Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24 TAHUN 2024

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2024

TENTANG

TATA CARA PENUNDAAN DAN/ATAU PEMOTONGAN PENYALURAN DANA
TRANSFER KE DAERAH ATAS PEMENUHAN BELANJA WAJIB DALAM
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa daerah otonom diwajibkan untuk mengalokasikan belanja wajib untuk mendanai urusan pemerintahan daerah yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional;
  2. bahwa daerah yang tidak melaksanakan kewajiban pengalokasian belanja wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat dikenai sanksi penundaan dan/atau pemotongan penyaluran dana transfer ke daerah yang tidak ditentukan penggunaannya;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 50 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pemotongan Penyaluran Dana Transfer ke Daerah atas Pemenuhan Belanja Wajib dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan  Keuangan  Daerah  (Lembaran  Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6883);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6906);
  8. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 /PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik  Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENUNDAAN DAN/ATAU PEMOTONGAN PENYALURAN DANA TRANSFER KE DAERAH ATAS PEMENUHAN BELANJA WAJIB DALAM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas- batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
3. Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah.
5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
6. Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
7.  Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara baik di kantor pusat maupun kantor Daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
9.   Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
10. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
11. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
12.  Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah pusat dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
13. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
14. Belanja Wajib adalah Belanja Daerah untuk mendanai urusan pemerintahan daerah yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
15.  Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
16. Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
17.  Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
18. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
19. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
20. Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.
21. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
22.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
23. Casu quo yang selanjutnya disingkat cq adalah singkatan yang digunakan untuk menerangkan dan/atau menunjukkan pihak secara lebih detail, spesifik, atau khusus.


BAB II
PEMENUHAN BELANJA WAJIB

Pasal 2

(1) Pemerintah Daerah wajib menganggarkan Belanja Wajib dalam APBD dan/atau perubahan APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Belanja Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. belanja pendidikan;
b. belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD;
c. belanja infrastruktur pelayanan publik; dan
d. Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) APBD dan/atau perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk APBD dan/atau perubahan APBD yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 3

(1) Belanja pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total Belanja Daerah yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
(2) Belanja pendidikan  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) merupakan belanja yang dilaksanakan dalam rangka menghasilkan  keluaran  untuk  menunjang  fungsi pendidikan yang dianggarkan pada APBD tahun anggaran berkenaan.

   

Pasal 4

(1) Belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari total Belanja Daerah yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
(2) Belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jenis belanja pegawai dalam APBD berupa kompensasi yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD.
(3) Dalam hal persentase belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD telah melebihi 30% (tiga puluh persen) dari alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah harus menyesuaikan porsi belanja pegawai yang dialokasikan melalui TKD paling lambat pada tahun anggaran 2027.
(4) Penyesuaian porsi belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara bertahap dengan berpedoman pada klasterisasi yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur sipil negara dan reformasi birokrasi.
(5) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.


Pasal 5

(1) Belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total Belanja Daerah yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan, di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa.
(2) Belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan belanja infrastruktur Daerah yang langsung terkait dengan percepatan pembangunan dan/atau pemeliharaan fasilitas pelayanan publik yang berorientasi pada pembangunan ekonomi Daerah dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi kesenjangan penyediaan layanan publik antar Daerah.
(3) Belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk belanja operasionalisasi penggunaan fasilitas pelayanan publik dan belanja yang menghasilkan keluaran untuk menunjang ketersediaan infrastruktur pelayanan publik yang dianggarkan pada APBD tahun anggaran berkenaan.
(4) Dalam hal persentase belanja infrastruktur pelayanan publik belum mencapai 40% (empat puluh persen) dari alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah harus menyesuaikan porsi belanja infrastruktur pelayanan publik paling lambat pada tahun anggaran 2027.
(5) Penyesuaian porsi belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan secara bertahap dengan berpedoman pada klasterisasi yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan menteri teknis terkait dengan mempertimbangkan minimal arah pembangunan infrastruktur nasional yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah.
(6) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.
(7) Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), penyusunan klasterisasi juga mempertimbangkan kondisi infrastruktur Daerah dan kapasitas fiskal Daerah.


Pasal 6

(1)  Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d meliputi:
a. Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB paling rendah 10% (sepuluh persen);
b. Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik paling rendah 10% (sepuluh persen);
c. Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota paling rendah 50% (lima puluh persen); dan
d. Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT paling rendah 10% (sepuluh persen),
yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan.
(2) Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PKB dan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk mendanai pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(3) Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk mendanai penyediaan penerangan jalan umum yang meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(4) Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara Pemerintah Daerah dan badan usaha.
(5) Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Rokok.
(6) Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk mendanai pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah kabupaten/kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur serapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.


BAB III
EVALUASI DAN PENUNDAAN TKD

Bagian Kesatu
Evaluasi Pemenuhan Belanja Wajib

Pasal 7

(1) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan cq:
a. Direktorat Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan evaluasi atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c; dan
b. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melakukan evaluasi atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d,
dalam APBD tahun anggaran berkenaan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak data APBD diterima dari Direktorat Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer.
(2) Data APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan data APBD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktorat Sistem Informasi dan Pelaksanaan Transfer, yang diterima melalui sistem informasi keuangan Daerah paling lambat pada hari kerja terakhir pada minggu kedua bulan Maret.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara menghitung besaran Belanja Wajib yang dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan dibandingkan dengan besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 6.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan data APBD sesuai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah dianggap:
a. tidak menganggarkan belanja pendidikan;
b. menganggarkan keseluruhan belanja APBD tahun sebelumnya di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, sebagai alokasi belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD;
c. tidak menganggarkan belanja infrastruktur pelayanan publik; dan
d. tidak menganggarkan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya,
dalam APBD tahun anggaran berkenaan.
(5) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan data APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
a. selisih kurang belanja pendidikan;
b. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD;
c. selisih kurang belanja infrastruktur pelayanan publik; dan/atau
d. selisih kurang Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya,
dihitung berdasarkan Belanja Wajib yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun anggaran sebelumnya.
(6) Dalam hal data APBD yang disampaikan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilengkapi dengan informasi sumber pendanaan yang berasal dari hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Pemerintah Daerah dianggap tidak menganggarkan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya.
(7) Dalam hal Pemerintah Daerah menyampaikan data APBD yang tidak dilengkapi dengan informasi sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), selisih kurang Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dihitung berdasarkan belanja wajib yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berkenaan.
(8) Penghitungan alokasi belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan terhadap Belanja Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan keuangan Daerah.


Pasal 8

(1) Dalam rangka melaksanakan evaluasi belanja pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dalam APBD, ditetapkan penandaan rincian belanja pendidikan dalam Keputusan Menteri.
(2) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.
(3) Pemerintah Daerah harus mengidentifikasi belanja dalam APBD tahun anggaran berkenaan yang masuk ke belanja pendidikan dengan berpedoman pada Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian belanja pendidikan.
(4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan evaluasi pemenuhan belanja pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a berdasarkan Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian belanja pendidikan.


Pasal 9

Dalam rangka evaluasi belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dalam APBD, Pemerintah Daerah harus mengidentifikasi belanja dalam APBD tahun anggaran berkenaan yang masuk ke belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.



Pasal 10

(1) Dalam rangka melaksanakan evaluasi belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dalam APBD, ditetapkan penandaan rincian belanja infrastruktur pelayanan publik dalam Keputusan Menteri.
(2) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.
(3) Pemerintah Daerah harus mengidentifikasi belanja dalam APBD tahun anggaran berkenaan yang masuk ke belanja infrastruktur pelayanan publik dengan berpedoman pada Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian belanja infrastruktur pelayanan publik.
(4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan evaluasi pemenuhan belanja infrastruktur pelayanan publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a berdasarkan Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian belanja infrastruktur pelayanan publik.


Pasal 11

(1) Dalam rangka melaksanakan evaluasi Belanja Wajib dari hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (6) dalam APBD, ditetapkan penandaan rincian Belanja Wajib dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam Keputusan Menteri.
(2) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.
(3) Pemerintah Daerah harus mengidentifikasi hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dan Belanja Wajib yang harus dialokasikan dengan berpedoman pada Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian Belanja Wajib dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya.
(4) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melakukan evaluasi pemenuhan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b berdasarkan pada Keputusan Menteri mengenai penetapan penandaan rincian Belanja Wajib dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya.
(5) Hasil evaluasi pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum hari kerja terakhir bulan Maret tahun anggaran berkenaan.


Bagian Kedua
Konfirmasi, Tanggapan, dan Evaluasi Kembali

Pasal 12

(1) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 menunjukkan besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam APBD tahun anggaran berkenaan tidak memenuhi besaran yang seharusnya dianggarkan dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 6, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah menyampaikan surat konfirmasi kepada Pemerintah Daerah paling lambat pada hari kerja terakhir bulan Maret tahun anggaran berkenaan.
(2) Surat konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal memuat:
a. besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya yang dianggarkan dan yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan;
b. selisih kurang belanja pendidikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dari yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan; dan/atau
c. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dari yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan.


Pasal 13

(1) Berdasarkan surat konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dalam hal Pemerintah Daerah tidak sependapat dengan:
a. selisih kurang belanja pendidikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf b; dan/atau
b. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf c,
Pemerintah Daerah menyampaikan surat tanggapan kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah.
(2) Surat tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan data atau informasi bukti pendukung penghitungan besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya.
(3) Penyampaian surat tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam format portable document format melalui surat elektronik resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang diterima paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak penyampaian surat konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

 


Pasal 14

(1) Berdasarkan surat tanggapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan cq:
a. Direktorat Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan evaluasi kembali atas belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, dan/atau belanja infrastruktur pelayanan publik; dan/atau
b. Direktorat Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melakukan evaluasi kembali atas Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b atau hasil evaluasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh kesimpulan Pemerintah Daerah masih belum memenuhi persentase Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyampaikan usulan permintaan penundaan penyaluran TKD kepada Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak batas akhir diterimanya surat tanggapan dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).

 


Bagian Ketiga
Rekomendasi atas Hasil Evaluasi

Pasal 15

(1) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau evaluasi kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diperoleh kesimpulan Pemerintah Daerah belum memenuhi persentase Belanja Wajib, Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah menyampaikan usulan permintaan penundaan penyaluran TKD kepada Direktur Dana Transfer Umum paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak batas akhir diterimanya surat tanggapan dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3).
(2) Penyampaian usulan permintaan penundaan penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri cq Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah dan kementerian teknis terkait.
(3) Penundaan penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.
(4) Usulan permintaan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. nama  Daerah;
b. besaran  belanja  pendidikan,  belanja  pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya yang dianggarkan dan yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan;
c. selisih:
1. kurang belanja pendidikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dari yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan; dan/atau
2. lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dari yang seharusnya dianggarkan dalam APBD tahun berkenaan; dan
d. usulan besaran penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.
(5) Berdasarkan usulan permintaan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Dana Transfer Umum memberikan persetujuan atau penolakan penundaan penyaluran TKD kepada Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterimanya usulan permintaan penundaan.
(6) Pemberian persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang lain;
b. pagu alokasi;
c. besaran penyaluran periode bersangkutan;
d. kurang bayar DBH dan/atau lebih  bayar DBH;
e. ruang fiskal; dan
f. kondisi tertentu pada Daerah bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf f berupa bencana alam, bencana nonalam, kejadian luar biasa, kerusuhan sosial yang berdampak besar, dan/atau pemilihan umum.
(8) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit memuat:
a. nama Daerah;
b. besaran dan periode penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya; dan
c. jenis DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang dilakukan penundaan penyaluran.
(9)  Besaran penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b paling banyak 100% (seratus persen) atau paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari:
a. selisih kurang belanja pendidikan;
b. selisih kurang belanja infrastruktur pelayanan publik;
c. selisih kurang Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya; dan/atau
d. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD,
yang seharusnya dianggarkan dalam APBD.
(10) Periode penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk penyaluran DAU setiap bulan, dilaksanakan mulai bulan Juni paling sedikit sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda;
b. untuk penyaluran DAU bulan Juni dan/atau DBH triwulan III, dilaksanakan secara sekaligus sebesar DAU dan/atau DBH yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda; atau
c. untuk penyaluran DBH triwulan III dan triwulan IV, dilaksanakan masing-masing sebesar 50% (lima puluh persen) dari DBH yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda.


Pasal 16

Dalam hal Pemerintah Daerah belum memenuhi kewajiban pemenuhan belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dan belanja infrastruktur pelayanan publik berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 atau evaluasi kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, untuk tahun anggaran 2024 sampai dengan tahun anggaran 2027, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan koordinasi dengan Daerah dalam rangka pemenuhan klasterisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5.



Bagian Keempat
Penundaan Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau
Dana Alokasi Umum yang 
Tidak Ditentukan Penggunaannya

Pasal 17

(1) Berdasarkan persetujuan atas usulan permintaan penundaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5), Direktur Jenderal Perimbangan cq Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah menyusun Keputusan Menteri mengenai penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan Belanja Wajib.
(2) Penetapan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri paling lambat tanggal 14 Mei.
(3) Dalam hal tanggal 14 Mei bertepatan dengan hari libur nasional atau hari yang diliburkan, batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada hari kerja berikutnya.
(4) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama  Daerah;
b. jenis dan jumlah DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda; dan
c. besaran penundaan setiap periode penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.
(5) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum, Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan Kepala Daerah bersangkutan.

  

Pasal 18

(1) Berdasarkan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum menyusun dan/atau memberikan rekomendasi penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya kepada Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD untuk disampaikan kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
(2) Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melakukan penundaan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.

   

Pasal 19

(1) Berdasarkan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), Pemerintah Daerah melakukan perubahan APBD tahun anggaran berjalan berdasarkan:
a. selisih kurang belanja pendidikan;
b. selisih kurang belanja infrastruktur pelayanan publik;
c. selisih kurang Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya; dan/atau
d. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD.
(2) Perubahan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Daerah dan disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Menteri cq Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat pada hari kerja terakhir minggu ketiga bulan September.

 

Bagian Kelima
Ketentuan Bagi Pemerintah Daerah yang melewati Batas
Waktu Penyampaian Data APBD


Pasal 20

(1) Dalam hal Pemerintah Daerah menyampaikan data APBD melebihi 10 (sepuluh) hari kerja sejak penyampaian surat konfirmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), evaluasi pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berkenaan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara evaluasi atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 ayat (4) berlaku secara mutatis mutandis terhadap evaluasi atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam APBD:
a. telah terpenuhi, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyampaikan usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda; atau
b. belum terpenuhi, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyampaikan ketentuan sanksi penundaan atas pemenuhan belanja wajib tetap berlaku,
kepada Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah evaluasi selesai dilaksanakan.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam APBD telah terpenuhi, Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah menyampaikan usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda kepada Direktur Dana Transfer Umum selaku KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum paling lama 5 (lima) hari kerja setelah evaluasi selesai dilaksanakan.
(5) Berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Dana Transfer Umum selaku KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum menyampaikan rekomendasi penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya kepada koordinator KPA BUN Penyaluran TKD.
(6) Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menyampaikan rekomendasi penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
(7) Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melakukan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.
(8) Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam APBD belum memenuhi, sanksi penundaan atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tetap berlaku dan Pemerintah Daerah harus melakukan perubahan APBD sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.

  


Bagian Keenam
Evaluasi dan Tindak Lanjut atas Pemenuhan Belanja Wajib
dalam Perubahan APBD


Pasal 21

(1) Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan cq:
a. Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah melakukan evaluasi atas pemenuhan belanja pendidikan, belanja Pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, dan/atau belanja infrastruktur pelayanan publik; dan
b. Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melakukan evaluasi atas pemenuhan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya,
dalam perubahan APBD tahun anggaran berjalan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung setelah perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan/atau Pasal 20 ayat (8) diterima.
(2) Ketentuan mengenai tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 ayat (4) berlaku secara mutatis mutandis terhadap evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. nama Daerah;
b. besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya yang dianggarkan dan yang seharusnya dianggarkan dalam perubahan APBD; dan
c. selisih:
1. kurang belanja pendidikan, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dari yang seharusnya dianggarkan dalam perubahan APBD; dan/atau
2. lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dari yang seharusnya dianggarkan dalam perubahan APBD.
(4) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBD:
a. terpenuhi, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyampaikan usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda; atau
b. belum terpenuhi, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyampaikan ketentuan sanksi penundaan atas pemenuhan belanja wajib tetap berlaku,
kepada Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah evaluasi selesai dilaksanakan.
(5) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBD belum terpenuhi, sanksi penundaan atas pemenuhan Belanja Wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) tetap berlaku.
(6) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besaran belanja pendidikan, belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD, belanja infrastruktur pelayanan publik, dan/atau Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya dalam perubahan APBD terpenuhi, Direktur Pembiayaan dan Perekonomian Daerah menyampaikan usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda kepada Direktur Dana Transfer Umum selaku KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung setelah evaluasi selesai dilaksanakan.
(7) Usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit memuat:
a. nama Daerah; dan
b. jumlah penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda.


Bagian Ketujuh
Penyaluran Kembali dan/atau Pemotongan

Pasal 22

(1) Berdasarkan usulan permintaan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (6), Direktur Dana Transfer Umum selaku KPA BUN Pengelola Dana Transfer Umum menyampaikan rekomendasi penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya kepada koordinator KPA BUN Penyaluran TKD untuk disampaikan kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
(2) Berdasarkan rekomendasi penyaluran kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melaksanakan penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda.
(3) Penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara sekaligus sebesar DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda pada periode sesuai yang tercantum pada rekomendasi penyaluran kembali.


Pasal 23

(1) Dalam hal sampai dengan hari kerja terakhir minggu ketiga bulan September sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2):
a. berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Pemerintah Daerah tidak melakukan perubahan anggaran berdasarkan:
1. selisih kurang belanja pendidikan;
2. selisih kurang belanja infrastruktur pelayanan publik;
3. selisih kurang Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya; dan/atau
4. selisih lebih belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD,
dalam perubahan APBD tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf c; dan/atau
b. Pemerintah Daerah tidak menyampaikan perubahan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2),
DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang telah ditunda dapat dilaksanakan penyaluran kembali dan/atau pemotongan.
(2) Penyaluran kembali DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara sekaligus sebesar DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya yang ditunda paling lambat dua hari kerja sebelum akhir tahun anggaran berjalan.
(3) Tata cara pemotongan DBH dan/atau DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai pengelolaan DBH dan/atau DAU.


BAB IV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.07/2020 tentang Tata Cara Penundaan Penyaluran Dana Transfer Umum atas Pemenuhan Kewajiban Pemerintah Daerah untuk Mengalokasikan Belanja Wajib (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1560), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.



Pasal 25

Ketentuan mengenai evaluasi pemenuhan Belanja Wajib yang didanai dari hasil penerimaan Pajak yang telah ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 23 dilaksanakan mulai tahun anggaran 2025.



Pasal 26

Penundaan dan/atau pemotongan penyaluran DBH dan/atau DAU yang tidak ditentukan penggunaannya untuk pemenuhan belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dan belanja infrastruktur pelayanan publik dilaksanakan mulai tahun anggaran 2028.



Pasal 27

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 April 2024
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Mei 2024
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ASEP N. MULYANA
 



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 235