TIMELINE |
---|
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 240/PMK.03/2014
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA
(MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE).
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
1. | Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang. |
2. | Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. |
3. | Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. |
4. | Otoritas Pajak Negara Mitra atau Otoritas Pajak Yurisdiksi Mitra yang selanjutnya disebut Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah otoritas perpajakan pada negara mitra atau otoritas perpajakan pada yurisdiksi mitra yang berwenang melaksanakan ketentuan dalam P3B. |
5. | Prosedur Persetujuan Bersama (Mutual Agreement Procedure) yang selanjutnya disebut MAP adalah prosedur administratif yang diatur dalam P3B untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan P3B. |
6. | Persetujuan Bersama adalah hasil yang telah disepakati dalam penerapan P3B oleh pejabat yang berwenang dari Pemerintah Indonesia dan pemerintah Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra P3B sehubungan dengan MAP yang telah dilaksanakan. |
7. | Warga Negara Indonesia, yang selanjutnya disingkat WNI adalah Warga Negara Indonesia berdasarkan ketentuan perundang-undangan di bidang kewarganegaraan. |
8. | Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya atau Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. |
9. | Penentuan Harga Transfer atau Transfer Pricing yang selanjutnya disebut Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa. |
10. | Penyesuaian Lanjutan (Corresponding Adjustment) yang selanjutnya disebut Penyesuaian Lanjutan adalah penyesuaian penghasilan kena pajak Wajib Pajak suatu negara atau yurisdiksi oleh otoritas pajak negara atau yurisdiksi tersebut sebagai akibat koreksi Transfer Pricing yang dilakukan oleh otoritas pajak negara atau yurisdiksi lainnya (primary adjustment) sehingga alokasi penghasilan pada kedua negara atau yurisdiksi tersebut konsisten, dengan tujuan untuk menghilangkan pengenaan pajak berganda. |
11. | Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah permintaan Penyesuaian Lanjutan dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
12. | Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah permintaan Penyesuaian Lanjutan dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada Direktorat Jenderal Pajak. |
13. | Dual Residence adalah kondisi subjek pajak yang pada saat bersamaan dianggap menjadi subjek pajak dalam negeri di dua negara atau yurisdiksi berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di masing-masing negara atau yurisdiksi dimaksud. |
14. | Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:
|
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
(1) | MAP dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(2) | MAP yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II, yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent authority di Indonesia. |
(3) | MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam P3B yang berlaku efektif sebelum, sejak, atau setelah berlakunya Peraturan Menteri ini. |
Pasal 3
(1) | Permintaan pelaksanaan MAP dapat diajukan oleh:
|
(2) | Wajib Pajak yang dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yaitu subjek pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dan dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 dan perubahannya. |
Pasal 4
(1) | Permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) diajukan dalam batas waktu terhitung sejak saat pemberitahuan pertama mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B sampai dengan berakhirnya batas waktu dimaksud sesuai ketentuan dalam P3B. |
(2) | Untuk permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b atau permintaan pelaksanaan MAP yang diajukan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, saat pemberitahuan pertama mengenai tindakan yang menimbulkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan P3B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
Pasal 5
(1) | Permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak untuk mengajukan:
|
(2) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat mengajukan secara bersamaan dengan permintaan pelaksanaan MAP oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yaitu:
|
(3) | Permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat diajukan dalam hal sidang telah dicukupkan oleh Pengadilan Pajak atas surat ketetapan pajak yang diajukan permintaan pelaksanaan MAP. |
Pasal 6
Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP dan pelaksanaan MAP:
BAB III
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH
WAJIB PAJAK MELALUI DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 7
(1) | Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Peraturan Perpajakan II atas:
|
(2) | Wajib Pajak yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan informasi sebagai berikut:
|
(3) | Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 8
(1) | Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pengajuan permintaan pelaksanaan MAP, mengenai pemenuhan:
|
(2) | Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP, termasuk meminta dokumen pendukung dan informasi lain yang diperlukan. |
Pasal 9
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 permintaan pelaksanaan MAP dapat dilaksanakan, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat dilaksanakan, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat penolakan permintaan pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP, beserta alasannya. |
Pasal 10
(1) | Terhadap permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang diterima oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) ditolak oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut atas alasan penolakan tersebut. |
(3) | Dalam hal Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menerima alasan penolakan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat penolakan pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP, beserta alasannya. |
Pasal 11
(1) | Wajib Pajak dalam negeri Indonesia yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dapat mencabut permintaan pelaksanaan MAP dimaksud paling lambat sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. |
(2) | Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
BAB IV
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP OLEH
DIREKTUR JENDERAL PAJAK
Pasal 12
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP atas hal yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Hal yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP atas hal yang dianggap perlu dan atas inisiatif Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan untuk menindaklanjuti permintaan pelaksanaan MAP dari WNI yang menjadi Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yakni dalam hal WNI dimaksud dikenai pajak di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang lebih berat dibandingkan dengan yang dikenai oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada warga negaranya terkait kasus non diskriminasi berdasarkan ketentuan P3B. |
(4) | WNI yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II mengenai informasi paling sedikit sebagai berikut:
|
(5) | Permintaan pelaksanaan MAP dari WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
Pasal 13
(1) | Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pemenuhan:
|
(2) | Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut, termasuk meminta dokumen pendukung dan informasi lain yang diperlukan kepada:
|
Pasal 14
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 permintaan pelaksanaan MAP dapat dilaksanakan, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat dilaksanakan, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan surat permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat dilaksanakan kepada WNI atau Wajib Pajak di Indonesia yang terkait dengan permintaan pelaksanaan MAP. |
Pasal 15
(1) | Terhadap permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) yang diterima oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) ditolak oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan alasan penolakan dimaksud tidak dapat diterima, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut atas ditolaknya permintaan pelaksanaan MAP. |
(3) | Dalam hal Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menerima alasan penolakan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
Pasal 16
(1) | WNI yang mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dapat mencabut permintaan pelaksanaan MAP paling lambat sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. |
(2) | Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
BAB V
PERMINTAAN PELAKSANAAN MAP YANG DIAJUKAN OLEH OTORITAS
PAJAK NEGARA MITRA ATAU YURISDIKSI MITRA
Pasal 17
(1) | Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat mengajukan permintaan pelaksanaan MAP kepada Direktur Peraturan Perpajakan II atas:
|
(2) | Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, dan menyampaikan informasi sebagai berikut:
|
(3) | Dalam hal Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan kepada Wajib Pajak di Indonesia terkait mengenai adanya permintaan pelaksanaan MAP atas Permintaan Penyesuaian Lanjutan oleh Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(4) | Dalam hal Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra mengajukan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan kepada Wajib Pajak di Indonesia terkait mengenai adanya permintaan pelaksanaan MAP sebagai tindak lanjut permohonan APA dari Wajib Pajak dalam negeri Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
Pasal 18
(1) | Direktur Peraturan Perpajakan II meneliti pengajuan permintaan pelaksanaan MAP, mengenai pemenuhan:
|
(2) | Dalam melaksanakan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II dapat meminta penjelasan lebih lanjut kepada:
|
(3) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP terkait dengan transaksi Transfer Pricing, Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan penelitian dalam P3B mengenai ada atau tidaknya ketentuan yang secara spesifik mengatur mengenai Penyesuaian Lanjutan, sebagai bahan pertimbangan dapat diterima atau tidaknya permintaan pelaksanaan MAP. |
(4) | Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diterima sepanjang Wajib Pajak di Indonesia terkait mengajukan pelaksanaan MAP atas permasalahan yang sama kepada Direktur Peraturan Perpajakan II. |
(5) | Pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf g yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diterima dalam hal Wajib Pajak di Indonesia terkait juga mengajukan permintaan pelaksanaan APA atas permasalahan yang sama kepada Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 19
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 permintaan pelaksanaan MAP dapat diterima, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan persetujuan secara tertulis pelaksanaan MAP kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(2) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 permintaan pelaksanaan MAP tidak dapat diterima, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan penolakan secara tertulis pelaksanaan MAP beserta alasannya kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
Pasal 20
(1) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan untuk Tahun Pajak dan/atau Masa Pajak yang sedang diproses dalam MAP. |
(3) | Dalam hal permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait dengan Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai pelaksanaan MAP kepada Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dimaksud. |
(4) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi informasi mengenai:
|
Pasal 21
(1) | Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat mencabut permintaan pelaksanaan MAP paling lambat sebelum diperoleh Persetujuan Bersama. |
(2) | Pencabutan permintaan pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktur Peraturan Perpajakan II, dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
BAB VI
PELAKSANAAN MAP
Pasal 22
(1) | Direktur Jenderal Pajak membentuk tim pelaksanaan MAP dengan mempertimbangkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b, Pasal 15 ayat (1) huruf c, atau Pasal 20 ayat (1) huruf b. |
(2) | Tim pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk:
|
Pasal 23
(1) | Naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf l merupakan posisi runding Direktorat Jenderal Pajak dalam MAP. |
(2) | Tim pelaksanaan MAP menyampaikan rekomendasi naskah posisi (position paper) kepada Direktur Peraturan Perpajakan II. |
(3) | Terhadap rekomendasi naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disetujui, Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak. |
Pasal 24
(1) | Direktur Jenderal Pajak membahas naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) bersama dengan tim quality assurance. |
(2) | Tim quality assurance sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka penetapan naskah posisi (position paper). |
(3) | Dalam pelaksanaan MAP, dengan mempertimbangkan pendapat Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dan keadaan yang sebenarnya dapat dilakukan perubahan naskah posisi (position paper, untuk melaksanakan ketentuan dalam P3B. |
(4) | Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan usulan perubahan naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(5) | Direktur Jenderal Pajak membahas usulan perubahan naskah posisi (position paper) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersama dengan tim quality assurance. |
Pasal 25
(1) | Pelaksanaan MAP dilakukan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II melalui konsultasi dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(2) | Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Konsultasi berupa pertemuan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh delegasi perunding Direktorat Jenderal Pajak yang dipimpin oleh Direktur Peraturan Perpajakan II yang bertindak sebagai pejabat yang berwenang atau competent authority di Indonesia. |
(4) | Delegasi perunding sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dengan mempertimbangkan usulan Direktur Peraturan Perpajakan II. |
(5) | Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat konsultasi pertama kali dilakukan. |
(6) | Dalam hal konsultasi dalam rangka pelaksanaan MAP belum menghasilkan Persetujuan Bersama dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), jangka waktu konsultasi dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan antara Direktur Peraturan Perpajakan II dengan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(7) | Saat konsultasi pertama kali dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah:
|
Pasal 26
(1) | Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menghentikan pelaksanaan MAP dalam hal:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang penghentian pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
|
BAB VII
PERSETUJUAN BERSAMA
Pasal 27
(1) | Direktur Peraturan Perpajakan II berwenang untuk menyepakati Persetujuan Bersama berdasarkan naskah posisi (position paper). |
(2) | Sebelum Direktur Peraturan Perpajakan II menyepakati Persetujuan Bersama, Direktur Peraturan Perpajakan II dan Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra menyusun rancangan Persetujuan Bersama. |
(3) | Dalam hal permintaan pelaksanan MAP terkait dengan:
|
(4) | Wajib Pajak dalam negeri Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, WNI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, atau Wajib Pajak dalam negeri Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, menyampaikan konfirmasi secara tertulis mengenai diterima atau tidaknya rancangan Persetujuan Bersama kepada Direktur Peraturan Perpajakan II. |
(5) | Direktur Peraturan Perpajakan II menyepakati Persetujuan Bersama dengan pejabat yang berwenang dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra setelah memperoleh konfirmasi diterimanya rancangan Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) | Dalam hal berdasarkan hasil penelitian tim pelaksanaan MAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf m, rancangan Persetujuan Bersama tidak perlu dimintakan konfirmasi kepada Wajib Pajak di Indonesia, Direktur Peraturan Perpajakan II dapat menyepakati Persetujuan Bersama dengan pejabat yang berwenang dari Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
Pasal 28
(1) | Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai Persetujuan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 serta tindak lanjut Persetujuan Bersama tersebut. |
(2) | Direktur Peraturan Perpajakan II menyampaikan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada:
|
Pasal 29
(1) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah surat ketetapan pajak diterbitkan tetapi:
|
(2) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama dan Wajib Pajak mengajukan keberatan tetapi belum diterbitkan surat keputusan keberatan, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan Bersama tersebut dalam Surat Keputusan Keberatan. |
(3) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan tetapi tidak diajukan banding atau Wajib Pajak mengajukan banding tetapi dicabut, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas Surat Keputusan Keberatan secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang. |
(4) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar berkurang dan Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak tetapi belum diterbitkan surat keputusan atas permohonan dimaksud, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan Bersama dimaksud dalam surat keputusan atas permohonan pembetulan atau permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak. |
(5) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah dan Wajib Pajak mengajukan permohonan pembetulan surat ketetapan pajak tetapi belum diterbitkan surat keputusan atas permohonan dimaksud, Direktur Jenderal Pajak memperhitungkan Persetujuan Bersama dimaksud dalam surat keputusan atas permohonan pembetulan surat ketetapan pajak. |
(6) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah dan Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak tetapi belum diterbitkan surat keputusan atas permohonan dimaksud, Direktur Jenderal Pajak menolak permohonan tersebut dan melakukan pembetulan surat ketetapan pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang dengan memperhitungkan Persetujuan Bersama. |
(7) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar berkurang setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak melakukan pembetulan atas surat Keputusan tersebut secara jabatan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang dengan memperhitungkan Persetujuan Bersama. |
(8) | Dalam hal pelaksanaan MAP menghasilkan Persetujuan Bersama yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah setelah Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan atas pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, Direktur Jenderal Pajak:
|
(9) | Dalam hal Persetujuan Bersama berkaitan dengan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan di Indonesia, dapat dilakukan tindak lanjut berdasarkan prosedur atau tata cara pengembalian pajak yang seharusnya tidak terutang, sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak Persetujuan Bersama. |
Pasal 30
Dalam hal pelaksanaan MAP tidak menghasilkan Persetujuan Bersama, berlaku surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembetulan.
BAB VIII
DOKUMENTASI PROSES MAP DAN KERAHASIAAN
Pasal 31
Direktur Peraturan Perpajakan II melakukan dokumentasi atas:
Pasal 32
Dokumen yang dipergunakan sejak pengajuan permintaan pelaksanaan MAP sampai dengan penyelesaian atau dihentikannya proses pelaksanaan MAP diperlakukan secara rahasia sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 33
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembentukan tim pelaksanaan MAP, tim quality assurance, delegasi perunding Direktorat Jenderal Pajak, dan penetapan naskah posisi (position paper), diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, terhadap permintaan pelaksanaan MAP yang telah:
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diperoleh Persetujuan Bersama, dilakukan pemrosesan lebih lanjut berdasarkan Peraturan Menteri ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG P.S. BRODJONEGORO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 1952