Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37 Tahun 2025

  • 14 Jul 2025

  • Timeline

  • Terkait

  • BERLAKU

  • TREE

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2025

 TENTANG PENUNJUKAN PIHAK LAIN SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PEDAGANG DALAM NEGERI DENGAN MEKANISME PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESAMENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
                 

Menimbang

a. bahwa untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pembangunan melalui pembayaran pajak, memenuhi prinsip kepastian hukum, keadilan, kemudahan dan kesederhanaan administrasi, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemungutan pajak, perlu disusun pengaturan terhadap penunjukan pihak lain yang merupakan penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik sebagai pemungut pajak penghasilan serta tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak penghasilan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pedagang dalam negeri dengan mekanisme perdagangan melalui sistem elektronik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penunjukan Pihak lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan yang Dipungut oleh Pihak lain atas Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan Mekanisme Perdagangan melalui Sistem Elektronik;
                 

Mengingat

1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 225, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6954);
5. Peraturan Presiden Nomor 158 Tahun 2024 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 354);
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 124 Tahun 2024 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1063);
                 
MEMUTUSKAN:

Menetapkan

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENUNJUKAN PIHAK LAIN SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN YANG DIPUNGUT OLEH PIHAK LAIN ATAS PENGHASILAN YANG DITERIMA ATAU DIPEROLEH PEDAGANG DALAM NEGERI DENGAN MEKANISME PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK.
                 
BAB IKETENTUAN UMUM 

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
2. Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
3. Pajak Penghasilan adalah pajak penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
4. Pajak Penghasilan Pasal 22 adalah Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
5. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
6. Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan adalah Wajib Pajak yang dikenai kewajiban untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
7. Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
8. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
9. Pedagang Dalam Negeri adalah pelaku usaha yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di wilayah negara Republik Indonesia yang melakukan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dengan sarana yang dibuat dan dikelola sendiri secara langsung atau melalui sarana milik pihak Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, atau sistem elektronik lainnya yang menyediakan sarana Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
10. Peredaran Bruto adalah imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
11. Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu adalah Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan ketentuan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu.
12. Pihak Lain adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi sebagaimana diatur dalam Pasal 32A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
13. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
14. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
15. Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
16. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui collecting agent.
17. Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
18. Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak.
19. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan/atau penyetoran sendiri atas beberapa jenis Pajak Penghasilan dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
20. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
                 
BAB IIPENUNJUKAN PIHAK LAIN SEBAGAI PEMUNGUT PAJAK PENGHASILAN DAN PEMENUHAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN Bagian KesatuPenunjukan Pihak Lain sebagai Pemungut Pajak Penghasilan 

Pasal 2

(1) Pihak Lain ditunjuk oleh Menteri sebagai pemungut Pajak Penghasilan untuk melakukan pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri dengan mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Pajak Penghasilan Pasal 22.
                 

Pasal 3

(1) Pihak Lain yang ditunjuk oleh Menteri sebagai pemungut Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di:
  a. dalam wilayah negara Republik Indonesia; dan
  b. luar wilayah negara Republik Indonesia, yang memenuhi kriteria tertentu.
(2) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang menggunakan rekening eskro (escrow account) untuk menampung penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan:
  a. memiliki nilai transaksi dengan pemanfaat jasa penyediaan sarana elektronik yang digunakan untuk transaksi di Indonesia melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan; dan/atau
  b. memiliki jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu dalam 12 (dua belas) bulan.
(3) Batasan mengenai besarnya nilai transaksi dan/atau jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
                 

Pasal 4

Menteri melimpahkan kewenangan dalam bentuk delegasi kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menunjuk Pihak Lain sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan penetapan batasan nilai transaksi dan/atau jumlah traffic atau pengakses melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
                 
Bagian KeduaKriteria Pedagang Dalam Negeri dan Penyampaian Informasi oleh Pedagang Dalam Negeri kepada Pihak Lain 

Pasal 5

(1) Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) merupakan orang pribadi atau badan yang memenuhi kriteria:
  a. menerima penghasilan menggunakan rekening bank atau rekening keuangan sejenis; dan
  b. bertransaksi dengan menggunakan alamat internet protocol di Indonesia atau menggunakan nomor telepon dengan kode telepon Negara Indonesia.
(2) Termasuk Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu perusahaan jasa pengiriman atau ekspedisi, perusahaan asuransi, dan pihak lainnya yang melakukan transaksi dengan pembeli barang dan/atau jasa melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
                 

Pasal 6

(1) Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 harus menyampaikan informasi berupa:
  a. Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan; dan
  b. alamat korespondensi,
  kepada Pihak Lain yang ditunjuk sebagai pemungut pajak.
(2) Dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) selain menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pedagang Dalam Negeri juga harus menyampaikan surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) bagi Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selain menyampaikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pedagang Dalam Negeri juga harus menyampaikan surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
(4) Penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan oleh Pedagang Dalam Negeri sebelum penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diterima atau diperoleh.
(5) Informasi sebagaimana dimaksud pada:
  a. ayat (2) harus disampaikan kembali setiap awal Tahun Pajak berikutnya, dalam hal Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menerima atau memperoleh penghasilan dengan Peredaran Bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak; dan
  b. ayat (3) harus disampaikan kembali dalam hal Pedagang Dalam Negeri memiliki surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan.
(6) Dalam hal Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memiliki Peredaran Bruto melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), Pedagang Dalam Negeri harus menyampaikan informasi kepada Pihak Lain berupa surat pernyataan yang menyatakan bahwa Pedagang Dalam Negeri memiliki Peredaran Bruto pada Tahun Pajak berjalan melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(7) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus disampaikan paling lambat akhir bulan saat Peredaran Bruto melebihi Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(8) Tata cara penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6) ditentukan oleh Pihak Lain.
(9) Pedagang Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas kebenaran informasi yang harus disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6).
(10) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dibuat sesuai contoh format yang tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
                 
Bagian KetigaPemungutan Pajak Penghasilan 

Pasal 7

(1) Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi yang dilakukan melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22.
(2) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
(3) Dalam hal Pedagang Dalam Negeri menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6), Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai awal bulan berikutnya setelah surat pernyataan diterima oleh Pihak Lain.
                 

Pasal 8

(1) Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu sebesar 0,5% (nol koma lima persen) dari Peredaran Bruto yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri yang tercantum dalam dokumen tagihan, tidak termasuk pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
(2) Saat terutang Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pada saat pembayaran diterima oleh Pihak Lain.
(3) Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri.
(4) Dalam hal pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas penghasilan Pedagang Dalam Negeri yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final bagi Pedagang Dalam Negeri.
(5) Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
  a. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, atau pembelian barang dan/atau jasa dari Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu; atau
  b. Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(6) Dalam hal terdapat selisih kurang antara Pajak Penghasilan yang bersifat final yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut oleh Pihak Lain, selisih kurang atas Pajak Penghasilan dimaksud wajib disetor sendiri oleh Pedagang Dalam Negeri sebagai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal terdapat selisih lebih antara Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut oleh Pihak Lain dan Pajak Penghasilan yang bersifat final yang seharusnya terutang atau tidak seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, selisih lebih atas Pajak Penghasilan dimaksud dapat diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku dalam hal Pedagang Dalam Negeri tidak menyampaikan informasi kepada Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6).
(9) Dalam hal transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) menggunakan mata uang selain rupiah, besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas transaksi dimaksud dihitung dengan mengonversikan transaksi dimaksud ke dalam mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri sebagai dasar pelunasan bea masuk, pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah, bea keluar, dan Pajak Penghasilan, yang berlaku pada saat terjadinya pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
                 

Pasal 9

(1) Pedagang Dalam Negeri wajib menyetorkan kekurangan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pedagang Dalam Negeri wajib melaporkan kekurangan Pajak Penghasilan yang telah disetor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Pedagang Dalam Negeri yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 10

(1) Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) tidak melakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi:
  a. penjualan barang dan/atau jasa oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang memiliki Peredaran Bruto sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) pada Tahun Pajak berjalan dan telah menyampaikan surat pernyataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);
  b. penjualan jasa pengiriman atau ekspedisi oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagai mitra perusahaan aplikasi berbasis teknologi yang memberikan jasa angkutan;
  c. penjualan barang dan/atau jasa oleh Pedagang Dalam Negeri yang menyampaikan informasi surat keterangan bebas pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3);
  d. penjualan pulsa dan kartu perdana;
  e. penjualan emas perhiasan, emas batangan, perhiasan yang bahan seluruhnya bukan dari emas, batu permata, dan/atau batu lainnya yang sejenis, yang dilakukan oleh pabrikan emas perhiasan, pedagang emas perhiasan, dan/atau pengusaha emas batangan; dan/atau
  f. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan atau perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dan/atau bangunan beserta perubahannya.
(2) Atas penghasilan yang tidak dilakukan pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  a. tetap terutang Pajak Penghasilan; dan
  b. atas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan, penyetoran, dan pelaporan,
  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Atas penghasilan yang telah dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 oleh Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), tidak dilakukan pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh Pemotong atau Pemungut Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 11

Contoh pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10, tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
                 
Bagian KeempatDokumen Pemungutan Pajak 

Pasal 12

(1) Pedagang Dalam Negeri wajib membuat dokumen tagihan atas penjualan barang dan/atau jasa dengan mekanisme Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(2) Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa dokumen tagihan atas nama Pedagang Dalam Negeri yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik atau sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh Pihak Lain.
(3) Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat dengan mencantumkan keterangan paling sedikit memuat:
  a. nomor dan tanggal dokumen tagihan;
  b. nama Pihak Lain;
  c. nama akun Pedagang Dalam Negeri;
  d. identitas pembeli barang dan/atau jasa berupa nama dan alamat;
  e. jenis barang dan/atau jasa, jumlah harga jual, dan potongan harga; dan
  f. nilai Pajak Penghasilan Pasal 22 bagi Pedagang Dalam Negeri masing-masing.
(4) Dokumen tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 bagi Pedagang Dalam Negeri sehubungan dengan transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
(5) Dokumen tagihan yang transaksinya tidak dilakukan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) tetap dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
                 

Pasal 13

(1) Dalam hal terdapat keadaan yang menyebabkan terjadinya pembetulan atau pembatalan dokumen tagihan, Pedagang Dalam Negeri wajib membuat dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan yang merujuk pada dokumen tagihan yang dibetulkan atau dibatalkan.
(2) Dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik atau sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh Pihak Lain dan digunakan untuk transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
(3) Keterangan nomor dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi dengan menggunakan nomor yang dihasilkan melalui sarana komunikasi elektronik atau sistem elektronik lainnya yang disediakan oleh Pihak Lain.
(4) Dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
(5) Pajak Penghasilan Pasal 22 yang tercantum dalam dokumen pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4):
  a. dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Pedagang Dalam Negeri; atau
  b. dapat menjadi bagian dari pelunasan Pajak Penghasilan yang bersifat final, bagi Pedagang Dalam Negeri yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
                 
Bagian KelimaTata Cara Penyetoran Pajak Penghasilan dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Pihak Lain 

Pasal 14

Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyetor Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dalam setiap Masa Pajak ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 

Pasal 15

(1) Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyampaikan:
  a. informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan/atau ayat (6);
  b. informasi lain berupa:
      1. nama, nama akun, dan/atau pilihan negara Pedagang Dalam Negeri;
      2. Nomor Pokok Wajib Pajak atau tax identification number dan/atau alamat korespondensi Pihak Lain; dan
      3. alamat surat elektronik atau nomor telepon pembeli barang dan/atau jasa;
  c. informasi yang tercantum dalam dokumen yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dan/atau dokumen pembetulan atau dokumen pembatalan tagihan yang dipersamakan dengan bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4); dan
  d. Pajak Penghasilan Pasal 22 yang telah dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan disetor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14,
  kepada Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan lampiran Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi.
(3) Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Unifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
                 
BAB IIISANKSI 

Pasal 16

Pihak Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 14, dan Pasal 15 dikenai sanksi:
a. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
b. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggara sistem elektronik lingkup privat.
                 
BAB IVKETENTUAN PERALIHAN 

Pasal 17

Ketentuan mengenai penyampaian informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) untuk Tahun Pajak 2025 paling lama disampaikan 1 (satu) bulan terhitung sejak penunjukan Pihak Lain sebagai pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1).
                 
BAB VKETENTUAN PENUTUP 

Pasal 18

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
                 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
                 
Ditetapkan di Jakartapada tanggal 11 Juni 2025MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,ttd.SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakartapada tanggal 14 Juli 2025DIREKTUR JENDERALPERATURAN PERUNDANG-UNDANGANKEMENTERIAN HUKUM REPUBLIK INDONESIA,ttd.DHAHANA PUTRA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 489