Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017

  • 31 Maret 2017
  • Kategori
  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK

NOMOR PER - 04/PJ/2017

TENTANG

BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SURAT
PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26
SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23
DAN /ATAU PASAL 26

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Menimbang :


  1. bahwa untuk lebih memberikan kemudahan, kepastian hukum, dan meningkatkan pelayanan kepada Pemotong Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam melaporkan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
  2. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
  3. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26;

Mengingat :


  1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dan perubahannya;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan;


MEMUTUSKAN :

Menetapkan :


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26 SERTA BENTUK BUKTI PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 23 DAN/ATAU PASAL 26.



Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan :

  1. Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  2. Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.
  3. Kantor Pelayanan Pajak yang selanjutnya disebut dengan KPP adalah Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar.
  4. Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang selanjutnya disebut dengan KP2KP adalah Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan yang berada dalam wilayah KPP,
  5. Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
  6. Pemotong PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang selanjutnya disebut Pemotong Pajak adalah Wajib Pajak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26.
  7. Surat Pemberitahuan yang selanjutnya disebut SPT adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  8. SPT Elektronik adalah SPT yang disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik.
  9. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  10. Aplikasi Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 Elektronik yang selanjutnya disebut Aplikasi e-Bupot 23/26 adalah perangkat lunak yang disediakan di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan, membuat dan melaporkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik.
  11. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan adalah formulir atau dokumen lain yang dipersamakan yang digunakan oleh Pemotong Pajak sebagai bukti pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dan pertanggungjawaban atas pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dilakukan.
  12. Bukti Pemotongan Pembetulan adalah Bukti Pemotongan yang dibuat untuk membetulkan kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan yang telah dibuat sebelumnya.
  13. Bukti Pemotongan Pembatalan adalah Bukti Pemotongan yang dibuat untuk membatalkan Bukti Pemotongan yang telah dibuat sebelumnya karena adanya pembatalan transaksi.
  14. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
  15. Sertifikat Elektronik (Digital Certificate) adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak atau penyelenggara sertifikasi elektronik.
  16. Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
  17. Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Pos Persepsi atas transaksi penerimaan negara yang mencantumkan NTPN (Nomor Transaksi Penerimaan Negara) dan NTB (Nomor Transaksi Bank)/NTP (Nomor Transaksi Pos) serta elemen lainnya yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) atas transaksi penerimaan negara yang berasal dari potongan SPM (Surat Perintah Membayar) yang mencantumkan NTPN.
  18. Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
  19. Bukti Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.


Pasal 2

(1) Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(2) Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut dikarenakan adanya Surat Keterangan Bebas, Surat Keterangan Domisili dan/atau seluruh PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang terutang ditanggung oleh Pemerintah (DTP).

    

Pasal 3

(1) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) terdiri dari:
  1. Induk SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
  2. Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26; dan
  3. Daftar Surat Setoran Pajak, Bukti Penerimaan Negara dan/atau Bukti Pemindahbukuan untuk Penyetoran PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(2) Bukti Pemotongan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini terdiri dari:
  1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 23; dan
  2. Bukti Pemotongan PPh Pasal 26;
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(3) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk:
  1. formulir kertas (hard copy); atau
  2. dokumen elektronik.


Pasal 4

(1) Pemotong Pajak harus membuat dan memberikan Bukti Pemotongan kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak.
(2) Satu Bukti Pemotongan hanya dapat digunakan untuk:
  1. 1 (satu) Wajib Pajak;
  2. 1 (satu) kode objek pajak; dan
  3. 1 (satu) Masa Pajak.
(3) Bukti Pemotongan tetap dibuat dalam hal:
  1. jumlah PPh Pasal 23 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas;
  2. jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong nihil karena adanya Surat Keterangan Domisili; dan/atau
  3. PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang terutang ditanggung oleh Pemerintah (DTP) sebagaimana diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku.
(4) Pemotong Pajak dapat membuat 1 (satu) Bukti Pemotongan untuk menggabungkan dua atau lebih transaksi sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 5

(1) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dapat digunakan oleh Pemotong Pajak yang:
  1. menerbitkan tidak lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam satu Masa Pajak; dan
  2. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan tidak lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk setiap Bukti Pemotongan dalam satu Masa Pajak.
(2) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Pemotong Pajak dengan cara:
  1. langsung ke KPP atau KP2KP;
  2. melalui pos dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat ke KPP; atau
  4. langsung melalui Layanan Pajak di Luar Kantor (LDK).
(3) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen dan/atau keterangan sebagai berikut:
  1. Bukti Pemotongan;
  2. SSP atau BPN, dalam hal PPh yang seharusnya dibayar dilunasi dengan setoran ke Kas Negara;
  3. Bukti Pbk, dalam hal kurang bayarnya dilunasi melalui pemindahbukuan;
  4. Surat Kuasa Khusus bermeterai cukup, dalam hal SPT ditandatangani oleh kuasa Pemotong Pajak;
  5. fotokopi Surat Keterangan Bebas yang telah dilegalisasi, dalam hal PPh Pasal 23 dibebaskan dari pemotongan berdasarkan Surat Keterangan Bebas;
  6. fotokopi Surat Keterangan Domisili, dalam hal PPh Pasal 26 menggunakan tarif sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda; dan
  7. fotokopi SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dibetulkan, termasuk lampiran dan Bukti Penerimaan Surat, dalam hal SPT yang disampaikan adalah SPT pembetulan.


Pasal 6

(1) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b harus digunakan oleh Pemotong Pajak yang:
  1. menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak;
  2. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan Pajak Penghasilan lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu Bukti Pemotongan;
  3. sudah pernah menyampaikan SPT Masa Elektronik;dan/atau
  4. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus atau KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar.
(2) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan oleh Pemotong Pajak dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot 23/26 yang tersedia di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan hasil pemindaian (scan) Surat Keterangan Domisili dalam bentuk Portable Document Format (PDF), dalam hal PPh Pasal 26 menggunakan tarif sesuai Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang diunggah (upload) dalam Aplikasi e-Bupot 23/26.


Pasal 7

(1) Untuk dapat menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dengan menggunakan Aplikasi e-Bupot 23/26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Pemotong Pajak terlebih dahulu harus memiliki Sertifikat Elektronik.
(2) Tata cara memperoleh Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak yang mengatur mengenai pengamanan transaksi elektronik Layanan Pajak Online.
(3) Pemotong Pajak yang telah memiliki Sertifikat Elektronik dari Direktorat Jenderal Pajak tidak perlu melakukan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

 

Pasal 8

Pemotong Pajak yang sudah pernah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk dokumen elektronik harus menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 untuk Masa Pajak berikutnya dalam bentuk dokumen elektronik.

 


Pasal 9

(1) Pemotong Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang telah disampaikan.
(2) Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 disebabkan adanya:
  1. kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan
  2. pembatalan transaksi;dan/atau
  3. transaksi yang belum dilaporkan.
(3) Dalam hal pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 disebabkan adanya:
  1. kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan, Pemotong Pajak terlebih dahulu harus membetulkan Bukti Pemotongan dimaksud;atau
  2. pembatalan transaksi, Pemotong Pajak terlebih dahulu harus membatalkan Bukti Pemotongan atas transaksi dimaksud.
(4) Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mengakibatkan adanya:
  1. pajak yang kurang dibayar, maka Pemotong Pajak terlebih dahulu melunasi jumlah pajak yang kurang dibayar tersebut;atau
  2. pajak yang lebih dibayar, maka diajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang atas kelebihan pembayaran pajak.
(5) Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.


Pasal 10

(1) Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 harus disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy) dalam hal SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dibetulkan telah disampaikan oleh Pemotong Pajak dalam bentuk formulir kertas (hard copy).
(2) Pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 harus disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik dalam hal SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 yang dibetulkan telah disampaikan oleh Pemotong Pajak dalam bentuk dokumen elektronik.


Pasal 11

Tata cara pengisian, penyampaian dan pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta tata cara penerbitan, pembetulan dan pembatalan Bukti Pemotongan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.



Pasal 12

Pemberlakuan ketentuan Peraturan Direktur Jenderal ini dilakukan secara bertahap terhadap Pemotong Pajak yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.



Pasal 13

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:

a. bagi Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12:
  1. ketentuan selain bentuk formulir SPT Masa dan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26; dan
  2. ketentuan untuk pembetulan SPT Masa PPh Pasal 23 dan/atau Pasal 26 untuk Masa Pajak sebelum Pemotong Pajak ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak,
tetap mengacu pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya.
b. bagi Pemotong Pajak yang belum ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya tetap berlaku.


Pasal 14

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.





Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 31 Maret 2017

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


ttd.


KEN DWIJUGIASTEADI