Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.07/2018

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 207/PMK.07/2018

TENTANG

PEDOMAN PENAGIHAN DAN PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :


  1. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah, ketentuan mengenai pedoman Penagihan dan Pemeriksaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri;
  2. bahwa Menteri Dalam Negeri melalui Surat Nomor 973/10870/SJ tanggal 6 Desember 2018 telah memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pedoman Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5950);


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEDOMAN PENAGIHAN DAN PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH.



BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan.

  1. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. Penagihan Pajak yang selanjutnya disebut Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual Barang yang telah disita.
  3. Pemeriksaan Pajak yang selanjutnya disebut Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  4. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  5. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota.
  6. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  8. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  9. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
  10. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  11. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.
  12. Pemeriksa Pajak yang selanjutnya disebut Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
  13. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  14. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  15. Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan.
  16. Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
  17. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara Lelang.
  18. Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan, tertulis, dan/atau media dalam jaringan (online) melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
  19. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai Barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Pajak menurut peraturan perundang-undangan.
  20. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  21. Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa.
  22. Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Badan Pendapatan Daerah atau Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan/atau kantor-kantor di lingkungan Pemerintah Daerah.
  23. Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang sama.
  24. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
  25. Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain.
  26. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
  27. Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lelang.
  28. Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  29. Dokumen adalah buku, catatan, dan/atau dokumen lain termasuk Data Elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dalam pelaksanaan Pemeriksaan.
  30. Data Elektronik adalah data yang dikelola secara elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam media penyimpanan elektronik.
  31. Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
  32. Objek Sita adalah Barang Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan Utang Pajak.
  33. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  34. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disebut dengan SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  35. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang kepada Wajib Pajak.
  36. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  37. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
  38. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  39. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
  40. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  41. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  42. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan  perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
  43. Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya.
  44. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis Pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
  45. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  46. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  47. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
  48. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Pejabat untuk melaksanakan penyitaan.
  49. Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  50. Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan adalah surat pemberitahuan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  51. Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan yang disampaikan kepada Wajib Pajak untuk menghadiri Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  52. Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi.
  53. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat PAHP adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
  54. Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Pemeriksaan.
  55. Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat ketetapan pajak.
  56. Pihak Ketiga adalah pihak yang memiliki keterangan atau bukti yang ada hubungannya dengan tindakan Wajib Pajak, pekerjaan, kegiatan usaha, atau pekerjaan bebas Wajib Pajak antara lain bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, konsultan hukum, konsultan keuangan, pelanggan, pemasok, kantor administrasi, atau pihak lainnya.
  57. Analisis Risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan hilangnya potensi penerimaan pajak.
  58. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.


BAB II
PENAGIHAN

Bagian Kesatu
Pejabat dan Jurusita Pajak

Pasal 2

(1) Dalam rangka melaksanakan Penagihan, Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
  1. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
  2. menerbitkan:
    1. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejems;
    2. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
    3. Surat Paksa;
    4. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
    5. Surat Perintah Penyanderaan;
    6. Surat Pencabutan Sita;
    7. Pengumuman Lelang;
    8. Surat penentuan harga limit;
    9. Pembatalan Lelang; dan
    10. Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan pajak.


Pasal 3

Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi Jurusita Pajak adalah paling sedikit meliputi:

  1. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat;
  2. berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a;
  3. sehat jasmani dan rohani;
  4. mengikuti pendidikan atau pelatihan Jurusita Pajak; dan
  5. jujur, bertanggung jawab, dan penuh pengabdian.


Pasal 4

Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya oleh Pejabat sesuai peraturan perundang-undangan.



Pasal 5

Jurusita Pajak diberhentikan apabila :

  1. meninggal dunia;
  2. pensiun;
  3. alih tugas atau kepentingan dinas lainnya;
  4. lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas;
  5. melakukan perbuatan tercela;
  6. melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak; atau
  7. sakit jasmani atau rohani terus menerus.


Bagian Kedua
Tata Cara Penagihan

Pasal 6

(1) Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah paling lama:
  1. 1 (satu) bulan sejak tanggal dikirimnya SKPD; dan
  2. 6 (enam) bulan sejak diterimanya SPPT.
(2) SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN, jangka waktu pelunasan Pajak untuk jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan sebesar Pajak yang tidak disetujui, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(4) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan sehubungan dengan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN, jangka waktu pelunasan Pajak tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.


Pasal 7

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.
(2) Pejabat melaksanakan Penagihan dalam hal Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.


Pasal 8

(1) Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran oleh Pejabat.
(2) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak.


Pasal 9

Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan:

  1. secara langsung;
  2. melalui pos;
  3. melalui surat elektronik; atau
  4. melalui sarana lain yang ditentukan oleh Kepala Daerah.


Pasal 10

(1) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila
  1. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
  2. Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
  3. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
  4. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
  5. terjadi penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh Pihak Ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
(2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus paling sedikit memuat
  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
  2. besarnya Utang Pajak;
  3. perintah untuk membayar; dan
  4. saat pelunasan pajak.
(3) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.


Bagian Ketiga
Surat Paksa

Pasal 11

(1) Surat Paksa diterbitkan atas Utang Pajak yang tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak setelah lewat batas waktu yang ditetapkan sejak tanggal disampaikannya Surat Teguran.
(2) Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(3) Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
(4) Selain kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Surat Paksa juga dapat diterbitkan dalam hal:
  1. terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
  2. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.


Pasal 12

(1) Surat Paksa berkepala kata-kata DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
  1. nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
  2. dasar Penagihan;
  3. besarnya Utang Pajak; dan
  4. perintah untuk membayar.


Pasal 13

(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak dan dituangkan dalam berita acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
(3) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi:
  1. hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  2. nama Jurusita Pajak;
  3. nama penerima;
  4. tempat pemberitahuan Surat Paksa; dan
  5. ditandatangani oleh Jurusita dan Penanggung Pajak.

 

Pasal 14

(1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
  1. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
  2. orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
  3. salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
  4. para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
(2) Surat Paksa terhadap Badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
  1. pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik ditempat kedudukan Badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun ditempat lain yang memungkinkan; atau
  2. pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha Badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.


Pasal 15

(1) Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak atau pihak-pihak dimaksud tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
(2) Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa tidak dapat dilaksanakan antara lain karena Penanggung Pajak atau pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berada di tempat, Surat Paksa disampaikan melalui sekurang-kurangnya sekretaris kelurahan atau sekretaris desa setempat dengan membuat berita acara.
(3) Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau dengan cara lain.


Pasal 16

(1) Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, dapat diterbitkan Surat Paksa pengganti oleh Pejabat karena jabatan.
(2) Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).


Pasal 17

(1) Pejabat atas permohonan Penanggung Pajak dapat melakukan pembetulan atas Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
(2) Tindakan pelaksanaan Penagihan dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibetulkan oleh Pejabat.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pembetulan atas Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Kepala Daerah.


Bagian Keempat
Sita

Pasal 18

(1) Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.


Pasal 19

(1) Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa :
  1. Barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
  2. Barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
(2) Penyitaan terhadap Penanggung Pajak orang pribadi dapat dilaksanakan atas Barang milik pribadi yang bersangkutan, Barang milik isteri, dan Barang milik anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki dilakukan pemisahan secara tertulis oleh suami atau isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
(3) Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap Barang milik perusahaan, Barang milik pengurus, Barang milik kepala perwakilan, Barang milik kepala cabang, Barang milik penanggung jawab, Barang milik pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
(4) Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, kemudahan penjualan, atau pencairannya.


Pasal 20

(1) Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari Penyitaan adalah:
  1. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya
  2. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan 1 (satu) bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
  3. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
  4. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan, dan keilmuan;
  5. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya; atau
  6. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).
(2) Penambahan jenis Barang bergerak yang dikecualikan dari Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Perubahan besarnya nilai peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditetapkan oleh Kepala Daerah.


Pasal 21

(1) Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
  1. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;
  2. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
  3. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan.
(3) Setiap melaksanakan Penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan saksi-saksi.
(4) Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita, Jurusita Pajak harus mencantumkan penolakan tersebut dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi.
(5) Berita acara pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
(6) Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa.
(7) Dalam hal pelaksanaan penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi-saksi, dan Berita Acara Pelaksanaan Sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
(8) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.
(9) Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan instansi terkait.
(10) Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Daerah.

  

    

Pasal 22

(1) Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan sebagai berikut:
  1. membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan harga perhiasan yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.
(2) Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan dengan membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang dilampiri dengan daftar rincian jumlah uang tunai yang disita.
(3) Penyitaan terhadap kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.
(5) Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan:
  1. melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran Berita Acara Pelaksanaan Sita;
  2. membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih Piutang dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
(6) Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.


Pasal 23

Terhadap Barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang dimaksud akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung Pajak.



Pasal 24

Dalam hal Penanggung Pajak adalah Badan, Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, atau pegawai tetap perusahaan.



Pasal 25

(1) Dalam hal terdapat Objek Sita yang sama dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakan pusat dan daerah, Pemerintah Pusat dapat melaksanakan hak mendahulu.
(2) Hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.


Pasal 26

Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita di luar wilayah daerah Pejabat, setelah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat dan pihak terkait.



Pasal 27

(1) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut Jurusita Pajak Barang dimaksud perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
(2) Dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak:
  1. Barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat Pemerintah Daerah yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita;
  2. Barang tidak bergerak pengawasannya diserahkan kepada aparat Pemerintah Daerah yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut.
(3) Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan Barang yang telah disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Daerah.


Pasal 28

Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:

  1. nilai Barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak; atau
  2. hasil lelang Barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.


Pasal 29

(1) Atas Barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.
(2) Penempelan segel Sita dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk Barang sitaan.
(3) Segel Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang kurangnya:
  1. kata "DISITA";
  2. nomor dan tanggal Berita Acara Pelaksanaan Sita; dan
  3. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, atau merusak Barang yang disita.


Pasal 30

(1) Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain oleh Kepala Daerah.
(2) Pencabutan Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
(3) Surat Pencabutan Sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait, diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Penanggung Pajak.


Pasal 31

Penanggung Pajak dilarang:

  1. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak Barang yang telah disita;
  2. membebani Barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;
  3. membebani Barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan/atau
  4. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada Barang sitaan.


Bagian Kelima
Lelang

Pasal 32

(1) Apabila Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan Penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara Lelang terhadap Barang yang disita melalui Kantor Lelang.
(2) Barang yang dikecualikan dari penjualan secara Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. uang tunai; dan
  2. barang yang mudah rusak atau cepat busuk.
(3) Barang yang disita berupa uang tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a digunakan untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan cara disetor ke Kas Daerah.


Pasal 33

(1) Apabila Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang atau tidak secara lelang, maupun menggunakan atau memindahbukukan barang yang disita untuk pelunasan Utang Pajak dan/atau Biaya Penagihan Pajak dimaksud.
(2) Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak Pengumuman Lelang.
(3) Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak penyitaan.


Pasal 34

(1) Apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, maka pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang.
(2) Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3), Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan melalui Kantor Lelang negara.


Pasal 35

(1) Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
(2) Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:
  1. Penanggung Pajak telah melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
  2. berdasarkan putusan pengadilan; atau
  3. objek lelang musnah.


Pasal 36

(1) Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar Biaya Penagihan Pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar Utang Pajak.
(2) Dalam hal hasil Lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Biaya Penagihan Pajak dan Utang Pajak, pelaksanaan Lelang dihentikan oleh Pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
(3) Sisa Barang beserta kelebihan uang hasil Lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah pelaksanaan Lelang.
(4) Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.


Pasal 37

Tata cara Pelaksanaan Lelang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.



Bagian Keenam
Pencegahan dan Penyanderaan

Pasal 38

(1) Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah Utang Pajak paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak.
(2) Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan, atau ahli waris.
(3) Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak dan terhentinya pelaksanaan Penagihan.
(4) Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 39

(1) Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai Utang Pajak paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Pajak.
(2) Pelaksanaan penyanderaan terhadap Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak diatur sesuai peraturan perundang-undangan.


BAB III
PEMERIKSAAN

Bagian Kesatu
Tujuan Pemeriksaan

Pasal 40

(1) Kepala Daerah berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Kepala Daerah dapat menerbitkan Keputusan untuk melimpahkan kewenangan melakukan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pemeriksa.


Bagian Kedua
Pemeriksaan untuk Menguji Kepatuhan
Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Pasal 41

Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun sebelumnya maupun tahun berjalan.



Pasal 42

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak;
  2. terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  3. Wajib Pajak yang melakukan penghitungan sendiri, yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko.
(2) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
  1. kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan; dan
  2. kepatuhan dalam melunasi Utang Pajak;


Pasal 43

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jems Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.


Pasal 44

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
(2) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum Pemeriksaan, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan.


Pasal 45

(1) Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa.
(2) Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. berijazah serendah-rendahnya pendidikan sekolah menengah umum atau yang sederajat;
  2. berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a;
  3. telah mendapat pendidikan dan/atau pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa;
  4. cermat dan seksama dalam menggunakan keterampilannya;
  5. jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
  6. taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(3) Kepala Daerah wajib menunjuk PNS sebagai Pemeriksa di lingkungan Pemerintah Daerah untuk membantu Kepala Daerah dalam menjalankan wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1).
(4) Apabila Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum dapat dipenuhi, Kepala Daerah dapat menunjuk tenaga ahli yang mempunyai kompetensi di bidang pemeriksaan Pajak Daerah sebagai Pemeriksa sampai dengan dipenuhinya persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 46

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu:

  1. pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, yang paling sedikit meliputi kegiatan mengumpulkan dan mempelajari data Wajib Pajak, menyusun rencana Pemeriksaan (audit plan), dan menyusun program Pemeriksaan (audit program), serta mendapat pengawasan yang seksama;
  2. Pemeriksaan dilaksanakan dengan melakukan pengujian berdasarkan metode dan teknik Pemeriksaan sesuai dengan program Pemeriksaan (audit program) yang telah disusun;
  3. temuan hasil Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  4. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim;
  5. tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu, baik yang berasal dari Pemerintah Daerah, maupun yang berasal dari instansi di luar Pemerintah Daerah yang telah ditunjuk oleh Kepala Daerah, sebagai tenaga ahli seperti penerjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara;
  6. apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;
  7. Pemeriksaan dapat dilaksanakan dengan Pemeriksaan Kantor dan/atau Pemeriksaan Lapangan;
  8. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; dan
  9. pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP.


Pasal 47

KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf i disusun oleh Pemeriksa dan berfungsi sebagai:

  1. bukti bahwa Pemeriksaan telah dilaksanakan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan;
  2. bahan dalam melakukan PAHP dengan Wajib Pajak mengenai temuan hasil Pemeriksaan;
  3. dasar pembuatan LHP;
  4. sumber data atau informasi bagi penyelesaian keberatan atau banding yang diajukan oleh Wajib Pajak; dan
  5. referensi untuk Pemeriksaan berikutnya.


Pasal 48

(1) Standar pelaporan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dituangkan dalam LHP, yang disusun secara ringkas dan jelas yang memuat:
  1. ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan;
  2. simpulan Pemeriksa yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
(2) LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat
  1. penugasan Pemeriksaan;
  2. identitas Wajib Pajak;
  3. pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
  4. pemenuhan kewajiban perpajakan;
  5. data/informasi yang tersedia;
  6. buku dan dokumen yang dipinjam;
  7. materi yang diperiksa;
  8. uraian hasil Pemeriksaan;
  9. ikhtisar hasil Pemeriksaan;
  10. penghitungan pajak terutang; dan
  11. simpulan dan usul Pemeriksa.


Pasal 49

Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa wajib:

  1. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
  2. memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
  3. memperlihatkan surat yang berisi perubah an tim Pemeriksa kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa mengalami perubahan;
  4. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
    1. alasan dan tujuan Pemeriksaan;
    2. hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
    3. kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
  5. menuangkan penjelasan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
  6. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
  7. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka PAHP pada waktu yang telah ditentukan;
  8. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
  9. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
  10. mengembalikan buku, catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
  11. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.


Pasal 50

(1) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa berwenang
  1. memeriksa dan/atau meminjam buku, catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  2. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  3. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  4. melakukan Penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
  5. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
  6. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari Pihak Ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa berwenang:
  1. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor di lingkungan Pemerintah Daerah dengan menggunakan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor;
  2. memeriksa dan/atau meminjam buku, catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  3. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  4. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
  5. meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak; dan
  6. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.


Pasal 51

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak:

  1. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan tanda pengenal Pemeriksa dan SP2;
  2. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
  3. meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa mengalami perubahan;
  4. meminta kepada Pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
  5. menerima SPHP;
  6. menghadiri PAHP pada waktu yang telah ditentukan;
  7. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.


Pasal 52

(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
  1. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  2. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/ atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan Dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa;
  3. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan
  5. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
  1. memenuhi panggilan untuk menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;
  2. memperlihatkan dan/atau meminjamkan Dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  3. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  4. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
  5. meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik; dan
  6. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.


Pasal 53

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu Pemeriksaan yang meliputi:
  1. jangka waktu pengujian; dan
  2. jangka waktu PAHP dan pelaporan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 3 (tiga) bulan, terhitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(4) Jangka waktu PAHP dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.
(5) Jangka waktu PAHP sampai dengan ditetapkan LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling lama 1 (satu) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak.


Pasal 54

(1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
  1. Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  2. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada Pihak Ketiga;
  3. ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis Pajak; dan/atau
  4. berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


Pasal 55

(1) Jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3), dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(2) Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
  1. Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  2. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada Pihak Ketiga;
  3. ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis Pajak; dan/atau
  4. berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


Pasal 56

Dalam hal dilakukan perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) atau Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), kepala unit pelaksana Pemeriksaan harus menyampaikan pemberitahuan perpanjangan jangka waktu pengujian dimaksud secara tertulis kepada Wajib Pajak.



Pasal 57

(1) Apabila jangka waktu perpanjangan pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) atau perpanjangan jangka waktu Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) telah berakhir, SPHP harus disampaikan kepada Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan karena Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.


Pasal 58

Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan diselesaikan dengan cara:

  1. menghentikan Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir; atau
  2. membuat LHP, sebagai dasar penerbitan surat ketetapan Pajak dan/atau STPD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


Pasal 59

Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP Sumir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf a dilakukan dalam hal:

  1. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa:
    1. tidak ditemukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
    2. tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan.
  2. Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan Pajak sebelumnya.
  3. terdapat keadaan tertentu berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.


Pasal 60

(1) Penyelesaian Pemeriksaan dengan membuat LHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 huruf b, dilakukan dalam hal:
  1. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan Pemeriksaan dapat diselesaikan dalam jangka waktu Pemeriksaan.
  2. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan ditemukan atau memenuhi panggilan Pemeriksaan, dan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan belum dapat diselesaikan sampai dengan:
    1. berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1); atau
    2. berakhirnya perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1).
(2) Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor yang pengujiannya belum diselesaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, harus diselesaikan dengan menyampaikan SPHP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak berakhirnya:
  1. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1); atau
  2. perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1),
dan dilanjutkan tahapan Pemeriksaan sampai dengan pembuatan LHP.


Pasal 61

(1) Pemeriksaan yang dihentikan dengan membuat LHP Sumir karena Wajib Pajak tidak ditemukan atau tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a, dapat dilakukan Pemeriksaan kembali apabila di kemudian hari Wajib Pajak ditemukan.


Pasal 62

(1) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2.
(2) SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa tahun dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama, atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak.
(3) Dalam hal susunan tim Pemeriksa diubah, kepala unit pelaksana Pemeriksaan harus menerbitkan surat perubahan tim Pemeriksa.
(4) Dalam hal tim Pemeriksa dibantu oleh tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (4), tenaga ahli tersebut bertugas berdasarkan surat tugas yang diterbitkan oleh Kepala Daerah.


Pasal 63

(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2.


Pasal 64

(1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
  1. wakil atau kuasa dari Wajib Pajak; atau
  2. pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak, yaitu:
    1. pegawai dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan;
    2. anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi; atau
    3. pihak selain sebagaimana dimaksud angka 1 dan angka 2 yang dapat mewakili Wajib Pajak.
(3) Dalam hal wakil atau kuasa dari Wajib Pajak atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman dan surat pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan dan Pemeriksaan Lapangan telah dimulai.
(4) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.


Pasal 65

(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksa wajib melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf d.
(2) Pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan dengan wakil atau kuasa dari Wajib Pajak.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan setelah Pemeriksa menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(4) Dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan pada saat Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(5) Setelah melakukan pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Pemeriksa wajib membuat berita acara hasil pertemuan, yang ditandatangani oleh Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak.
(6) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut pada berita acara hasil pertemuan.
(7) Dalam hal Pemeriksa telah menandatangani berita acara hasil pertemuan dan membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pertemuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dianggap telah dilaksanakan.


Pasal 66

(1) Pemeriksa dapat melakukan peminjaman Dokumen kepada Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan dan/atau Pemeriksaan Kantor.
(2) Ruang lingkup peminjaman Dokumen meliputi peminjaman dan pengembalian Dokumen.
(3) Tata cara mengenai peminjaman Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.


Bagian Ketiga
Penyegelan

Pasal 67

(1) Pemeriksa berwenang melakukan Penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan Dokumen dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
(2) Dalam melaksanakan Penyegelan, Pemeriksa dapat berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Tata cara mengenai Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala Daerah.


Bagian Keempat
Penolakan Pemeriksaan

Pasal 68

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak ada di tempat maka:
  1. Pemeriksaan tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak, terbatas untuk hal yang berada dalam kewenangannya; atau
  2. Pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.
(4) Untuk keperluan pengamanan Pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Pemeriksa dapat melakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada Pasal 67 ayat (1).
(5) Apabila setelah dilakukan Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak berada di tempat dan/atau tidak memberi izin kepada Pemeriksa untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta kepada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan.
(6) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan.
(7) Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pemeriksa membuat berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 69

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(3) Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor disampaikan kepada Wajib Pajak dan surat panggilan tersebut tidak dikembalikan oleh pos atau jasa pengiriman lainnya dan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan oleh Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 70

Pemeriksa berdasarkan:

  1. surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1), atau Pasal 69 ayat (1);
  2. berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2), atau Pasal 69 ayat (2);
  3. berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3);
  4. surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (6); atau
  5. berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7),

dapat melakukan penetapan Pajak secara jabatan.



Pasal 71

(1) Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan.
(2) SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti penginman.
(3) Dalam hal SPHP disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima SPHP, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan menerima SPHP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan menerima SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.
(5) Dalam hal Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, penyampaian SPHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penyampaian undangan tertulis untuk menghadiri PAHP.


Pasal 72

(1) Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dalam bentuk:
  1. pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan; atau
  2. surat sanggahan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan.
(2) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterimanya SPHP oleh Wajib Pajak.
(3) Wajib Pajak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(4) Untuk melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan tertulis sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(5) Dalam hal Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor, tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lama pada saat Wajib Pajak harus memenuhi undangan tertulis untuk menghadiri PAHP dan Wajib Pajak tidak dapat melakukan perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan tertulis.
(6) Tanggapan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberitahuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Wajib Pajak secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP, Pemeriksa membuat berita acara tidak disampaikannya tanggapan tertulis atas SPHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 73

(1) Dalam rangka melaksanakan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) kepada Wajib Pajak harus diberikan hak hadir dalam PAHP.
(2) Hak hadir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan melalui penyampaian undangan secara tertulis kepada Wajib Pajak dengan mencantumkan hari dan tanggal dilaksanakannya PAHP.
(3) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak:
  1. diterimanya tanggapan tertulis atas SPHP dari Wajib Pajak sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) atau ayat (3); atau
  2. berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3), dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP.
(4) Apabila Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) huruf a, undangan tertulis untuk menghadiri PAHP disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPHP.
(5) Undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat disampaikan oleh Pemeriksa secara langsung atau melalui faksimili, surat elektronik, pos, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.


Pasal 74

(1) Pemeriksa membuat risalah pembahasan dengan mendasarkan pada lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan dan membuat berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
  1. menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a; dan
  2. hadir dalam PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2).
(2) Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dalam hal Wajib Pajak:
  1. menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf a; dan
  2. tidak hadir dalam PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2).
(3) Pemeriksa harus melakukan PAHP dengan Wajib Pajak dengan mendasarkan pada surat sanggahan dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
  1. menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b; dan
  2. hadir dalam PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2).
(4) Pemeriksa membuat risalah pembahasan berdasarkan surat sanggahan, berita acara ketidakhadiran Wajib Pajak dalam PAHP, dan berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dalam hal Wajib Pajak:
  1. menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) huruf b; dan
  2. tidak hadir dalam PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2).
(5) Pemeriksa tetap melakukan PAHP dengan Wajib Pajak dan menuangkan hasil pembahasan tersebut dalam risalah pembahasan, yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dalam hal Wajib Pajak:
  1. tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1); dan
  2. hadir dalam PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2).


Pasal 75

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani risalah pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) atau ayat (5), Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan tersebut.



Pasal 76

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP pada hari dan tanggal sesuai undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), PAHP dianggap telah dilakukan.
(2) Dalam hal PAHP dianggap telah dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berita acara PAHP yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 77

Pelaksanaan PAHP antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) atau ayat (5) harus mempertimbangkan jangka waktu PAHP dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4).



Pasal 78

Risalah Pembahasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) atau ayat (5) digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk membuat berita acara PAHP yang dilampiri dengan ihtisar hasil pembahasan akhir.



Pasal 79

(1) Dalam rangka menandatangani berita acara PAHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74, Pemeriksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan memanggil Wajib Pajak dengan mengirimkan surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP.
(2) Surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara langsung atau melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(3) Dalam hal surat panggilan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak untuk menerima surat panggilan tersebut, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP.
(4) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemeriksa membuat berita acara penolakan menerima surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 80

(1) Wajib Pajak harus memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah surat panggilan untuk menandatangani berita acara PAHP diterima oleh Wajib Pajak.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), namun menolak menandatangani berita acara PAHP, Pemeriksa membuat catatan mengenai penolakan penandatanganan pada berita acara PAHP.
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada dalam Pasal 79 ayat (1), Pemeriksa membuat catatan pada berita acara PAHP mengenai tidak dipenuhinya panggilan.


Pasal 81

(1) LHP disusun berdasarkan KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
(2) Risalah pembahasan dan/atau berita acara PAHP, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) LHP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh Pemeriksa sebagai dasar untuk membuat nota penghitungan.
(4) Nota penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan Pajak atau STPD.
(5) Pajak yang terutang dalam surat ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sesuai dengan PAHP, kecuali:
  1. dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP tetapi menyampaikan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (2), Pajak yang terutang dihitung sesuai dengan lembar pernyataan persetujuan hasil Pemeriksaan;
  2. dalam hal Wajib Pujak tidak hadir dalam PAHP tetapi menyampaikan surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (4), pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPHP dengan jumlah yang tidak disetujui sesuai dengan surat sanggahan Wajib Pajak;
  3. dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam PAHP dan tidak menyampaikan tanggapan tertulis atas SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (5), Pajak yang terutang dihitung berdasarkan SPHP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan Wajib Pajak dianggap menyetujui hasil Pemeriksaan.


Pasal 82

Dokumen yang dipinjam harus dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan menggunakan bukti peminjaman dan pengembalian Dokumen paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal LHP.



Pasal 83

(1) Surat ketetapan Pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
  1. penyampaian SPHP; atau
  2. PAHP,
dapat dibatalkan oleh Kepala Daerah secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal dilakukan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), proses Pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian SPHP dan/atau PAHP.
(3) Prosedur penyampaian SPHP dan/atau pelaksanaan PAHP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
(4) Dalam hal Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak, Pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
  1. surat ketetapan Pajak sesuai dengan PAHP apabila jangka waktu belum melampaui 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak;
  2. apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a telah dilampaui, surat ketetapan pajak belum ditetapkan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dianggap dikabulkan; atau
  3. SKPDLB sesuai dengan Surat Pemberitahuan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima.
(5) Dalam hal susunan keanggotaan tim Pemeriksa untuk melanjutkan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbeda dengan susunan keanggotaan tim Pemeriksa sebelumnya, Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah diterbitkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa.


Pasal 84

(1) Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPTPD yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, sepanjang Pemeriksa belum menyampaikan SPHP.
(2) Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke kantor Badan Pendapatan Daerah atau Instansi Pelaksana Pemungut Pajak terkait.
(3) Laporan tersendiri secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya; dan
  2. SSPD atas pelunasan Pajak yang kurang dibayar;
(4) Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan SSPD.


Pasal 85

(1) Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan diterbitkan surat ketetapan Pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok Pajak yang telah dibayar.
(2) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(3) Dalam hal hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPTPD oleh Wajib Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan Pajak diterbitkan sesuai dengan pengungkapan Wajib Pajak.


Pasal 86

(1) Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Kepala Daerah.
(2) Instruksi atau persetujuan Kepala Daerah untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang dapat diberikan apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap.
(3) Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Kepala Daerah menerbitkan SKPDKBT.
(4) Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan Pajak sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dihentikan dengan membuat LHP Sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian tersebut.


Bagian Kelima
Pemeriksaan untuk Tujuan Lain

Pasal 87

Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.



Pasal 88

Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan kriteria antara lain:

  1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah secara jabatan;
  2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah;
  3. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
  4. pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
  5. Pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.


Pasal 89

Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.



Pasal 90

(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan.
(2) Standar Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai ukuran mutu Pemeriksaan yang merupakan capaian minimum yang harus dicapai dalam melaksanakan Pemeriksaan.
(3) Standar Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan.


Pasal 91

Standar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) adalah standar umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45.



Pasal 92

Standar pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) meliputi:

  1. pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
  2. luas Pemeriksaan disesuaikan dengan kriteria dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain;
  3. Pemeriksaan dilakukan oleh tim Pemeriksa yang terdiri dari 1 (satu) orang supervisor, 1 (satu) orang ketua tim, dan 1 (satu) orang atau lebih anggota tim, dan dalam keadaan tertentu ketua tim dapat merangkap sebagai anggota tim;
  4. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Badan Pendapatan Daerah atau Instansi Pelaksana Pemungut Pajak dan/atau kantor-kantor di lingkungan Pemerintah Daerah, tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa;
  5. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; dan
  6. pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk KKP.


Pasal 93

Kegiatan Pemeriksaan untuk tujuan lain harus didokumentasikan dalam bentuk KKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf f dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. KKP berfungsi sebagai:
    1. bukti bahwa Pemeriksa telah melaksanakan Pemeriksaan berdasarkan standar Pemeriksaan; dan
    2. dasar pembuatan LHP.
  2. KKP memberikan gambaran mengenai:
    1. data, keterangan, dan/atau bukti yang diperoleh;
    2. prosedur Pemeriksaan yang dilaksanakan; dan
    3. simpulan dan hal-hal lain yang dianggap perlu yang berkaitan dengan Pemeriksaan.


Pasal 94

Kegiatan Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaporkan dalam bentuk LHP yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu:

  1. LHP disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait;
  2. LHP untuk tujuan lain sekurang-kurangnya memuat:
    1. Identitas Wajib Pajak;
    2. Penugasan Pemeriksaan;
    3. Tujuan Pemeriksaan;
    4. Buku dan dokumen yang dipinjam;
    5. Materi yang diperiksa;
    6. Uraian hasil Pemeriksaan; dan
    7. Simpulan dan usul Pemeriksa.


Pasal 95

Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain, Pemeriksa Pajak wajib:

  1. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
  2. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
  3. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
  4. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa;
  5. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
  6. mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan/atau
  7. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.


Pasal 96

(1) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
  1. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
  2. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
  3. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan;
  4. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
  5. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
(2) Dalam melakukan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:
  1. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang Pajak;
  2. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
  3. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


Pasal 97

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, Wajib Pajak berhak:

  1. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
  2. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
  3. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
  4. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
  5. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.


Pasal 98

(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
  1. memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
  2. memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
  3. memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
  4. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
  1. memperlihatkan dan meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau
  2. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.


Pasal 99

(1) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal LHP.
(2) Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal dalam LHP.
(3) Dalam hal jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) berakhir, Pemeriksaan harus diselesaikan.
(4) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 huruf b, jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (1) atau ayat (2) harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

 

Pasal 100

(1) Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan perundang-undangan perpajakan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yang tergabung dalam suatu tim Pemeriksa berdasarkan SP2.
(2) SP2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk satu atau beberapa Masa Pajak dalam suatu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak yang sama atau untuk satu bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak terhadap satu Wajib Pajak.
(3) Dalam hal susunan tim Pemeriksa perlu diubah, kepala unit pelaksana Pemeriksaan tidak perlu memperbarui SP2 tetapi harus menerbitkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa.


Pasal 101

(1) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan.
(2) Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dengan menyampaikan Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(3) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan untuk Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana tercantum dalam SP2.


Pasal 102

(1) Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada Wajib Pajak pada saat dimulainya Pemeriksaan Lapangan atau disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(2) Dalam hal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan secara langsung dan Wajib Pajak tidak berada di tempat, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dapat disampaikan kepada:
  1. wakil atau kuasa dari Wajib Pajak; atau
  2. pihak yang dapat mewakili Wujib Pajak, yaitu:
    1. pegawai dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak Badan; atau
    2. anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang menurut Pemeriksa dapat mewakili Wajib Pajak, dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi.
(3) Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam pasal 101 ayat (2) dapat disampaikan melalui faksimili, pos dengan bukti pengiriman surat, atau jasa pengiriman lainnya dengan bukti pengiriman.
(4) Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat ditemui, Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman lainnya dan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dianggap telah disampaikan.


Pasal 103

(1) Dokumen yang dipinjam harus disesuaikan dengan tujuan dan kriteria Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88.
(2) Peminjaman Dokumen harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.


Pasal 104

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 105

(1) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk tujuan lain memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa.


Pasal 106

(1) Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105, Wajib Pajak diberi Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah secara jabatan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.
(2) Berdasarkan surat pernyataan penolakan Pemeriksaan atau berita acara penolakan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 105, permohonan Wajib Pajak tidak dikabulkan dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan dalam rangka penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah.


Pasal 107

(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan, Pemeriksa juga dapat memanggil Wajib Pajak untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci atau meminta keterangan dan/atau bukti yang berkaitan dengan Pemeriksaan kepada pihak ketiga.
(2) Permintaan keterangan kepada Wajib Pajak atau kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Bagian Keenam
Penyampaian Kuesioner Pemeriksaan

Pasal 108

(1) Dalam rangka meningkatkan kualitas dan akuntabilitas Pemeriksaan, Pemeriksa wajib menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa.
(2) Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat pertemuan dengan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(3) Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, penyampaian Kuesioner Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan atau pada saat Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
(4) Wajib Pajak dapat menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan yang telah diisi kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 109

Pemeriksa tidak dikenai sanksi dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan telah sesuai dengan standar Pemeriksaan, serta dilaksanakan berdasarkan iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.



Pasal 110

Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata Cara Penagihan dan Pemeriksaan Pajak Daerah ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah.



BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 111

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 2018
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI

 

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 31 Desember 2018

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJ ANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2018 NOMOR 1852