E. |
Materi
1. |
Definisi Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
a. |
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. |
b. |
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian bilateral, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional, yang disepakati antara dua negara atau yurisdiksi untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. |
c. |
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Negara Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam P3B. |
d. |
P3B antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra yang berlaku efektif yang selanjutnya disebut P3B Indonesia adalah P3B yang disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak dan berlaku efektif. |
e. |
Negara atau Yurisdiksi Pihak dalam Persetujuan (a Contracting State) yang selanjutnya disebut Negara Pihak dalam Persetujuan adalah salah satu negara atau yurisdiksi yang terikat dalam P3B. |
f. |
Negara atau Yurisdiksi Pihak lainnya dalam Persetujuan (the other Contracting State) yang selanjutnya disebut Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan adalah negara atau yurisdiksi pihak lainnya yang terikat dalam P3B. |
g. |
Pejabat yang Berwenang (Competent Authority) yang selanjutnya disebut Pejabat yang Berwenang adalah pejabat yang berwenang mewakili Pemerintah Republik Indonesia atau pemerintah Negara Mitra di bidang perpajakan dalam rangka pembentukan, perubahan, dan pelaksanaan P3B. |
h. |
Orang (persons) adalah orang pribadi dan badan. |
i. |
Penduduk atau Subjek Pajak Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat SPDN adalah Orang yang, berdasarkan perundang-undangan suatu Negara Pihak dalam Persetujuan, dapat dikenai pajak berdasarkan domisili, tempat tinggal, tempat pendirian, tempat manajemen atau kriteria lain yang sifatnya serupa, dan juga termasuk Negara Pihak dalam Persetujuan tersebut dan setiap bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya, tetapi tidak termasuk Orang yang dikenai pajak di Negara Pihak dalam Persetujuan tersebut semata-mata karena penghasilannya bersumber dari Negara Pihak dalam Persetujuan tersebut atau bersumber dari harta yang berada di Negara Pihak dalam Persetujuan tersebut. |
j. |
Negara Domisili adalah negara atau yurisdiksi tempat Orang menjadi SPDN. |
k. |
Negara Sumber adalah negara atau yurisdiksi tempat suatu penghasilan bersumber. |
|
2. |
Informasi Umum
a. |
Surat Edaran Direktur Jenderal ini berisi penjelasan pengaturan atau ketentuan pasal per pasal yang umumnya terdapat dalam P3B Indonesia. Mengingat luasnya jaringan P3B Indonesia dan untuk pertimbangan kemudahan dan kepraktisan, penjelasan pengaturan atau ketentuan pasal per pasal yang terdapat di dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini tidak dimaksudkan untuk dapat selalu diterapkan secara khusus ke dalam suatu transaksi atau P3B tertentu. Penerapan ketentuan dalam suatu P3B Indonesia yang berlaku atas suatu transaksi harus mempertimbangkan Negara Mitra tempat di mana SPDN berdomisili dan di mana suatu jenis penghasilan bersumber. Dengan demikian, petunjuk umum yang terdapat dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini hanya dapat diterapkan untuk P3B Indonesia yang pengaturan atau ketentuannya secara substansi sama dengan pengaturan atau ketentuan yang dijadikan rujukan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini. Untuk pengaturan atau ketentuan P3B Indonesia yang secara substansi berbeda, penerapannya dilakukan sesuai dengan maksud dan tujuan pengaturan atau ketentuan P3B Indonesia yang berbeda tersebut. |
b. |
P3B Indonesia yang berlaku efektif pada umumnya mengacu kepada dua model P3B utama, yaitu Model Organization for Economic Co-Operation and Development (OECD Model Tax Convention) dan Model United Nations (UN Model Double Convention between Developed and Developing Countries). Namun demikian, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra juga dapat bersepakat untuk membentuk pengaturan atau ketentuan yang berbeda dengan pengaturan atau ketentuan dalam kedua model P3B utama tersebut sesuai dengan posisi runding dasar dan kepentingan nasional masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan. |
c. |
Dalam beberapa P3B Indonesia, interpretasi dan penerapan ketentuan dalam P3B selain memperhatikan ketentuan dalam batang tubuh P3B juga harus memperhatikan tambahan pengaturan di luar batang tubuh P3B, antara lain:
1) |
Protokol (protocol), yaitu suatu instrumen yang memiliki fungsi antara lain:
a) |
memberikan penjelasan yang lebih rinci atas pengaturan yang ada di dalam batang tubuh P3B Indonesia, misalnya Protokol penjelasan yang terdapat dalam P3B Indonesia dengan India yang ditandatangani pada tanggal 27 Juli 2012 di New Delhi; atau |
b) |
mengubah ketentuan yang ada di P3B Indonesia yang telah disepakati sebelumnya, misalnya Protokol perubahan yang terdapat dalam P3B Indonesia dengan Belanda yang ditandatangani pada tanggal 29 Januari 2002 di Jakarta; |
|
2) |
Nota Pertukaran (Exchange of Notes) atau Surat Pertukaran (Exchange of Letters), yaitu pemberitahuan resmi tentang posisi yang telah disetujui bersama antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra mengenai suatu pengaturan atau ketentuan yang terdapat dalam P3B Indonesia, misalnya Nota Pertukaran sehubungan dengan P3B Indonesia dengan Singapura yang dipertukarkan pada tanggal 8 Mei 1990 di Singapura dan Surat Pertukaran sehubungan dengan P3B Indonesia dengan Hungaria yang dipertukarkan pada tanggal 19 Oktober 1989 di Jakarta; dan |
3) |
Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding), yaitu nota kesepahaman atas suatu pokok pembahasan ketentuan dalam P3B Indonesia yang disetujui bersama antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra, misalnya Nota Kesepahaman sehubungan dengan P3B Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok yang ditandatangani pada tanggal 26 Maret 2015 di Beijing. |
|
d. |
Indonesia telah menandatangani Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba (Multilateral Instrument to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting) atau MLI pada tanggal 7 Juni 2017 dan juga telah menyampaikan instrumen ratifikasi atas MLI tersebut kepada Sekretaris Jenderal Organisation for the Economic Cooperation and Development (OECD) selaku Penyimpan (Depositary) pada tanggal 28 April 2020 yang berlaku efektif:
1) |
sehubungan dengan pajak-pajak yang dipotong atau dipungut di negara sumber atas pembayaran kepada atau dikreditkan oleh subjek pajak luar negeri, apabila kejadian yang menimbulkan pajak terjadi pada atau setelah 1 Januari 2021; dan |
2) |
sehubungan dengan pajak-pajak lainnya yang dikenai pada Tahun pajak yang dimulai pada atau setelah 1 Januari 2022 di Indonesia. |
Terdapat beberapa ketentuan dalam MLI yang diadopsi oleh Indonesia dan ketentuan dalam MLI tersebut akan mengubah atau memodifikasi sejumlah P3B Indonesia. Dalam hal klausul P3B Indonesia termodifikasi oleh ketentuan MLI, maka interpretasi dan penerapan ketentuan P3B Indonesia perlu memperhatikan lebih lanjut hasil modifikasi tersebut. |
e. |
Penjelasan mengenai pemberitahuan saat berlaku, saat berlaku efektif, dan pokok-pokok pengaturan dalam Konvensi tersebut yang berlaku untuk suatu P3B Indonesia dengan Negara Mitra tertentu diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Direktur Jenderal yang mengatur tentang Pemberitahuan Berlakunya Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Penggeseran Laba untuk Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Negara Mitra tertentu tersebut. |
|
3. |
Petunjuk Umum Interpretasi dan Penerapan
a. |
Sesuai dengan penjelasan Pasal 32A Undang-Undang PPh, P3B mengatur hak-hak pemajakan masing-masing Negara Pihak dalam Persetujuan dan berlaku khusus (lex specialis) sehingga dalam menerapkan P3B, langkah pertama adalah menerapkan ketentuan Undang-Undang PPh dan selanjutnya perlu memperhatikan:
1) |
dalam hal terdapat batasan yang diatur dalam P3B, maka Undang-Undang PPh diterapkan dengan memperhatikan batasan dalam P3B dimaksud; atau |
2) |
dalam hal tidak terdapat batasan dalam P3B, maka Undang-Undang PPh diterapkan sepenuhnya. |
|
b. |
Dalam P3B juga diatur ketentuan-ketentuan khusus diantaranya ketentuan mengenai Non-discrimination, Mutual Agreement Procedure, Exchange of Information, Assistance in the Collection of Taxes, dan Members of Diplomatic Missions and Consular Posts. |
c. |
Penginterpretasian P3B dilakukan dengan iktikad baik (good faith) dan menggunakan pengertian yang lazim (ordinary meaning) sesuai dengan konteks, maksud, dan tujuan disepakatinya P3B tersebut. Hal tersebut diatur dalam hukum kebiasaaan internasional (international customary law) sebagaimana dikodifikasi dalam Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT), dan ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian internasional. |
d. |
Secara umum, Negara Pihak dalam Persetujuan (a Contracting State) dan Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan (the other Contracting State) mewakili Negara Domisili dan Negara Sumber. Sebagai contoh, dalam hal Negara Pihak dalam Persetujuan adalah Indonesia maka Negara Pihak lainnya dalam Persetujuan adalah Negara Mitra, dan sebaliknya. |
e. |
Dalam menginterpretasikan P3B, definisi atas suatu istilah harus digunakan secara konsisten. Ketentuan mengenai definisi yang digunakan untuk interpretasi P3B dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) |
definisi yang tercantum dalam pasal P3B mengenai Definisi Umum (General Definitions) yang berlaku umum untuk keperluan penginterpretasian dan penerapan pasal-pasal yang terdapat dalam P3B; |
2) |
definisi yang diatur secara khusus dalam suatu pasal untuk keperluan penginterpretasian pasal tersebut, misalnya definisi "dividen", "bunga" dan "royalti" yang masing-masing terdapat dalam pasal P3B mengenai Dividen, Bunga dan Royalti; |
3) |
definisi menurut ketentuan perundang-perundangan domestik Negara Pihak dalam Persetujuan, misalnya definisi subjek pajak dalam negeri (SPDN) untuk menginterpretasikan pasal P3B mengenai Penduduk (Residents); dan |
4) |
definisi yang diatur secara khusus dalam suatu pasal untuk keperluan penginterpretasian pasal tersebut yang diperluas hingga mencakup juga definisi menurut ketentuan perundang-perundangan domestik Negara Pihak dalam Persetujuan, misalnya definisi “harta tak gerak” yang terdapat dalam pasal P3B mengenai Penghasilan dari Harta Tak Gerak dan definisi “bunga” yang terdapat dalam pasal P3B Indonesia mengenai Bunga, misalnya, P3B Indonesia dengan Korea Selatan dan Swiss. |
|
f. |
Definisi atas istilah dalam P3B yang tidak didefinisikan dalam P3B mengikuti definisi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan domestik Negara Pihak dalam Perjanjian yang berlaku pada saat penerapan P3B, kecuali konteksnya mensyaratkan lain, atau jika Pejabat yang Berwenang telah menyepakati definisi yang berbeda berdasarkan Pasal 25 (Prosedur Persetujuan Bersama). |
g. |
Suatu istilah dalam P3B umumnya didefinisikan dengan urutan atau langkah sesuai dengan definisi yang tercantum dalam:
1) |
Pasal 3 (Definisi Umum); |
2) |
pasal P3B yang terkait, misalnya dividen, bunga, dan royalti; |
3) |
didefinisikan sesuai dengan:
a) |
peraturan perundang-undangan Negara Pihak dalam Persetujuan yang ketentuan perpajakannya sedang diterapkan atau yang akan memberikan manfaat P3B kecuali konteksnya mensyaratkan lain, dalam hal definisi atas suatu istilah tersebut diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan dan bukan perpajakan, yang diutamakan adalah definisi dalam peraturan perundang-undangan perpajakan; atau |
b) |
kesepakatan Pejabat yang Berwenang Negara Pihak dalam Persetujuan dalam Prosedur Persetujuan Bersama. |
|
|
h. |
P3B Indonesia umumnya disepakati dalam bahasa Indonesia, bahasa Negara Mitra, dan bahasa Inggris. Dalam hal terdapat perbedaan interpretasi antara naskah P3B dalam bahasa Indonesia, bahasa Negara Mitra, dan bahasa Inggris, umumnya P3B Indonesia mengatur bahwa interpretasi harus dilakukan berdasarkan naskah P3B dalam bahasa Inggris, kecuali diatur lain dalam P3B Indonesia dimaksud. |
i. |
Dalam hal SPDN Indonesia memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber dari Negara Mitra, maka pemajakan SPDN Indonesia dimaksud harus memperhatikan ketentuan:
1) |
Undang-Undang PPh, antara lain ketentuan mengenai:
a) |
prinsip pemajakan worldwide;
|
b) |
kredit pajak luar negeri; dan |
c) |
surat keterangan domisili bagi SPDN Indonesia dalam rangka penerapan P3B. |
|
2) |
P3B Indonesia, antara lain ketentuan mengenai:
a) |
pembagian hak pemajakan atas jenis penghasilan terkait; dan |
b) |
tarif pemajakan maksimal di Negara Sumber atas jenis penghasilan terkait, jika diatur, misalnya tarif pemajakan maksimal yang terdapat dalam Pasal 10 (Dividen), Pasal 11 (Bunga), atau Pasal 12 (Royalti). |
|
|
j. |
Dalam hal SPDN dari Negara Mitra memperoleh atau menerima penghasilan yang bersumber dari Indonesia, maka pemajakan SPDN dari Negara Mitra dimaksud harus memperhatikan ketentuan:
1) |
Undang-Undang PPh; |
2) |
P3B Indonesia; dan |
3) |
peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata cara penerapan P3B bagi SPDN Negara Mitra yang memperoleh atau menerima penghasilan dari Indonesia. |
|
|
4. |
Struktur Umum P3B Secara umum, struktur P3B Indonesia berisi pengaturan atau ketentuan sebagai berikut:
Pasal |
Perihal |
Pasal 1 |
Orang yang Dicakup |
Persons Covered |
Pasal 2 |
Pajak yang Dicakup |
Taxes Covered |
Pasal 3 |
Definisi Umum |
General Definitions |
Pasal 4 |
Penduduk |
Resident |
Pasal 5 |
Bentuk Usaha Tetap |
Permanent Establishment |
Pasal 6 |
Penghasilan dari Harta Tak Gerak |
Income from Immovable Property |
Pasal 7 |
Laba Usaha |
Business Profits |
Pasal 8 |
Pelayaran, Transportasi, Perairan Darat dan Penerbangan |
Shipping, Inland, Waterways Transport and Air Transport |
Pasal 9 |
Perusahaan Terasosiasi |
Associated Enterprises |
Pasal 10 |
Dividen |
Dividends |
Pasal 11 |
Bunga |
Interest |
Pasal 12 |
Royalti |
Royalties |
Pasal 12A |
Imbalan Jasa Teknik |
Fees for Technical Services |
Pasal 13 |
Keuntungan dari Pengalihan Harta |
Capital Gains |
Pasal 14 |
Jasa Perorangan Independen |
Independent Personal Services |
Pasal 15 |
Pekerjaan dalam Hubungan Kerja |
Dependent Personal Services |
Pasal 16 |
Imbalan Direktur dan Pegawai Manajerial Level Atas |
Directors Fees and Remuneration of Top-Level Managerial Officials |
Pasal 17 |
Seniman dan Atlet |
Artistes and Sportpersons |
Pasal 18 |
Pensiun dan Pembayaran Jaminan Sosial |
Pensions and Social Security Payments |
Pasal 19 |
Jasa Pemerintah |
Government Services |
Pasal 20 |
Pelajar dan Mahasiswa |
Students |
Pasal 21 |
Penghasilan Lainnya |
Other Income |
Pasal 22 |
Harta |
Capital |
Pasal 23 |
Metode Kredit |
Credit Method |
Pasal 24 |
Non-diskriminasi |
Non-discrimination |
Pasal 25 |
Prosedur Persetujuan Bersama |
Mutual Agreement Procedure |
Pasal 26 |
Pertukaran informasi |
Exchange of Information |
Pasal 27 |
Bantuan Penagihan Pajak |
Assistance in the Collection of Taxes |
Pasal 28 |
Anggota Misi Diplomatik dan Jabatan Konsuler |
Member of Diplomatic Missions and Consular Posts |
Pasal 29 |
Berlakunya P3B |
Entry into Force |
Pasal 30 |
Berakhirnya P3B |
Termination |
Struktur pengaturan atau ketentuan dalam P3B pada umumnya mengikuti pola-pola di atas. Akan tetapi terdapat beberapa P3B Indonesia yang memiliki struktur pengaturan yang berbeda. Untuk itu, terdapat kemungkinan urutan pasal dalam P3B Indonesia berbeda dengan struktur umum yang tercantum di atas. Mengingat adanya perbedaan materi pengaturan antara satu P3B Indonesia dengan P3B Indonesia lainnya, petunjuk umum interpretasi dan penerapan yang diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal ini tidak dimaksudkan untuk dapat diterapkan untuk seluruh kasus atau transaksi tanpa memperhatikan kekhususan yang ada dalam setiap P3B Indonesia dimaksud. Untuk itu, penerapan ketentuan perpajakan atas suatu transaksi yang melibatkan Indonesia dan suatu Negara Mitra harus tetap mengacu kepada P3B Indonesia yang pengaturannya dapat berbeda dengan pengaturan yang terdapat dalam lampiran Surat Edaran Direktur Jenderal ini. |
|