TIMELINE |
---|
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002
TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
Mengingat :
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4191) diubah sebagai berikut:
Ketentuan Pasal 1 angka 4 dan angka 6 diubah, dan menambah 2 (dua) angka baru, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Ketentuan Pasal 2 diubah, sehingga keseluruhan Pasal 2 berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 2
(1) | Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana : |
| |
(2) | Harta Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n." |
Ketentuan Pasal 3 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 3
(1) | Setiap orang yang dengan sengaja: |
|
Ketentuan Pasal 6 ayat (1) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 6
(1) | Setiap orang yang menerima atau menguasai: |
| |
Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah)." |
"Pasal 9
Setiap orang yang tidak melaporkan uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)."
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 10A yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 10A
(1) | Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini. |
(2) | Sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib dirahasiakan dalam persidangan pengadilan. |
(3) | Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun. |
(4) | Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun." |
Ketentuan Pasal 13 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) diubah serta menambah 2 (dua) ayat baru menjadi ayat (1a) dan ayat (6a), sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) | Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagaimana dimaksud dalam Bab V, untuk hal-hal sebagai berikut : |
| |
(1a) |
Perubahan besarnya jumlah Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan dengan Keputusan Kepala PPATK.
|
(2) |
Penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan.
|
(3) |
Penyampaian laporan Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal transaksi dilakukan.
|
(4) |
Kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku untuk transaksi yang dikecualikan.
|
(5) |
Transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi transaksi antarbank, transaksi dengan Pemerintah, transaksi dengan bank sentral, pembayaran gaji, pensiun, dan transaksi lainnya yang ditetapkan oleh Kepala PPATK atau atas permintaan Penyedia Jasa Keuangan yang disetujui oleh PPATK.
|
(6) |
Penyedia Jasa Keuangan wajib membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
(6a) |
Penyedia Jasa Keuangan dapat dikecualikan untuk tidak membuat dan menyimpan daftar transaksi yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak pengecualian diberikan.
|
(7) | Ketentuan mengenai bentuk, jenis, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Kepala PPATK." |
Ketentuan Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 15
Penyedia Jasa Keuangan, pejabat, serta pegawainya tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana atas pelaksanaan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13."
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (5) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 16
(1) | Setiap orang yang membawa uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, harus melaporkan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib menyampaikan laporan tentang informasi yang diterimanya selama jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada PPATK. |
(3) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai wajib memberitahukan kepada PPATK paling lambat 5 (hari) kerja setelah mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus memuat rincian mengenai identitas orang yang membuat laporan. |
(5) | Apabila diperlukan, PPATK dapat meminta informasi tambahan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengenai uang tunai berupa rupiah sejumlah Rp.100.000.000, 00 (seratus juta rupiah) atau lebih atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu yang dibawa oleh setiap orang dari atau ke dalam wilayah Negara Republik Indonesia." |
Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 17A, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 17A
(1) | Direksi, pejabat, atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung ataupun tidak langsung dengan cara apapun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. |
(2) | Pejabat atau pegawai PPATK, serta penyelidik/penyidik dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada pengguna jasa keuangan yang telah dilaporkan kepada PPATK atau penyidik secara langsung atau tidak langsung dengan cara apapun. |
(3) | Direksi, pejabat atau pegawai Penyedia Jasa Keuangan, pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)." |
Penjelasan Pasal 25 ayat (3) diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
Ketentuan Pasal 26 diubah dengan menambah huruf baru yaitu huruf i, sehingga berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 26
Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas sebagai berikut :
Ketentuan Pasal 29 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 29
(1) | Setiap tahun PPATK wajib menyusun Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan. |
(2) | Anggaran Tahunan PPATK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara." |
Menambah ketentuan baru sesudah Pasal 29 yaitu Pasal 29A dan Pasal 29B, yang berbunyi sebagai berikut :
"Pasal 29A
Pengaturan kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, tunjangan jabatan, tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pejabat dan pegawai PPATK ditetapkan dengan Keputusan Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
"Pasal 29B
Untuk lebih mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Presiden dapat membentuk Komite Koordinasi Nasional atas usul Kepala PPATK."
Ketentuan Pasal 33 ayat (4) diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 33
(1) |
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari Penyedia Jasa Keuangan mengenai Harta Kekayaan setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
|
(2) |
Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
|
(3) | Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai: |
| |
(4) | Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh: |
|
Ketentuan BAB VIII diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB VIII
DALAM MASALAH TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
Pasal 44
(1) | Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ini dapat dilaksanakan dalam hal negara dimaksud telah mengadakan perjanjian kerja sama bantuan timbal balik dengan Negara Republik Indonesia atau berdasarkan prinsip resiprositas. |
(3) | Permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari dan ke negara lain disampaikan kepada dan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan perundang-undangan. |
(4) | Menteri dapat menolak permintaan kerja sama bantuan timbal balik dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan oleh negara lain tersebut dapat mengganggu kepentingan nasional atau permintaan tersebut berkaitan dengan penuntutan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. |
Pasal 44A
(1) | Kerja sama bantuan timbal balik dengan negara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 antara lain meliputi: |
| |
(2) |
Dalam rangka melakukan kerja sama bantuan timbal balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan kepolisian berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, pengambilan keterangan, atau hal-hal lain yang sesuai dengan ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang ini.
|
(3) | Barang bukti, pernyataan, dokumen, atau catatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan." |
Di antara Bab VIII dan Bab IX ditambah 1 (satu) bab baru menjadi Bab VIIIA tentang Ketentuan Lain, yang berisi 1 (satu) pasal sehingga berbunyi sebagai berikut:
"BAB VIIIA
KETENTUAN LAIN
Pasal 44B
Dalam hal ada perkembangan konvensi internasional atau rekomendasi internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK dapat melaksanakan ketentuan tersebut menurut Undang-undang ini sesuai dengan peraturan perundang-undangan."
Pasal II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Oktober 2003
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 13 Oktober 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
BAMBANG KESOWO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR 108
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2003
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
I. UMUM
Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas dana antarnegara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini di samping mempunyai dampak positif, juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana yang berskala nasional maupun internasional, dengan memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana (money laundering).
Berkenaan dengan itu dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun, ketentuan dalam Undang-Undang tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan secara efektif.
Perubahan dalam Undang-Undang ini antara lain meliputi:
Cakupan pengertian Penyedia Jasa Keuangan diperluas tidak hanya bagi setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan tetapi juga meliputi jasa lainnya yang terkait dengan keuangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang yang memanfaatkan bentuk Penyedia Jasa Keuangan yang ada di masyarakat namun belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan sekaligus mengantisipasi munculnya bentuk Penyedia Jasa Keuangan baru yang belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002.
Pengertian Transaksi Keuangan Mencurigakan diperluas dengan mencantumkan transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Pembatasan jumlah hasil tindak pidana sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih, atau nilai yang setara yang diperoleh dari tindak pidana dihapus, karena tidak sesuai dengan prinsip yang berlaku umum bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana tidak tergantung pada besar atau kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh.
Cakupan tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan dimana pelaku tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
- | Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika; |
- | Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; |
- | Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; |
- | Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. |
Jangka waktu penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dipersingkat, yang semula 14 (empat belas) hari kerja menjadi tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. Hal ini dimaksudkan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak.
Penambahan ketentuan baru yang menjamin kerahasiaan penyusunan dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada PPATK atau penyidik (anti-tipping off). Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang sehingga mengurangi efektifitas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Ketentuan kerja sama bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance) dipertegas agar menjadi dasar bagi penegak hukum Indonesia menerima dan memberikan bantuan dalam rangka penegakan hukum pidana pencucian uang. Dengan adanya ketentuan kerja sama bantuan timbal balik merupakan bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Kerja sama internasional telah dilakukan dalam forum yang tidak hanya bilateral namun regional dan multilateral sebagai strategi untuk memberantas kekuatan ekonomi para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan yang terorganisir.
Namun demikian pelaksanaan kerja sama bantuan timbal balik harus tetap memperhatikan hukum nasional masing-masing negara serta kepentingan nasional dan terutama tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan bahwa "tindak pidana yang dilakukan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia", maka Undang-Undang ini dalam menentukan Hasil tindak pidana menganut asas kriminalitas ganda (double criminality).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3
Ayat (1)
Terhadap Harta Kekayaan yang diduga merupakan hasil tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, untuk dapat dimulainya pemeriksaan tindak pidana pencucian uang.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Ketentuan ini termasuk sebagai ketentuan mengenai rahasia jabatan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sumber keterangan" dalam ketentuan ini adalah Penyedia Jasa Keuangan yang menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK.
Kewajiban untuk merahasiakan sumber keterangan dan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan di persidangan pengadilan dimaksudkan untuk mendorong Penyedia Jasa Keuangan melaksanakan kewajiban penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Pada dasarnya Transaksi Keuangan Mencurigakan tidak memiliki ciri-ciri yang baku, karena hal tersebut dipengaruhi oleh variasi dan perkembangan jasa dan instrumen keuangan yang ada. Meskipun demikian, terdapat ciri-ciri umum dari Transaksi Keuangan Mencurigakan yang dapat dijadikan acuan antara lain sebagai berikut:
1) |
tidak memiliki tujuan ekonomis dan bisnis yang jelas; |
2) |
menggunakan uang tunai dalam jumlah yang relatif besar dan/atau dilakukan secara berulang-ulang di luar kewajaran; |
3) |
aktivitas transaksi nasabah di luar kebiasaan dan kewajaran. |
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Penyedia Jasa Keuangan dapat sesegera mungkin melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan agar Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana dan pelaku pencucian uang dapat segera dilacak.
Unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 huruf a, huruf b, dan huruf c.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "transaksi lainnya" adalah transaksi-transaksi yang dikecualikan yang sesuai dengan karakteristiknya selalu dilakukan dalam bentuk tunai dan dalam jumlah yang besar, misalnya setoran rutin oleh pengelola jalan tol atau pengelola supermarket.
Selain berdasarkan jenis transaksi, Kepala PPATK menetapkan transaksi lainnya yang dikecualikan berdasarkan besarnya jumlah transaksi, bentuk Penyedia Jasa Keuangan tertentu, atau wilayah kerja Penyedia Jasa Keuangan tertentu. Pemberlakuan pengecualian tersebut dapat dilakukan baik untuk waktu yang tidak terbatas (permanen) maupun untuk waktu tertentu (temporer).
Ayat (6)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar data atau informasi mengenai transaksi yang dikecualikan tersebut dapat diteliti atau diperiksa oleh PPATK untuk keperluan analisis.
Rincian daftar transaksi yang wajib dibuat dan disimpan pada dasarnya sama dengan transaksi tunai yang seharusnya dilaporkan kepada PPATK. Daftar dapat dibuat dalam bentuk elektronik sepanjang dapat dijamin bahwa data atau informasi tersebut tidak mudah hilang atau rusak.
Ayat (6a)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada Penyedia Jasa Keuangan tertentu yang untuk sementara waktu belum dapat memenuhi ketentuan ini.
Pengecualian dapat diberikan baik dengan atau tanpa permintaan dari Penyedia Jasa Keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Yang dimaksud dengan "dituntut secara perdata" antara lain adalah tuntutan ganti rugi.
Yang dimaksud dengan "dituntut secara pidana" antara lain tuntutan pencemaran nama baik.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Ayat (1)
Ketentuan ini dikenal sebagai anti-tipping off.
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan agar pengguna jasa keuangan tidak memindahkan Harta Kekayaannya sehingga mempersulit penegak hukum untuk melakukan pelacakan terhadap pengguna jasa keuangan dan Harta Kekayaan yang bersangkutan.
Ayat (2)
Ketentuan anti-tipping off berlaku pula bagi pejabat atau pegawai PPATK serta penyelidik/penyidik untuk mencegah pengguna jasa keuangan yang diduga sebagai pelaku kejahatan melarikan diri dan harta kekayaan yang bersangkutan dialihkan sehingga mempersulit proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 25
Ayat (3)
Kerja sama dalam ayat ini dapat dilakukan dalam bentuk pertukaran informasi, bantuan teknis, pendidikan dan/atau pelatihan.
Angka 12
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini merupakan pengecualian dari ketentuan rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam undang-undang yang mengatur mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Daerah, atau Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kejaksaan Tinggi berhalangan, penandatanganan dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk.
Angka 16
Pasal 44
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah Undang-Undang ini, undang-undang mengenai hukum acara pidana, undang-undang mengenai hubungan luar negeri, dan undang-undang mengenai perjanjian internasional.
Ayat (2)
Perjanjian kerja sama bantuan timbal balik antara lain mengatur tentang prosedur komunikasi, tata cara penyampaian surat rogatori, persyaratan yang harus dipenuhi untuk menyampaikan permintaan bantuan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Menteri dalam menerima atau menolak kerja sama bantuan timbal balik berkoordinasi dengan penegak hukum dan instansi terkait.
Pasal 44A
Ayat (1)
Huruf a
Surat rogatori dalam ketentuan ini adalah surat dari negara lain yang berisi permintaan pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan mengenai tindak pidana pencucian uang yang dilakukan di bawah sumpah dan di hadapan penyidik, penuntut umum, atau hakim di Indonesia dan sebaliknya. Surat rogatori ini dikenal dengan letter of rogatory.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4324