mulai bekerja sebagai Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI setelah bulan Januari, banyaknya bulan yang menjadi faktor pengali sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau faktor pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah jumlah bulan tersisa dalam tahun kalender sejak yang bersangkutan mulai bekerja atau mulai pensiun. |
(7) | Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak Desember adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak selama 1 (satu) tahun takwim dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. |
(8) | Besarnya PPh Pasal 21 yang dipotong untuk Masa Pajak terakhir adalah selisih antara Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan dengan akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang pada Masa Pajak-Masa Pajak sebelumnya dalam tahun takwim yang bersangkutan. |
(9) | Tidak termasuk dalam akumulasi PPh Pasal 21 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) adalah tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). |
(10) | Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI menerima tambahan penghasilan yang bersifat tetap dan teratur setiap bulan yang pembayarannya terpisah dari pembayaran gaji, maka penghitungan PPh Pasal 21 atas tambahan penghasilan tersebut harus memperhitungkan jumlah seluruh penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI atau Anggota POLRI yang bersangkutan. |
Pasal 9
Tarif PPh Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain dengan nama apa pun yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, adalah sebagai berikut:
Pasal 10
(1) | Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD dikenai tarif PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak. |
(2) | Tambahan PPh Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dan dipotong dari penghasilan yang diterima Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya. |
(3) | Pengenaan tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya belum memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak pada saat permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur setiap bulan diajukan. |
(4) | Pemotongan atas tambahan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh bendahara pemerintah pada saat pembayaran penghasilan tetap dan teratur yang diterima setiap bulan. |
(5) | Kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak dibuktikan oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya dengan memberikan fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak kepada bendahara pemerintah. |
(6) | Bagi wanita kawin yang tidak memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuktikan dengan memberikan:
|
BAB V
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 11
(1) | Bendahara pemerintah yang melakukan pemotongan PPh Psl 21 adalah bendahara pengeluaran pada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota. |
(2) | Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
|
(3) | Kewajiban menghitung, memotong, dan melaporkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap dilakukan terhadap penghasilan yang dikenai tarif PPh Pasal 21 sebesar 0% (nol persen). |
(4) | Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap berlaku, dalam hal jumlah pajak yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil. |
Pasal 12
(1) | Pelaksanaan pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pensiunan dilakukan oleh badan yang ditunjuk sesuai peraturan perundang-undangan untuk melakukan pembayaran penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c. |
(2) | Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) berlaku bagi badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pasal 13
(1) | Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kelebihan perhitungan atas PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah, kelebihan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh pemerintah pada bulan berikutnya melalui Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21. |
(2) | Dalam hal dalam suatu Masa Pajak terjadi kesalahan pemotongan atas PPh Pasal 21 yang bersifat Final dari penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain sehingga terdapat kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final, kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 yang bersifat final tersebut dikembalikan sesuai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. |
Pasal 14
(1) | Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang Ditanggung Pemerintah kepada Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir. |
(2) | Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI dan Anggota POLRI berhenti bekerja sebelum berakhirnya tahun kalender, bukti pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diberikan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan berhenti bekerja. |
(3) | Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun paling lama pada akhir bulan dilakukannya pembayaran penghasilan tersebut. |
Pasal 15
(1) | PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib disetor ke Kantor Pos atau bank yang ditunjuk Menteri Keuangan, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib melaporkan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 21 untuk setiap Masa Pajak yang dilakukan melalui penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 terdaftar, dalam jangka waktu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. |
BAB VI
KEWAJIBAN PEMOTONGAN PAJAK
Pasal 16
(1) | Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunan wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada:
|
(2) | Apabila Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, atau Anggota POLRI berhenti bekerja, pindah, atau pensiun pada bagian tahun kalender, maka Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tempat bekerja yang lama wajib menyampaikan Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) kepada Bendahara pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan badan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
|
Pasal 17
PPh Pasal 21 yang ditanggung oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan PPh Pasal 21 yang dipotong dengan tarif yang lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi.
Pasal 18
Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya, menerima atau memperoleh penghasilan lain yang tidak dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final, di luar penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD, penghasilan lain tersebut digunggungkan dengan penghasilan tetap dan teratur setiap bulan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 19
Tata cara penghitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan honorarium atau imbalan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang diterima oleh Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya sesuai petunjuk umum dan contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
Pasal 20
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, atas permintaan pembayaran penghasilan tetap dan teratur untuk bulan Januari 2011 yang telah dilakukan pemrosesan pada bulan Desember 2010, pengenaan PPh Pasal 21 dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan Para Pensiunan Atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
Pasal 21
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 636/KMK.04/1994 tentang Pengenaan Pajak Penghasilan bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 22
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal pada tanggal 1 Januari 2011
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangannya Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI KEUANGAN
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 601