TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 243/PMK.03/2014
TENTANG
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG SURAT PEMBERITAHUAN (SPT).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
BAB II
KEWAJIBAN WAJIB PAJAK
Pasal 2
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Wajib Pajak badan yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan SPT PPh Wajib Pajak badan beserta lampirannya dalam bahasa Indonesia kecuali lampiran berupa laporan keuangan, dan menggunakan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat. |
BAB III
JENIS, BENTUK, DAN ISI SPT
Bagian Kesatu
Jenis dan Bentuk SPT
Pasal 3
(1) | SPT meliputi:
|
||||
(2) | SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk:
|
Bagian Kedua
Isi SPT
Pasal 4
(1) | SPT paling sedikit memuat:
|
(2) | SPT Tahunan PPh, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
|
(3) | SPT Masa PPh, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
|
(4) | SPT Masa PPN, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
|
(5) | SPT Masa PPN bagi Pemungut PPN, selain berisi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga memuat data mengenai:
|
Pasal 5
(1) | SPT terdiri dari SPT induk dan lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. |
(2) | Ketentuan mengenai lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk SPT bagi Wajib Pajak tertentu. |
(3) | SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
BAB IV
TEMPAT DAN CARA PENGAMBILAN SPT
Pasal 6
(1) | SPT berbentuk formulir kertas (hardcopy) dapat diambil secara langsung di Kantor Pelayanan Pajak dan tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | SPT berbentuk dokumen elektronik dapat diambil secara langsung oleh Wajib Pajak atau dengan cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. |
BAB V
PENYAMPAIAN SPT
Bagian Kesatu
Penandatanganan SPT
Pasal 7
(1) | SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak. |
(2) | Dalam hal SPT ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, SPT harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Penandatanganan SPT dilakukan dengan cara:
|
(4) | Tanda tangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c mempunyai kekuatan hukum yang sama. |
Bagian Kedua
Tempat dan Cara Penyampaian
Pasal 8
(1) | Penyampaian SPT oleh Wajib Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, dapat dilakukan:
|
(2) | Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
|
(3) | Atas penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf b diberikan bukti penerimaan. |
(4) | Bukti pengiriman surat untuk penyampaian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf a dianggap sebagai bukti penerimaan sepanjang SPT tersebut lengkap. |
(5) | Tanggal pengiriman surat yang tercantum dalam bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dianggap sebagai tanggal penerimaan sepanjang SPT tersebut lengkap. |
Bagian Ketiga
Batas Waktu Penyampaian
Pasal 9
(1) | Wajib Pajak orang pribadi wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. |
(2) | Wajib Pajak badan wajib menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. |
Pasal 10
(1) | Wajib Pajak orang pribadi atau badan, baik yang melakukan pembayaran pajak sendiri maupun yang ditunjuk sebagai Pemotong atau Pemungut PPh, wajib melaporkan:
|
(2) | Ketentuan mengenai kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e tetap berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada bulan yang bersangkutan nihil. |
(3) | Wajib Pajak yang melakukan pembayaran PPh Pasal 25 dan telah mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dianggap telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan tanggal validasi. |
(4) | Wajib Pajak dengan jumlah angsuran PPh Pasal 25 Nihil atau angsuran PPh Pasal 25 dalam bentuk satuan mata uang selain rupiah atau yang melakukan pembayaran tidak secara on-line dan tidak mendapat validasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara, tetap harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 sesuai dengan ketentuan yang berlaku. |
(5) | Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir. |
(6) | Bendahara wajib melaporkan PPh Pasal 22 yang dipungut dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 22 paling lama 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir. |
(7) | Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak, PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, dan PPN kegiatan membangun sendiri dengan menggunakan SPT Masa PPN, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(8) | Pemungut PPN wajib melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM yang telah dipungut, ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemungut PPN terdaftar paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(9) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa, wajib menyampaikan SPT Masa paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir. |
Pasal 11
(1) | Pemungut Pajak PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor wajib melaporkan hasil pemungutannya secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu berikutnya. |
(2) | Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri yang telah disetor dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat bangunan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. |
(3) | Orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang telah disetor, dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut, paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak. |
Pasal 12
(1) | Dalam hal batas akhir pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 bertepatan dengan hari libur, pelaporan dapat dilakukan paling lambat pada hari kerja berikutnya. |
(2) | Hari libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional. |
Bagian Keempat
Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT Tahunan
Pasal 13
(1) | Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) untuk paling lama 2 (dua) bulan sejak batas waktu penyampaian SPT Tahunan dengan cara menyampaikan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan. |
(2) | Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hardcopy) atau dalam bentuk dokumen elektronik. |
Pasal 14
(1) | Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir, dengan dilampiri:
|
(2) | Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak. |
(3) | Dalam hal pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Pasal 15
(1) | Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) disampaikan:
|
(2) | Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui:
|
(3) | Ketentuan mengenai bukti penerimaan SPT sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 8 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) berlaku secara mutatis mutandis terhadap bukti penerimaan penyampaian pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan. |
Pasal 16
(1) | Pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Pasal 15 dianggap bukan merupakan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan. |
(2) | Apabila pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan dianggap bukan pemberitahuan perpanjangan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak. |
Bagian Kelima
Sanksi Administrasi atas
Tidak atau Terlambat Menyampaikan SPT
Pasal 17
(1) | Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang KUP. |
(2) | Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
|
(3) | Wajib Pajak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h adalah Wajib Pajak yang tidak dapat menyampaikan SPT dalam jangka waktu yang telah ditentukan karena:
|
(4) | Penetapan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. |
Bagian Keenam
Wajib Pajak Pajak Penghasilan Tertentu yang
Dikecualikan dari Kewajiban Menyampaikan SPT PPh
Pasal 18
(1) | Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT. |
(2) | Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu merupakan Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(3) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25 dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi. |
(4) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 25. |
Bagian Ketujuh
SPT Dianggap Tidak Disampaikan
Pasal 19
(1) | SPT dianggap tidak disampaikan apabila:
|
(2) | Dalam hal SPT dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak. |
(3) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dimulai pada:
|
(4) | Pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dimulai pada tanggal surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan bukti permulaan. |
BAB VI
PEMBETULAN SPT
Pasal 20
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan:
|
(2) | Pernyataan tertulis dalam pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberi tanda pada tempat yang telah disediakan dalam SPT yang menyatakan bahwa Wajib Pajak yang bersangkutan membetulkan SPT. |
(3) | Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. |
(5) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(6) | Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
BAB VII
PENGOLAHAN SPT
Pasal 21
Terhadap SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau kuasanya dilakukan pengolahan yang meliputi:
Pasal 22
Berdasarkan hasil Penelitian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a berlaku ketentuan dalam hal:
Pasal 23
Terhadap SPT yang sudah diberikan bukti penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a, dilakukan perekaman SPT ke dalam basis data perpajakan.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Menteri ini.
Pasal 25
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 27
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 24 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1974