Peraturan Lainnya Nomor 4 TAHUN 2021

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

TIMELINE


PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 4 TAHUN 2021
 
TENTANG
 
PEDOMAN DAN TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA
BERBASIS RISIKO DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL REPUBLIK INDONESIA,
 

Menimbang :


bahwa untuk memberikan kepastian hukum dalam proses penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf a dan huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, perlu menetapkan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal tentang Pedoman dan Tata Cara Pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal;

 

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2018 tentang Pemberdayaan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6220);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 218, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6418);
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6618);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6619);
  8. Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 35);
  9. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 61);
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 432) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.010/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1472);
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.010/2015 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal dalam Rangka Pembangunan atau Pengembangan Industri Pembangkitan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 464);
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.04/2019 tentang Pembebasan atau Keringanan Bea Masuk dan/atau Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang dalam Rangka Kontrak Karya atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 913);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.010/2019 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1028);
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.010/2020 tentang Pelaksanaan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 114);
  15. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto atas Penanaman Modal Baru atau Perluasan Usaha pada Bidang Usaha Tertentu yang Merupakan Industri Padat Karya (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 227);
  16. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.010/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78 Tahun 2019 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 839);
  17. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1088);
  18. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153/PMK.010/2020 tentang Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu di Indonesia (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1173);
  19. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.010/2020 tentang Perlakuan Perpajakan, Kepabeanan, dan Cukai pada Kawasan Ekonomi Khusus (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1685);
  20. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 4 Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1172);
  21. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Fasilitas Pajak Penghasilan Badan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu secara Luar Jaringan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1299);
  22. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7 Tahun 2020 tentang Rincian Bidang Usaha dan Jenis Produksi Industri Pionir serta Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1437);
  23. Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 3 Tahun 2021 tentang Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Terintegrasi secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 271);

 

 

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL TENTANG PEDOMAN DAN TATA CARA PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan:

  1. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  3. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  4. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah Perizinan Berusaha berdasarkan tingkat Risiko kegiatan usaha.
  5. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
  6. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  7. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
  8. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal.
  9. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan, badan usaha, kantor perwakilan, dan badan usaha luar negeri yang melakukan kegiatan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
  10. Penanam Modal Dalam Negeri adalah Pelaku Usaha perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan Penanaman Modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
  11. Penanam Modal Asing adalah Pelaku Usaha perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan Penanaman Modal di wilayah Negara Republik Indonesia.
  12. Penanaman Modal Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PMDN adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Penanam Modal Dalam Negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
  13. Penanaman Modal Asing yang selanjutnya disingkat PMA adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Penanam Modal Asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan Penanam Modal Dalam Negeri.
  14. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
  15. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
  16. Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
  17. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.
  18. Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
  19. Nomor Induk Kependudukan yang selanjutnya disingkat NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal, dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia.
  20. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan tenaga kerja asing pada jabatan tertentu yang dibuat oleh pemberi kerja tenaga kerja asing untuk jangka waktu tertentu yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.
  21. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah rencana secara terperinci tentang tata ruang wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota.
  22. Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  23. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
  24. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
  25. Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah rangkaian proses pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang dituangkan dalam bentuk standar untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  26. Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan, untuk digunakan sebagai prasyarat pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan serta termuat dalam Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
  27. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
  28. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup Rinci, yang selanjutnya disebut RKL Rinci, adalah upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berada dalam Kawasan yang sudah memiliki Amdal kawasan.
  29. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
  30. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup Rinci, yang selanjutnya disebut RPL Rinci, adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang berada dalam Kawasan yang sudah memiliki Amdal kawasan.
  31. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut SPPL adalah pernyataan kesanggupan dari penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup atas Dampak Lingkungan Hidup dari Usaha dan/atau Kegiatannya di luar Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL.
  32. Pengembangan Usaha adalah penambahan/perluasan kegiatan usaha dengan cara menambah kapasitas, bidang usaha, dan/atau lokasi.
  33. Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat PTSP adalah pelayanan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu.
  34. PTSP Pusat di BKPM adalah Pelayanan terkait Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Pemerintah diselenggarakan secara terintegrasi dalam satu kesatuan proses dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap penyelesaian produk pelayanan melalui satu pintu di BKPM.
  35. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan ekonomi khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.
  36. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri.
  37. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
  38. Hari adalah hari kerja sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
  39. Laporan Kegiatan Penanaman Modal yang selanjutnya disingkat LKPM adalah laporan mengenai perkembangan realisasi Penanaman Modal dan permasalahan yang dihadapi Pelaku Usaha yang wajib dibuat dan disampaikan secara berkala.
  40. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah usaha mikro, usaha kecil, dan usaha menengah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  41. Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah usaha mikro dan usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  42. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disebut KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.
  43. Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk insentif fiskal dan non fiskal serta kemudahan pelayanan Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  44. Industri Pionir adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
  45. Saat Mulai Berproduksi Komersial adalah saat pertama kali hasil produksi dari Kegiatan Usaha Utama dijual ke pasaran dan/atau digunakan sendiri untuk proses produksi lebih lanjut.

      


Pasal 2

Pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal yang diatur dalam Peraturan Badan ini dimaksudkan sebagai panduan penggunaan dalam pelaksanaan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan pemberian Fasilitas Penanaman Modal bagi:

  1. Lembaga OSS;
  2. kementerian/lembaga;
  3. DPMPTSP provinsi dan perangkat daerah teknis provinsi;
  4. DPMPTSP kabupaten/kota dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota;
  5. administrator KEK;
  6. badan pengusahaan KPBPB; dan/atau
  7. Pelaku Usaha serta masyarakat umum lainnya.

      


Pasal 3

Pedoman dan tata cara pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal bertujuan untuk tercapainya pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Fasilitas Penanaman Modal yang terintegrasi secara elektronik, terstandar, cepat, sederhana, dan transparan.

 


BAB II
RUANG LINGKUP
 
Pasal 4

(1) Layanan yang diatur dalam Peraturan Badan ini meliputi:
  1. layanan penerbitan Perizinan Berusaha; dan
  2. layanan Fasilitas Penanaman Modal.
(2) Penerbitan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi layanan atas:
  1. data pelaku usaha dan data usaha;
  2. penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
  3. penerbitan Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha;
  4. penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko untuk UMK;
  5. perubahan data usaha;
  6. pengembangan usaha; dan
  7. penggabungan, peleburan, dan pembubaran usaha.
(3) Layanan Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
     a.    layanan fasilitas fiskal; dan
     b.    layanan fasilitas non fiskal.
(4) Layanan fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a mencakup:
  1. fasilitas pembebasan bea masuk atas impor;
  2. fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
  3. fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan;
  4. fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu pada KEK;
  5. fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di indonesia;
  6. pemberian pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu; dan
  7. pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
(5) Layanan fasilitas non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa rekomendasi keimigrasian, terdiri atas:
  1. rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas; dan
  2. rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap.


Pasal 5

(1) Layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) mencakup sektor:
  1. kelautan dan perikanan;
  2. pertanian;
  3. lingkungan hidup dan kehutanan;
  4. energi dan sumber daya mineral;
  5. ketenaganukliran;
  6. perindustrian;
  7. perdagangan;
  8. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
  9. transportasi;
  10. kesehatan, obat dan makanan;
  11. pendidikan dan kebudayaan;
  12. pariwisata;
  13. keagamaan;
  14. pos, telekomunikasi, penyiaran, dan sistem dan transaksi elektronik;
  15. pertahanan dan keamanan;
  16. ketenagakerjaan; dan
  17. keuangan.
(2) Layanan atas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q meliputi:
  1. penerbitan NIB sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usaha perbankan dan non perbankan; dan
  2. layanan fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(3) Perizinan Berusaha sebagai legalitas pelaksanaan kegiatan usaha perbankan dan non perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


  

BAB III
KETENTUAN PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA
 
Bagian Kesatu
Perizinan Berusaha
 

Pasal 6

Perizinan Berusaha mencakup:

  1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
  2. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.

      


Pasal 7

(1) Untuk memulai dan melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memenuhi:
  1. persyaratan dasar; dan/atau
  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diatur di dalam Peraturan Badan ini sebagaimana diatur di dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko yang terdiri atas:
  1. NIB;
  2. Sertifikat Standar; dan
  3. Izin.
(3) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan melalui Sistem OSS berdasarkan penetapan tingkat risiko, peringkat skala kegiatan usaha meliputi UMK-M dan/atau usaha besar, dan luas lahan sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
  1. rendah;
  2. menengah rendah;
  3. menengah tinggi; dan
  4. tinggi,
yang dikaitkan dengan KBLI atas kegiatan atau bidang usaha yang akan dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(5) Dalam hal tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdapat pengaturan oleh lebih dari 1 (satu) kementerian/lembaga, penetapan tingkat risiko mengacu kepada kementerian/lembaga pembina utama sektor usaha yang sudah dilaksanakan sebelum berlakunya Sistem OSS berbasis risiko.
(6) Pemenuhan standar dan/atau persyaratan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berdasarkan tingkat risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mengacu kepada NSPK kementerian/lembaga pembina utama sektor usaha.


Pasal 8

(1) Dalam hal diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup standar usaha dan/atau standar produk yang dapat diajukan sebelum atau sesudah tahap operasional dan/atau komersial sesuai dengan ketentuan kementerian/lembaga.


      

Bagian Kedua
Pemohon Perizinan Berusaha
 
Pasal 9

(1) Pelaku Usaha yang dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha terdiri atas:
  1. orang perseorangan;
  2. badan usaha;
  3. kantor perwakilan; dan
  4. badan usaha luar negeri.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(3) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia atau orang perseorangan warga negara asing, atau badan usaha yang merupakan perwakilan Pelaku Usaha dari luar negeri dengan persetujuan pendirian kantor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(4) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(5) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit terdiri atas:
  1. perseroan terbatas;
  2. persekutuan komanditer (commanditaire vennotschap);
  3. persekutuan firma (venootschap onder firma);
  4. persekutuan perdata;
  5. koperasi;
  6. yayasan;
  7. perusahaan umum;
  8. perusahaan umum daerah;
  9. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara; dan
  10. lembaga penyiaran.
(6) Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf i berupa Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, Lembaga Pengelola Investasi, Bank Tanah, dan Badan Layanan Umum.
(7) Penanaman modal yang dilakukan oleh orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikategorikan ke dalam PMDN.
(8) Penanaman modal yang dilakukan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikategorikan ke dalam PMDN dan PMA.
(9) PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
(10) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit terdiri atas:
  1. kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing;
  2. kantor perwakilan perusahaan asing;
  3. kantor perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing; dan/atau
  4. kantor perwakilan jasa penunjang tenaga listrik asing.
(11)

Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia paling sedikit terdiri atas:

  1. pemberi waralaba dari luar negeri;
  2. pedagang berjangka asing;
  3. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat asing; dan
  4. bentuk usaha tetap.
(12) Bentuk usaha tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (11) huruf d termasuk kantor perwakilan yang didirikan untuk melakukan kegiatan usaha di sektor minyak dan gas bumi.


Bagian Ketiga
Penerbit Perizinan Berusaha
 
Pasal 10

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan oleh:
  1. Lembaga OSS;
  2. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian untuk kegiatan usaha yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat
  3. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur untuk kegiatan usaha yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi;
  4. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota untuk kegiatan usaha yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;
  5. administrator KEK untuk kegiatan usaha yang berlokasi di KEK; dan
  6. kepala badan pengusahaan KPBPB untuk kegiatan usaha yang berlokasi di KPBPB.
(2) Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi;
b. penanaman modal yang meliputi:
  1. penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi;
  2. penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional;
  3. penanaman modal yang terkait dengan fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;
  4. penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;
  5. PMA dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan pemerintah negara lain; dan/atau
  6. bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah menurut Undang-Undang.
(3) Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c mencakup:
  1. penanaman modal yang ruang lingkup kegiatan lintas kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi;
  2. penanaman modal yang kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah provinsi yang diberikan pelimpahan/pendelegasian wewenang dari pemerintah kepada gubernur;
  3. penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. industri yang diklasifikasikan sebagai industri besar, kecuali untuk jenis industri yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
(4) Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mencakup:
  1. penanaman modal yang ruang lingkup kegiatan di kabupaten/kota;
  2. yang dipertugasbantukan kepada pemerintah kabupaten/kota;
  3. penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  4. industri yang diklasifikasikan sebagai industri menengah dan industri kecil yang lokasi industrinya berada pada kabupaten/kota, kecuali untuk jenis industri yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah provinsi.
(5) Kewenangan administrator KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan kepala badan pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f mencakup kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dilaksanakan berdasarkan pelimpahan/pendelegasian kewenangan dari Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dan memperhatikan peraturan perundang-undangan terkait KEK dan KPBPB.
(6) Kewenangan Pemerintah Pusat untuk bidang industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2, mencakup:
  1. industri strategis;
  2. industri teknologi tinggi;
  3. industri minuman beralkohol;
  4. industri yang terkait langsung dengan pertahanan dan keamanan;
  5. industri yang berdampak penting pada lingkungan; dan
  6. industri yang merupakan PMA dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain.
(7) Kewenangan penerbitan Perizinan Berusaha mencakup:
  1. NIB oleh Lembaga OSS; dan b.
  2. Sertifikat Standar, Izin, dan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha diterbitkan sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(8) Lembaga OSS menerbitkan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a berdasarkan:
  1. tingkat risiko;
  2. ketentuan bidang usaha penanaman modal;
  3. ketentuan minimum investasi; dan
  4. ketentuan permodalan.

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Khusus Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berupa standar produk diterbitkan oleh Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian.


Bagian Keempat
Ketentuan Nilai Investasi dan Permodalan
 
Paragraf 1
UMK-M
 
Pasal 11

(1) Ketentuan nilai investasi dan permodalan bagi UMK-M mengikuti kriteria modal usaha sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah.
(2) Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
  1. usaha mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
  2. usaha kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
  3. usaha menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

 


Paragraf 2
Usaha Besar
 
Pasal 12

(1) Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b yang tergolong PMA dikategorikan sebagai usaha besar dan wajib mengikuti ketentuan minimum nilai investasi, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan minimum nilai investasi bagi PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu total investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi proyek.
(3) Ketentuan total investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk beberapa kegiatan usaha:
a. khusus untuk kegiatan usaha perdagangan besar, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 4 (empat) digit awal KBLI;
b. khusus untuk kegiatan usaha jasa makanan dan minuman, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan, adalah per 2 (dua) digit awal KBLI per satu titik lokasi;
c. khusus untuk kegiatan usaha jasa konstruksi, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan dalam satu kegiatan, adalah per 4 (empat) digit awal KBLI;
d. khusus untuk kegiatan usaha industri yang menghasilkan jenis produk dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) lini produksi, lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan; atau
e. khusus untuk kegiatan usaha pembangunan dan pengusahaan properti berlaku ketentuan:
  1. berupa properti dalam bentuk bangunan gedung secara utuh atau komplek perumahan secara terpadu dengan ketentuan nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) termasuk tanah dan bangunan; atau
  2. berupa unit properti tidak dalam 1 (satu) bangunan gedung secara utuh atau 1 (satu) kompleks perumahan secara terpadu, nilai investasi lebih besar dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan;
(4) Satu kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c merupakan satu jenis kegiatan usaha jasa konstruksi, meliputi:
  1. usaha jasa konsultasi konstruksi;
  2. usaha pekerjaan konstruksi; atau
  3. usaha pekerjaan konstruksi terintegrasi.
(5) Usaha jasa konsultasi konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a tidak dapat digabung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan/atau ayat (4) huruf c.
(6) Selain ketentuan nilai minimum investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bagi PMA, diatur ketentuan minimum permodalan.
(7) Ketentuan minimum permodalan bagi PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan modal ditempatkan/disetor paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.


Pasal 13

Ketentuan nilai investasi dan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (7) dikecualikan bagi kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan huruf d.


 

Bagian Kelima
Kewajiban Divestasi
 
Pasal 14

(1) Kewajiban divestasi saham badan usaha PMA yang telah ditetapkan pada surat persetujuan dan/atau Izin Usaha sebelum berlakunya Peraturan Badan ini, tetap mengikat dan harus dilaksanakan sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
(2) Kewajiban divestasi sesuai dengan sektor usaha bagi badan usaha PMA tetap harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dapat dilakukan kepada warga negara Indonesia atau badan usaha Indonesia yang modal saham seluruhnya dimiliki warga negara Indonesia melalui kepemilikan langsung sesuai dengan kesepakatan para pihak dan/atau pasar modal dalam negeri.
(4) Kepemilikan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi warga negara Indonesia atau badan usaha Indonesia paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk masing-masing pemegang saham.
(5) Kepemilikan pada pasar modal dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(6) Kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan dasar dokumen akta yang menyatakan kesepakatan para pihak terkait pelaksanaan kewajiban divestasi saham.
(7) Kepemilikan saham peserta Indonesia akibat dari pelaksanaan divestasi saham, setelah mendapat persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, dapat dijual kembali kepada perseorangan warga negara Indonesia/perseorangan warga negara asing/badan usaha Indonesia/badan usaha asing dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8)

Kewajiban divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat tidak dilaksanakan apabila ketentuan yang berlaku tidak mewajibkan divestasi dan di dalam dokumen akta perusahaan para pemegang saham menyepakati:

  1. untuk badan usaha PMA yang tidak 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh asing, pihak Indonesia menyatakan bahwa tidak menghendaki/menuntut kepemilikan saham sesuai dengan ketentuan divestasi saham yang tercantum didalam surat persetujuan dan/atau Izin Usaha; atau
  2. untuk badan usaha PMA yang 100% (seratus persen) sahamnya dimiliki oleh asing, para pemegang saham menyatakan tidak mempunyai komitmen/perjanjian dengan pihak Indonesia manapun untuk menjual saham.
(9) Dalam hal kewajiban divestasi saham yang dapat tidak dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b, para pemegang saham/badan usaha bertanggung jawab apabila dikemudian hari ada pihak-pihak Indonesia yang menuntut dilaksanakannya kewajiban divestasi saham tersebut.
(10) Dalam hal perubahan kepemilikan saham untuk pelaksanaan kewajiban divestasi saham telah selesai dilakukan dan disahkan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, Pelaku Usaha wajib melakukan perubahan data di Sistem OSS.
(11) Pelaku Usaha menyampaikan kesepakatan para pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (8), kepada kepala lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(12) Lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal melakukan evaluasi dan penilaian atas penyampaian kesepakatan para pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (11).
(13) Dalam hal hasil evaluasi dan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (12):
  1. disetujui, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal memberikan keterangan gugur terhadap kewajiban divestasi tersebut; atau
  2. tidak disetujui, lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal memberikan surat penjelasan dan alasan penolakan.


Bagian Keenam
Ketentuan Bidang Usaha
 
Pasal 15

(1) Selain ketentuan nilai investasi dan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, Pelaku Usaha juga harus memperhatikan:
  1. KBLI;
  2. bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas;
  3. bidang usaha dengan persyaratan tertentu;
  4. bidang usaha yang dialokasikan bagi koperasi dan UMK-M dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan UMK-M;
  5. bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal;
  6. bidang usaha khusus (single purpose dan single majority); dan
  7. peraturan perundang-undangan yang terkait.
(2) Bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, bidang usaha dengan persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, bidang usaha yang dialokasikan bagi koperasi dan UMK-M dan bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar yang bermitra dengan koperasi dan UMK-M sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal sebagaimana pada ayat (1) huruf e diatur sesuai ketentuan dalam peraturan presiden tentang bidang usaha penanaman modal.
(3) Bidang usaha khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


           


Bagian Ketujuh
Ketentuan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
Kantor Perwakilan dan Badan Usaha Luar Negeri
 
Pasal 16

(1) Kantor Perwakilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d mengikuti ketentuan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan.
(2) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui Sistem OSS.
(3) Terhadap kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10) huruf b, berlaku ketentuan pembatasan sebagai berikut:
  1. sebagai pengawas, penghubung, koordinator, dan mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya;
  2. mempersiapkan pendirian dan Pengembangan Usaha perusahaan PMA di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia;
  3. berlokasi di gedung perkantoran di ibu kota provinsi;
  4. tidak mencari sesuatu penghasilan dari sumber di Indonesia termasuk tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau melakukan sesuatu perikatan/transaksi penjualan dan pembelian barang atau jasa komersial dengan perusahaan atau perorangan di dalam negeri; dan
  5. tidak ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang ada di Indonesia.
(4) Kepala perwakilan perusahaan asing harus bertempat tinggal di Indonesia, bertanggung jawab penuh atas kelancaran jalannya kantor, tidak dibenarkan melakukan kegiatan di luar kegiatan perwakilan perusahaan asing dan tidak merangkap jabatan sebagai pimpinan perusahaan dan/atau lebih dari 1 (satu) perwakilan perusahaan asing
(5) Dalam hal Kepala perwakilan perusahaan asing yang ditunjuk adalah WNA dan/atau mempekerjakan tenaga kerja asing, perwakilan perusahaan asing harus mempekerjakan tenaga kerja Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bagi kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10) huruf b termasuk dalam tingkat risiko rendah dan berlaku selama kantor perwakilan perusahaan asing melakukan kegiatan.


 

BAB IV
Pelaksanaan Perizinan Berusaha Melalui Sistem OSS
 
Bagian Kesatu
Hak Akses
 
Pasal 17

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diterbitkan melalui Sistem OSS.
(2) Dalam melakukan permohonan Perizinan Berusaha, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 diberikan hak akses oleh Lembaga OSS.
(3) Tata cara permohonan dan pemberian hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai ketentuan dalam peraturan badan koordinasi penanaman modal mengenai sistem perizinan berusaha berbasis risiko terintegrasi secara elektronik.

    


Bagian Kedua
Penerbitan Perizinan Berusaha
 
Paragraf 1
NIB
 
Pasal 18

(1) Dalam memulai kegiatan usaha, Pelaku Usaha harus memiliki NIB.
(2) Setiap Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) NIB
(3) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas bagi Pelaku Usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha.
(4) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai:
  1. angka pengenal impor;
  2. hak akses kepabeanan;
  3. pendaftaran kepesertaan Pelaku Usaha untuk jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan; dan
  4.  wajib lapor ketenagakerjaan untuk periode pertama Pelaku Usaha.
(5) Pelaku Usaha yang memerlukan angka pengenal impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a harus memilih:
  1. angka pengenal impor umum untuk kegiatan impor barang yang diperdagangkan; atau
  2. angka pengenal impor produsen untuk kegiatan impor barang yang dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi.
(6) Pelaku Usaha orang perseorangan hanya dapat memilih angka pengenal impor produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b untuk kepentingan kegiatan usahanya sebagaimana yang tercantum di dalam Perizinan Berusaha.
(7) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud ayat (5) tidak termasuk Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan huruf d.


Paragraf 2
Data Pelaku Usaha dan Rencana Umum Kegiatan Usaha
 
Pasal 19

(1) Dalam memohonkan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Pelaku Usaha memastikan kelengkapan data Pelaku Usaha dan rencana umum kegiatan usaha.
(2) Data Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk orang perseorangan paling sedikit terdiri atas:
     a.    nama dan NIK;
     b.    NPWP orang perseorangan;
     c.    rencana permodalan; dan
     d.    nomor telepon seluler dan/atau alamat surat elektronik (email).
(3) Data Pelaku Usaha berupa nama dan NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan data yang diakses dari data kependudukan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
(4) Untuk mengakses data sebagaimana dimaksud pada ayat (3), orang perseorangan mengisi NIK dalam Sistem OSS.
(5) Data Pelaku Usaha berupa NPWP orang perseorangan dan rencana permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c diisi oleh Pelaku Usaha.
(6) Data Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk badan usaha paling sedikit terdiri atas:
  1. nama badan usaha;
  2. jenis badan usaha;
  3. status penanaman modal;
  4. nomor akta pendirian atau nomor pendaftaran beserta pengesahannya;
  5. alamat korespondensi;
  6. besaran rencana permodalan;
  7. data pengurus dan pemegang saham;
  8. negara asal penanam modal, dalam hal terdapat PMA;
  9. maksud dan tujuan badan usaha;
  10. nomor telepon badan usaha;
  11. alamat surat elektronik (email) badan usaha; dan
  12. NPWP badan usaha.
(7) Rencana umum kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk orang perseorangan dan badan usaha paling sedikit terdiri atas:
  1. bidang usaha sesuai KBLI;
  2. lokasi usaha;
  3. akses kepabeanan;
  4. angka pengenal importir;
  5. keikutsertaan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan; dan
  6. status laporan ketenagakerjaan.
(8) Data Pelaku Usaha untuk badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan rencana bidang usaha sesuai KBLI sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a merupakan data yang ditarik dari sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(9) Penarikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (8), badan usaha mengisi nama badan usaha dan/atau nomor pengesahan legalitas dalam Sistem OSS.
(10) Dalam hal data sebagaimana dimaksud ayat (6) dan ayat (7) huruf a belum tersedia secara dalam jaringan (daring) sesuai dengan integrasi antara Sistem OSS dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia, badan usaha melakukan pengisian data Pelaku Usaha.
(11) Rencana umum kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b sampai dengan huruf f diisi oleh Pelaku Usaha.

 


      

Pasal 20

(1) Bagi orang perseorangan yang belum memiliki NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b, dapat mengajukan permohonan NPWP melalui Sistem OSS yang terintegrasi dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(2) Terhadap data NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf b dan ayat (6) huruf l, Sistem OSS melakukan validasi kesesuaian data dan/atau konfirmasi status wajib pajak melalui integrasi dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

         


Pasal 21

(1) Pengisian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) huruf b paling sedikit:
  1. alamat lokasi usaha;
  2. kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang;
  3. informasi penguasaan lahan;
  4. koordinat lokasi;
  5. rencana luas dan jumlah lantai bangunan; dan
  6. rencana jumlah bangunan.
(2) Dalam hal lokasi usaha belum memiliki RDTR, Pelaku Usaha selain melakukan pengisian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga mengunggah data rencana teknis bangunan dan/atau rencana induk kawasan.
(3) Alamat lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diisi paling sedikit alamat lengkap yang mencakup kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi.
(4) Kebutuhan luas lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diisi dengan luas lahan yang direncanakan untuk digunakan dalam satuan hektar (ha) atau meter persegi (m2).
(5) Informasi penguasaan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diisi dengan status penguasaan lahan berupa milik sendiri/sewa/pinjam pakai/menggunakan lahan sebelumnya.
(6) Koordinat lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diisi berupa koordinat lintang (latitude) dan bujur (longitude) dan digambarkan dalam bentuk poligon yang dapat memberikan informasi luasan dan bentuk.
(7) Rencana luas dan jumlah lantai bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e disertakan pada pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang akan dilakukan pembangunan gedung.
(8) Rencana jumlah bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f mencakup bangunan yang merupakan kapasitas produk/jasa yang dihasilkan dan/atau prasarana yang diperlukan dalam mendukung kegiatan usaha.
(9) Dalam pengisian rencana jumlah bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, Pelaku Usaha juga mengisi status penguasaan bangunan yang meliputi sewa/bukan sewa/pinjam pakai/menggunakan bangunan proyek sebelumnya.
(10) Dalam hal rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada wilayah perairan pesisir, perairan, atau laut, selain koordinat lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pelaku Usaha juga mengisi data kedalaman lokasi, rencana bangunan dan instalasi di laut, dan informasi pemanfaatan ruang di sekitarnya.
(11) Data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan data integrasi:
  1. lokasi daratan antara Sistem OSS dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang;
  2. lokasi laut antara Sistem OSS dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan; dan
  3. lokasi hutan antara Sistem OSS dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.



Pasal 22

(1) Data Pelaku Usaha untuk kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c dan huruf d paling sedikit mencakup:
  1. nama perusahaan di luar negeri yang menunjuk;
  2.  kegiatan usaha perusahaan di luar negeri yang menunjuk;
  3. alamat perusahaan di luar negeri yang menunjuk, termasuk negara asal; dan
  4. data kantor perwakilan di Indonesia.
(2) Data kantor perwakilan di Indonesia sebagaimana ayat (1) huruf d paling sedikit terdiri atas:
  1. alamat lengkap korespondensi;
  2. nomor telepon kantor perwakilan yang dapat dihubungi; dan
  3. alamat surat elektronik (email)



Paragraf 3
Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
 
Pasal 23

Persyaratan dasar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko meliputi:

  1. kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
  2. Persetujuan Lingkungan; dan
  3. PBG dan SLF.

      


Pasal 24

(1) Dalam proses penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, atas isian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1), Sistem OSS melakukan pemeriksaan persyaratan dasar Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berupa kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a.
(2) Pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup lokasi usaha:
  1. daratan;
  2. laut; dan/atau
  3. kawasan hutan.
(3) Laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan perairan pesisir, wilayah perairan, dan wilayah yurisdiksi sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan penataan ruang.

 


Pasal 25

(1) Dalam hal rencana lokasi usaha berada di daratan, Sistem OSS melakukan pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (11) huruf a.
(2) Atas pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga OSS menerbitkan:
  1. konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang; atau
  2. persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(3) Pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu dilakukan atas ketersediaan RDTR daerah.
(4) Dalam hal atas rencana lokasi usaha yang dimohonkan sudah sesuai dengan RDTR daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sistem OSS secara otomatis menerbitkan konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini. Dalam hal atas rencana lokasi usaha yang dimohonkan tidak sesuai dengan RDTR daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sistem OSS menyampaikan notifikasi ketidaksesuaian tata ruang kepada Pelaku Usaha dan permohonan NIB tidak dapat dilanjutkan.
(5) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mencari alternatif lokasi yang sesuai tata ruang dan melakukan penyesuaian isian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).

     


Pasal 26

(1) Dalam hal atas rencana lokasi usaha daratan yang dimohonkan, Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR, Sistem OSS akan mengirimkan notifikasi permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf b kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang atau DPMPTSP Provinsi atau Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya.
(2) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang atau DPMPTSP provinsi atau kabupaten/kota sesuai kewenangannya melakukan penilaian kesesuaian kegiatan pemanfaatan dengan kajian menggunakan asas berjenjang dan komplementer yang berdasarkan:
  1. rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;
  2. rencana tata ruang wilayah provinsi;
  3. rencana tata ruang kawasan strategis nasional
  4. rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu (RZ KSNT);
  5. rencana zonasi kawasan antar wilayah (RZ KAW);
  6. rencana tata ruang pulau/kepulauan; dan/atau
  7. rencana tata ruang wilayah nasional.
(3) Sistem OSS yang terintegrasi dengan sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, menyampaikan notifikasi permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, DPMPTSP provinsi atau DPMPTSP kabupaten/kota dan kantor pertanahan sesuai kewenangan.
(4) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kantor pertanahan menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang atau DPMPTSP provinsi atau DPMPTSP kabupaten/kota sesuai kewenangannya paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak pendaftaran atau pembayaran penerimaan negara bukan pajak yang dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(5) Dalam hal kantor pertanahan tidak menyampaikan pertimbangan teknis pertanahan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kantor pertanahan dimaksud dianggap telah memberikan pertimbangan teknis pertanahan.
(6) Hasil penilaian yang dilakukan dengan mempertimbangkan kajian sebagaimana dimaksud ayat (2) dan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud ayat (4) dinotifikasi melalui Sistem OSS dan selanjutnya:
  1. dalam hal disetujui, Sistem OSS menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, bagi Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, DPMPTSP provinsi atas nama gubernur, atau DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/walikota sesuai kewenangan serta menotifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik, dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini; atau
  2. dalam hal ditolak, Sistem OSS menyampaikan notifikasi penolakan kepada Pelaku Usaha dan permohonan NIB tidak dapat dilanjutkan.
(7) Dalam hal permohonan memerlukan kelengkapan data atau persyaratan, Sistem OSS menyampaikan notifikasi kepada Pelaku Usaha dan Pelaku Usaha menyampaikan kelengkapan data melalui Sistem OSS.
(8) Dalam hal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b berupa ketidaksesuaian lokasi atas tata ruang, Pelaku Usaha mencari alternatif lokasi yang sesuai tata ruang dan melakukan penyesuaian isian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(9) Jangka waktu penerbitan atau penolakan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling lama 20 (dua puluh) Hari dihitung sejak permohonan diajukan.
(10) Dalam hal menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang dan agraria atau DPMPTSP provinsi atau DPMPTSP kabupaten/kota sesuai kewenangannya tidak menyampaikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (9), menteri atau DPMPTSP dianggap telah memberikan persetujuan dan Sistem OSS menerbitkan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(11) Terhadap rencana lokasi usaha yang dimohonkan Pelaku UMK berdasarkan pernyataan bahwa kegiatan usaha telah sesuai rencana tata ruang dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini, tidak diperlukan penerbitan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
(12) Dalam hal Pelaku Usaha menengah dan besar melakukan pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan luasan tidak lebih dari 5 ha (lima hektare), persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan atas pernyataan Pelaku Usaha sesuai format dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini pada Sistem OSS.
(13)

Persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang diterbitkan secara otomatis dalam hal:

  1. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan terletak di lokasi Kawasan Industri, kawasan pariwisata, dan KEK;
  2. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan letak tanahnya berbatasan dengan lokasi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dengan peruntukan tata ruang yang sama;
  3. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan izin lokasi/kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan akan digunakan oleh Pelaku Usaha;
  4. lokasi usaha dan/atau kegiatan yang terletak pada wilayah usaha minyak dan gas bumi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah; dan/atau
  5. tanah lokasi usaha dan/atau kegiatan berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut.
(14) Mekanisme verifikasi, persetujuan, dan penolakan serta jangka waktu yang diperlukan dalam rangka persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang ditetapkan dan diatur di dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan penataan ruang.

 

         

Pasal 27

(1) Dalam hal rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) huruf b berada di laut, pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (11) huruf b dengan mengacu pada:
  1. rencana zonasi; atau
  2. rencana tata ruang.
(2) Sistem OSS mengirimkan notifikasi permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan berdasarkan isian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (10).
(3) Dalam hal lokasi pemanfaatan ruang laut merupakan kewenangan gubernur, Sistem OSS mengirimkan notifikasi permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut kepada DPMPTSP provinsi.
(4) Terhadap permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan notifikasi persetujuan atau penolakan ke dalam Sistem OSS paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak permohonan NIB diajukan.
(5) Berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS akan menerbitkan:
  1. persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut;
  2. catatan kelengkapan persyaratan pemanfaatan ruang laut; atau
  3. penolakan kegiatan pemanfaatan ruang laut.
(6) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terlampaui, persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Dalam hal permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditolak, Sistem OSS menyampaikan notifikasi penolakan kepada Pelaku Usaha dan permohonan NIB tidak dapat dilanjutkan.
(8) Dalam hal penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) karena ketidaksesuaian lokasi atas rencana zonasi atau rencana tata ruang, Pelaku Usaha mencari alternatif lokasi dan melakukan penyesuaian isian data rencana lokasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(9) Mekanisme verifikasi, persetujuan, dan penolakan serta jangka waktu yang diperlukan dalam rangka persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sesuai ketentuan dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan penataan ruang.

      


Pasal 28

(1) Dalam hal rencana lokasi usaha berada di kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf c, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan melalui Sistem OSS untuk kegiata
  1. pemanfaatan kawasan hutan;
  2. penggunaan kawasan hutan; atau
  3. pelepasan kawasan hutan.
(2) Atas kegiatan pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha diberikan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(3) Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan melalui Sistem OSS dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Badan ini.
(4) Untuk kegiatan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha wajib mendapatkan persetujuan penggunaan kawasan hutan.
(5) Untuk kegiatan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pelaku Usaha wajib mendapatkan persetujuan pelepasan kawasan hutan.
(6) Dalam hal kegiatan dan rencana lokasi usaha yang dimohonkan Pelaku Usaha membutuhkan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS mengirimkan notifikasi permohonan ke sistem kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk dilakukan verifikasi dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dinotifikasi melalui Sistem OSS yang terdiri atas:
  1. persetujuan;
  2. catatan kelengkapan persyaratan; atau
  3. penolakan,
atas penggunaan kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan.
(8) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf c, Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan akan menerbitkan persetujuan atau penolakan penggunaan kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan.
(9) Terhadap notifikasi catatan kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, Sistem OSS meneruskan kepada Pelaku Usaha.
(10) Dalam hal kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan tidak memberikan notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, huruf b, dan huruf c, Sistem OSS menerbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan.
(11) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), mengikuti format sebagaimana diatur di dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

      


Paragraf 4
Data Kegiatan Usaha
 
Pasal 29

(1) Dalam hal secara tata ruang dan rencana umum kegiatan usaha yang dimohonkan sudah sesuai dan disetujui, Pelaku Usaha mengisi data kegiatan usaha untuk melanjutkan proses permohonan NIB.
(2) Bagi orang perseorangan dan badan usaha isian data kegiatan usaha paling sedikit terdiri atas:
  1. jenis produk/jasa yang dihasilkan;
  2. kapasitas produk/jasa;
  3. jumlah tenaga kerja; dan
  4. rencana nilai investasi.
(3) Bagi Pelaku Usaha kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, selain isian data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pelaku Usaha mengunggah kelengkapan dokumen sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
(4) Dalam hal persyaratan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak diatur, Pelaku Usaha mengunggah kelengkapan dokumen sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan per-lokasi.
(6) Bagi badan usaha PMA, Sistem OSS melakukan validasi atas rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
(7) Ketentuan data kegiatan usaha berupa jenis produk/jasa yang dihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a mencakup:
  1. jenis kegiatan yang menghasilkan produk diisi dengan nama produk akhir yang dihasilkan;
  2. jenis produk/jasa untuk kegiatan jasa/perdagangan diisi dengan kegiatan jasa/perdagangan yang dilakukan; dan
  3. kegiatan perdagangan besar mencakup ekspor, impor dan/atau distributor.
(8) Ketentuan data kegiatan usaha berupa kapasitas produk/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b:
  1. untuk kegiatan yang menghasilkan produk, satuan kapasitas diisi dengan satuan volume/berat/unit/buah.
  2. untuk jasa/perdagangan, satuan berupa mata uang dalam rupiah (Rp); dan
  3. untuk jasa terkait prasarana, satuan berupa unit/lantai/kamar sesuai prasarana.
(9) Jumlah tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diisi dengan jumlah tenaga kerja Warga Negara Indonesia yang terdiri atas tenaga kerja laki-laki dan tenaga kerja perempuan.
(10)

Rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d diisi dengan nilai yang mencakup:

  1. nilai pembelian dan pematangan tanah, merupakan nilai perolehan awal atas tanah yang dikeluarkan untuk pengadaan termasuk biaya pematangan tanah (land clearing, cut and fill, dan lainya);
  2. nilai bangunan/gedung, merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan bangunan pabrik, gudang dan prasarana yang ada dalam lokasi proyek, biaya konsultan desain, pembangunan jalan permanen di dalam lokasi proyek, fasilitas umum, dan fasilitas khusus serta sarana pendukung lainnya;
  3. nilai mesin/peralatan, merupakan biaya yang dikeluarkan untuk pembelian mesin/peralatan termasuk suku cadang (spare parts), baik yang diimpor maupun pembelian lokal termasuk peralatan pencegahan pencemaran lingkungan;
  4. nilai investasi lain-lain, merupakan biaya lainnya yang dikeluarkan, termasuk kendaraan operasional perusahaan, peralatan kantor, studi kelayakan, biaya sewa lahan/gedung, biaya survey, perizinan, termasuk biaya operasional (modal kerja) selama masa pembangunan/konstruksi selama perusahaan belum siap produksi komersial, selain untuk tanah, bangunan/gedung, dan mesin/peralatan; dan
  5. nilai modal kerja (untuk 1 turnover), merupakan biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku/penolong, gaji/upah karyawan, biaya operasional (listrik, air, telepon) dan biaya overhead perusahaan pada saat Pelaku Usaha siap mulai beroperasi/produksi.
(11) Selain data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha orang perseorangan dan badan usaha juga mengisi jangka waktu perkiraan mulai beroperasi/produksi dalam bulan dan tahun.


 

Pasal 30

(1) Dalam proses pengisian data rencana umum kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7), Pelaku Usaha orang perseorangan dan badan usaha harus melakukan klarifikasi kegiatan usaha
(2) Klarifikasi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. kegiatan usaha utama;
  2. kegiatan usaha pendukung; dan/atau
  3. kantor cabang administrasi.
(3) Kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kegiatan usaha sebagaimana yang tercantum pada Data Pelaku Usaha dan bertujuan komersial, sumber pendapatan, atau menghasilkan keuntungan bagi Pelaku Usaha.
(4) Ketentuan kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah sebagai berikut:
  1. merupakan kegiatan usaha yang tergolong sebagai pendukung dari kegiatan utama;
  2. bukan merupakan sumber pendapatan bagi Pelaku Usaha;
  3. kegiatannya dapat dilakukan dan diselesaikan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan Kegiatan Usaha Utama;
  4. Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengidentifikasian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
  5. dikecualikan atas validasi ketentuan nilai investasi dan permodalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 12, serta kewajiban pencantuman KBLI dalam maksud dan tujuan pada akta.
(5) Perizinan Berusaha atas Kegiatan Usaha Utama dan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b berupa Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(6) Pada tahap operasional dan/atau komersial, atas kegiatan utama dan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dimohonkan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(7) Kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat yang berlainan yang bersifat administratif, dan tidak memerlukan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(8) Data kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi bagian dari Lampiran NIB.
(9) Dalam hal 1 (satu) kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan:
  1. dalam 1 (satu) lini produksi menghasilkan lebih dari 1 (satu) produk yang berbeda kode KBLI 5 (lima) digit dengan lokasi yang sama; atau
  2. kegiatan yang menghasilkan jasa lebih dari 1 (satu) kode KBLI 5 (lima) digit berbeda dengan lokasi yang sama, kelengkapan data dapat digabung menjadi 1 (satu),
kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dapat digabung menjadi 1 (satu)
(10) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko atas kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a mengikuti basis risiko yang tertinggi.
(11) Perizinan Berusaha Berbasis Risiko atas kegiatan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


           

Pasal 31

(1) Selain dilakukan verifikasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, atas isian rencana umum kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) dan data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Sistem OSS juga akan melakukan pemeriksaan ketentuan lingkungan hidup serta dokumen yang harus diproses oleh Pelaku Usaha berdasarkan kegiatan usaha dan tingkat risikonya.
(2) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang berdampak terhadap lingkungan wajib memiliki dokumen lingkungan hidup berupa:
  1. Amdal;
  2. UKL-UPL; atau
  3. SPPL.
(3) Daftar usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki Amdal, UKL-UPL dan SPPL ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL, Persetujuan Lingkungan diberikan melalui:
  1. penyusunan Amdal dan uji kelayakan Amdal; atau
  2. verifikasi atas UKL-UPL.
(5) Persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha.
(6) Dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal atau UKL-UPL, Sistem OSS meneruskan verifikasi Persetujuan Lingkungan kepada kementerian/lembaga dan dinas teknis terkait di daerah melalui sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.Kementerian/lembaga dan dinas teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melakukan uji kelayakan Amdal atau verifikasi atas UKL-UPL dalam jangka waktu sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Terhadap hasil uji kelayakan Amdal sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan:
  1. surat keputusan kelayakan lingkungan hidup; atau
  2. surat keputusan ketidaklayakan lingkungan hidup yang disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(8) Dalam hal disetujui, atas kegiatan usaha wajib Amdal diterbitkan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan format sebagaimana tercantum dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(9) Dalam hal hasil verifikasi atas UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disetujui, Persetujuan Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan format sebagaimana tercantum dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diterbitkan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(10) Ketentuan dan tata cara pemenuhan dokumen lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai ketentuan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.   
(11) Dalam hal lokasi usaha berada di Kawasan Industri dan/atau KEK, kewajiban dokumen lingkungan yang harus dibuat oleh Pelaku Usaha adalah berupa RKL Rinci dan RPL Rinci.
(12) Format RKL Rinci dan RPL Rinci sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan di lingkungan hidup dan kehutanan.
(13) RKL Rinci dan RPL Rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (13) merupakan bentuk Persetujuan Lingkungan bagi Pelaku Usaha di dalam kawasan yang dinyatakan dalam bentuk SPPL dengan format sebagaimana ketentuan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(14) Terhadap pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (14), Pelaku Usaha mengajukan permohonan pengesahan melalui Sistem OSS kepada pengelola Kawasan Industri dan/atau administrator KEK.
(15) Dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan wajib Amdal atau UKL-UPL dan terdapat dampak lalu lintas, persetujuan teknis atas analisis dampak lalu lintas (ANDALALIN) diintegrasikan ke dalam Amdal atau UKL-UPL sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(16) Dalam hal rencana usaha dan/atau kegiatan tidak termasuk wajib Amdal atau UKL-UPL, SPPL diintegrasikan ke dalam NIB.

  


Pasal 32

(1) Dalam hal pemanfaatan ruang, kegiatan usaha dan lokasi yang dimohonkan sudah sesuai dengan tata ruang, baik secara otomatis oleh Sistem OSS maupun melalui tahapan persetujuan oleh instansi teknis, atas rencana luas dan jumlah lantai bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e dan rencana jumlah bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf f, Sistem OSS memberikan:
  1. notifikasi keperluan PBG kepada sistem informasi manajemen bangunan gedung (SIMBG) yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat; dan
  2. notifikasi kepada Pelaku Usaha untuk menindaklanjuti untuk memperoleh PBG dan SLF ke SIMBG.
(2) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu yang bersamaan, Pelaku Usaha tetap dapat memproses permohonan Perizinan Berusaha.
(3) Mekanisme validasi penolakan dan persetujuan serta jangka waktu yang ditetapkan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.

      

Paragraf 5
RPTKA, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Ketenagakerjaan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan, dan Wajib Lapor Ketenagakerjaan di
Perusahaan
 
Pasal 33

(1) Dalam hal menggunakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan pengesahan RPTKA melalui sistem elektronik yang diselenggarakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Dalam hal Pengesahan RPTKA disetujui, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan menyampaikan persetujuan kepada Lembaga OSS melalui sistem yang terintegrasi dengan Sistem OSS.
(3) Pengesahan RPTKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi bahan Pengawasan.
(4) Tata cara permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai ketentuan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan di bidang hukum dan hak asasi manusia.


      

Pasal 34

(1) Terhadap Pelaku Usaha yang belum terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan, NIB berlaku juga sebagai pendaftaran kepesertaan.
(2) Bagi Pelaku Usaha yang telah terdaftar sebagai peserta jaminan sosial kesehatan harus mengisi nomor virtual account Pelaku Usaha pada Sistem OSS.
(3) Bagi Pelaku Usaha yang telah terdaftar sebagai peserta jaminan sosial ketenagakerjaan harus mengisi nomor pendaftaran perusahaan Pelaku Usaha pada Sistem OSS.
(4) Atas pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS menerbitkan bukti pendaftaran kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan.

     


Pasal 35

(1) Bagi Pelaku Usaha yang belum melakukan wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan, NIB merupakan bukti pemenuhan laporan pertama wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.
(2) Bagi Pelaku Usaha yang telah melakukan wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan, harus mengisi nomor wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan pada saat pendaftaran NIB.
(3) Terhadap bukti pemenuhan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS mengirim data ketenagakerjaan perusahaan kepada sistem wajib lapor ketenagakerjaan yang dikelola kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(4) Terhadap bukti pemenuhan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku usaha yang telah memiliki NIB wajib melakukan pelaporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara berkala setiap 1 (satu) tahun pada bulan Desember sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

      

Bagian Ketiga
Penerbitan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
 
Paragraf 1
Umum
 
Pasal 36

(1) Sistem OSS menerbitkan NIB sebagai identitas dan legalitas untuk melakukan persiapan usaha secara otomatis dan dilengkapi tanda tangan elektronik dengan format sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini berdasarkan:
  1. isian data Pelaku Usaha dan rencana umum kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
  2. hasil pemeriksaan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1); dan
  3. isian data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Sistem OSS secara otomatis mengirimkan notifikasi penerbitan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(3) Dalam proses penerbitan sebagaimana dimaksud ayat (1) juga dilakukan proses validasi tingkat risiko atas kegiatan usaha yang akan dilakukan.
(4) Tingkat risiko yang dimaksud pada ayat (3) mengikuti tingkat risiko sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria kementerian/lembaga yang secara otomatis terverifikasi oleh Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(5) Pelaku Usaha yang termasuk ke dalam kategori Usaha besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan mengajukan permohonan atas kegiatan usaha yang wajib bermitra sebagaimana dimaksud dalam peraturan presiden tentang bidang usaha penanaman modal, menyampaikan pernyataan mengenai komitmen untuk melakukan kemitraan dengan Koperasi dan UMK-M sebelum NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan.
(6) Format pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum pada Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Terhadap pernyataan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, dan administrator KEK, sesuai kewenangannya dapat melakukan Pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

           


Paragraf 2
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Rendah
 
Pasal 37

(1) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah menyampaikan pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang tersedia di Sistem OSS sebelum NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diterbitkan.
(2) Format pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum pada Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(3) Pelaku Usaha memperoleh NIB yang sekaligus menjadi SPPL atas dasar pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Sistem OSS secara otomatis mengirimkan notifikasi penerbitan NIB yang sekaligus menjadi SPPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(5) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagai legalitas untuk melaksanakan persiapan kegiatan berusaha, sekaligus operasional dan/atau komersial.
(6) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan secara otomatis melalui Sistem OSS dilengkapi tanda tangan elektronik dengan format sebagaimana tercantum pada Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha kantor perwakilan perusahaan asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (10) huruf b, dikategorikan dalam tingkat risiko rendah yang ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(8) Terhadap Kantor Perwakilan Perusahaan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (7), NIB diterbitkan dengan format sebagaimana tercantum pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

      


Paragraf 3
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Rendah
 
Pasal 38

(1) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah, mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS sebagaimana format pada Lampiran V setelah memenuhi kelengkapan data.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain menyampaikan pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL disertai dengan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.
(3) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL dalam bentuk pernyataan yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.
(4) Sistem OSS menerbitkan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai kewenangan secara otomatis dan dilengkapi tanda tangan elektronik dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Sistem OSS secara otomatis mengirimkan notifikasi penerbitan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(6) NIB dan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sebagai legalitas untuk melakukan pelaksanaan persiapan, operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.
(7) Terhadap pernyataan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan Pengawasan sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga pemerintah.
(8) Dalam melakukan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota dapat berkoordinasi dengan perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota.

    


Paragraf 4
Perizinan Berusaha Risiko Menengah Tinggi
 
Pasal 39

(1) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha dengan tingkat kategori tingkat risiko menengah tinggi mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha melalui Sistem OSS setelah memenuhi kelengkapan data.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain menyampaikan pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL disertai dengan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi.
(3) Format formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur di dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Format pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Format Sertifikat Standar yang belum diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(6) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) NIB dan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) sebagai legalitas Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.

  



Pasal 40

(1) Terhadap pengisian formulir UKL-UPL dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), Sistem OSS mengirim notifikasi ke sistem informasi dokumen lingkungan hidup yang dikelola oleh menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan untuk dilakukan verifikasi.
(2) Proses verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan notifikasi hasil verifikasi ke Sistem OSS dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari.
(3) Dalam hal verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
  1. disetujui, kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya memberikan notifikasi persetujuan ke Sistem OSS untuk diterbitkan persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup;
  2. terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, Sistem OSS menerbitkan persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup oleh Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, DPMPTSP provinsi atas nama gubernur, DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/walikota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya;
  3. perlu perbaikan, kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi perlunya perbaikan ke Sistem OSS melalui sistem informasi dokumen lingkungan hidup yang dikelola oleh menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan;
  4. ditolak/tidak sesuai standar yang dipersyaratkan, kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi penolakan tidak sesuai dengan standar pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup ke Sistem OSS melalui sistem informasi dokumen lingkungan hidup yang dikelola oleh menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan; dan
  5. terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf d Sistem OSS menerbitkan penolakan atas pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup oleh Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, DPMPTSP provinsi atas nama gubernur, DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/walikota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(4) Dalam hal, kementerian/lembaga, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya tidak memberikan verifikasi dan notifikasi dalam jangka waktu 5 (lima) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS secara otomatis menerbitkan persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup oleh Lembaga OSS atas nama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, DPMPTSP provinsi atas nama gubernur, DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/walikota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.


        

Pasal 41

(1) Terhadap pernyataan kesanggupan memenuhi standar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) dan setelah mendapatkan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi, Pelaku Usaha wajib melakukan pemenuhan standar melalui Sistem OSS dengan jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga pemerintah non kementerian.
(2) Dalam hal kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menetapkan jangka waktu pemenuhan standar, Pelaku Usaha wajib melakukan pemenuhan standar paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari sebelum waktu perkiraan mulai beroperasi/produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 11.
(3) Terhadap pemenuhan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS memberikan peringatan pada waktu 180 (seratus delapan puluh) Hari sebelum waktu perkiraan mulai beroperasi/produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 11.
(4) Sistem OSS menyampaikan notifikasi pemenuhan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kementerian/lembaga pemerintah, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya untuk dilakukan pemeriksaan.
(5) Dalam hal pemeriksaan merupakan kewenangan pemerintah daerah, Sistem OSS juga menyampaikan notifikasi pemenuhan standar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota sesuai kewenangannya.
(6) Terhadap pernyataan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), kementerian/lembaga pemerintah, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(7) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota berkoordinasi dengan DPMPTSP provinsi dan/atau DPMPTSP kabupaten/kota.
(8) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya tidak melakukan pemeriksaan atau jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui, Pelaku Usaha dianggap telah memenuhi standar.
(10) Dalam hal pemenuhan standar yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah diperiksa dan disetujui, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi persetujuan melalui Sistem OSS.
(11) Dalam hal kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya, tidak menotifikasi persetujuan ke dalam Sistem OSS, pemenuhan standar dianggap disetujui.
(12) Dalam hal:
  1. tidak dilakukan pemeriksaan atau jangka waktu terlampaui sebagaimana dimaksud pada ayat (10);
  2. notifikasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) sudah diterima Sistem OSS; atau
  3. tidak ada notifikasi persetujuan ke dalam Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (12),

Sistem OSS mengubah status Sertifikat Standar menjadi telah diverifikasi dalam database OSS dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

(13) Sertifikat Standar dengan status telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (13) sebagai legalitas untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial.

          


Pasal 42

(1) Dalam hal:
  1. pemenuhan standar yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) telah diverifikasi dan ditolak, serta Pelaku Usaha tidak menyampaikan kembali dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi penolakan melalui Sistem OSS; atau
  2. Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan standar usaha dan berdasarkan hasil Pengawasan tidak melakukan persiapan kegiatan usaha dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit, Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya membatalkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha hanya memiliki 1 (satu) kegiatan dan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi dibatalkan, NIB yang telah dimiliki masih tetap berlaku hingga batas waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak Sertifikat Standar dibatalkan.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak melanjutkan kegiatan usaha, NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut.
(4) Mekanisme pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, serta pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur di dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha, atas pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Sistem OSS melakukan pemutakhiran NIB dengan menghapus kegiatan usaha yang tidak memenuhi standar atau ditolak.
(6) Terhadap pemutakhiran NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS menotifikasi ke Pelaku Usaha dan kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya bahwa kegiatan usaha yang tidak memenuhi standar atau ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihapus dari NIB.
(7) NIB tetap berlaku untuk kegiatan usaha lain yang tidak dibatalkan atau dihapus.

      


Pasal 43

(1) Dalam hal diperlukan dan/atau dipersyaratkan, selain NIB dan Sertifikat Standar, Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah dapat memperoleh Sertifikat Standar produk atas produk/jasa yang dihasilkan.
(2) Untuk mendapatkan Sertifikat Standar Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha menyampaikan permohonan pemenuhan standar produk barang dan/atau jasa melalui Sistem OSS.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS mengirimkan notifikasi permohonan kepada kementerian/lembaga sesuai kewenangannya.
(4) Terhadap notifikasi dari Sistem OSS, kementerian/lembaga sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan atas permohonan pemenuhan sertifikasi standar produk dengan durasi atau jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga.
(5) Kementerian/lembaga menyampaikan notifikasi hasil verifikasi berupa penolakan atau persetujuan ke Sistem OSS.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana ayat (2) disetujui, Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga, menerbitkan Sertifikat Standar Produk.

   


     

Paragraf 5
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Tinggi
 
Pasal 44

(1) Pelaku Usaha yang memiliki kegiatan usaha kategori tingkat risiko tinggi, selain NIB, wajib memiliki Izin sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf c dalam melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial.
(2) Dalam hal kegiatan usaha yang dimohonkan termasuk ke dalam kegiatan usaha wajib Amdal, sebelum mengajukan permohonan Izin, Pelaku Usaha juga wajib memiliki Persetujuan Lingkungan berupa keputusan kelayakan lingkungan hidup.
(3) Keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai persyaratan penerbitan Izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal kegiatan usaha yang dimohonkan termasuk ke dalam kegiatan usaha wajib UKL-UPL, pada saat penerbitan NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKLUPL disertai dengan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang tersedia di Sistem OSS.
(5) Terhadap pengisian formulir UKL-UPL dan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketentuan dalam pasal 40 berlaku secara mutatis mutandis.

      


Pasal 45

(1) Untuk mendapatkan Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), Pelaku Usaha wajib menyampaikan pemenuhan persyaratan Izin melalui Sistem OSS dalam jangka waktu sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga.
(2) Dalam hal kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menetapkan jangka waktu pemenuhan persyaratan, Pelaku Usaha wajib melakukan pemenuhan persyaratan paling lambat 90 (sembilan puluh) Hari sebelum waktu perkiraan mulai beroperasi/produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 11.
(3) Terhadap kewajiban pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS memberikan peringatan pada waktu 180 (seratus delapan puluh) Hari sebelum waktu perkiraan mulai beroperasi/produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 11.
(4) Sistem OSS menyampaikan notifikasi pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya untuk dilakukan pemeriksaan
(5) Dalam hal pemeriksaan merupakan kewenangan pemerintah daerah, Sistem OSS juga menyampaikan notifikasi pemenuhan persyaratan kepada perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota sesuai kewenangannya
(6) Terhadap pemenuhan persyaratan Izin yang disampaikan oleh Pelaku Usaha, kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan pemeriksaan sesuai jangka waktu yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga dalam peraturan pemerintah tentang penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
(7) Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota berkoordinasi dengan DPMPTSP provinsi dan/atau DPMPTSP kabupaten/kota.
(8) Dalam hal kementerian/lembaga, perangkat daerah provinsi, perangkat daerah kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya tidak melakukan pemeriksaan atau jangka waktu pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) terlampaui, Pelaku Usaha dianggap telah memenuhi persyaratan Izin.
(9) Dalam hal pemenuhan persyaratan Izin yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. telah diverifikasi dan disetujui; atau
  2. dianggap telah memenuhi,

kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi persetujuan melalui Sistem OSS.

(10) Dalam hal kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya, tidak menotifikasi persetujuan ke dalam Sistem OSS, pemenuhan persyaratan dianggap disetujui.
(11) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Sistem OSS atas nama Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menerbitkan Izin dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Pasal 46

(1) Dalam hal permohonan pemenuhan persyaratan Izin yang disampaikan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) ditolak, Sistem OSS atas nama Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya menyampaikan notifikasi penolakan ke Pelaku Usaha
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
  1. persyaratan tidak memenuhi ketentuan; dan
  2. kekurangan persyaratan.
(3) Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pelaku Usaha tetap dapat melengkapi kekurangan persyaratan selama jangka waktu pemenuhan persyaratan belum terlampaui.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan Izin atau tidak memenuhi ketentuan, Lembaga OSS membatalkan NIB sebagai legalitas yang telah diterbitkan melalui Sistem OSS.
(5) Mekanisme pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur di dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha memiliki lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha, Sistem OSS melakukan pemutakhiran NIB dengan menghapus kegiatan usaha yang tidak memenuhi persyaratan atau ditolak.
(7) Terhadap pemutakhiran NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS menotifikasi ke Pelaku Usaha dan kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya, bahwa kegiatan usaha yang tidak memenuhi persyaratan atau ditolak dihapus dari NIB.
(8) NIB tetap berlaku untuk kegiatan usaha lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9) Terhadap kegiatan usaha yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


      

Pasal 47

(1) Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi, selain NIB dan Izin, Pelaku Usaha juga bisa mendapatkan Sertifikat Standar usaha dan/atau standar produk.
(2) Untuk mendapatkan Sertifikat Standar usaha dan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha wajib menyampaikan pemenuhan standar usaha dan standar produk melalui Sistem OSS sesuai dengan norma, standar, prosedur dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga.
(3) Terhadap permohonan pemenuhan standar usaha dan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS meneruskan:
  1. pemenuhan standar usaha kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan untuk dilakukan verifikasi.
  2. verifikasi sebagaimana dimaksud huruf a yang bersifat teknis untuk dilakukan oleh kementerian/lembaga, perangkat daerah teknis provinsi, perangkat daerah teknis kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB, serta Ahli yang dikoordinasikan oleh kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, dan administrator KEK, sesuai kewenangannya.
  3. pemenuhan standar produk kepada kementerian/lembaga, untuk dilakukan verifikasi.
(4) Dalam hal permohonan pemenuhan standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disetujui, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan menotifikasi ke Sistem OSS.
(5) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS menerbitkan Sertifikat Standar usaha sesuai kewenangannya.
(6) Dalam hal permohonan pemenuhan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disetujui, kementerian/lembaga menyampaikan notifikasi persetujuan ke Sistem OSS.
(7) Terhadap notifikasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Lembaga OSS atas nama kementerian/lembaga menerbitkan Sertifikat Standar produk melalui Sistem OSS.
(8) Dalam hal permohonan pemenuhan standar usaha dan standar produk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c ditolak, Sistem OSS menotifikasi kepada Pelaku Usaha
(9) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) mencakup
  1. persyaratan tidak memenuhi ketentuan; dan
  2. kekurangan persyaratan.
(10) Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a, dalam rangka melakukan kegiatan komersial, Pelaku Usaha harus tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b, Pelaku Usaha tetap dapat melengkapi kekurangan persyaratan selama jangka waktu pemenuhan persyaratan belum terlampaui.

      


Paragraf 6
Penerbitan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan
Usaha
 
Pasal 48

(1) Dalam hal diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Pelaku Usaha memilih KBLI kegiatan utama sebagai acuan permohonan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha di dalam Sistem OSS.
(3) Terhadap pemilihan KBLI kegiatan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha memilih Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana daftar yang tercantum pada peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(4) Terhadap pemilihan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Sistem OSS mengirimkan notifikasi permohonan ke kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(5) Kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya melakukan verifikasi pemenuhan persyaratan dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur dan kriteria.
(6) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPMPTSP provinsi dan DPMPTSP kabupaten/kota dapat berkoordinasi dengan perangkat daerah teknis provinsi dan perangkat daerah teknis kabupaten/kota.
(7) Dalam hal permohonan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui/ditolak, kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangan menotifikasi persetujuan/penolakan ke Sistem OSS.
(8) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Sistem OSS
  1. menerbitkan Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha dengan nomenklatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  2. menyampaikan notifikasi penolakan kepada Pelaku Usaha.
(9) Format Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha sebagaimana tercantum pada Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

           


Paragraf 7
Percepatan Penerbitan Izin
 
Pasal 49

(1) Percepatan penerbitan Izin diberikan atas kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi dan:
  1.   berlokasi usaha di KEK, KPBPB, dan Kawasan Industri; atau
  2.   termasuk dalam proyek strategis nasional.
(2) Dalam hal kegiatan usaha yang dimohonkan Pelaku Usaha termasuk ke dalam kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 29, Sistem OSS langsung menerbitkan NIB dan Izin dilengkapi tanda tangan elektronik dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(3) zin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai Perizinan Berusaha untuk melakukan kegiatan persiapan, operasional dan/atau komersial.
(4) Terhadap Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha tetap wajib menyampaikan pemenuhan persyaratan izin.
(5) Terhadap pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketentuan dalam Pasal 45 dan Pasal 46 berlaku secara mutatis mutandis.
(6) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga OSS, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya, melakukan notifikasi pembatalan Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS.
(7) Terhadap notifikasi pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS menerbitkan pembatalan Izin oleh Lembaga OSS atas nama menteri, DPMPTSP provinsi atas nama gubernur, DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/walikota, administrator KEK, atau badan pengusahaan KPBPB sesuai kewenangannya.
(8) Terhadap pembatalan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ketentuan dalam Pasal 46 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9) berlaku secara mutatis mutandis.
(9) Khusus untuk:
  1. sektor Pendidikan yang berlokasi di KEK, dilakukan melalui Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; dan
  2. usaha rintisan berbasis teknologi, yang tidak hanya terbatas pada aspek pendanaan, infrastruktur, jejaring mentor, alih teknologi, dan akses pasar, PMA di KEK pada bidang usaha berbasis teknologi dapat melakukan investasi dengan nilai investasi sama atau kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar nilai tanah dan bangunan.

  


Paragraf 8
Jangka Waktu Merealisasikan Kegiatan Usaha
 
Pasal 50

(1) Terhadap setiap kegiatan usaha ditetapkan jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha.
(2) Jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan waktu yang diperlukan Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, konstruksi/pembangunan sampai dengan produksi komersial setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.
(3) Jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha ditetapkan berdasarkan norma, standar, prosedur dan kriteria kementerian/lembaga.
(4) Dalam hal kementerian/lembaga tidak menetapkan, jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha merupakan jangka waktu perkiraan kesiapan Pelaku Usaha melakukan kegiatan operasi/produksi.
(5) Jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh Pelaku Usaha berupa bulan dan tahun pada saat pengisian data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (11).
(6) Jangka waktu merealisasikan kegiatan usaha digunakan oleh kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB dalam rangka pembinaan dan pemantauan realisasi investasi.
(7) Dalam hal Pelaku Usaha tidak merealisasikan kegiatan usaha sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB dapat memberikan sanksi administratif.
(8) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur lebih lanjut dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.


Pasal 51

(1) Kewajiban kemitraan Pelaku Usaha besar dengan koperasi dan UMK-M sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) huruf d dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun sejak jangka waktu beroperasi/produksi dimulai.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha tidak melaksanakan kewajiban kemitraan, akan dikenakan sanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata cara penyampaian pemenuhan kewajiban kemitraan dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut pada peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.


Bagian Keempat
Penerbitan Perizinan Berusaha dan Kemudahan Perizinan
Berusaha untuk Pelaku UMK
 
Paragraf 1
Penerbitan Perizinan Berusaha Untuk UMK
 
Pasal 52

(1) Untuk pengajuan permohonan Perizinan Berusaha, Pelaku UMK mengakses menu permohonan UMK di dalam Sistem OSS.
(2) Pada menu permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku UMK mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
(3) Sistem OSS akan melakukan pemeriksaan kesesuaian data sebagaimana ayat (2) dengan kriteria Pelaku UMK, termasuk tingkat risiko atas kegiatan usaha yang dimohonkan.
(4) Kriteria Pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan peraturan pemerintah tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2).
(5) Pelaku UMK yang memiliki kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah diberikan NIB yang merupakan pendaftaran usaha, sekaligus sebagai identitas dan legalitas usaha.
(6) Dalam hal Pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah rendah, menengah tinggi, dan/atau tinggi, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang diberikan berupa Sertifikat Standar dan/atau Izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Dalam pemberian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pelaku UMK tetap diwajibkan memenuhi persyaratan standar usaha dan/atau pemenuhan persyaratan Izin.
(8) Dalam menjalankan kegiatan usaha, Pelaku UMK wajib memperhatikan aspek keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan hidup
(9) Kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan badan pengusahaan KPBPB melakukan pembinaan terhadap Pelaku UMK dalam pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).

     


Paragraf 2
Kemudahan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Untuk UMK
 
Pasal 53

(1) Pelaku UMK yang memiliki kegiatan usaha berisiko rendah, diberikan kemudahan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berupa NIB yang sekaligus berlaku sebagai perizinan tunggal.
(2) Ketentuan mengenai kemudahan Perizinan Berusaha melalui perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti ketentuan peraturan pemerintah tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M.
(3) Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, standar nasional indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
(4) Selain perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku UMK juga diberikan kemudahan dalam persyaratan dasar berupa kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dan persetujuan lingkungan.
(5) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Perizinan tunggal berupa standar nasional Indonesia dan sertifikasi jaminan produk halal dimohonkan bersamaan dengan permohonan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.

     


Pasal 54

(1) Untuk mendapatkan perizinan tunggal berupa sertifikasi jaminan produk halal, Pelaku UMK mengisi jenis produk pada isian data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(2) Sistem OSS menampilkan cakupan produk yang wajib bersertifikat halal untuk kemudian dipilih oleh Pelaku UMK berdasarkan isian jenis produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal jenis produk yang diisi termasuk yang wajib bersertifikat halal dan belum memiliki sertifikat halal, Pelaku UMK menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk proses Sertifikasi Halal serta pendampingan melalui Sistem OSS.
(4) Sistem OSS menerbitkan NIB yang berlaku juga sebagai pernyataan sertifikasi halal dengan mencantumkan status bahwa sertifikasi halal dalam proses pendampingan oleh badan penyelenggara jaminan produk halal berdasarkan pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam hal sudah memiliki sertifikat halal, Pelaku UMK mengisi nomor sertifikat di dalam Sistem OSS.
(6) Terhadap data nomor sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS melakukan validasi ke sistem yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(7) Dalam hal sudah tervalidasi, Pelaku UMK menyampaikan pernyataan telah memiliki sertifikat halal untuk kemudian Sistem OSS menerbitkan NIB yang berlaku juga sebagai pernyataan sertifikasi halal dengan mencantumkan nomor sertifikat dan masa berlaku pada lampiran.
(8) Format pernyataan sebagaimana dimaksud ayat (7) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(9) Terhadap penerbitan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Sistem OSS menotifikasi ke kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(10) Terhadap notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9), kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melakukan pendampingan kepada Pelaku UMK termasuk melakukan permohonan pendaftaran untuk sertifikat halal.
(11) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disetujui, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama menerbitkan Sertifikat Halal untuk kemudian dinotifikasi ke Sistem OSS.
(12) Atas notifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Sistem OSS melakukan pemutakhiran terhadap NIB dengan mencantumkan nomor sertifikat halal.
(13) Dalam hal kegiatan yang dilakukan Pelaku Usaha termasuk kegiatan dengan tingkat risiko menengah rendah, menengah tinggi, dan/atau tinggi, permohonan sertifikat halal diajukan melalui sistem elektronik yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


      

Pasal 55

(1) Dalam hal pengajuan permohonan Perizinan Tunggal berupa standar nasional Indonesia, Pelaku UMK wajib mengisi jenis produk yang akan didaftarkan SNI.
(2) Sistem OSS melakukan validasi terhadap daftar produk tertentu yang sudah terdapat nomor SNI berdasarkan data jenis produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal sudah memiliki Sertifikat SNI, Pelaku UMK mengisi nomor sertifikat SNI tersebut untuk kemudian Sistem OSS melakukan validasi terhadap data yang dikelola oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi.
(4) Dalam hal telah tervalidasi, Pelaku UMK menyampaikan pernyataan sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Atas pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Sistem OSS menerbitkan NIB yang mencantumkan bahwa Pelaku UMK dapat menggunakan sertifikat SNI sebelumnya yang telah dimiliki.
(6) Dalam hal belum memiliki SNI dan produk yang dihasilkan terdaftar sebagai produk tertentu yang sudah terdapat nomor SNI, Pelaku UMK menyampaikan pernyataan sebagaimana format yang tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(7) Atas pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS menerbitkan NIB Perizinan Tunggal yang mencakup di dalamnya nomor SNI dan tanda SNI Bina UMK dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(8) Sistem OSS akan mengirimkan notifikasi pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ke sistem yang dikelola lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi untuk dilakukan pembinaan dan fasilitasi.
(9) Dalam hal sesuai hasil pembinaan dan fasilitasi Pelaku UMK telah memenuhi persyaratan, lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi menyampaikan notifikasi persetujuan ke Sistem OSS.
(10) Sistem OSS melakukan pemutakhiran pada NIB dengan mencantumkan nomor sertifikat SNI yang telah disetujui berdasarkan notifikasi persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11) Dalam hal kegiatan yang dilakukan termasuk risiko menengah rendah, menengah tinggi, dan/atau tinggi, permohonan SNI diajukan melalui sistem elektronik yang dikelola oleh lembaga pemerintah non kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi.

      


Bagian Kelima
Perubahan Data Pelaku Usaha
 
Pasal 56

(1) Dalam hal terjadi perubahan atas isian data Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pelaku Usaha melakukan perubahan melalui Sistem OSS.
(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
  1. perubahan data pelaku usaha; dan/atau
  2. perubahan data usaha.


Pasal 57

(1) Perubahan data pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (2) huruf a paling sedikit mencakup perubahan:
  1. nama dan/atau NIK;
  2. NPWP;
  3. status penanaman modal semula PMDN menjadi PMA atau sebaliknya;
  4. kepemilikan dan susunan pemegang saham;
  5. susunan pengurus/penanggung jawab;
  6. maksud dan tujuan;
  7. alamat perusahaan; dan/atau
  8. alamat surat elektronik.
(2) Perubahan status menjadi PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Perusahaan PMDN yang menjual sebagian atau seluruh sahamnya kepada perorangan/badan usaha asing/perusahaan PMA dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan presiden tentang bidang usaha penanaman modal.
(3) Perubahan status menjadi PMDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Perusahaan PMA yang pemegang saham asing menjual seluruh saham ke perorangan WNI/badan usaha Indonesia yang seluruh sahamnya dimiliki perorangan WNI/lokal.
(4) Dalam hal terjadi perubahan status dari PMDN menjadi PMA atau sebaliknya dari PMA menjadi PMDN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pelaku Usaha melakukan pemutakhiran data pelaku usaha di Sistem OSS.
(5) Sistem OSS melakukan validasi komposisi kepemilikan saham ke sistem administrasi badan hukum yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(6) Sistem OSS mencatat status Perusahaan berubah menjadi PMA atau PMDN berdasarkan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam hal Pelaku Usaha memiliki anak Perusahaan, atas perubahan status menjadi PMA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditindaklanjuti dengan perubahan status menjadi PMA oleh anak perusahaan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(8) Terhadap perubahan status sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ketentuan ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) berlaku secara mutatis mutandis.
(9) Dalam hal Pelaku Usaha mengajukan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, Sistem OSS akan melakukan verifikasi dengan sistem administrasi hukum umum kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(10) Dalam hal terjadi perubahan pada alamat perusahaan atas kedudukan kabupaten/kota, perubahan data pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g perlu diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11) Dalam hal ditemukan ketidaksesuaian atas data pelaku usaha, Pelaku Usaha wajib melakukan penyesuaian terlebih dahulu di sistem administrasi hukum umum kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(12) Ketentuan mengenai tata cara pemutakhiran data sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai ketentuan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(13) Dalam hal data pelaku usaha belum bisa diintegrasikan dengan sistem administrasi hukum umum kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (8), perubahan data dilakukan langsung di Sistem OSS.
(14) Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (13) menjadi tanggung jawab penuh Pelaku Usaha.
(15) Terhadap perubahan data yang dilakukan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS melakukan penyesuaian terhadap ketentuan penanaman modal dan persyaratan dan/atau tingkat risiko kegiatan usaha

    


Pasal 58

(1) Perubahan data usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 ayat (2) huruf b paling sedikit mencakup:
  1. perubahan data lokasi usaha;
  2. perubahan data jenis produk/jasa dan kapasitas;
  3. penyesuaian akses kepabeanan;
  4. penyesuaian angka pengenal importir;
  5. penyesuaian data wajib lapor ketenagakerjaan perusahaan; dan
  6. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha.
(2) Dalam hal perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b menyebabkan diperlukannya Perizinan Berusaha baru, Perizinan Berusaha baru diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha lama masih berlaku sampai dengan perubahan dipenuhi.
(3) Terhadap proses Perizinan Berusaha baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS akan menotifikasi kepada kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah sesuai kewenangan.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha telah memiliki Perizinan Berusaha dan akan melakukan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perizinan Berusaha lama tetap berlaku sampai perubahan dipenuhi.

     


Bagian Keenam
Pengembangan Usaha
 
Pasal 59

(1) Dalam pelaksanaan kegiatan usaha, Pelaku Usaha dapat melakukan Pengembangan Usaha atas kegiatan usaha yang telah dilakukan dan mengajukan permohonan melalui Sistem OSS.
(2) Pengembangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penambahan:
  1. kapasitas produksi/jasa;
  2. lokasi kegiatan usaha; dan/atau
  3. bidang usaha.
(3) Penambahan kapasitas produksi/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a juga mencakup perluasan usaha atas usaha industri dengan kriteria berupa penambahan kapasitas produksi terpasang untuk KBLI 5 (lima) digit yang sama sebagaimana diatur di dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
(4) Terhadap perluasan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku ketentuan:
  1. penetapan tingkat risiko akan dilakukan kembali dengan memperhitungkan kapasitas produksi terpasang yang lama dan tambahannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang sudah didapatkan atas kapasitas produksi terpasang yang lama akan termutakhirkan setelah penetapan risiko sebagaimana dimaksud pada huruf a ditetapkan dan disetujui; dan
  3. selama proses penetapan dan persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebelumnya masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan Perluasan Usaha tidak diwajibkan memiliki Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dengan tingkat risiko berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Pelaku Usaha melakukan:
  1. perubahan data usaha di Sistem OSS;
  2. perubahan terhadap dokumen UKL-UPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  3. penyesuaian pemenuhan persyaratan apabila atas perubahan data sebagaimana dimaksud pada huruf a terjadi perubahan tingkat risiko.
(6) Pelaku Usaha mengakses menu Pengembangan Usaha pada Sistem OSS untuk mengajukan permohonan Pengembangan Usaha.
(7) Dalam hal Pengembangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a tidak memerlukan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru, Pelaku Usaha cukup melakukan perubahan data.
(8) Pengembangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c memerlukan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru.
(9) Dalam hal Pengembangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Pelaku Usaha mengisi kembali isian data kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 29.
(10) Terhadap Pengembangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ketentuan pada ayat (5) huruf c berlaku secara mutatis mutandis.
(11) Dalam hal Pelaku Usaha telah memiliki persetujuan prasarana dan pemenuhan persyaratan Perizinan Berusaha yang masih sesuai atas kegiatan usaha sebelumnya dan tidak memerlukan prasarana baru, Sistem OSS mencatat Pelaku Usaha telah memenuhi persyaratan Perizinan Berusaha atas kegiatan Pengembangan Usaha.



Bagian Ketujuh
Penggabungan dan Peleburan
 
Pasal 60

Pelaku Usaha dapat melakukan:

  1. penggabungan badan usaha; atau
  2. peleburan badan usaha.

      


Pasal 61

(1) Perizinan Berusaha atas tindakan penggabungan atau peleburan badan usaha diterbitkan melalui Sistem OSS.
(2) Penggabungan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh 2 (dua) badan usaha atau lebih dengan kategori sebagai badan usaha yang menerima penggabungan dan badan usaha yang menggabungkan diri.
(3) Peleburan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh 2 (dua) badan usaha atau lebih dengan membentuk badan usaha baru hasil peleburan.


Pasal 62

(1) Dalam hal terjadi penggabungan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, Pelaku Usaha yang menerima penggabungan (surviving company) melakukan penyesuaian/pemutakhiran data pada Sistem OSS melalui menu penggabungan badan usaha.
(2) Terhadap penyesuaian/pemutakhiran data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Sistem OSS melakukan validasi atas akta penggabungan pada sistem administrasi badan hukum yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Dalam hal validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan, Sistem OSS akan menampilkan seluruh Perizinan Berusaha yang dimiliki badan usaha yang menerima penggabungan dan menggabungkan diri.
(4) Pelaku Usaha dapat memilih kegiatan usaha yang akan dilanjutkan sebagaimana tertuang di dalam akta penggabungan.
(5) Dalam hal terdapat kegiatan usaha yang Perizinan Berusaha tidak diterbitkan melalui Sistem OSS dan akan dilanjutkan, badan usaha yang menerima penggabungan melakukan pengisian data kegiatan usaha dan mengunggah Perizinan Berusaha lama ke dalam Sistem OSS.
(6) Sistem OSS melakukan verifikasi terhadap Perizinan Berusaha atas hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Berdasarkan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Sistem OSS menyesuaikan Perizinan Berusaha yang lama ke dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(8) Dalam hal terdapat kegiatan usaha atas hasil penggabungan badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang belum memiliki Perizinan Berusaha sebagai legalitas kegiatan usaha, badan usaha yang menerima penggabungan mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai tingkat risiko kegiatan usahanya.
(9) Perizinan Berusaha atas badan usaha yang menggabungkan diri akan dibatalkan secara otomatis oleh Sistem OSS.


Pasal 63

(1) Permohonan peleburan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf b dilakukan oleh badan usaha baru hasil peleburan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui menu peleburan usaha.
(3) Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Sistem OSS melakukan validasi atas akta peleburan pada sistem administrasi badan hukum yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(4) Dalam hal validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah dilakukan, Sistem OSS akan menampilkan seluruh Perizinan Berusaha yang dimiliki badan usaha yang meleburkan diri.
(5) Pelaku Usaha dapat memilih kegiatan usaha dari badan usaha yang melebur yang akan dilanjutkan sebagaimana tertuang di dalam akta peleburan.
(6) Dalam hal terdapat kegiatan usaha yang Perizinan Berusaha atas badan usaha yang melebur tidak diterbitkan melalui Sistem OSS dan akan dilanjutkan, badan usaha hasil peleburan melakukan pengisian data kegiatan usaha dan mengunggah Perizinan Berusaha lama tersebut.
(7) Sistem OSS melakukan verifikasi terhadap Perizinan Berusaha atas hasil peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8) Berdasarkan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Sistem OSS menyesuaikan Perizinan Berusaha yang lama ke dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(9) Dalam hal terdapat kegiatan usaha atas hasil peleburan usaha sebagaimana ayat (5) yang belum memiliki Perizinan Berusaha sebagai legalitas kegiatan usaha, badan usaha baru hasil peleburan mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sesuai tingkat risiko kegiatan usahanya.
(10) Perizinan Berusaha atas badan usaha yang meleburkan diri, akan dibatalkan secara otomatis oleh Sistem OSS.


    

Bagian Kedelapan
Pencabutan dan Pembatalan Perizinan
 
Paragraf 1
Pencabutan Perizinan Berusaha
 
Pasal 64

(1) Pencabutan Perizinan Berusaha dapat dilakukan atas dasar likuidasi dan non likuidasi.
(2) Tata cara dan persyaratan pencabutan sebagaimana pada ayat (1) diatur dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.


Paragraf 2
Pembatalan Perizinan Berusaha
 
Pasal 65

(1) Dalam hal Perizinan Berusaha yang diterbitkan terdapat cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan pemalsuan data, dokumen, dan informasi, dapat dilakukan pembatalan.
(2) Tata cara pembatalan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.


BAB V
FASILITAS PENANAMAN MODAL
 
Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 66

(1) Pelaku Usaha yang memiliki:
  1. NIB;
  2. Sertifikat Standar; dan/atau
  3. Izin,
dapat memperoleh Fasilitas Penanaman Modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup fasilitas:
  1. pembebasan bea masuk atas impor;
  2. pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
  3. pengurangan pajak penghasilan badan;
  4. pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu pada KEK;
  5. pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia;
  6. penghasilan bruto atas penyelenggaraan praktik kerja, pemagangan dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu; dan
  7. pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.
(3) Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan melalui Sistem OSS.
(4) Keputusan dan/atau pemberitahuan pemberian keputusan Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan melalui Sistem OSS dalam format sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Badan ini.

   


Bagian Kedua
Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor
 
Paragraf 1
Cakupan Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor
 
Pasal 67

(1) Fasilitas pembebasan bea masuk atas impor sebagaimana dimaksud pada Pasal 66 ayat (2) huruf a mencakup fasilitas:
  1. pembebasan bea masuk atas impor mesin tidak termasuk suku cadang untuk pembangunan atau pengembangan industri;
  2. pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri;
  3. pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan atau pengembangan industri pembangkitan tenaga listrik untuk kepentingan umum; dan
  4. pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang dalam rangka kontrak karya (KK) atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B);
(2) Fasilitas penanaman modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sepanjang mesin, barang dan bahan, serta barang modal:
  1. belum diproduksi di dalam negeri;
  2. sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
  3. sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri,
berdasarkan daftar mesin, barang dan bahan, serta barang modal yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(3) Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan, serta barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, Pelaku Usaha mengunggah di Sistem OSS rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(4) Pelaku usaha yang terkena kewajiban penggunaan produk dalam negeri untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan, serta barang modal melampirkan rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.


Paragraf 2
Objek Penerima Fasilitas
 
Pasal 68

(1) Fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a dan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b, diberikan kepada Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di bidang:
  1. industri yang menghasilkan barang; dan/atau
  2. industri yang menghasilkan jasa.
(2) Industri yang menghasilkan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(3) Fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c, diberikan kepada:
  1. perseroan terbatas perusahaan listrik negara (Persero) (PT PLN (Persero)); atau
  2. Pelaku Usaha lainnya di bidang usaha ketenagalistrikan.
(4) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib memiliki:
  1. wilayah usaha;
  2. perjanjian jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PT PLN (Persero);
  3. perjanjian sewa guna usaha (finance lease agreement/FLA) dengan PT PLN (Persero); atau
  4. perjanjian jual beli tenaga listrik dengan pemegang izin usaha pembangkit tenaga listrik (IUPTL) yang memiliki wilayah usaha.
(5) Fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, dapat diberikan kepada pelaku usaha/kontraktor yang memiliki KK atau PKP2B.


           

Paragraf 3
Ketentuan Pemberian Fasilitas
 
Pasal 69

(1) Terhadap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) yang mengajukan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a dapat diberikan dalam rangka Pembangunan atau Pengembangan.
(2) Pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. penambahan kapasitas dalam rangka perluasan usaha; dan/atau
  2. modernisasi, rehabilitasi dan/atau restrukturisasi dari alat-alat produksi untuk tujuan mempertahankan dan meningkatkan kualitas hasil produksi terhadap kegiatan usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan sudah berproduksi komersial.
(3) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak:
  1. diterbitkannya NIB bagi Pelaku Usaha baru; atau
  2. dicantumkannya kegiatan usaha yang akan dimintakan fasilitasnya pada NIB dalam rangka penambahan kegiatan usaha.
(4) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan melalui Sistem OSS.
(5) Pengajuan pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, bersamaan dengan pengajuan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum Saat Mulai Berproduksi Komersial, dikecualikan terhadap Pelaku Usaha pemegang izin usaha pertambangan.
(7) Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(8) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diberikan perpanjangan selama 2 (dua) tahun, kecuali untuk impor mesin dalam rangka pengembangan dengan maksud modernisasi, rehabilitasi dan/atau restrukturisasi.
(9) Terhadap perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat diberikan penambahan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk rencana investasi paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan kurang dari Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dapat diberikan penambahan perpanjangan jangka waktu pengimporan 1 (satu) tahun berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
  2. untuk rencana investasi paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) dan kurang dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dapat diberikan penambahan perpanjangan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) kali yang diberikan setiap 1 (satu) tahun berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
  3. untuk rencana investasi lebih dari Rp5.000.000.000.000,00 (lima triliun rupiah) dapat diberikan penambahan perpanjangan jangka waktu pengimporan paling lama 5 (lima) tahun berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan.
(10) Dalam hal Pelaku Usaha telah mendapatkan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara sebelum berlakunya Peraturan Badan ini, dapat diberikan perpanjangan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan selanjutnya dapat diberikan penambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11) Pengajuan perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan penambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diajukan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum jangka waktu keputusan pemberian fasilitas berakhir.
(12) Pelaku Usaha wajib menggunakan mesin yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tujuan pemasukannya.
(13) Mesin dapat digunakan pada lokasi yang berbeda sepanjang masih dikuasai oleh Pelaku Usaha untuk kegiatan usaha yang sama sesuai dengan perizinan berusaha berbasis risiko yang dimiliki oleh Pelaku Usaha.


    

Pasal 70

(1) Pelaku Usaha yang telah menyelesaikan pembangunan industri serta siap produksi, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b.
(2) Pelaku Usaha yang telah menyelesaikan pengembangan industri, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas izin usaha/izin perluasan dan/atau Perizinan Berusaha Berbasis Resiko, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf b.
(3) Fasilitas pembebasan bea masuk barang dan bahan atas impor mesin dan/atau menggunakan mesin produksi asal impor yang dibeli di dalam negeri, dapat diberikan kepada Pelaku Usaha yang telah menyelesaikan pembangunan atau pengembangan industri dan siap melakukan kegiatan komersial kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa.
(4) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Pelaku Usaha sudah berproduksi komersial.  
(5) Berproduksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditentukan berdasarkan pernyataan mandiri dalam Sistem OSS yang menyatakan perusahaan sudah berproduksi komersial.
(6) Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan untuk keperluan produksi selama 2 (dua) tahun sesuai kapasitas terpasang.
(7) Jangka waktu pengimporan atas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(8) Pelaku Usaha yang melakukan pembangunan dan pengembangan, dengan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, atas impor barang dan bahan dapat diberikan pembebasan bea masuk untuk keperluan produksi/keperluan tambahan produksi selama 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(9) Terhadap industri yang menghasilkan jasa dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
(10) Penggunaan dan komposisi penggunaan mesin produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berdasarkan surat rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian terkait capaian tingkat komponen dalam negeri (TKDN).
(11) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) dapat diberikan perpanjangan waktu pengimporan selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk dan hanya diberikan 1 (satu) kali.
(12) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dapat dikecualikan untuk komoditas tertentu sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(13) Barang dan bahan yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Pelaku Usaha.

    

Pasal 71

(1) Terhadap Pelaku Usaha sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) yang mengajukan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor barang modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf c, dapat diberikan dalam rangka pembangunan atau pengembangan.
(2) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak diterbitkannya Izin/izin usaha penyediaan tenaga listrik (IUPTL).
(3) Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan sesuai dengan rencana impor barang (RIB) kebutuhan proyek yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
(4) Pembebasan bea masuk sebagaimana pada ayat (1) diberikan jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
(5) Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang 1 (satu) kali dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu dalam keputusan pembebasan bea masuk.
(6) Perpanjangan waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diberikan perpanjangan kembali sesuai dengan ketentuan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(7) Pengajuan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diajukan selambat-lambatnya 14 (empat belas) Hari sebelum jangka waktu keputusan pemberian fasilitas berakhir.
(8) Mesin yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan sesuai dengan tujuan pemasukannya oleh Pelaku Usaha yang bersangkutan.
(9) Mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dilakukan pemindahtanganan yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

     


Pasal 72

(1) Terhadap Pelaku Usaha sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 ayat (1) yang mengajukan fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf d, dapat diberikan dalam rangka KK atau PKP2B sebagai berikut:
a. kontraktor yang kontraknya mencantumkan ketentuan mengenai pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk dan pembebasan pajak pertambahan nilai dan ketentuan mengenai jangka waktu pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk dan pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang dalam rangka KK atau PKP2B;
b. kontraktor yang kontraknya mencantumkan ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan bea masuk dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang, namun tidak mencantumkan ketentuan mengenai jangka waktu pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk dan pembebasan pajak pertambahan nilai dalam rangka KK atau PKP2B;
c. kontraktor PKP2B dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. kontraknya ditandatangani sebelum tahun 1990;
  2. kontraktor PKP2B yang kontraknya mencantumkan ketentuan mengenai pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang dalam rangka PKP2B;
  3. kontraktor PKP2B yang kontraknya tidak mencantumkan ketentuan mengenai jangka waktu pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk; dan
  4. kontraktor PKP2B yang barang impornya merupakan barang milik negara.
d. kontraktor KK atau PKP2B sebagai berikut:
  1. kontraknya mencantumkan ketentuan mengenai pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak atas impor barang dalam rangka KK atau PKP2B sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
  2. kontraknya tidak mencantumkan ketentuan mengenai pemberian pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor Barang Kena Pajak dalam rangka KK atau PKP2B, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur ketentuan mengenai perlakuan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah atas impor barang kena pajak yang dibebaskan dari pungutan bea masuk.
(2) Pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan sesuai dengan jangka waktu yang tercantum dalam kontrak.
(3) Pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d, diberikan sejak tanggal ditandatanganinya kontrak sampai dengan tahun kesepuluh dari periode operasi produksi.
(4) Fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, diberikan sampai dengan berakhirnya masa kontrak.
(5) Pengajuan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun berdasarkan rencana kerja anggaran belanja (RKAB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, dengan ketentuan bahwa jangka waktu fasilitas pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai atas impor barang untuk KK dan PKP2B berakhir pada tanggal 31 Desember pada tahun berjalan.
(6) Terhadap barang impor yang mendapatkan pembebasan atau keringanan bea masuk dan/atau pembebasan pajak pertambahan nilai dalam rangka KK atau PKP2B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pemindahtanganan sebagaimana diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

 


Pasal 73

Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, dan Pasal 70 dapat diberikan terhadap mesin, barang, dan bahan yang berasal dari KPBPB, KEK, atau tempat penimbunan berikat sebagaimana diatur oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.

      


Paragraf 4
Pengajuan Persetujuan Pemberian Fasilitas
 
Pasal 74

(1) Pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf a diajukan dan diterbitkan dalam Sistem OSS.
(2) Pelaku usaha yang mengajukan fasilitas bea masuk atas impor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus mengisi data permohonan, mengunggah dan mengirimkan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam Peraturan Badan ini. 
(3) Terhadap pengajuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dilakukan klarifikasi teknis.
(4) Terhadap pengajuan dalam rangka rehabilitasi/resktrukturisasi/modernisasi serta barang dan bahan dilakukan klarifikasi teknis dalam bentuk kunjungan ke lapangan, atau dalam hal kondisi tertentu dapat dilakukan melalui media elektronik lainnya.
(5) Pengajuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dilakukan klarifikasi teknis paling lambat 5 (lima) hari.
(6) Hasil klarifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berupa:
  1. pengajuan dinyatakan lengkap dan benar sesuai ketentuan, dapat diproses lebih lanjut;
  2. pengajuan dikembalikan ke Pelaku Usaha secara daring untuk melengkapi, memperbaiki kekurangan dan/atau kesalahan dokumen sesuai hasil klarifikasi teknis; atau
  3. pengajuan ditolak apabila tidak sesuai ketentuan.
(7) Terhadap hasil klarifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf a, sistem OSS akan mengirimkan pemberitahuan dan selanjutnya dalam waktu 5 (lima) Hari akan diterbitkan Keputusan Pemberian Fasilitas Pembebasan Bea Masuk.
(8) Terhadap hasil klarifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf b, sistem OSS akan mengirimkan pemberitahuan dan selanjutnya pelaku usaha melengkapi dokumen melalui Sistem OSS.
(9) Terhadap hasil klarifikasi teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf c, dalam waktu 3 (tiga) Hari Sistem OSS akan memberikan pemberitahuan penolakan disertai dengan alasan penolakan.
(10) Pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
  1. pengajuan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin/barang modal/barang dan bahan;
  2. pengajuan perubahan atas fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin/barang modal/barang dan bahan; dan
  3. perpanjangan jangka waktu atas fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin/barang modal/barang dan bahan.
(11) Ketentuan ayat (1) sampai dengan ayat (9) berlaku mutatis mutandis terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
(12) Terhadap pengajuan perpanjangan jangka waktu sebagaimana yang dimaksud pada ayat (10) huruf c, Sistem OSS akan memberikan pemberitahuan 3 (tiga) bulan sebelum habis masa berlaku.
(13) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), tidak ada hasil klarifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pengajuan dianggap telah memenuhi persyaratan dan sistem OSS akan memberikan notifikasi bahwa pengajuan akan diproses lebih lanjut.
(14) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari sejak dokumen dinyatakan lengkap dan benar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dan ayat (13) belum diterbitkan keputusan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk, maka sistem oss secara otomatis akan menerbitkan keputusan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk.


      

Bagian Ketiga
Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di
Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah
Tertentu
 
Pasal 75

Ketentuan dan tata cara pengajuan fasilitas pajak penghasilan badan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara dan peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang fasilitas pajak penghasilan badan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu.

      


Bagian Keempat
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
 
Pasal 76

Ketentuan dan tata cara pengajuan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf c sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara dan peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang fasilitas pajak penghasilan badan.

      


Bagian Kelima

Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan
dan/atau Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman
Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-
Daerah Tertentu pada KEK

Pasal 77

Ketentuan dan tata cara pengajuan fasilitas pajak penghasilan badan dan/atau fasilitas pajak penghasilan badan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu pada KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf d sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara dan peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal tentang Fasilitas Pajak Penghasilan Badan dan/atau fasilitas pajak penghasilan badan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu pada KEK.

      


Bagian Keenam

Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto Atas Kegiatan
Penelitian Dan Pengembangan Tertentu di Indonesia

Pasal 78

Ketentuan dan tata cara pengajuan fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf e sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara.

      


Bagian Ketujuh

Pemberian Pengurangan Penghasilan Bruto Atas
Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan,
Dan/Atau Pembelajaran Dalam Rangka Pembinaan Dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Berbasis Kompetensi Tertentu

 

Pasal 79

Ketentuan dan tata cara pengajuan pemberian pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf f sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara.

      


Bagian Kedelapan

Pemberian Fasilitas Pengurangan Penghasilan Neto Atas
Penanaman Modal Baru Atau Perluasan Usaha Pada Bidang
Usaha Tertentu Yang Merupakan Industri Padat Karya

 

Pasal 80

Ketentuan dan tata cara pengajuan pemberian fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) huruf g sebagaimana diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara.

      


Bagian Kesembilan

Komitmen Pelaku Usaha Terhadap Pemberdayaan UMK-M

dan/atau Pengusaha Lokal

 

Pasal 81

(1) Pelaku Usaha yang mengajukan Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat 2 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu menyampaikan komitmen rencana kerjasama pelaksanaan kegiatan usaha dengan Pelaku Usaha UMK-M dan/atau pengusaha nasional di daerah melalui Sistem OSS.
(2) Terhadap pernyataan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BKPM dan DPMPTSP kabupaten/kota sesuai kewenangannya melakukan pengawasan.
(3) Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan rencana waktu pelaksanaan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha melalui sistem OSS.


Bagian Kesepuluh
Rekomendasi Keimigrasian
 
Paragraf 1
Umum
 
Pasal 82

(1) Bagi PMA diberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari lembaga pemerintah yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(3) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
  1. rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas; dan
  2. rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap.


Paragraf 2
Rekomendasi Alih Status Izin Tinggal Kunjungan Menjadi
Izin Tinggal Terbatas
 
Pasal 83

(1) Rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf a merupakan persyaratan untuk memperoleh persetujuan alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas.
(2) Rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
  1. orang asing sebagai pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan; dan
  2. orang asing sebagai pemegang saham yang tidak menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan.
(3) Orang asing sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria, yaitu:
  1. sebagai pemegang saham dan menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan dengan ketentuan kepemilikan saham paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) atau yang setara dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang tercantum dalam akta; atau
  2. sebagai pemegang saham dan tidak sebagai direksi atau komisaris perusahaan dengan ketentuan kepemilikan saham paling sedikit Rp1.125.000.000,00 (satu miliar seratus dua puluh lima juta Rupiah) atau yang setara dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang tercantum dalam akta.
(4) Permohonan rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara luring ke BKPM melalui alamat surat elektronik rekomaltus@bkpm.go.id, menggunakan formulir permohonan dan persyaratan sebagaimana tercantum pada Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), BKPM melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian dari dokumen persyaratan yang dilampirkan.
(6) Dalam hal disetujui, rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 3 (tiga) Hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
(7) Bentuk rekomendasi alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.


Paragraf 3
Rekomendasi Alih Status Izin Tinggal Kunjungan
Menjadi Izin Tinggal Tetap
 
Pasal 84

(1) Rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) huruf b merupakan persyaratan untuk memperoleh persetujuan alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap.
(2) Rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada:
  1. orang asing sebagai pemegang saham yang menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan; dan
  2. orang asing sebagai pemegang saham yang tidak menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan.
(3) Orang asing sebagai pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria, yaitu:
  1. sebagai pemegang saham dan menjabat sebagai direksi atau komisaris perusahaan dengan ketentuan kepemilikan saham paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar Rupiah) atau yang setara dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang tercantum dalam akta; atau
  2. sebagai pemegang saham dan tidak sebagai direksi atau komisaris perusahaan dengan ketentuan kepemilikan saham paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah) atau yang setara dalam mata uang dollar Amerika Serikat yang tercantum dalam akta.
(4) Permohonan rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara luring ke BKPM melalui alamat surat elektronik rekomaltus@bkpm.go.id, menggunakan formulir permohonan dan persyaratan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.
(5) Dalam hal disetujui, rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat 3 (tiga) Hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.
(6) Bentuk rekomendasi alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Badan ini.

   


Pasal 85

(1) Dalam hal orang asing sebagai pemegang saham, baik sebagai direksi atau komisaris yang tidak memenuhi kriteria kepemilikan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) dan Pasal 84 ayat (3), permohonan izin penggunaan tenaga kerja asing disampaikan terlebih dahulu kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan sebagai dasar:
  1. pemberian persetujuan alih status izin tinggal kunjungan menjadi izin tinggal terbatas atau perpanjangan izin tinggal terbatas; dan
  2. pemberian persetujuan alih status izin tinggal terbatas menjadi izin tinggal tetap atau perpanjangan izin tinggal tetap,
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.


BAB VI
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO
DALAM KEADAAN TERTENTU
 
Pasal 86

(1) Pelaku Usaha dapat memperoleh pelayanan berbantuan dalam permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko apabila layanan Sistem OSS:
  1. belum tersedia; dan
  2. terjadi gangguan teknis.
(2) Gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk keadaan kahar (force majeure) yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya pelayanan perizinan berusaha berbasis risiko.
(3) Dalam hal pelayanan Sistem OSS belum tersedia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pelayanan berbantuan dilakukan dengan tahapan:
  1. Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara luring kepada petugas PTSP Pusat di BKPM, DPMPTSP Provinsi/Kabupaten/Kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB;
  2. petugas PTSP Pusat di BKPM, DPMPTSP Provinsi/Kabupaten/Kota, administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB menghubungkan perizinan luring sebagaimana dimaksud dalam huruf a ke dalam Sistem OSS; dan
  3. persetujuan atau penolakan diterbitkannya dokumen Perizinan Berusaha diinformasikan kepada Pelaku Usaha melalui sarana komunikasi.
(4) Dalam hal pelayanan Sistem OSS terjadi gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, pelayanan berbantuan harus tersedia paling lama 1 (satu) Hari sejak dinyatakan terjadinya gangguan teknis.
(5) Pernyataan terjadinya gangguan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat oleh:
  1. deputi bidang pelayanan penanaman modal untuk gangguan teknis tingkat nasional;
  2. kepala DPMPTSP provinsi untuk gangguan teknis tingkat provinsi;
  3. kepala DPMPTSP kabupaten/kota untuk gangguan teknis tingkat kabupaten/kota;
  4. administrator KEK untuk gangguan teknis di KEK; atau
  5. badan pengusahaan KPBPB untuk gangguan teknis di KPBPB.
(6) Terhadap kondisi kahar (force majeure), pelayanan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dilakukan secara manual.


Pasal 87

(1) Bagi Pelaku Usaha di daerah tertinggal, terdepan, terluar, dan/atau wilayah yang belum memiliki aksesibilitas yang memadai, permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dapat diajukan di kantor kecamatan atau kantor kelurahan/desa atau nama lain.
(2) Selain mengajukan di kantor kecamatan atau kantor kelurahan/desa atau nama lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko kepada DPMPTSP terdekat.
(3) Pengajuan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didaftarkan di Sistem OSS oleh perangkat kecamatan atau perangkat kelurahan/desa atau nama lain atau DPMPTSP terdekat dengan menggunakan hak akses yang dimiliki oleh Pelaku Usaha paling lama 3 (tiga) Hari setelah diterima dari Pelaku Usaha yang memberi kuasa pengajuan Perizinan Berusaha di daerah.


BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
 
Bagian Kesatu
Pembayaran Biaya Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
 
Pasal 88

(1) Segala biaya Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan:
  1. penerimaan negara bukan pajak;
  2. bea masuk dan/atau bea keluar;
  3. cukai; dan/atau
  4. pajak daerah atau retribusi daerah,
wajib dibayar oleh Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan oleh Pelaku Usaha sebagai bagian dari pemenuhan persyaratan yang telah diverifikasi dan dinotifikasi oleh Kementerian/lembaga pemerintah non kementerian/Daerah sesuai kewenangannya melalui Sistem OSS.


Bagian Kedua
Fasilitasi Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
 
Pasal 89

(1) Lembaga OSS, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah memberikan fasilitasi Perizinan Berusaha kepada Pelaku Usaha terutama UMK-M.
(2) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. penyediaan subsistem pelayanan informasi pada Sistem OSS;
  2. pelayanan konsultasi dan informasi yang berkaitan dengan Perizinan Berusaha; dan
  3. bantuan untuk mengakses laman OSS dalam rangka mendapatkan Perizinan Berusaha.
(3) Dalam rangka memberikan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) huruf b dan huruf c, Lembaga OSS, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah menyediakan tempat pelayanan dan petugas.
(4) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.


        

Pasal 90

(1) Fasilitasi subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf a menyediakan informasi bagi pelaku usaha dalam memperoleh Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta informasi lain terkait dengan Perizinan dan Pengawasan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Fasilitasi subsistem pelayanan informasi sebagaimana pada ayat (1) diatur dalam peraturan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang koordinasi penanaman modal tentang sistem penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko secara elektronik.


Pasal 91

(1) Fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) huruf b dan huruf c diselenggarakan oleh unit PTSP di BKPM, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah.
(2) Pelaksanaan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh PTSP di BKPM dilakukan antara lain:
  1. layanan mandiri; dan
  2. layanan berbantuan.
(3) Layanan mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan dengan menyediakan ruangan dengan fasilitas perangkat elektronik yang memadai bagi pelaku usaha untuk melakukan proses permohonan dan penerbitan perizinan berusaha secara mandiri.
(4) Layanan berbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan secara interaktif antara lain:
  1. pusat panggilan;
  2. surat elektronik;
  3. tatap muka; dan
  4. klinik OSS.
(5) Pelaksanaan layanan berbantuan melalui pusat panggilan sebagaimana pada ayat (4) huruf a dilakukan melalui nomor telepon resmi Lembaga OSS yang tercantum pada laman OSS dengan mekanisme pemberian tanggapan pada saat yang sama.
(6) Pelaksanaan layanan berbantuan melalui surat elektronik sebagaimana pada ayat (4) huruf b dilakukan melalui alamat surat elektronik resmi Lembaga OSS yang tercantum pada laman OSS dengan mekanisme pemberian tanggapan paling lama 10 (sepuluh) Hari.
(7) Pelaksanaan layanan berbantuan melalui tatap muka sebagaimana pada ayat (4) huruf c dilakukan baik secara langsung di PTSP Pusat di BKPM pada Lembaga OSS maupun secara daring menggunakan aplikasi elektronik, setelah sebelumnya melakukan pendaftaran secara daring melalui tautan pada laman BKPM atau aplikasi OSS.
(8) Pelaksanaan layanan berbantuan melalui Klinik OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilakukan melalui kegiatan tatap muka secara luring maupun daring antara petugas pelayanan PTSP Pusat di BKPM dengan Pelaku Usaha, baik di dalam maupun di luar negeri.

     


Bagian Ketiga
Masa Berlaku Perizinan Berusaha Berbasis Risiko
 
Pasal 92

(1) NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan kegiatan usahanya.
(2) Sertifikat Standar, Izin, dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan usaha dan/atau kegiatannya atau sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Sertifikat Standar, Izin, dan/atau Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha diatur masa berlakunya, permohonan perpanjangan dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari melalui Sistem OSS sebelum masa berlaku berakhir atau sebagaimana ditetapkan di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal permohonan perpanjangan dilakukan kurang dari 30 (tiga puluh) Hari sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dianggap sebagai permohonan baru.
(5) Bagi UMK, ketentuan masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk sertifikat jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan produk halal.

    


Pasal 93

(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, dapat mengembalikannya kepada menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota sebelum jangka waktu Perizinan Berusaha berakhir.
(2) Pengembalian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pelaku Usaha yang melekat dalam Perizinan Berusaha Berbasis Risiko tersebut.


Bagian Keempat
Kewajiban LKPM
 
Pasal 94

(1) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha wajib menyampaikan LKPM.
(2) Tata cara penyampaian LKPM sebagaimana pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang koordinasi penanaman modal tentang pedoman dan tata cara pengawasan perizinan berusaha berbasis risiko.

  


BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 95

(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki NIB dan Perizinan Berusaha yang berdasarkan komitmen atau belum berlaku efektif sebagaimana ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018, Sistem OSS memberikan notifikasi bahwa Pelaku Usaha wajib melakukan konfirmasi kembali atas data usaha sebelumnya untuk kemudian Sistem OSS melakukan penyesuaian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
(2) Dalam hal atas Perizinan Berusaha lama telah dilakukan penyesuaian Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Sistem OSS memberikan notifikasi kepada kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait dan Pelaku Usaha sebagai dasar proses permohonan Fasilitas Penanaman Modal yang meliputi:
  1. fasilitas pembebasan bea masuk atas impor;
  2. fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu;
  3. fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan;
  4. fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu pada KEK;
  5. fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia;
  6. fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan praktik kerja, pemagangan dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu; dan
  7. fasilitas pengurangan penghasilan neto atas penanaman modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.

          


Pasal 96

Permohonan Perizinan Berusaha yang diajukan sebelum diberlakukannya Peraturan Badan ini, diproses dengan menggunakan Sistem OSS dan/atau prosedur yang berlaku sampai diberlakukannya Peraturan Badan ini.

           


Pasal 97

(1) Pelaku Usaha yang telah memiliki Perizinan Berusaha yang masih berlaku sebelum Peraturan Badan ini diundangkan tetap dapat digunakan sesuai kegiatan usaha.
(2) Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha yang masih berlaku sebelum Peraturan Badan ini diundangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan belum memiliki NIB, Pelaku Usaha wajib mendaftarkan NIB melalui Sistem OSS.


Pasal 98

Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh Pelaku Usaha sebelum berlakunya Peraturan Badan ini dan belum diterbitkan Perizinan Berusahanya, diproses melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan Peraturan Badan ini.

      


Pasal 99

Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Perizinan Berusaha sebelum Peraturan Badan ini mulai berlaku dan memerlukan Perizinan Berusaha yang baru, diatur ketentuan sebagai berikut:

  1. pengajuan dan penerbitan Perizinan Berusaha untuk Pengembangan Usaha dan/atau kegiatan atau komersial atau operasional dilakukan melalui Sistem OSS dengan melengkapi data dan/atau pemenuhan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  2. Pelaku Usaha diberikan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      


Pasal 100

Terhadap pelaku usaha yang telah memiliki keputusan menteri keuangan pembebasan bea masuk atas impor mesin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) sejak berlakunya Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal sampai dengan sebelum berlakunya Peraturan Badan ini, mengikuti ketentuan dalam Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71 dan Pasal 72 Peraturan Badan ini.

      


BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 101

(1) Perizinan Berusaha sebagaimana diatur di dalam Peraturan Badan ini akan diterapkan pada tanggal 2 Juni 2021.
(2) Pada saat Peraturan Badan ini berlaku, Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 934) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman dan Tata Cara Perizinan dan Fasilitas Penanaman Modal (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 821) dan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 308), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 102

Peraturan Badan ini mulai berlaku pada tanggal 2 Juni 2021.

 


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Badan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

 








Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Maret 2021
KEPALA BADAN KOORDINASI PENANAMAN MODAL
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

BAHLIL LAHADALIA

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 1 April 2021

DIREKTUR JENDERAL

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,


ttd.


WIDODO EKATJAHJANA

 



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 272