Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2015

  • Timeline
  • Dokumen Terkait
  • Status
    BERLAKU

13 Februari 2015


SURAT EDARAN  DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 09/PJ/2015
 
TENTANG
 
RENCANA DAN STRATEGI PEMERIKSAAN TAHUN 2015

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


A. UMUM

Sistem perpajakan Indonesia menganut self assessment system yang berdasarkan sistem tersebut Wajib Pajak diberikan kepercayaan yang besar untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya. Self assessment system akan berjalan dengan baik apabila Wajib Pajak melaksanakan seluruh kewajiban perpajakannya dengan  tingkat kepatuhan yang tinggi dan disertai dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang optimal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
 
Sebagai salah satu mekanisme pengawasan terhadap self assessment system, Direktur Jenderal Pajak diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan yang efektif perlu ditetapkan rencana dan strategi pemeriksaan secara spesifik/specific, dapat diukur/measurable, dapat dicapai/attainable, relevan/relevant, batasan waktu/time-bound, dan perbaikan terus-menerus/continuous improvement (SMART-C) yang  diharapkan  dapat  meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, penerimaan dari kegiatan pemeriksaan, dan kualitas pemeriksaan. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan diperlukan rumusan strategi pemeriksaan yang tepat dan sistematis. Dengan demikian sumber daya pemeriksaan yang dimiliki oleh DJP dapat dioptimalkan  untuk mencapai  rencana pemeriksaan yang telah ditetapkan.
   
B. MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
Maksud ditetapkannya surat edaran ini adalah untuk meningkatkan efektivitas pemeriksaan melalui melalui suatu rencana dan strategi sehingga diharapkan akan mendukung tercapainya target penerimaan serta mampu meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
2. Tujuan
Tujuan ditetapkannya surat edaran ini adalah memberikan pedoman untuk:
a. merencanakan, mengalokasikan, mengarahkan, dan/atau melaksanakan kegiatan pemeriksaan;
b. melakukan kegiatan pengendalian, pemantauan, dan evaluasi pemeriksaan;
c. melakukan pengukuran kinerja pemeriksaan; dan
d. meningkatkan kompetensi dan kemampuan Pemeriksa Pajak.
   
C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup dalam surat edaran ini meliputi:
1. Rencana Pemeriksaan;
2. Strategi Pemeriksaan;
3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan; dan
4. Tindak Lanjut, Pemantauan, dan Evaluasi.
   
D. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Undang-Undang KUP).
2. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan.
4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 206.2/PMK.01/2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
   
E. MATERI
1. Rencana Pemeriksaan
a. Penerimaan Pajak dari Kegiatan Pemeriksaan
1) Penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan di tahun 2015 direncanakan sebesar Rp73.500.000.000.000,00 (tujuh puluh tiga triliun lima ratus miliar rupiah). Jumlah ini meningkat sebesar 206,25% dari rencana penerimaan pajak dari kegiatan pemeriksaan tahun 2014 sebesar Rp24.000.000.000.000,00 (dua puluh empat triliun rupiah).
2) Distribusi rencana penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1) kepada Kantor Wilayah DJP akan ditetapkan kemudian melalui surat Direktur Jenderal Pajak atau surat Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
b. Rencana Rasio Cakupan Pemeriksaan/Audit Coverage Ratio (ACR)
1) Dalam rangka mendukung pencapaian penerimaan pajak, sekaligus sebagai upaya meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak, pemeriksaan pajak harus dilakukan dengan penetapan cakupan pemeriksaan melalui ACR. 
2) Target ACR dibedakan untuk Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi.
3) Secara nasional, target ACR untuk Wajib Pajak badan ditetapkan sebesar 1,99% dan untuk Wajib Pajak orang pribadi ditetapkan sebesar 0,25%.
4) Target ACR pada setiap Kanwil DJP ditetapkan sebagaimana lampiran I.
c. Rencana Pencapaian LHP Konversi
1) Rencana  pencapaian LHP Konversi nasional ditetapkan dengan mempertimbangkan jumlah dan sebaran Fungsional Pemeriksa Pajak serta Rasio Penyelesaian Pemeriksaan. 
2) Dengan memperhatikan data jumlah dan sebaran Fungsional Pemeriksa Pajak per 31 Desember 2014 serta rencana Rasio Penyelesaian Pemeriksaan tahun 2015 sebesar 160%, rencana pencapaian LHP Konversi tahun 2015 ditetapkan sebanyak 45.158 HP Konversi. 
3) Dalam hal terdapat perubahan jumlah dan sebaran Fungsional Pemeriksa Pajak, rencana pencapaian LHP Konversi direvisi sesuai dengan data dan kondisi terkini.
2. Strategi Pemeriksaan
a. Strategi Pengamanan Penerimaan dari Pemeriksaan
1) Strategi pemeriksaan khusus
Pemeriksaan khusus dilakukan melalui mekanisme bottom-up maupun top-down secara terukur. Parameter terukur dalam hal ini adalah Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- memiliki potensi pajak yang dapat diidentifikasi;
- Penanggung Pajak diketahui keberadaannya; dan
- masih memiliki kegiatan usaha yang aktif.
Identifikasi potensi pajak harus didukung dengan data dan/atau informasi yang bersifat kuantitatif dan/atau kualitatif, antara lain alat keterangan, bukti pemotongan/pemungutan PPh, data PKPM, devisa hasil ekspor, kepemilikan aset, hasil visit Account Representative (AR), dan hasil pengamatan. Penanggung Pajak diketahui keberadaannya berdasarkan informasi yang diberikan oleh AR atau Tim Pemeriksa. 
Dalam rangka meningkatkan peran Kanwil DJP dan KPP terkait dengan kegiatan pemeriksaan khusus, maka penerbitan instruksi/persetujuan pemeriksaan khusus diutamakan dilakukan oleh Kepala Kanwil DJP.
a) Penerbitan instruksi/persetujuan pemeriksaan khusus oleh Kanwil DJP
i. Pemeriksaan khusus bottom-up
- Persetujuan pemeriksaan khusus dilakukan berdasarkan analisis risiko yang dibuat oleh AR dan/atau tim pemeriksa pajak.
- Setiap KPP mengusulkan pemeriksaan khusus minimal 1 (satu) Wajib Pajak untuk setiap AR dan 1 (satu) Wajib Pajak untuk setiap tim pemeriksa pajak. Dalam hal telah ada pemisahan tugas dan fungsi AR di KPP maka yang dimaksud adalah AR yang melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan penggalian potensi.
- Penyampaian usulan pemeriksaan khusus oleh Kepala KPP dilakukan paling lambat 31 Maret 2015.
- Kepala Kanwil DJP memberikan persetujuan atau penolakan pengusulan pemeriksaan khusus paling lambat 1 (satu) bulan sejak pengusulan tersebut diterima.
- Apabila diketahui bahwa persetujuan pemeriksaan khusus diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang tergabung dalam suatu grup yang sedang dilakukan  pemeriksaan  berdasarkan instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan maka sebelum diterbitkan agar dikoordinasikan dengan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
- Pengusulan  pemeriksaan khusus dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang belum dilakukan aktivitas himbauan.
ii. Pemeriksaan khusus top-down
- Instruksi pemeriksaan khusus top-down diterbitkan berdasarkan analisis risiko manual yang dilakukan oleh Kanwil DJP.
- Data pendukung analisis risiko manual dapat berasal dari internal maupun eksternal Kanwil DJP, termasuk yang berasal dari hasil pengembangan dan analisis atas IDLP.
- Kepala Kanwil DJP menerbitkan instruksi pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual terhadap minimal 1 (satu) Wajib Pajak pada setiap KPP di wilayah kerjanya.
- Apabila diketahui bahwa instruksi pemeriksaan khusus diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang tergabung dalam suatu grup yang sedang dilakukan pemeriksaan berdasarkan  instruksi Direktur Pemeriksaan dan Penagihan maka sebelum diterbitkan agar dikoordinasikan dengan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
- Penerbitan instruksi  pemeriksaan  khusus  berdasarkan  analisis  risiko manual dilakukan paling lambat tanggal 30 Juni 2015
- Penyelesaian pemeriksaan khusus dapat dilakukan dengan atau tanpa menunggu tindak lanjut  dari Kepala Kanwil DJP sesuai dengan instruksi pemeriksaan khusus.
b) Penerbitan  instruksi pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual oleh Kantor Pusat DJP
i. Instruksi  pemeriksaan khusus diterbitkan secara top-down berdasarkan analisis risiko manual.
ii. Data pendukung analisis risiko manual dapat berasal dari internal maupun eksternal Kantor  Pusat DJP, termasuk yang berasal dari hasil pengembangan dan analisis atas IDLP.
iii. Pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual dilakukan antara lain terhadap Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha pertambangan batubara, Wajib Pajak sektor minyak dan gas bumi, Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa, dan Wajib Pajak yang tergabung dalam satu grup.
iv. Pemeriksaan Wajib Pajak yang bergerak di  bidang usaha  pertambangan batubara dan sektor minyak dan gas bumi dilakukan terhadap minimal 50 Wajib Pajak.
v. Pemeriksaan Wajib Pajak yang tergabung dalam satu grup dilakukan terhadap minimal 10 grup Wajib Pajak badan termasuk orang pribadi yang terkait.
vi. Pemeriksaan Wajib Pajak yang terindikasi melakukan penyalahgunaan transfer pricing dengan entitas di  luar negeri dilakukan terhadap  minimal 30 Wajib Pajak.
vii. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan  menerbitkan  instruksi  pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual terhadap minimal 3 (tiga) Wajib Pajak pada setiap Kanwil DJP, di luar Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka romawi iv, v, dan vi.
viii. Penyelesaian pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual dapat dilakukan dengan atau tanpa menunggu tindak lanjut dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kanwil  DJP sesuai dengan instruksi pemeriksaan khusus.
ix. Penentuan Wajib Pajak yang akan dilakukan pemeriksaan khusus berdasarkan analisis risiko manual dapat didahului dengan melakukan pembahasan bersama antara Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan dengan Kanwil DJP dan/atau KPP tempat Wajib Pajak terdaftar yang akan diusulkan untuk dilakukan pemeriksaan.
x. Penerbitan  instruksi  pemeriksaan  khusus  berdasarkan  analisis  risiko manual dilakukan mulai bulan Februari 2015.
2) Kerja sama dengan pihak lain
Dalam rangka mengoptimalkan penerimaan dari kegiatan pemeriksaan, DJP melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam pelaksanaan pemeriksaan. Kerja sama dimaksud meliputi antara lain:
a) Pemeriksaan yang dilakukan oleh Tim Optimalisasi Penerimaan Negara (TOPN)
i. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan  instruksi yang diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
ii. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan berdasarkan analisis risiko secara manual.
iii. Penyelesaian  pemeriksaan  dilakukan setelah ada tindak lanjut dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
iv. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan mulai bulan Februari 2015.
b) Pemeriksaan yang dilakukan bersama-sama dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (joint audit)
i. Pemeriksaan  joint  audit  dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai Joint Audit antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
ii. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan secara periodik sesuai dengan keputusan Rapat Komite Joint Audit.
c) Pemeriksaan yang dilakukan bersama-sama dengan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
i. Pemeriksaan  dilakukan berdasarkan  instruksi yang diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
ii. Penerbitan  instruksi  pemeriksaan dilakukan berdasarkan analisis risiko secara manual.
iii. Pemantauan dan bimbingan teknis pemeriksaan dilakukan secara periodik oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan selama proses pemeriksaan.
iv. Penyelesaian pemeriksaan dilakukan dengan persetujuan dari Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
v. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan mulai bulan Februari 2015.
d) Pemeriksaan yang dilakukan bersama-sama dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) dan BPKP
i. Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak yang terdaftar di KPP Minyak dan Gas Bumi.
ii. Pemeriksaan dilakukan berdasarkan  instruksi yang diterbitkan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
iii. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan berdasarkan analisis risiko secara manual.
iv. Penerbitan instruksi pemeriksaan dilakukan secara periodik berdasarkan kesepakatan bersama antara DJP, SKK Migas, dan BPKP sesuai audit schedule yang dikeluarkan oleh SKK Migas.
v. Pemantauan dan bimbingan teknis pemeriksaan dilakukan secara periodik oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan selama proses pemeriksaan.
e) Pengajuan izin membuka rahasia bank terkait nasabah penyimpan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
i. Dalam rangka pemeriksaan, pemeriksa dapat mengajukan izin membuka rahasia bank terkait dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan dan pihak  lain  yang  diindikasikan  terkait  dengan Wajib Pajak kepada OJK melalui Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan.
ii. Pengajuan izin membuka rahasia bank dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait prosedur membuka rahasia bank.
3) Penyelesaian penugasan pemeriksaan khusus yang telah melewati jangka waktu pemeriksaan
Dalam rangka memastikan bahwa potensi penerimaan yang telah diidentifikasi dapat direalisasikan secara optimal, penyelesaian penugasan pemeriksaan khusus yang telah melewati jangka waktu pemeriksaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Terhadap pemeriksaan khusus yang masih belum diselesaikan sesuai dengan Instruksi Direktur Jenderal Pajak nomor INS-05/PJ/2014 diselesaikan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Maret 2015.
b) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan, Kepala Kanwil DJP, dan Kepala KPP harus melakukan monitoring dan pengawasan secara intensif atas penyelesaian penugasan pemeriksaan khusus yang telah melewati jangka waktu pemeriksaan.
b. Strategi Peningkatan Kepatuhan
1) Kepatuhan Wajib Pajak
a) Penetapan fokus pemeriksaan nasional
i. Dalam rangka meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Direktur Jenderal Pajak memandang perlu untuk menetapkan fokus pemeriksaan.
ii. Fokus pemeriksaan merupakan sektor usaha tertentu atau Wajib Pajak tertentu yang menjadi sasaran utama Pemeriksaan Khusus pada tingkat nasional karena tingkat kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakannya diindikasikan masih rendah.
iii Fokus  pemeriksaan Wajib Pajak badan tahun 2015 ditetapkan sebagai berikut:
- Wajib Pajak yang diduga menyalahgunakan fasilitas Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
- Wajib Pajak yang melakukan transaksi transfer pricing dengan entitas di luar negeri;
- Wajib Pajak yang  bergerak di  bidang pertambangan batubara dan minyak dan gas bumi; dan 
- Wajib Pajak yang bergerak di bidang perdagangan besar.
iv. Fokus pemeriksaan Wajib Pajak orang pribadi ditetapkan sebagai berikut:
- Wajib Pajak orang pribadi berpenghasilan menengah dan tinggi;
- Wajib Pajak orang pribadi berpengaruh,dan
- Wajib Pajak orang pribadi profesi.
v. Penerbitan instruksi pemeriksaan khusus sesuai fokus pemeriksaan nasional dilakukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan secara top-down berdasarkan analisis risiko secara komputerisasi. 
vi. Penerbitan  instruksi pemeriksaan khusus secara komputerisasi dilakukan dengan mempertimbangkan beban kerja dari setiap KPP berdasarkan data yang ada di SIDJP atau ALPP.
b) Pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak
Peningkatan kuantitas dan kualitas pemeriksa secara simultan akan memberikan pengaruh positif pada upaya pencapaian tujuan pemeriksaan. Salah satu upaya peningkatan kuantitas pemeriksa adalah dengan mengangkat pemeriksa pajak yang bukan berasal dari Fungsional Pemeriksa Pajak atau disebut Petugas Pemeriksa Pajak.
i. Petugas Pemeriksa Pajak lebih fokus untuk melakukan pemeriksaan rutin terhadap SPT lebih  bayar yang memiliki risiko rendah dan pemeriksaan tujuan lain;
ii. Petugas Pemeriksa Pajak yang memiliki keahlian tertentu, misalnya transfer pricing, minyak dan gas bumi, pertambangan, perbankan, dan Pajak Bumi dan Bangunan dapat melakukan pemeriksaan khusus yang terkait dengan keahliannya;
iii. Pejabat dan atau pegawai yang dapat ditunjuk menjadi Petugas Pemeriksa Pajak harus memenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
- pendidikan formal serendah-rendahnya:
- Diploma III di bidang perpajakan/PBB/penilai atau Diploma III lainnya yang telah lulus diklat teknis dasar perpajakan; 
- SMA atau sederajat, dalam hal sebagai berikut:
- diangkat sebagai AR; atau
- ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan dalam rangka pemberian NPWP secara jabatan, penghapusan NPWP, pengukuhan dan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
- nilai kinerja dua tahun terakhir minimal baik; dan
- diutamakan pegawai yang memiliki pengalaman melakukan pemeriksaan pajak atau memiliki keahlian/pengetahuan khusus pada bidang tertentu yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
c) Penyebarluasan program kerja dan hasil pemeriksaan
Dalam  rangka  meningkatkan  kepatuhan  Wajib  Pajak  dan  menimbulkan  efek penggentar  (deterrent  effect)  yang  optimal,  perlu  dilakukan  hal-hal sebagai berikut:
i. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan berkoordinasi dengan Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat melakukan sosialisasi perpajakan  terkait  hak  dan  kewajiban Wajib Pajak di dalam kegiatan pemeriksaan serta  penyebarluasan informasi tentang program kerja dan kinerja pemeriksaan secara reguler;
ii. Kepala Kanwil  DJP melakukan sosialisasi perpajakan terkait hak dan kewajiban Wajib Pajak di dalam kegiatan pemeriksaan serta penyebarluasan informasi tentang program kerja dan kinerja pemeriksaan secara reguler.
d) Tindak lanjut hasil pemeriksaan
i. Pemeriksa menyampaikan data hasil  pemeriksaan  kepada AR melalui mekanisme digitalisasi LHP atau cara lain;
ii. Dalam hal data hasil pemeriksaan terdapat potensi pajak, AR diminta untuk menindaklanjuti potensi tersebut dengan melakukan aktivitas himbauan atau verifikasi untuk jenis pajak maupun Tahun Pajak yang terdapat potensi dimaksud;
iii. Dalam  hal  data  hasil  pemeriksaan  memerlukan  pengujian  yang lebih mendalam, maka data tersebut dapat dijadikan sebagai dasar usulan pemeriksaan khusus; dan
iv. Dalam rangka mendukung kinerja penagihan pajak, Pemeriksa diminta untuk menyampaikan daftar harta kekayaan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak, identitas diri Penanggung Pajak, dan akta pendirian Wajib Pajak badan atau akta perubahan yang terakhir kepada Kepala Seksi Penagihan.
e) Gerakan nasional pemeriksaan pajak
i. Dalam rangka mendukung program pemerintah meningkatkan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam skala yang lebih luas, untuk tahun 2015  akan dilakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi berpengaruh.
ii. Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi berpengaruh diharapkan akan menjadi model kepatuhan untuk Wajib Pajak lainnya.
iii. Teknis pelaksanaan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak orang pribadi berpengaruh akan ditentukan lebih lanjut oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan.
2) Kepatuhan pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
a) Ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP menyatakan bahwa batas waktu penetapan/penerbitan surat ketetapan pajak adalah 5 (lima) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Tahun Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Masa Pajak.
b) Untuk tahun 2015,  Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak dan Tahun Pajak yang akan mencapai batas waktu daluwarsa penetapan adalah SPT Tahunan Tahun Pajak 2010 dan SPT Masa Januari s.d. Desember 2010.
c) Dalam rangka menghindari penerbitan surat ketetapan pajak yang melewati batas waktu penetapan sebagaimana dimaksud pada huruf a), agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Instruksi/Persetujuan/Penugasan Pemeriksaan untuk Tahun Pajak 2010 yang belum diterbitkan SP2, maka:
- Pemilihan pos yang akan dilakukan pengujian dalam audit plan dilakukan dengan selektif dan memperhatikan batas waktu daluwarsa penetapan; dan
- harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
ii. Dalam hal akan  diusulkan Pemeriksaan atau diterbitkan Instruksi Pemeriksaan untuk Tahun Pajak 2010, maka:
- Wajib Pajak yang diusulkan pemeriksaan harus memiliki potensi pajak yang dapat diidentifikasi, Penanggung Pajak diketahui keberadaannya, dan masih memiliki kegiatan usaha yang aktif; dan
- Pemeriksaannya diperkirakan dapat diselesaikan sebelum batas waktu daluwarsa penetapan.
c. Strategi Peningkatan Kualitas Pemeriksaan
1) Peningkatan kompetensi pemeriksa
Peningkatan kompetensi pemeriksa dilakukan dalam rangka memberikan pengetahuan terapan yang memadai terkait penyusunan analisis risiko, metode, teknik dan materi pemeriksaan. Peningkatan kompetensi ini dilakukan  melalui kegiatan In-House Training (IHT), workshop, diklat, e-learning, dan On The Job Training (OJT).
a) IHT, workshop, dan diklat
i. Dilakukan dengan tatap muka dalam rangka peningkatan kompetensi pemeriksa di bidang tertentu.
ii. Materi disesuaikan dengan rencana dan strategi pemeriksaan tahun 2015.
iii. Dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Kanwil DJP, KPP, dan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK).
b) Kegiatan e-learning
i. Dilakukan dengan penyampaian materi pembelajaran melalui media elektronik.
ii. Diselenggarakan oleh DJP atau BPPK.
c) Kegiatan OJT
i. Dilakukan terhadap pegawai yang baru diangkat menjadi Fungsional Pemeriksa Pajak.
ii. Teknis pelaksanaan disesuaikan dengan pedoman pelaksanaan OJT.
2) Bimbingan teknis pemeriksaan
a) Direktur Pemeriksan dan Penagihan atau Kepala Kanwil DJP dapat melakukan bimbingan teknis pemeriksaan baik diminta atau tanpa permintaan tim  Pemeriksa Pajak.
b) Merupakan bimbingan teknis yang bersifat konsultatif dan tidak mengikat tim Pemeriksa Pajak.
c) Pelaksanaannya  dituangkan  dalam berita acara bimbingan teknis yang ditandatangani kedua belah pihak (contoh format disajikan dalam lampiran II).
3) Reviu pemeriksaan
a) Dilakukan berdasarkan pertimbangan Direktur Pemeriksaan dan Penagihan atau Kepala Kanwil DJP.
b) Hasil rekomendasi tim reviu harus dilaksanakan oleh tim pemeriksa.
c) Dilakukan selama jangka waktu pemeriksaan.
d) Dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan atau Kanwil DJP.
e) Pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
4) Penelaahan Sejawat (Peer Review)
a) Dilakukan terhadap KPP sebagai berikut:
i. seluruh KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar;
ii. seluruh KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus;
iii. seluruh KPP Madya di seluruh Indonesia; dan
iv. minimal 20% dari seluruh KPP Pratama dari masing-masing Kanwil DJP.
b) Dilakukan oleh Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan atau Kanwil DJP.
c) KPP yang akan dilakukan peer review ditentukan oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan/atau Kepala Kanwil DJP.
d) Pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5)
Penertiban administrasi pemeriksaan

Dalam rangka tertib administrasi, masing-masing pihak yang terlibat dalam rangkaian  pemeriksaan harus  memastikan  bahwa setiap kegiatan dilaksanakan sesuai dengan tugas dan kewajibannya dan didokumentasikan dalam SIDJP atau Menu Konversi.

3. Pengukuran Kinerja Pemeriksaan
a. Rasio Cakupan Pemeriksaan (Audit Coverage Ratio/ACR)
1) ACR adalah rasio yang digunakan untuk mengukur cakupan Wajib Pajak yang diperiksa.
2) ACR dihitung dengan rumus sebagai berikut:
ACR = Jumlah WP yang diperiksa
Jumlah WP terdaftar wajib SPT
x 100%
 
Keterangan:
- Jumlah WP yang diperiksa adalah jumlah Wajib Pajak yang selesai diperiksa selama tahun 2015. 
- Jumlah WP terdaftar wajib SPT adalah jumlah Wajib Pajak terdaftar yang wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh badan (SPT 1771 dan 1771$) atau SPT Tahunan PPh orang pribadi (SPT 1770).
b. LHP Konversi
1) LHP Konversi adalah jumlah LHP yang dihasilkan berdasarkan pendekatan konversi dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
2) Rencana LHP Konversi didasarkan pada jumlah fungsional Pemeriksa Pajak, Standar Penyelesaian LHP Konversi, dan Rasio Penyelesaian Pemeriksaan.
3) Standar Penyelesaian LHP Konversi
a) Standar  Penyelesaian LHP Konversi (selanjutnya  disebut dengan Standar Penyelesaian) ditetapkan berdasarkan parameter-parameter sebagai berikut:
- terukur;
- memperhatikan beban kerja;
- menantang namun dapat dicapai; dan
- memenuhi unsur keadilan.
b) Standar Penyelesaian dibedakan antar UP2 sebagai berikut:


Tabel 1

Standar Penyelesaian
No UP2 Standar Penyelesaian
(LHP Konversi)
(1) (2) (3)
1
  1. Kantor Pusat DJP
  2. KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar
3,77 LHP
2
  1. KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus
  2. Seluruh KPP Madya 
5,02 LHP
3 KPP Pratama di lingkungan Kanwil DJP Papua dan Maluku 6,28 LHP
4 KPP Pratama selain KPP Pratama di  lingkungan Kanwil DJP Papua dan Maluku 7,54 LHP


c) Standar Penyelesaian Fungsional Pemeriksa Pajak non-PPNS yang ditempatkan di Kanwil DJP dihitung sebagai berikut:


Tabel 2

Standar Penyelesaian Fungsional Pemeriksa Pajak non-PPNS
yang Ditempatkan di Kanwil DJP 


No Kanwil DJP Standar Penyelesaian
(LHP Konversi)
(1) (2) (3)
1 Kanwil DJP Wajib Pajak Besar   3,77 LHP
2
  1. Kanwil DJP Jakarta Khusus
  2. Kanwil DJP lain yang membawahi KPP Madya 
5,02 LHP
3 Kanwil DJP lain yang tidak membawahi KPP Madya   7,54 LHP
d) Mengingat terdapat perbedaan tujuan dan ruang lingkup pemeriksaan, Standar Penyelesaian pada tabel 1 dan tabel 2 dihitung dengan menggunakan pendekatan konversi.
4) Dalam rangka mendukung penyelesaian pemeriksaan secara tepat waktu, bobot konversi dibedakan antara LHP tepat waktu dan LHP tidak tepat waktu.
5) Yang dimaksud dengan LHP tepat waktu adalah LHP yang diselesaikan dalam jangka waktu pengujian serta pembahasan akhir dan pelaporan sesuai ketentuan.
6) Penghitungan konversi sebagaimana dimaksud pada angka 4) ditentukan dalam lampiran III.
c. Rasio Penyelesaian Pemeriksaan
1) Dalam rangka memenuhi target penerimaan dan mencapai target ACR, perlu ditetapkan Rasio Penyelesaian Pemeriksaan untuk mendorong kinerja Fungsional Pemeriksa Pajak. 
2) Rasio Penyelesaian Pemeriksaan merupakan ukuran produktivitas Fungsional Pemeriksa Pajak.
3) Rasio Penyelesaian Pemeriksaan dalam suatu KPP dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rasio Penyelesaian Pemeriksaan = Jumlah LHP Konversi          
Standar Penyelesaian x Jumlah FPP
x 100%
Keterangan:
- Standar Penyelesaian adalah Standar Penyelesaian per Fungsional Pemeriksa Pajak sesuai dengan tabel 1 dan/atau tabel 2.
- Jumlah FPP adalah jumlah Fungsional Pemeriksa Pajak per UP2.
d. Rasio skp yang Disetujui
1) Salah satu ukuran dari pemeriksaan yang berkualitas adalah menurunnya resistensi Wajib Pajak atas temuan pemeriksaan dan penetapan pajak. Dalam rangka memacu pemeriksa untuk  meningkatkan  kualitas pemeriksaan tersebut, perlu ditetapkan rasio nilai skp yang disetujui oleh Wajib Pajak. 
2) Rasio skp yang Disetujui adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kualitas pemeriksaan melalui persentase nilai nominal ketetapan pajak yang disetujui oleh Wajib Pajak;
3) Rasio ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Rasio skp yang Disetujui = skp Disetujui
   Nilai skp
x 100%
Keterangan:
- skp Disetujui adalah nilai surat ketetapan pajak (skp) yang disetujui  Wajib Pajak sesuai dengan perekaman nota penghitungan pada SIDJP;
- Dalam hal terdapat pembayaran sesuai Pasal 8 ayat (4) UU KUP yang belum diperhitungkan dalam skp maka atas pembayaran tersebut menambah nilai skp yang disetujui; dan
- Nilai skp adalah nilai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yang diterbitkan pada tahun 2015.
4) Standar Rasio Nilai Nominal skp yang Disetujui ditetapkan sebesar 45%.
e. Rasio Penyelesaian Pemeriksaan Tepat Waktu
1) Rasio Penyelesaian Pemeriksaan Tepat Waktu adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kualitas pemeriksaan berdasarkan waktu penyelesaian pemeriksaan;
2) Rasio ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Rasio Penyelesaian Pemeriksaan Tepat Waktu = LHP Tepat Waktu
LHP yang Dihasilkan 
x 100%
Keterangan:
- LHP Tepat Waktu  adalah  LHP yang diselesaikan dalam jangka waktu pengujian serta pembahasan akhir dan pelaporan sesuai ketentuan; dan
- LHP yang Dihasilkan adalah jumlah seluruh LHP yang diselesaikan.
3) Standar Rasio Penyelesaian Pemeriksaan Tepat Waktu ditetapkan sebesar 70%.
f. Rasio Koreksi Pajak Terutang
1) Rasio koreksi pajak terutang adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kualitas  pemeriksaan pajak yang tergambar dari nilai pajak yang berhasil ditingkatkan oleh Pemeriksa sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan;
2) Rasio ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:
i. Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Kurang Bayar, SPT Nihil atau terhadap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan SPT dan menghasilkan produk hukum berupa SKPKB:

Rasio Koreksi Pajak Terutang  = Pajak yang Masih Harus Dibayar
PPh Terutang/PPN Kurang Bayar
x 100%
Keterangan:
- Pajak yang Masih Harus Dibayar adalah nilai  pajak yang harus dibayar sesuai dengan SKPKB;
- PPh Terutang/PPN Kurang Bayar adalah nilai PPh terutang atau nilai PPN kurang bayar sesuai dengan SPT yang diperiksa; dan
- Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa menyampaikan SPT Nihil atau tidak menyampaikan SPT, rasio koreksi pajak terutang dianggap sebesar 100%.
ii. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap SPT Lebih Bayar Restitusi dan menghasilkan produk hukum berupa SKPKB:

Rasio Koreksi Pajak Terutang  = Lebih Bayar + Nilai SKPKB
Lebih Bayar
x 100%
Keterangan:
- Lebih Bayar adalah nilai lebih bayar dalam SPT yang diperiksa;
- Nilai SKPKB adalah nilai pajak yang harus dibayar sesuai dengan SKPKB.
iii. Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan menghasilkan produk hukum berupa SKPKBT, rasio ini dihitung berdasarkan hasil pembagian antara nilai jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam SKPKBT menurut Pemeriksa dengan nilai pajak yang masih harus dibayar/nilai pajak lebih bayar dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.

Rasio Koreksi Pajak Terutang  = Nilai SKPKBT    
Nilai skp Sebelumnya
x 100%
Keterangan:
- Nilai SKPKBT adalah jumlah pajak yang masih  harus dibayar dalam SKPKBT menurut Pemeriksa;
- Nilai skp Sebelumnya adalah nilai pajak yang masih harus dibayar/nilai pajak lebih bayar dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
3) Untuk  keperluan pengukuran kinerja, maka nilai maksimal Rasio Koreksi Pajak Terutang ditetapkan sebesar 120%.
4) Standar Rasio Koreksi Pajak Terutang ditetapkan sebesar 12%.
5) Contoh perhitungan Rasio Koreksi Pajak Terutang disajikan dalam lampiran IV.
g. Rasio Pembayaran
1) Rasio Pembayaran adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kualitas pemeriksaan pajak berdasarkan nilai pembayaran hasil pemeriksaan.
2) Rasio Pembayaran dihitung hanya untuk pemeriksaan yang menghasilkan SKPKB, SKPKBT, dan/atau STP.
3) Rasio Pembayaran dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rasio Pembayaran =

         Nilai Pembayaran        
Nilai SKPKB/SKPKBT/STP

x 100%
Keterangan:
- Nilai  pembayaran  adalah  nilai  pembayaran  SKPKB/SKPKBT/STP  yang dilakukan Wajib Pajak pada tahun 2015 melalui:
a) pembayaran hasil pemeriksaan:
i. Surat Setoran Pajak (SSP) oleh Wajib Pajak;
ii. SSP yang berasal dari kompensasi utang pajak melalui potongan SPMKP atau melalui transfer pembayaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 16/PMK.03/2011 dan perubahannya; dan/atau 
iii. Pemindahbukuan (Pbk) atas SSP.
b) SSP yang digunakan oleh Wajib Pajak dalam rangka mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang KUP.
- Nilai SKPKB/SKPKBT/STP adalah jumlah seluruh nilai SKPKB, SKPKBT, dan STP yang diterbitkan pada tahun 2015.
4) Contoh penghitungan Rasio Pembayaran disajikan dalam lampiran V.
5) Standar Rasio Pembayaran ditetapkan sebesar 45%.
h. Rasio Refund Discrepancy (Rasio RD)
1) Rasio RD adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kualitas pemeriksaan pajak berdasarkan nilai restitusi yang berhasil dikurangi oleh Pemeriksa sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan;
2) Rasio RD dihitung hanya untuk pemeriksaan yang dilakukan terhadap SPT Lebih Bayar Restitusi yang menghasilkan SKPLB atau SKPN; 
3) Rasio ini dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Rasio RD = Nilai RD        
Nilai Lebih Bayar
x 100%
Keterangan:
- Nilai RD adalah nilai nominal restitusi yang tidak dikabulkan berdasarkan hasil pemeriksaan;
- Nilai Lebih Bayar adalah nilai lebih bayar menurut Wajib Pajak;
- Rentang nilai Rasio RD dari 0% sampai dengan 100%.
4) Ilustrasi penghitungan Rasio RD dijelaskan dalam lampiran VI.
5) Standar Rasio RD ditetapkan sebesar 13%.
4. Tindak Lanjut, Pemantauan, dan Evaluasi
Agar  pelaksanaan strategi pemeriksaan dilakukan  secara optimal sehingga dapat mencapai  rencana yang telah ditetapkan maka perlu dilakukan tindak lanjut, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan rencana  dan  strategi  pemeriksaan  dan pencapaian rencana pemeriksaan;
a. Tindak Lanjut
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan tindak lanjut atas surat edaran ini antara lain sebagai berikut:
1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan melakukan sosialisasi rencana dan strategi pemeriksaan ini melalui tatap muka secara langsung atau menggunakan media elektronik paling lambat 1 (satu) bulan setelah ditandatanganinya Surat Edaran ini sebagai salah satu tindak lanjut;
2) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menjabarkan lebih lanjut rencana dan strategi pemeriksaan kepada Kepala Kanwil DJP antara lain mengenai penetapan rencana yang akan dicapai pengukuran kinerja pemeriksaan, penetapan mekanisme dan jadwal pelaksanaan pemantauan dan evaluasi; dan
3) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP mengambil langkah-langkah strategis yang perlu dilakukan sesuai kewenangannya  dalam rangka memastikan terlaksananya strategi dan tercapainya rencana pemeriksaan.
b. Pemantauan dan Evaluasi
1) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP melakukan pemantauan dan evaluasi secara intensif terhadap pelaksanaan strategi dan pencapaian rencana pemeriksaan.
2) Direktur Pemeriksaan dan Penagihan menyampaikan laporan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada angka 1) setiap triwulan kepada Direktur Jenderal Pajak.
3) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada  angka 1) dilakukan antara lain terhadap:
a) Penerimaan dari kegiatan pemeriksaan;
b) Jadwal waktu pelaksanaan strategi pemeriksaan;
c) Progres penerbitan Instruksi Pemeriksaan Khusus oleh Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP; dan
d) Pencapaian rencana pemeriksaan yang telah ditetapkan, termasuk rasio-rasio yang terkait dengan kinerja pemeriksaan.
4) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi, Direktur Pemeriksaan dan Penagihan dan Kepala Kanwil DJP mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengamankan pelaksanaan rencana dan strategi pemeriksaan sesuai dengan kewenangannya.

 

Demikian Surat Edaran ini disampaikan untuk diketahui dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.





Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 13 Februari 2015

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,


ttd.


SIGIT PRIADI PRAMUDITO

NIP 195909171987091001



Tembusan :

  1. Tenaga Pengkaji di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak; dan
  2. Kepala Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan.