Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ/2010

  • 26 Maret 2010
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 43/PJ/2010

TENTANG

PENYAMPAIAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-14/PJ/2010
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER-146/PJ/2006 TENTANG BENTUK, ISI, DAN TATA CARA PENYAMPAIAN
SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PERTAMBAHAN NILAI (SPT MASA PPN)

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), berikut ini kami sampaikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian sebagai berikut :

  1. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010 (Perdirjen Perubahan SPT Masa PPN) dimaksudkan untuk mengakomodir perubahan ketentuan dalam :
    a. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP); dan
    b. Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN);
    berikut peraturan pelaksanaannya.
  2. Formulir SPT Masa PPN (Formulir 1107) tetap berlaku tanpa mengalami perubahan, namun beberapa bagian petunjuk pengisian dalam formulir tersebut diubah dan berlaku untuk pelaporan SPT Masa PPN mulai Masa Pajak April 2010.
  3. Pokok-pokok perubahan yang diakomodasi dalam Perdirjen Perubahan SPT Masa PPN, antara lain :
    a. adanya penambahan Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang dapat mengajukan permohonan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran Pajak Masukan, yaitu PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP dan PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN;
    b. ketentuan yang mengatur mengenai PKP yang hanya dapat mengajukan restitusi pada akhir tahun buku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (4a) UU PPN dan PKP yang dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN;
    c. ketentuan yang mengatur mengenai penambahan objek baru yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu ekspor Barang Kena Pajak (BKP) Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPN dan ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h UU PPN.
    d. Ketentuan yang mengatur mengenai pembatalan penyerahan JKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5A ayat (2) UU PPN;
    e. tata cara pelaporan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh PKP yang menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan :
    1) peredaran usaha yang dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) UU PPN; atau
    2) kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7a) UU PPN;
    f. ketentuan yang mengatur mengenai Faktur Pajak, antara lain :
    1) bahwa tidak dikenal lagi Faktur Pajak Sederhana;
    2) penomoran Faktur Pajak;
    3) pelaporan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak untuk ekspor JKP dan BKP tidak berwujud;
    4) Pelaporan Faktur Pajak atas penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri
    g. ketentuan mengenai saat penyetoran dan pelaporan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A UU PPN;
    h. terdapat beberapa perubahan mengenai contoh-contoh yang selama ini telah diberikan dan penambahan contoh terkait dengan ketentuan baru; dan
    i. penambahan 1 (satu) lampiran baru berupa Daftar Rincian Penyerahan Barang Kena Pajak Kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri.
  4. Perubahan dalam cara pengisian formulir SPT Masa PPN adalah sebagai berikut :
    a. Induk SPT Masa PPN (formulir 1107)
      1) Bagian II huruf G, mengenai tanggal pelunasan PPN yang kurang dibayar, dijelaskan pada bagian umum bahwa PPN yang terutang dalam satu Masa  Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
      2) Bagian II mengenai PPN lebih dibayar pada SPT Bukan Pembetulan pada pilihan 'Dikompensasikan ke Masa Pajak berikut', menegaskan bahwa pada prinsipnya atas kelebihan bayar yang dialami oleh PKP hanya dapat dikompensasi dan pada akhir tahun buku kelebihan bayar tersebut baru dapat dimintakan restitusi. Namun bagi PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) dan ayat (4c) UU PPN, atas kelebihan bayar tersebut, PKP dimaksud dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak.
      3) Bagian II mengenai PPN lebih dibayar pada SPT Pembetulan pada pilihan kompensasi, baik dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (butir II.D) maupun dikompensasikan ke Masa Pajak dilakukannya pembetulan (butir II.F), menegaskan bahwa bagian tersebut diisi (salah satu) oleh PKP kecuali PKP tersebut mengajukan restitusi.
      4) Bagian II mengenai PPN lebih dibayar pada Dikembalikan (Restitusi), menegaskan bahwa bagian tersebut dapat diisi pada setiap Masa Pajak oleh PKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) dan ayat (4c) UU PPN, sedangkan bagi PKP lainnya bagian tersebut diisi pada Masa Pajak akhir Tahun Buku (bagi PKP Orang Pribadi yang tidak menyelenggarakan pembukuan, maka bagian tersebut diisi pada Masa Pajak akhir Tahun Kalender, yaitu Masa Pajak desember).
      5) Bagian II mengenai PKP Kegiatan Tertentu, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi oleh PKP Kegiatan Tertentu berdasarkan Pasal 17B ayat (1) UU KUP Tahun 2000 dan aturan pelaksanaannya, sekarang diisi oleh PKP yang dapat mengajukan restitusi pada setiap Masa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4b) UU PPN.
      6) Bagian II mengenai restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu pada bagian 'Prosedur Biasa' menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi oleh PKP Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP yang memilih permohonan restitusinya diselesaikan dengan prosedur biasa (pemeriksaan), sekarang selain diisi oleh PKP Kriteria Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 C UU KUP, juga diisi oleh PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP, yang memilih permohonan restitusinya diselesaikan dengan prosedur biasa (pemeriksaan).
      7) Bagian II mengenai restitusi untuk Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu pada bagian 'Pengembalian Pendahuluan Pasal 17C', menegaskan bahwa bagian tersebut diisi oleh PKP Kriteria Tertentu, PKP yang memenuhi persyaratan tertentu dan PKP Berisiko Rendah. Namun demikian, mengingat bagian tersebut diberi judul Pasal 17C, maka dalam hal yang mengisi bagian tersebut adalah PKP yang memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP atau PKP Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) UU PPN, maka PKP diminta untuk melampirkan dokumen terkait.
    Dokumen tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN, sehingga dalam hal bagian tersebut diisi oleh PKP yang memenuhi persyaratan tertentu atau PKP Berisiko Rendah, tetapi ternyata PKP tidak melampirkan dokumen yang diminta, maka SPT Masa PPN nya dianggap tidak lengkap.
      8) Bagian IV huruf F, mengenai tanggal pelunasan PPnBM yang kurang dibayar, dijelaskan pada bagian umum bahwa PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, harus disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan. Dalam hal tanggal jatuh tempo penyetoran bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka penyetoran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
      9) Perlu diperhatikan pula mengenai batas waktu penyampaian SPT Masa PPN yaitu bahwa SPT Masa PPN harus disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. Dalam hal akhir bulan adalah hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka SPT Masa PPN harus disampaikan pada hari kerja berikutnya.
    b. Lampiran 1 Daftar Pajak Keluaran dan PPnBM (Formulir 1107 A) 
      1) Bagian I mengenai ekspor, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi dengan keterangan mengenai ekspor BKP berwujud, sekarang juga diisi dengan keterangan mengenai ekspor BKP tidak berwujud dan ekspor JKP yang dilakukan oleh PKP.
    Kolom 'Nama Pembeli BKP/Penerima JKP' diisi dengan nama pembeli BKP/penerima manfaat BKP tidak berwujud/penerima JKP yang berada di luar Daerah Pabean. Sedangkan kolom 'Nomor dan Tanggal PEB' dan kolom 'DPP (Rupiah)' diisi dengan keterangan yang sesuai sebagaimana tercantum dalam PEB untuk ekspor BKP atau keterangan yang sesuai sebagaimana tercantum dalam dokumen ekspor BKP tidak berwujud atau dokumen ekspor JKP, yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
      2) Bagian II mengenai penyerahan dalam negeri dengan Faktur Pajak, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi dengan keterangan dalam Faktur Pajak Standar, sekarang diisi dengan keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak, selain dari Faktur Pajak yang diisikan pada bagian III mengenai penyerahan dalam negeri dengan Faktur Pajak Sederhana.
    Bagian ini juga digunakan untuk melaporkan penyerahan yang menggunakan dokumen-dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
    Bagian ini disamping digunakan untuk melaporkan Faktur Pajak dan dokumen-dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, digunakan pula untuk melaporkan Nota Retur dalam hal terdapat BKP yang dikembalikan oleh pembeli dan Nota Pembatalan dalam hal terdapat JKP yang dibatalkan baik seluruhnya maupun sebagian.
      3) Bagian II mengenai penyerahan dalam negeri dengan Faktur Pajak Sederhana, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi dengan keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak sederhana, sekarang diisi dengan Jumlah seluruh DPP, PPN atau PPN dan PPnBM, atas penyerahan BKP atau JKP :
    • yang Faktur Pajaknya tidak diisi nama dan NPWP Pembeli;
    • kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri.
    PKP toko retail yang ditunjuk, yang melakukan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, wajib membuat rincian penyerahan BKP tersebut dengan format yang ditetapkan oleh DJP. Rincian penyerahan BKP tersebut dilampirkan dalam SPT Masa PPN dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN PKP yang bersangkutan.
    Rincian tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SPT Masa PPN, sehingga dalam hal terdapat penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, namun PKP tidak melampirkan rincian dimaksud, maka SPT Masa PPNnya dianggap tidak lengkap.
    Bagi PKP toko retail yang ditunjuk, yang melakukan penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri, Faktur Pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN hanya Faktur Pajak Khusus (kode transaksi 06).
    c. Lampiran 2 Daftar Pajak Masukan dan PPnBM (Formulir 1107 B)
      1) Bagian B mengenai perolehan BKP/JKP dari Dalam Negeri, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi dengan keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar, sekarang diisi dengan keterangan dalam Faktur Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, sedangkan untuk keterangan dalam Faktur Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tetap diisikan pada Bagian II mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dan/atau Pajak Masukan dan PPnBm yang atas impor atau perolehannya mendapat Fasilitas.
    Bagian ini semula juga hanya digunakan untuk melaporkan Faktur Pajak Masukan yang diganti atau retur pembelian, sekarang selain untuk melaporkan Faktur Pajak Masukan yang diganti atau nota retur dalam hal terdapat pengembalian BKP kepada PKP penjual, juga digunakan untuk melaporkan Nota Pembatalan dalam hal terdapat JKP yang dibatalkan baik seluruhnya maupun sebagian.
      2) Bagian 2 mengenai PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan, menegaskan bahwa bagian tersebut yang semula diisi oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 252/KMK.03/2002, sekarang diisi oleh PKP yang menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan menggunakan Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku baik untuk :
    • Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu; maupun 
    • Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu.
  5. Kantor Wilayah/Kantor Pelayanan Pajak/Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan diminta untuk melakukan penyuluhan terkait perubahan pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN), khususnya mengenai tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) ke seluruh Pengusaha Kena Pajak yang berada di bawah pengawasannya.

Demikian untuk diketahui dan dilaksanakan sebaik-baiknya.




Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 26 Maret 2010

Direktur Jenderal,


ttd.


Mochamad Tjiptardjo

NIP 060044911





Tembusan :

  1. Sekretaris Direktorat Jenderal Pajak;
  2. Para Direktur dan Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak;
  3. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.